• Tidak ada hasil yang ditemukan

86. Isi dan Sampul Iri Hati Membawa Sengsara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "86. Isi dan Sampul Iri Hati Membawa Sengsara"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Dwiantari

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(2)
(3)

CERITA RAKYAT DARI PAPUA

Ditulis oleh

Rr. Dwiantari H.

Iri Hati Membawa

Sengsara

MILIK NEGARA

TIDAK DIPERDAGANGKAN

(4)

IRI HATI MEMBAWA SENGSARA

Penulis : Rr. Dwiantari H. Penyunting : Kity Karenisa Ilustrator : Dewi Mindasari Penata Letak : Giet Wijaya

Diterbitkan pada tahun 2017 oleh

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV

Rawamangun Jakarta Timur

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.

PB

398.209 598 8 ANT

i

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dwiantari H., Rr.

Iri Hati Membawa Sengsara: Cerita Rakyat dari Papua/Rr. Dwiantari H.; Kity Karenisa (Penyunting). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.

vii; 56 hlm.; 28 cm.

ISBN: 978-602-437-076-3

(5)

Sambutan

Karya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata, tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan realitas yang ada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup, teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagai bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu, apabila berdasarkan pada gagasan atau cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral, budi pekerti, nasihat, simbol-simbol filsafat (pandangan hidup), budaya, dan hal lain yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan serta konflik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman dalam kehidupan itu berimbas pula pada keberagaman dalam karya sastra karena isinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab dan bermartabat.

Karya sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi dan multiinterpretasi. Dengan menggunakan media bahasa, seni imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untuk (dapat) ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisis dari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itu sangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa yang menelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinya dengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuan yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastra berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol, kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun berlawanan mereka bekerja sama, dan dari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”.

(6)

iv

Pembinaan, Kepala Bidang Pembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini.

Semoga buku cerita ini tidak hanya bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagai bahan pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa depan.

Salam kami,

Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.

(7)

Pengantar

Sejak tahun 2016, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan

kegiatan penyediaan buku bacaan. Ada tiga tujuan penting kegiatan ini, yaitu meningkatkan budaya literasi baca-tulis, mengingkatkan kemahiran berbahasa Indonesia, dan mengenalkan kebinekaan Indonesia kepada peserta didik di sekolah dan warga masyarakat Indonesia.

Untuk tahun 2016, kegiatan penyediaan buku ini dilakukan dengan menulis ulang dan menerbitkan cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ditulis oleh sejumlah peneliti dan penyuluh bahasa di Badan Bahasa. Tulis-ulang dan penerbitan kembali buku-buku cerita rakyat ini melalui dua tahap penting. Pertama, penilaian kualitas bahasa dan cerita, penyuntingan, ilustrasi, dan pengatakan. Ini dilakukan oleh satu tim yang dibentuk oleh Badan Bahasa yang terdiri atas ahli bahasa, sastrawan, illustrator buku, dan tenaga pengatak. Kedua, setelah selesai dinilai dan disunting, cerita rakyat tersebut disampaikan ke Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk dinilai kelaikannya sebagai bahan bacaan bagi siswa berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Dari dua tahap penilaian tersebut, didapatkan 165 buku cerita rakyat.

Naskah siap cetak dari 165 buku yang disediakan tahun 2016 telah diserahkan ke Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk selanjutnya diharapkan bisa dicetak dan dibagikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Selain itu, 28 dari 165 buku cerita rakyat tersebut juga telah dipilih oleh Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, untuk diterbitkan dalam Edisi Khusus Presiden dan dibagikan kepada siswa dan masyarakat pegiat literasi.

Untuk tahun 2017, penyediaan buku—dengan tiga tujuan di atas dilakukan melalui sayembara dengan mengundang para penulis dari berbagai latar belakang. Buku hasil sayembara tersebut adalah cerita rakyat, budaya kuliner, arsitektur tradisional, lanskap perubahan sosial masyarakat desa dan kota, serta tokoh lokal dan nasional. Setelah melalui dua tahap penilaian, baik dari Badan Bahasa maupun dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, ada 117 buku yang layak digunakan sebagai bahan bacaan untuk peserta didik di sekolah dan di komunitas pegiat literasi. Jadi, total bacaan yang telah disediakan dalam tahun ini adalah 282 buku.

Penyediaan buku yang mengusung tiga tujuan di atas diharapkan menjadi pemantik bagi anak sekolah, pegiat literasi, dan warga masyarakat untuk meningkatkan kemampuan literasi baca-tulis dan kemahiran berbahasa Indonesia. Selain itu, dengan membaca buku ini, siswa dan pegiat literasi diharapkan mengenali dan mengapresiasi kebinekaan sebagai kekayaan kebudayaan bangsa kita yang perlu dan harus dirawat untuk kemajuan Indonesia. Selamat berliterasi baca-tulis!

Jakarta, Desember 2017

Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S.

Kepala Pusat Pembinaan

(8)

vi

Sekapur Sirih

Kisah ini bercerita tentang konflik dua orang bersaudara yang membuat perhiasan adat berbentuk burung cenderawasih untuk persiapan sayembara di Kampung Merhaje, daerah Jayapura (Indonesia bagian timur). Konflik itu mengakibatkan perpisahan seorang kakak dan seorang adik yang tadinya saling menyayangi. Selain itu, juga mengakibatkan perpecahan masyarakat Kampung Merhaje.

Tujuan cerita ini untuk mendidik pembaca agar dapat mencerna mana yang patut ditiru dan mana yang tidak patut ditiru. Melalui cerita ini pengarang berpesan bahwa antarmanusia harus saling menyayangi dan saling percaya. Janganlah dalam hubungan itu manusia mengikuti hawa nafsu, iri hati , dan dendam karena akan mengakibatkan perpecahan keluarga.

Kisah ini disadur oleh penulis dari cerita asli “Kongwara dan Nappu” sumbangan A. Ireuw dalam Cerita Rakyat Irian Jaya terbitan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (Jayapura). “Kongwara dan Nappu” diceritakan kembali dengan judul “Iri Hati Membawa Sengsara”.

Penulisan cerita ini tidak akan mencapai hasil yang baik tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menulis cerita anak.

Semoga kisah ini berguna bagi adik-adik pembaca dan dapat memperkaya khazanah cerita anak Indonesia.

(9)

Sambutan ... iii

Pengantar ... v

Sekapur Sirih ... vi

Daftar Isi ... vii

1. Kampung Merhaje yang Asri ... 1

2. Kongwara dan Nappu ... 9

3. Persiapan Berburu ... 15

4. Berburu di Hutan Lebat ... 19

5. Iri Hati Seorang Adik ... 25

6. Sayembara Pesta Adat Membawa Petaka ... 31

7. Rakyat Merhaje Berpisah ... 39

8. Merhaje Saat Ini ... 47

Biodata Penulis ... 54

Biodata Penyunting ... 55

(10)
(11)

1

Kampung Merhaje yang Asri

Hujan telah mengguyur tanah perkampungan ini. Penduduknya tidak tampak di luar rumah karena suasananya memang tengah malam. Udara begitu dingin dengan sinar rembulan berbentuk sabit. Pancaran setiap sinar obor meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri pertanda angin sedang beraksi di setiap rumah. Inilah Kampung Merhaje.

Di manakah Kampung Merhaje ini? Di Pegunungan Skouw Yambe sebelah selatan terdapat Kampung Merhaje. Skouw Yambe berada di Kecamatan Muara Tami, Jayapura, di Indonesia bagian timur. Di sana pemandangan hutan dapat dilihat dari bukit nan hijau. Burung-burung mengepak-ngepakkan sayapnya dan bertengger di atas pepohonan.

Kampung Merhaje, daerah pesisir, merupakan kampung adat masyarakat asli penduduk Jayapura. Mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan dan bertani. Pantai dan alamnya terlihat asri dan indah. Mereka menanam kelapa, kakao, pinang, ubi jalar, singkong, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Letak tanah Kampung Merhaje berbukit-bukit, bahkan banyak tikungan tajam yang kanan kirinya jurang. Penduduk Kampung Merhaje menggunakan air sumur gali dan mata air untuk kebutuhan sehari-hari. Binatang yang ada di sekitar tempat itu berupa ayam, bebek, sapi, anjing, babi, ikan laut, ikan telaga, dan burung.

Masyarakat Merhaje senang berburu kadal pohon, berburu burung kasuari, berburu burung mambruk, dan berburu burung cenderawasih. Udara Kampung Merhaje masih segar karena banyak pohon yang menghiasi kampung itu.

(12)

2

Bangunan rumah Kakek Yaklep luasnya kira-kira lebih dari 250 meter yang terdiri atas tiga: ruang tidur, ruang tamu, ruang dapur, dan ruang untuk menyimpan barang-barang. Luas selebihnya ada sekitar 250-an meter digunakan untuk halaman yang penuh dengan berbagai macam pohon. Rumahnya berbentuk rumah panggung yang dibuat dari kayu dan bambu serta beratapkan daun pandan kering.

Perkakas dalam rumah mereka dibuat dari kayu dan di antaranya ada yang dibuat dari tulang kaki burung yang sudah mati. Perkakas tersebut adalah dua balai-balai besar yang dibuat dari bahan kayu untuk tidur yang diletakkan di ruang tidur dan satu balai-balai besar yang diletakkan di ruang dapur untuk menghangatkan badan dan untuk istirahat. Di ruang tamu, hanya ada alas besar yang dibuat dari anyaman kulit rotan yang dindingnya dihiasi dengan peralatan perang, seperti tombak, tameng, busur beserta anak-anak panahnya. Selain itu, ada alat penerang sejenis obor di setiap ruangan.

Sekeliling rumah Kakek Yaklep ditanami pepohonan, di antaranya kelapa, ubi jalar, singkong, pisang, dan sayur-mayur. Kolam yang ada batu besarnya dan sumur gali ada di halaman belakang.

Orang mengatakan bahwa pepohonan menyebabkan banyak nyamuk. Bagaimana dengan penduduk Kampung Merhaje agar dapat menyelamatkan diri dari serangan nyamuk?

Sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak di Kampung Merhaje dimandikan, dijemur, dilulur minyak kemiri yang dicampur dengan santan, dan digosok lagi dengan tanah liat atau lumpur kuning agar mereka kebal dari serangan penyakit.

Kongwara, Nappu, dan kedua adiknya dibesarkan oleh Kakek Yaklep setelah ayahnya (Yacobus) meninggal dunia. Mereka sering diajak berburu oleh Kakek Yaklep.

Marie Kerey, ibu Kongwara menyayangi keempat anaknya. Ia berusaha mendidik anak-anaknya sebaik mungkin.

(13)

Kongwara menetap bersama Kakek Yaklep, begitu juga dengan ibunya, Marie Kerey dan kedua adiknya: Bonai dan Muraigil. Nappu menetap bersama sesepuh dan para pengikut setianya. Kongwara dan Nappu sering mengadakan kegiatan berburu di hutan pada waktu tertentu.

Setelah beranjak dewasa, Kongwara dan Nappu mengemban tugas yang diharapkan kakeknya, Yaklep. Kongwara adalah sesosok pria dewasa berbadan tegap, berkulit hitam, dan berambut keriting. Wajahnya bisa dikatakan manis dengan hidung agak mancung, tetapi sedikit besar layaknya orang di sana.

Kongwara mengalami kasih sayang bapaknya, Yacobus, selama enam tahun. Yacobus mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang kuat. Ia selalu membiasakan anak-anaknya untuk bisa mandiri. Kongwara disukai oleh teman-temannya karena ia suka menolong.

Nappu adalah sesosok pria dewasa berbadan tegap, berkulit hitam manis dengan rambut yang keriting, dan berhidung yang sama dengan Kongwara. Tinggi badannya lebih pendek kira-kira sepuluh sentimeter dari kakaknya, Kongwara. Nappu mengalami kasih sayang bapaknya, Yacobus, selama empat tahun. Nappu agak pendiam jika dibandingkan dengan Kongwara. Perangai inilah yang membuat ibunya lebih memperhatikan Nappu daripada Kongwara.

Perbedaan usia setiap anak Marie Kerei adalah dua tahun. Kongwara diberi tanggung jawab oleh kakeknya, Yaklep, untuk memimpin masyarakat Merhaje bagian barat dan menetap bersama kakeknya. Mengapa demikian? Kongwara adalah tumpuan hidupnya yang bisa diandalkan dalam menaungi keluarga.

Nappu diberi tanggung jawab oleh kakeknya, Yaklep, untuk memimpin masyarakat Merhaje bagian timur dan menetap bersama sesepuh serta pengikutnya. Mengapa demikian? Nappu memerlukan pendidikan yang lebih mandiri dan lebih dewasa. Ia terlalu disayang oleh ibunya.

(14)

4

Bonai adalah seorang anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun. Wajah, kulit, rambut, dan hidungnya mirip kedua kakaknya. Muraigil adalah seorang anak perempuan berusia lima tahun dengan wajah manis dan kulit agak terang. Rambut dan hidungnya sama seperti ketiga kakaknya. Rambutnya panjang sebahu, tetapi diikat di atas kepala. Ia lucu.

Ketika udara pagi begitu cerah, bertenggerlah burung-burung kecil di atas ranting pepohonan. Mereka menggaruk-garuk badan dan kepalanya dengan kaki-kaki yang mungil sambil memperhatikan sekelompok anak laki-laki berkulit hitam dan berambut keriting yang berada di bawahnya.

Sekelompok anak laki-laki bermain ramai sekali sehingga mengganggu ketenangan penghuni sekitar itu. Kakek Yaklep berjalan menghampiri mereka.

Ketika sampai di kerumunan anak-anak, Kakek Yaklep melihat mereka sedang bermain binatang kadal. Kadal berjalan terseok-seok.

“Aduh! Kalian tidak kasihan sama binatang e! Itu menyiksa binatang.” Kakek Yaklep agak marah sambil jari telunjuknya digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri.

“Pindah ke kebun sebelah sana ya!” Kakek Yaklep bicara sambil bertolak pinggang. Ketika itu, matahari sudah melebihi atas kepala dan terdapat bayangan setengah tubuh di atas tanah. Pukul berapakah itu?

Ternyata, sekelompok anak-anak itu sedang bermain balap kadal pohon. Mereka lari setelah mendengar omelan Kakek Yaklep sambil membawa kadal masing-masing. Namun, salah seorang dari mereka tidak berhasil membawa kadalnya karena ia terjatuh.

Salah seorang anak yang berbadan tinggi berkata kepada Kakek Yaklep sambil berlari, “Hahahahahaha! Kakek lucu. Pipinya tidak sama e.

Pada saat itu, Kakek Yaklep melihat seekor kadal yang tidak terbawa oleh salah seorang anak tadi. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ia berjalan secara perlahan-lahan menghampiri seekor kadal. Lalu, ia memungutnya sambil tersenyum dan ia berkata dalam hatinya, “Ini untuk cucuku, Bonai.”

(15)
(16)

6

Ada apa dengan pipi Kakek Yaklep? O, ternyata ia sedang sakit gigi. Pantas ia marah karena orang yang sedang sakit gigi tidak bisa mendengar suara ribut atau bising. Kakek Yaklep berjalan kembali ke arah rumahnya dengan terburu-buru sambil tangan kanannya membawa seekor kadal dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Anak-anak diomeli, tetapi mereka tertawa. Aneh.”

Sesampainya di rumah, Marie Kerey bertanya, “Bapak dari mana?”

“Dari halaman, Bapak menyuruh anak-anak yang sedang main pergi jauh. Mereka menertawakan Bapak.”

“Wajah Bapak lucu. Lihatlah pipi Bapak. Apa Bapak sakit gigi?” Marie Kerey bertanya sambil tersenyum.

Kakek Yaklep menganggukkan kepalanya sambil dahinya dikernyitkan. Kemudian, Ia menyimpan kadal tadi di bawah tempurung kelapa yang berlubang.

Lalu, Kakek Yaklep berjalan keluar menuju kebun belakang rumah. Ia melihat wajahnya di atas air dan ia tersenyum sambil berkata dalam hati, “Oo, pipi ini lucu?”

Kakek Yaklep berjalan ke arah batu besar dan ia duduk termenung di atas batu sambil bertanya dalam hatinya, “Apa yang harus saya lakukan supaya mereka tidak menertawakan saya lagi? Lihat saja nanti e”. Apa rencana Kakek Yaklep selanjutnya? Kakek Yaklep duduk di atas batu besar hingga tidak terasa matahari akan tenggelam. Hari hampir malam.

“Bapak. Bapak.” Terdengar suara Marie Kerey memanggil-manggil ayahnya. Kepalanya dijulurkan keluar jendela, lalu menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi ayahnya tidak terlihat juga.

Tak lama kemudian, Kakek Yaklep muncul dari pintu belakang masuk ke dalam dapur dan duduk dekat anak perempuannya. “Dari mana, Pak?” tanya Marie Kerey.

“Dari halaman belakang. Bapak ingin makan. Ada makanan?”

(17)

“Mata saya sudah mengantuk, Pak.” Marie Kerey berkata sambil tangannya menyalakan dua obor kecil untuk diletakkan di ruang tidurnya dan di ruang dapur. Empat obor besar lainnya dinyalakan oleh Kakek Yaplek untuk diletakkan di setiap pojok luar rumah. “Tidurlah kamu, Nak. Bapak makan dulu e.”

Tak lama kemudian, Marie Kerey menggandeng tangan Bonai dan tangan Muraigil sambil masuk ke dalam kamar. Lalu, pintu ditutup oleh Muraigil.

Setelah Kakek Yaklep merasa kenyang, ia minum air kelapa yang disediakan oleh anaknya. Ia berdiam diri sejenak. Lalu, ia menutup jendela dapur yang masih terbuka. Setelah itu, Kakek Yaklep berjalan secara perlahan-lahan menuju balai-balai. Ia duduk di pinggiran balai-balai. Tak lama kemudian, ia merebahkan badannya. Sebelum tidur, mulutnya komat-kamit pertanda ia sedang berdoa.

Waktu beberapa menit berlalu, mata Kakek Yaklep sudah terpejam. Ia tertidur. Mulailah ia mendengkur.

Sementara itu, nyanyian sunyi para binatang malam telah meninabobokan penduduk Kampung Merhaje yang asri. Mereka sibuk dengan mimpinya masing-masing sehingga semilir embusan angin yang masuk melalui celah-celah dinding pun tak terasa oleh mereka.

(18)
(19)

2

Kongwara dan Nappu

“Kukuruyuk! Kukuruyuk! Kukuruyuk!” Suara ayam-ayam jantan sedang berkokok. Suara ayam-ayam hampir sama dengan volume suara teriakan kepala suku yang hendak memberi tahu masyarakat bila ada pertemuan atau kegiatan.

Satu per satu penduduk Kampung Merhaje bangun setelah mendengar kokok ayam jantan dari jarak jauh. Suasana mulai ramai ketika hari sudah terang. Semua jendela penduduk Kampung Merhaje terbuka lebar. Udara segar masuk ke dalam rumah mereka masing-masing.

Kakek Yaklep terbangun dari tidurnya ketika tangan Bonai menyentuh badannya dan menggoyang-goyangkannya, “Kakek, Kek! Bangun.” Lalu, Kakek Yaklep bangun dari posisi tidurnya dan ia pun duduk. Ia memeluk erat cucunya dari depan.

Sesudah itu, Kakek Yaklep menggendong Bonai di belakang punggungnya sambil berjalan keluar menuju sumur gali. Mereka mandi. Setelah selesai, ia menggendong kembali cucunya yang sedang kedinginan. Mereka berjalan menuju ke dalam rumah.

Pagi itu, Marie Kerey sempat memasak ubi jalar dan menyiapkan sarapan. Namun, beberapa saat kemudian, perutnya mulai mules dan pinggang mulai pegal. “Saya tidak enak badan, Pak.” Marie Kerey berjalan masuk ke dalam kamar .

Namun, Kakek Yaklep melihat Bonai bergelayut di punggung ibunya, “Yuk, kita lihat kadal.” Tangannya memegang pergelangan tangan cucunya sambil ditarik perlahan mengajaknya jalan ke arah tempurung kelapa di bawah meja.

Tempurung akan dibuka secara perlahan-lahan oleh Kakek Yaklep sambil menghitung satu, dua, tiga dalam bahasanya, ”Ambir, mbere, kenagan!” Lalu, tempurung kelapa diangkat, “Aduh! Kadal melompat. Bagaimana e?” Kadang-kadang, Kakek Yaklep menggunakan bahasanya agar Bonai mengenal bahasa nenek moyangnya. Kadal melompat keluar dari tempurung dan Bonai pun tertawa melihat ulah sang Kakek. Kakek Yaklep berusaha mengejar kadal dengan tertatih-tatih dan menangkapnya.

(20)

10

Badan Marie Kerey terasa panas. Ia diberi ramuan tiga lembar daun yang bisa memberikan kekuatan gaib oleh bapaknya. Biasanya daun tersebut dipergunakan oleh seorang dukun. Beberapa jam kemudian, badan Marie Kerey mulai pulih kembali.

Bertepatan dengan saat itu, Kongwara sedang menghadiri pertemuan dengan masyarakat di ruang tamu. Mereka akan pergi berburu. Para wanita tetangga Marie Kerey menyediakan makanan hasil kebunnya untuk dihidangkan kepada para tamunya.

Siang itu, Marie Kerey juga sibuk menyiapkan makanan dan minuman yang akan dibawa oleh pengikut Kongwara untuk bekal berburu di hutan. Ia juga menitipkan makanan dan minuman untuk Nappu karena kedua anaknya akan berburu bersama-sama.

Pertemuan hampir selesai. Makanan dan minuman tak tersisa sedikit pun. Tak lama kemudian, setelah persiapan selesai, mereka yang akan berburu berangkat dengan membawa peralatan masing-masing. Di antaranya, panah dan busur terbuat dari bambu dan kayu, serta tali busurnya terbuat dari rotan. Selain itu, mereka melengkapi dirinya dengan pisau belati yang terbuat dari tulang kaki burung Kaswari yang sudah mati dan tombak dari kayu.

Seperginya para tamu yang ikut hadir dalam pertemuan, Marie Kerey dibantu oleh para wanita tetangganya sibuk membersihkan ruang tamu. Setelah itu, mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Seberat apa pun kegiatan yang dilakukan oleh penduduk Kampung Merhaje jika dilakukan dengan bergotong royong, kegiatan itu akan menjadi ringan rasanya.

Sesampainya mereka di hutan, Kongwara dan Nappu bertemu di suatu tempat. Mereka beristirahat sejenak sebelum berburu. Lalu, mereka menikmati perbekalan yang dibawa.

Rombongan Kongwara dan Nappu melanjutkan perjalanan menuju hutan yang paling dalam. Kongwara dan Nappu berpisah. Kongwara berburu ke arah sebelah barat dan Nappu berburu ke arah sebelah timur.

Perburuan dimulai. Kongwara berburu diikuti oleh rombongan dan beberapa anjing sebagai alat pencium jika ada binatang lain yang mencurigakan. Begitu pula dengan pengikut Nappu. Anjing Kongwara menyalak-nyalak ketika melihat ada seekor babi melintas di hadapannya.

“Guk! Guk! Guk! Guk!”

(21)

Mendengar pekikan suara pengikut Kongwara, babi hutan menjadi bingung. Jantungnya berdetak keras karena telah lari tunggang-langgang dan sesekali ekornya digigit oleh anjing. Kongwara mengangkat tangan kanannya sambil memberi aba-aba supaya babi itu ditangkap hidup-hidup. Beberapa orang sibuk menyiapkan semacam jala untuk menangkap babi. Anjing tetap menyalak. Tak lama kemudian babi berhasil ditangkap.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Kali ini, mereka melihat beberapa burung bertengger di atas pohon. Kongwara berhasil membidik beberapa burung mambruk dengan panahnya. Tak seberapa lamanya Kongwara dan pengikutnya berhasil memburu beberapa burung kuning. Para pengikut Kongwara membawa hasil buruannya.

Sementara itu, Nappu dan pengikutnya sibuk menghadapi ular besar yang menghalangi perjalanan mereka. Nappu mengangkat tangan kirinya, ia memberi aba-aba dengan telunjuk tangan kanannya yang ditempelkan pada bibirnya kepada pengikutnya agar tidak mengeluarkan suara dan berlaku hati-hati. Mereka tetap berdiri tidak bergerak di tempatnya semula. Tidak ada gerakan, kecuali gerakan kaki seorang tua yang sudah berpengalaman dalam berburu ular.

Bapak tua maju selangkah demi selangkah mencari kepala ular yang bersembunyi di balik semak-semak. Ia melihat kepala ular dan ditangkapnya leher ular itu dengan cepat. Ekor ular meliuk-liuk seperti hendak menari. Bapak tua memekikkan suaranya pertanda bahwa ia berhasil menangkap ular.

Orang-orang sekitar itu membantu bapak tua dan mereka menangkap badan ular yang hendak melilitnya. Kepala ular dimasukkan ke dalam sejenis karung agar matanya tidak bisa melihat. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanannya.

Nappu berhenti sejenak ketika pengikutnya menunjuk jari telunjuk tangan kanannya ke arah atas pohon. Ternyata seekor burung kuning.

Nappu membidik busurnya ke arah burung kuning dan mulai memanahnya. Burung pun jatuh dari atas pohon dan dipungut oleh pengikut Nappu. Beberapa lama kemudian, mereka berhasil memanah burung mambruk.

Hari semakin sore. Kongwara, Nappu, dan rombongannya pulang ke rumah kepala suku dengan membawa hasil buruannya masing-masing. Mereka menyusuri jalan yang berkelak-kelok dan menyusuri bukit yang banyak pohonnya. Di antaranya ada yang terjatuh karena kakinya tersangkut akar pohon.

(22)
(23)

Nappu menggelengkan kepala untuk tidak memasuki gua itu karena mereka masih percaya dengan adanya hantu darat yang menguasai hutan, gua, dan pohon besar. Mereka meneruskan perjalanannya. Tak lama kemudian, tanpa terasa, mereka sampai di rumah kepala suku.

Hasil buruan dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Nappu hanya mengambil burung kuning. Begitu pula dengan Kongwara dan para pengikutnya. Sesampainya di rumah Kongwara, Ia membagikan hasil buruan kepada para pengikutnya dengan adil dan ia hanya mengambil burung Cenderawasih.

Tak lama kemudian, Kakek Yaklep, Marie Kerey, dan kedua adik Kongwara menyambut kedatangan orang-orang yang baru pulang dari hutan. Seperti biasanya, mereka dijamu makanan dan minuman pelepas dahaga dan pelepas capai.

Sementara itu, Kakek Yaklep mencuci burung kuning yang sudah mati. Kedua adik Kongwara memperhatikan burung kuning yang sedang dipegang kakeknya.

Burung Cenderawasih hasil buruan Kongwara lebih besar dan warna bulunya lebih bagus. Burung cenderawasih hasil buruan Nappu lebih kecil dan warna bulunya agak muda.

Para pengikut Kongwara pulang ke rumah masing-masing. Hari semakin malam. Setelah membersihkan ruang tamu, ibu Kongwara, Kakek Yaklep, Nappu, Kongwara, dan kedua adiknya tertidur dengan lelap. Mereka terlelap karena kecapaian.

Muraigil terbangun ketika mendengar suara lolongan anjing. Ia merasa ketakutan dan membangunkan ibunya. “Bu, Bu,” ujarnya. Namun, ibunya tidak bangun juga. Akhirnya, ia turun dari balai-balai kayu dan tidur di bawah kolong tempat tidur ibunya.

Suara binatang malam mulai bersahutan. Anjing sesekali melolong. Malam itu sepi sekali hingga seekor cecak yang merayap di langit-langit rumah berbunyi “Cek! Cek! Cek!” pun menjadi suara yang paling nyaring.

Cecak merayap sambil memperhatikan Kakek Yaklep yang sibuk dengan garukan tangannya. “Plak! Plak!” Demikian bunyi tangan kanannya memukul tangan kirinya dan kaki kanannya. Cecak menggerutu dalam hatinya, “Bapak tua! Itu bagian saya! Saya makan apa e kalau Bapak bunuh nyamuk itu?” ujar nyamuk dalam hati. Nyamuk juga lapar.

(24)
(25)

3

Persiapan Berburu

Keesokan harinya, penduduk Kampung Merhaje bekerja seperti biasanya. Mereka sibuk melakukan kegiatannya masing-masing. Ada yang akan mencangkul di kebun, ada yang akan mengambil kelapa, dan ada juga yang akan berjualan di pasar. Kegiatan itu dilakukan oleh para lelaki.

Sementara itu, para wanita sibuk mengasuh anak-anak, memasak makanan seadanya, dan menyapu halaman yang penuh dengan dedaunan kering. Bagaimana dengan kegiatan anak-anak saat itu? Mereka sibuk mengumpulkan pelepah daun kelapa kering.

Beberapa anak laki-laki bermain dengan pelepah-pelepah daun kelapa kering. Batang daun kelapa kering yang daunnya diduduki oleh seorang anak ditarik oleh anak yang lain. Tiga orang anak berlomba menarik pelepah daun kelapa kering dengan seorang anak di atasnya menuju tempat yang berjarak lima meter. Mereka bermain dengan aba-aba, “Satu, dua, tiga!” Suasana pun menjadi ramai.

Anak-anak yang sedang menonton permainan itu bertepuk tangan dengan meriahnya. Mereka bersorak-sorai kegirangan karena melihat teman-temannya yang duduk di atas daun kering terjungkal ke belakang. Tanah sekitar anak-anak bermain itu penuh dengan debu. Di antara mereka ada yang sedang sibuk membersihkan matanya dari kotoran debu.

Seorang ibu berteriak-teriak melihat pelepah daun kelapa kering dibuat permainan oleh anak-anak, “Hei! Hei! Kalian apakan pelepah daun kelapa itu? Kalian mengotori halaman yang sudah bersih.”

(26)

16

Kemudian, mereka mengembalikan pelepah-pelepah daun kelapa kering ke tempat semula. Lalu, mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Di antara anak-anak tersebut ada cucu-cucu Kakek Yaklep, yaitu Bonai dan Muraigil. Keduanya pulang sambil bergandengan tangan menuju rumah kakeknya.

Sesampainya di rumah Kakek Yaklep, “Dari mana kalian, Nak?” tanya ibunya. “Melihat permainan lucu,” jawab Bonai.

“Permainan lucu yang bagaimana?”

“Itu, anak-anak duduk di atas pelepah daun kelapa kering sambil ditarik orang. Mereka terjungkal ke belakang.”

“Aaah! Itu permainan berbahaya. Kepala mereka bisa berdarah,” sahut ibunya.

“Berdarah? Bagaimana mengobatinya?”

“Biasanya diobati oleh ramuan daun sirih yang ditumbuk dan dicampur dengan daun lainnya. Hidung berdarah juga diobati dengan daun sirih.”

“Apa itu daun sirih?” Muraigil bertanya pada Ibunya.

“Daun sirih itu sering dikunyah-kunyah Kakek. Tanya lagi untuk apa? Daun sirih bisa untuk menguatkan gigi. Ayo, kalian cuci tangan. Ada singkong bakar di atas meja.”

Kedua anak, Bonai dan Muraigil, berlari menuju air pancuran. Mereka mencuci tangan dan membasuh mukanya. Setelah itu, mereka masuk ke dalam rumah dan mengambil singkong bakar untuk dimakan.

Sementara itu, Kakek Yaklep sedang mengasah tombak dan membuat anak-anak panah di halaman belakang. Sepuluh anak-anak panah siap digunakan untuk berburu. Begitu pula dengan sepuluh tombak tajam. Kongwara yang ada di samping Kakek Yaklep sedang membetulkan tali busur agar lebih kencang.

Hari sudah siang. Keluarga Kakek Yaklep menyantap makanan yang ada di ruang dapur. Makanan tersebut berupa singkong bakar, jagung bakar, ikan bakar yang hanya dibumbui dengan garam sedikit, sayur sejenis sawi direbus, dan air kelapa muda pemberian tetangga.

(27)

Hari pun sudah mulai sore. Penduduk Kampung Merhaje mulai menghentikan kegiatannya. Mereka membersihkan diri dengan mandi di air pancuran. Satu per satu penduduk Kampung Merhaje menutup jendela-jendelanya. Beberapa penduduk mulai menyalakan obor-obor di halaman dan rumah masing-masing.

Suasana menjadi gelap. Penerangan hanya berupa obor-obor kecil yang sesekali ditiup angin. Sementara itu, Bonai dan Muraigil cekikikan mendengar celoteh ibunya. Sebelum tidur, kedua anak itu selalu mendengarkan dongeng ibunya ketika masa kecil. Beberapa lama kemudian, kedua anak itu sudah tidak bersuara lagi. Mereka tidur dengan lelapnya di samping Ibunya.

Kakek Yaklep, Kongwara, dan dua orang pengikutnya masih mengemas alat-alat yang akan dibawa. Setelah selesai mengemas barang, mereka beranjak untuk tidur. Kakek Yaklep dan Kongwara tidur di kamarnya masing-masing. Pengikut Kongwara tidur di ruang tamu.

Dua orang pengikut Kongwara bernama Farle dan Nabai. Keduanya bertubuh gemuk dan berperawakan tinggi. Farle berambut keriting panjangnya lebih kurang 3 cm, tetapi kalau ditarik rambutnya bisa mencapai 6 cm. Nabai berambut keriting yang lebih panjang daripada rambut Farle. Rambut Nabai diikat ke belakang seperti ekor kuda. Keduanya berkulit hitam.

Farle dan Nabai sering bertingkah laku lucu. Jika tertawa di tempat agak gelap, mereka memperlihatkan giginya sambil kedua telunjuk ditaruh di setiap sudut bibir mereka. Mereka senang menakut-nakuti orang lain dengan cara melinting dua lembar daun dan meletakkannya di setiap sudut bibir layaknya seperti gigi taring.

Farle tertidur dalam posisi tertelungkup, sedangkan tertidur dalam posisi Nabai terlentang. Ia belum juga mengantuk karena siangnya cukup tidur. Udara begitu dingin malam itu. Angin kadang-kadang meniup kencang dedaunan yang ada di atas pohon. Ranting-ranting pohon bergerak-gerak.

Tiba-tiba ada ranting pohon yang jatuh di atas atap rumah. Farle dan Nabai tidak mendengar suara ranting pohon yang menimpa atap rumah. Mereka masih di posisinya masing-masing. Angin bertiup kembali dengan kencangnya. Kali ini, suara ranting yang jatuh ke atap rumah begitu keras suaranya. Suara itu pun tidak mengusik pendengaran Farle dan Nabai.

(28)

18

Tak lama kemudian, tiba-tiba ada seekor binatang meluncur dari pohon kelapa ke atap rumah dan jatuh tepat di depan pintu ruang tamu. Binatang itu berjalan menghampiri pintu, lalu menggaruk-garukkan kaki kanannya pada pintu ruang tamu. Pintu terbuka sedikit demi sedikit. Sebelum masuk, binatang itu mencium sesuatu. Binatang-binatang pelan-pelan merayap masuk ke dalam rumah. Ketika ia hendak masuk, sejenis jala yang digantung dekat pintu terjatuh.

Sejenis jala yang jatuh itu menimpa badan binatang. Tentu saja binatang itu terkejut. Ia lari tak tentu arah sambil badannya tertutup jala. Binatang itu menubruk segala sesuatu yang ada di depannya termasuk peralatan berburu yang di simpan di ruang tamu. Nabai terbangun ketika peralatan berburu berjatuhan.

Mata Nabai memperhatikan ruang sekelilingnya. Cahaya obor yang tidak begitu terang membuat Nabai penasaran, “Apa yang jatuh tadi e?” Nabai berdiri dan berjalan ke arah tumpukan peralatan. Satu persatu alat berburu dibenahi ke tempat semula. Ketika ia hendak memungut alat berburu yang kelima, binatang itu meloncat dan merayap menuju ke arah Farle tidur.

Posisi Fare masih tertelungkup. Ia berubah posisi menjadi miring ke kiri ketika ia merasa ada sesuatu menempel di badannya. Mata Nabai tertuju pada sesosok benda bergerak yang ada di samping Fare. Ia berjalan pelan-pelan ke arah Fare. Tak lama kemudian, Nabai menangkap benda bergerak sambil menubruk Fare, “Berhasil!” teriak Nabai.

Fare terkejut dan terbangun. Lalu, ia melihat Nabai sedang memeluk sejenis jala, “Heiii! apa yang kau peluk?”

“Bantu aku! …ada binatang dalam pelukanku! Keluarkan dari ikatan ini (sejenis jala),” perintah Nabai.

Fare berdiri. Lalu, ia melepaskan ikatan tubuh binatang. Setelah moncong binatang itu lepas dari ikatan sejenis jala, maka terlihat bahwa binatang itu adalah sejenis tupai besar yang suka melompat-lompat di atas pohon kelapa. Dengan senang hati, Nobai membawa binatang itu ke dalam dapur dan mengikat kakinya dengan tali dan diikatkan ke kaki bale-bale.

Kemudian, Nobai berjalan ke arah ruang tamu menghampiri Fare. Lalu, ia tidur di sebelahnya. Keduanya tidur dengan rapih tidak bergerak-gerak hingga ayam berkokok. Beberapa Lama kemudian, beberapa ayam jantan pun mulai berkokok membangunkan penduduk Kampung Merhaje.

(29)

4

Berburu di Hutan Lebat

Pagi harinya, keluarga Kakek Yaklep sudah bangun. Bonai dan Muraigil sedang asyik memperhatikan binatang sejenis tupai yang diikat di ruang dapur. Mata binatang itu seperti kelinci. Kakek Yaklep berjalan ke arah ruang tamu hendak membangunkan Fare dan Nobai. Namun nampaknya, kedua orang itu sudah tidak ada di tempat. Kakek Yaklep pun kembali ke ruang alat-alat perlengkapan berburu.

Ketika Kakek Yaklep berjalan lewat dapur, ia melihat kedua cucunya sedang mengelus-elus binatang sejenis tupai. “Heiiii… apa yang kalian lakukan dengan binatang itu? tanya Kakek dengan heran. Binatang itu menjauh dari kedua cucunya dan sedikit agak menyeringai.

“Binatang itu takut kepada Kakek,” jawab Muraigil.

“Mengapa takuuut, eee?” Kakek Yaklep bertanya kepada Muraigil sambil tangan kanannya mengelus-elus kepalanya.

“Karena Kakek Yaklep rambutnya putih dan kriting,” jawab Muraigil sambil tertawa.

“Kalian juga rambutnya kriting,” Kakek Yaklep berkata sambil geleng-geleng kepala. Muraigil pun tertawa sambil kepalanya geleng-geleng-geleng-geleng juga. Kakek Yaklep berjalan menjauhi kedua cucunya hendak mencari Fare dan Bonai sambil berteriak, “Yuhuuu! … Yuhuuu!” namun orang yang dicari oleh Kakek Yaklep tidak menjawab.

Fare dan Nobai sedang memanjat pohon kelapa. Tak lama kemudian, keduanya sudah ada di atas pohon kelapa. Mereka memetik kelapa dengan mudah dan menjatuhkannya ke bawah, “Bluuuk!... Bluuuk! Bluuuk!” suara buah kelapa jatuh sebanyak tiga kali. Lalu, “Bluuuk! … Bluuuk! Bluuuk! Bluuuk!” menyusul suara buah kelapa jatuh sebanyak empat kali.

(30)

20

Fare dan Nobai berjalan ke arah pohon kelapa lainnya. Setelah sampai pada pohon kelapa yang dimaksud Kakek Yaklep, mereka memanjat ke atas pohon kelapa dengan lincah. Sepuluh buah kelap telah dipetik oleh keduanya. Lalu, mereka turun dan memungut kelapa-kelapa yang ada di tanah dimasukkan ke dalam sejenis karung tadi.

Mereka memasukkan karung yang berisi buah kelapa ke dalam gerobak kayu. Lalu, mereka mendorongnya ke halaman dekat dapur diikuti oleh Kakek Yaklep. Setelah sampai, Fare mengangkat karung ke dalam dapur. Buah kelapa akan dibawa berburu ke dalam hutan untuk perbekalan.

Marie Kerey sedang sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawa berburu ke hutan. Bonai dan Muraigil sibuk dengan binatang tupai. Kongwara dan kakek Yaklep sedang menghitung peralatan yang akan dibawa berburu. Sedangkan Fare dan Nobai sibuk mengikat peralatan. Setelah mereka selesai, mereka menyantap makanan yang dimasak oleh Marey Kerey.

Tak lama kemudian, banyak tamu datang ke rumah Kakek Yaklep. Mereka akan berburu ke hutan lebat lengkap dengan peralatan berburunya. Kongwara memeriksa peralatan, perbekalan, dan perlengkapan lainnya. Bonai bertanya kepada Kakek Yaklep,” Kakek, bolehkah Bonai ikut berburu?” . “Boleh, tetapi nanti kalau kamu sudah besar ,ya Cucu Kakek yang pintar.”

“Mengapa harus nunggu Bonai besar, Kek?”

‘Karena mereka berburu ke hutan yang paling dalam banyak binatang buasnya.”

Bonai menganggukan kepala pertanda ia mengerti yang dimaksud oleh Kakeknya.

Sebelum sinar matahari naik. Mereka berdoa untuk keselamatan berburu. “Wahai masyarakatku yang aku cintai yang hendak mengikuti perjalanan ke hutan, marilah kita berdoa bersama demi keselamatan kita. Berdoa mulai ….” Setelah selesai, iring-iringan Konggwara keluar rumah menuju ke bukit yang berhutan lebat.

(31)

Di bukit yang kedua, rombongan Kongwara bertemu dengan rombongan Nappu. Mereka juga akan berburu ke hutan lebat. Pengikut Kongwara membungkukkan badan pertanda memberi hormat kepada Nappu. Nappu membalasnya dengan tangan diangkat kedepan sambil tersenyum.

Selanjutnya, mereka bersama-sama menuju ke hutan. Namun sebelum memasuki hutan lebat, mereka beristirahat sejenak sambil menikmati perbekalan yang ada. Mereka manyantap makanan dengan lahap. Tidak semua perbekalan dimakan. Perbekalan dimakan separuhnya. Sedangkan separuhnya lagi dimakan untuk pulang. Setelah mereka selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju hutan lebat dibagi dua rombongan, yaitu Kongwara masuk melalui arah barat dan Nappu masuk melalui arah timur. Bukit pepohonan hutan lebat telah dihadapan mata, suasana terang benderang mulai agak gelap karena cahaya matahari tidak dapat menembus hutan yang dihalangi oleh pepohonan. Mereka masing-masing menyalakan obor sebagai penerangan hutan. Suasana mulai sejuk dan penuh dengan suara serangga bersahutan.

Pada awalnya, hutan menyambut dengan ramah. Namun, ketika beberapa langkah setelah itu, terlihat ada serangan ular yang terinjak oleh pengikut Kongwara. Ular menggeliat badannya dan menyerang orang yang menginjak ekornya. Orang tersebut terkejut dan melompat ke depan sambil berteriak. Kongwara yang berjalan di depannya terkejut dan menoleh ke belakang.

Kongwara berlari ke tempat orang yang berteriak. Ia memegang parang panjang dan memegang pisau. Dengan gerak cekatan, ia memperhatikan ular tersebut dan menebas kepala ular dengan cepat. Ular itu tidak begitu besar hanya sebesar pergelangan tangan, berwarna hijau, dan panjangnya lebih kurang dua meteran. Ular pun menggelepar-gelepar dan mati.

Orang yang menjadi sasaran ular menahan napas dan mukanya pucat, ia mengambil ular yang sudah mati dan memasukkannya ke dalam karung. Perjuangan awal hendak memasuki hutan lebat pertanda sesuatu akan terjadi.

(32)

22

Beberapa burung menampakkan dirinya di antara ranting-ranting pohon yang tinggi secara berpasangan. Kongwara dan rombongannya berhenti sejenak. Ia mulai mengambil busur dan anak panahnya. Anak panah tersebut diarahkan ke atas menuju burung. Sekilah busur melepaskan anak panahnya dengan cepat dan mengenai sasaran. Burung terjatuh dan diambil oleh rombongan Kongwara..

Rombongan Nappu sudah mendapat buruan babi dan burung. Mereka melanjutkan perjalanan. Rombongan Nappu banyak yang terjatuh karena terkait akar pohon yang tertutup oleh pepohonan yang menjalar ke jalan setapak. Tiba-tiba ada sekelompok pohon bergerak-gerak daunnya padahal tidak ada angin. Mereka diam sambil bertanya-tanya ada apa di balik dedaunan itu.

Tiba-tiba sekelompok dedaunan itu berhenti tidak bergerak. Namun, muncul gerakan dedaunan lainnya beberapa meter dari gerakan pertama. Mata mereka tetap mengawasi gerakan kedua. Bulu kuduk mereka mulai merinding. Suasana mencekam. Mereka percaya ada makhluk lain penjaga hutan yang tidak bisa dilihat oleh mata, tetapi bisa dirasakan kedatangannya.

Mereka berdoa, lalu melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa lama, mereka tidak menemui sasaran. Kemudian , mereka melihat tanda-tanda daun bergerak lagi. Gerakannya lebih cepat berganti dari dedaunan yang satu ke dedaunan lainnya. Kali ini gerakan dedaunan terlihat oleh rombongan Nappu karena terdapat celah lorong yang memberi kesempatan matahari bisa sedikit menyinari tempat itu.

Sepasang tupai besar sedang berkejar-kejaran melompati dahan dan ranting. Nappu membidikkan anak panahnya ke arah tupai yang besar. Bidikan Nappu melesat tidak mengenai sasaran. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.

(33)
(34)

24

Rombongan Kongwara telah mendapat hasil buruan dengan jumlah banyak, yaitu ular tiga ekor, babi dua ekor, burung kuning dua ekor, dan Kaswari dua ekor. Karena lelahnya, rombongan Kongwara beristirahat sejenak di atas batu yang sedikit disinari matahari. Lalu, mereka berbalik arah hendak pulang. Setelah beberapa lamanya, mereka sudah keluar dari hutan lebat. Mereka menunggu kedatangan rombongan Nappu di luar hutan lebat.

Tak lama kemudian, muncul rombongan Nappu keluar dari hutan lebat. Mereka tampak membawa babi hutan tiga ekor, burung Kaswari dua ekor, Tupai dua ekor, dan ular satu ekor.

Setelah kedua rombongan Nappu dan rombongan Kongwara bertemu, mereka istirahat sambil menikmati makanan yang dibawa mereka masing-masing. Waktu istirahat cukup lama. Tak tahu beberapa menit kemudian, mereka meneruskan perjalanan menuju rumahnya masing-masing.

(35)

5

Iri Hati Seorang Adik

Malam berganti pagi dan matahari mulai menampakkan sinarnya. Kegiatan penduduk Merjahe bagian Barat berjalan seperti biasanya. Mereka berlalu-lalang melewati rumah Kakek Yaklep.

Bonai dan Muraigil bangun lebih pagi dari Kakeknya. Mereka sudah ada di atas bale-bale dapur dengan mainannya. Marie Kerey memperhatikan kedua anaknya ketika ia sedang memasak sayur.

Kegiatan keluarga Kakek Yaklep pun berjalan seperti biasanya. Kongwara sibuk dengan urusan sebagai Kepala Kampung Merhaje bagian Barat. Begitu pula Nappu sibuk dengan urusan sebagai Kepala Kampung Merhaje bagian Timur.

Kakek Yaklep berjalan keluar rumah sambil tangannya menutup pintu, “kreeeek” bunyi daun pintu mengilukan telinga. Di belakangnya, Bonai dan Muraigil mengikuti langkah Kakeknya sambil berjinjit. Kakek Yaklep berlari-lari kecil mengelilingi kebun belakang rumahnya. Bonai dan Muragil mengikuti Kakeknya dari belakang. Mereka sesekali berhenti sambil mengatur napas.

Setelah Kakek Yaklep, Bonai, dan Muragil selesai berlari-lari kecil, mereka duduk sebentar di atas batu besar dekat kolam, halaman belakang. Kemudian, mereka mandi dan berganti pakaian. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Ibu Kongwara sibuk membakar singkong dan ubi, serta memasak sayuran.

Kakek Yaklep mengambil lima ekor ikan telaga pemberian tetangganya. Ikan beralaskan dedaunan dibersihkan sisiknya dengan pisau. Lalu, isi perutnya dibuang. Ikan dicuci hingga bersih dan ditaburi garam sedikit. Kemudian, ikan dibakar di atas tumpukan kayu bakar yang ada batunya. Batu di atas kayu pun mulai memanas. Ikan dibolak-balik hingga matang.

Bonai dan Muraigil memegang perutnya sambil hidungnya menghisap wangi ikan bakar. “Kita makan ikan eee,” bisik Kakek Yaklep ke telinga cucu-cucunya. Setelah itu, Bonai dan Muraigil berjalan menuju ke dalam rumah dengan diikuti langkah Kakek Yaklep sambil membawa ikan bakar.

(36)

26

Kakek Yaklep menyimpan ikan bakar di sebelah makanan itu. Tak seberapa lama, Keluarga Kakek sudah siap akan menyantap makanan tersebut. Para lelaki duduk sila di atas bale-bale, sedangkan Ibu Kongwara dan Muraigil duduk manis di samping mereka. Mereka makan dengan lahapnya. Setelah mereka selesai makan. Ibu Kongwara membersihkan sisa makanan.

Lalu, mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Kakek Yaklep mengajak cucunya keluar rumah. Mereka menyapu halaman depan dan halaman belakang yang penuh dengan dedaunan kering. Dedaunan dikumpulkan oleh kedua cucunya dengan susah payah di pojok pekarangan.

Dedaunan kering itu pun dibakar oleh Kakek Yaklep. Asap mulai mengepul ke angkasa. Bonai dan Muraigil bertepuk tangan kegirangan melihat asap tersebut. Kakek Yaklep tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah laku kedua cucunya. Sesekali kedua cucunya terbatuk-batuk. “Jangan terlalu dekat dengan asap,” larang kakek Yaklep. Mereka pun menjauh sambil menutup hidung.

Dedaunan sudah habis terbakar. Kakek menyiram sisa bakaran dengan air supaya ia yakin bahwa sisa bakaran tidak akan menyala lagi. Kedua cucunya mengikuti ke mana arah Kakek Yaklep berjalan. Setelah mencuci tangan, Kakek Yaklep, Bonai, dan Muraigil masuk ke dalam rumah. Kedua cucunya langsung naik ke atas bale-bale yang ada di ruang dapur. Lalu, mereka merebahkan diri hingga tertidur.

Hari sudah mulai sore, cuaca tidak begitu baik. Awan abu-abu kehitaman menggelayut berat di atas langit. Angin begitu kencang meniup pepohonan sekitar rumah Kakek Yaklep. Anak-anak sekitarnya berada di dalam rumah. Mereka biasanya tidak diperbolehkan keluar rumah. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya. Bonai dan Muraigil melihat pemandangan itu di balik jendela dapur.

Tanah Kampung Merhaje basah disiram hujan. Dedaunan terlihat hijau digelayuti titik-titik air yang menetes dari daun lainnya. Udara terasa segar saat itu. Bonai dan Muraigil menunggu saat-saat hujan berhenti. Namun, hujan masih mengguyur tanah Kampung Merhaje.

“Kakek, boleh Bonai dan Muraigil keluar menyambut hujan?”

Kakek Yaklep berpikir sejenak. Lalu, “Boleeeh, tapiii… Ibumu marah nanti.” “Bagaimana kalau Kakek ikut Bonai supaya Ibu tidak marah?” Bonai berkata sambil tersenyum.

(37)

Bonai dan Muraigil tertawa dengan senangnya karena Kakek akan mengikuti keduanya bermain air hujan. Dengan langkah pelan, ketiganya keluar melalui dapur dan bermain air hujan. Kedua tangan Kakek Yaklep dibentangkan ke atas sambil wajahnya melihat ke langit. Kedua cucunya mengikuti ulah Kakek Yaklep. Mereka menggosok-gosokan badannya dengan kedua tangan mereka. Seolah-olah sedang mandi.

Baru berlangsung beberapa menit. Marie Kerey berjalan menuju jendela hendak menutupnya, tetapi ia terkejut melihat Kakek Yaklep, Bonai, dan Muraigil sedang hujan-hujanan, “ Ooiiii! … Pak! … Paaak! … masuuuk!”

Kakek Yaklep menengok ke arah suara yang sedang memanggil-manggil. Lalu, ia mengajak kedua cucunya masuk ke rumah melalui pintu dapur. Marie Kerey menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Bapaknya, “Paaak, bagaimana kalo anak-anak sakit?”

“Biarkan mereka senang menikmati air hujan yang langsung jatuh dari langit. Mereka kuat diterpa hujan eee…”

Bonai dan Muraigil tertawa cekikikan sambil memeluk Ibunya. Kedua anak tersebut dikeringkan badannya dengan daun yang ada di dapur. Setelah itu, Kakek menumbuk dedaunan berupa ramuan. Lalu, ramuan itu dioleskan ke seluruh tubuh mereka oleh Ibunya.

Setelah Kakek Yaklep mengeringkan badannya. Ia duduk di dekat tungku hangat diikuti kedua cucunya sambil menikmati singkong bakar. Hari mulai gelap. Hujan telah reda. Dalam kesunyian itu, suara kodok bersahutan. Mereka menyambut hujan dengan senang. Sore pun menjadi malam. Masyarakat Kampung Merhaje menikmati suasana malam dengan tidur nyenyak.

Beberapa hari yang lalu, ketika Kongwara dan Nappu berburu burung kuning di hutan, mereka sepakat akan mengadakan perlombaan membuat perhiasan adat yang menyerupai burung Cenderawasih. Apabila sudah selesai, perhiasan adat itu akan dipertunjukan pada pesta adat. Kongwara dan Nappu sibuk akan menghadapi kegiatan itu.

(38)

28

Berita telah dibuat rumah tinggi oleh Kongwara terdengar oleh Nappu. Kemudian Nappu berniat untuk melihat kebenaran berita itu. Setelah Nappu tiba di rumah tinggi, Ia tertegun melihat rumah yang dibuat oleh Kongwara. Ia merasa penasaran dengan rumah tinggi itu. Ia pun kembali ke rumahnya.

Pagi hari ketika cuaca tidak terlalu panas, Nappu menyuruh seseorang pergi ke rumah tinggi untuk mengintip apa yang ada di dalam rumah itu. Pesuruh menerima tugas Nappu. Dengan berbekal air dan beberapa makanan, ia pergi menuju rumah tinggi. Jarak tempat Nappu ke rumah tinggi lumayan jauh.

Pesuruh Nappu melaksanakan tugasnya. Ia berjalan menuju ke rumah tinggi. Tak lama kemudian, ia tiba di tempat sasaran. Ia memandangi rumah tinggi. Matanya memperhatikan suasana sekeliling rumah itu. Lalu, ia mengendap-endap secara perlahan naik ke tangga rumah. Sesampainya di atas, ia mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Kongwara melalui celah-celah dinding rumah.

Pesuruh Nappu terkejut dan tertegun begitu melihat perhiasan Kongwara hampir selesai dan hasilnya lebih bagus dari perhiasan yang dibuat oleh Nappu. Ia cepat-cepat menuruni anak tangga dengan hati-hati sambil mengendap-endap agar orang lain tidak ada yang melihatnya.

Ketika Pesuruh akan menginjakkan kakinya ke tangga nomor lima dari bawah. Ia melihat Ibu Kongwara berjalan ke arah rumah tinggi dengan membawa makanan. Ia terjatuh dan melarikan diri ke arah balik pohon besar. Di balik pohon itu, ia memegangi dadanya yang sedang berdebar-debar. Ia perhatikan Ibu Kongwara menaiki tangga satu persatu hingga ke atas. Setelah ia merasa tenang, ia pulang menghadap Nappu.

Pesuruh Nappu berjalan dengan gontai. Ia masih terbayang ketika melihat

Ibu Kongwara datang ke rumah tinggi, “Apakah Ibu Kongwara melihat saya? Jangan-jangan ia melihat saya, ya?” pertanyaan itu mengganggu pikirannya.

(39)

Sesampainya di rumah Nappu, Pesuruh itu melaporkan apa yang telah ia lihat. Nappu tertegun sejenak sambil mengaguk-anggukan kepalanya. Ia merasa iri dengan keunggulan Kongwara. Timbullah niat jahat kepada kakaknya. Ia merencanakan akan merusak perhiasan Kongwara.

“Apakah ada orang lain melihatmu ketika kamu ada di sana?”

“Justru itu Pak Nappu … saya terjatuh dari tangga ketika saya melihat Ibu Kongwara datang.”

“Apakah dia melihatmu? Itu pertanyaan saya?”

“Dia tidak melihat saya karena ia tetap berjalan sambil menunduk ke bawah.”

“Setelah terjatuh, bagaimana selanjutnya?”

“Saya lari menuju pohon besar dan mengintipnya dari sana. Setelah Ibu Kongwara naik tangga, saya berlari pulang.”

Kepala Nappu mengangguk-agguk sebanyak tiga kali sambil memikirkan sesuatu, “Ya sudah. Silakan pulang,” Nappu menyuruh pesuruhnya pulang. Maka, pesuruh itu pulang ke rumahnya.

(40)
(41)

6

S

ayembara

P

esta

A

dat Membawa Petaka

Diceritakanlah di suatu tempat, Kampung Feep namanya. Masyarakat kampung itu selalu bergotong royong jika ada tetangga yang sedang mengadakan acara. Saat itu, Kepala Kampung Suku Feep sedang sibuk mempersiapkan pesta perkawinan. Ia akan merayakan pesta perkawinan anaknya dan mengundang kepala-kepala suku Merhaje. Kongwara diundang untuk menghadiri pesta perkawinan selama dua hari dua malam dengan meriah.

Kongwara menyambut gembira undangan dari Kepala Kampung Suku Feep. Ia berniat hendak menghadiri pesta perkawinan tersebut. Kongwara pamit pada Ibu dan Kakeknya untuk menghadiri pesta perkawinan anak Kepala Suku Kampung Feep. Namun, sebelum Kongwara berangkat ke tempat tujuan, ia berpesan kepada Ibunya untuk menjaga rumah tinggi dan melarang siapa pun memasuki rumah itu.

Kongwara merasa sesuatu yang tidak menggembirakan akan terjadi. Semula, ia akan membatalkan niatnya pergi ke Kampung Feep. Karena desakan Ibunya, ia pun pergi ke kampung tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, Kongwara berangkat ke tempat perkawinan anak Kepala Suku Kampung Feep dengan berjalan kaki.

Sementara itu, Ibu Kongwara, Marie Kerey, menceritakan kepada Bapaknya bahwa ia dimintai tolong oleh Kongwara untuk menjaga rumah tinggi. Kakek Yaklep menyetujuinya dan menyuruh anaknya untuk menunggu rumah tinggi bersama kedua anaknya. Malam itu, Marie Kerey memasak makanan seadanya untuk dibawa ke rumah tinggi selama dua hari.

Perbekalan untuk perjalanan menuju rumah tinggi sudah dipersiapkan. Bonai dan Muraigil sudah mengetahuinya. Mereka dengan senang akan pergi sambil membawa mainannya. Keesokan paginya, mereka bertiga berjalan menelusuri jalan setapak menuju rumah tinggi. Sesekali mereka istirahat di bawah pohon besar karena Muraigil agak rewel belum pernah jalan sejauh itu. Tak seberapa lamanya, mereka pun tiba di rumah tinggi.

(42)

32

Siang itu, Kakek Yaklep menengok kedua cucunya. Mereka senang melihat kedatangan Kakek Yaklep. Mereka bermain kuda-kudaan. Namun, ketika Marie Kerey melihat Bapaknya kelelahan, “Heiii! … jangan naik ke punggung Kakek, kasihan.”

Kakek Yaklep tertawa gembira melihat cucu-cucunya bisa terhibur dengan permainannya. Kali ini, Kakek Yaklep menyuruh kedua cucunya menghitung luas ruangan dengan telapak kaki mereka. Mereka menghitung luas ruangan dengan melangkahkan kedua kakinya setapak demi setapak, kaki kiri bergantian dengan kaki kanan sambil mulutnya menghitung angka. “Satu, dua, tiga, empat … sepuluh …” dan seterusnya.

Hari sudah mulai sore, Kakek Yaklep kembali ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia merebahkan diri di atas bale-bale. Kemudian, ia mandi. Setelah itu, ia makan makanan yang dimasak oleh anaknya. Lalu, ia melamun. Kadang ia berjalan mengelilingi ruangan sambil pikirannya melayang pada kedua cucunya, “Sepiiiii… tidak ada canda cucuku eee …” matanya berkaca-kaca.

Hari pun mulai malam, Kakek Yaklep menutup jendela-jendela yang masih terbuka. Seperti biasanya, ia menyalakan obor-obor untuk penerang ruangan dan penerang halaman. Ketika ia akan menutup pintu, seseorang datang mengirim makanan. Kakek Yaklep selalu dikirim makanan oleh tetangganya semenjak ia ditinggal oleh Marie kerey.

Ketika malam tiba, Kakek Yaklep merebahkan dirinya di atas bale-bale. Sebelum tidur, mulutnya komat-kamit seperti orang yang sedang berdoa. Tak lama kemudian, Ia pun tertidur dengan pulas, “Zzzz …zzzz …zzzz!” napasnya turun naik.

Ketika itu, dua ekor cecak sedang berkejaran di dinding kayu kamar Kakek Yaklep. Mereka memperebutkan seekor nyamuk. Salah satu di antaranya kalah, ”Jika kamu berani, tuh ada nyamuk gemuk di atas tangan Kakek.”

Seekor nyamuk lainnya menjawab, “Kamu bisa lihat ada nyamuk di atas tangannya? Padahal jarak kita dengannya berjauhan.”

“Bisa sajaaa … tangan Kakek sedang menggaruk-garuk tangan kirinya, itu artinya ada seekor nyamuk hinggap di atas tangan kirinya.”

(43)

Keesokan harinya, Nappu mendengar berita kepergian Kongwara ke tempat pesta perkawinan. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Kemudian, pada malam harinya, Nappu hendak berbuat sesuatu. Ia pergi ke rumah tinggi secara diam-diam.

Sesampainya di rumah tinggi, Nappu membakar rumah itu tanpa mengetahui bahwa Ibu dan kedua adiknya ada di dalamnya. Secara perlahan api merambat ke atas rumah. Namun, sebelum api sempat merambat ke atas rumah, Ibu Kongwara mencium bau kebakaran.

Lalu, Ibu Kongwara melihat ke bawah. Dengan cepat, ia meraih tangan-tangan kedua anaknya dan menyuruh kedua anaknya untuk turun melalui akar rotan yang sudah dipersiapkan oleh Kongwara jika sesuatu terjadi. Kedua anaknya menangis karena tidak berani turun melalui akar rotan. Ketinggian rumah itu sekitar 12 meter.

Dengan tidak berpikir panjang, Marie Kerey menggendong Muraigil di atas punggungnya. Kemudian, ia menyuruh Bonai turun mengikutinya melalui akar rotan yang menggantung dekat tangga. Peristiwa itu tidak akan terlupakan oleh ketiganya.

Marie Kerey, Bonai, dan Muraigil meluncur dari atas melalui akar rotan menghampiri kobaran api. Wooow! perjuangan seorang ibu menyelamatkan kedua anaknya. Mereka lompat dan selamat dari mala petaka. Secara samar-samar Marie Kerey melihat sesosok tubuh seperti Nappu dalam kegelapan. Namun, Nappu tidak melihat mereka karena terhalang kepulan asap.

Dari balik pohon besar, Marie Kerey, Bonai, dan Muraigil menyaksikan detik-detik rumah tinggi runtuh. Mereka menangis, tetapi di tempat yang tidak jauh dari reruntuhan rumah tinggi itu, terdengar suara seseorang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Siapakah dia?

Ibu Kongwara dan kedua anaknya berlari menjauhkan diri dari peristiwa itu. Mereka menyelamatkan diri hingga sampai di sebuah rawa di sebelah utara Pegunungan Skow Yambe. Mereka beristirahat hingga hari mulai terang di daerah itu. Akhirnya, mereka menetap di tempat itu.

(44)

34

Berita tentang terbakarnya rumah tinggi terdengar oleh Kongwara. Padahal pada saat itu, Kongwara masih ada di tempat pesta. Timbul amarah di dalam hatinya dan wajahnya memerah, “Ini pasti ada faktor kesengajaan. Siapa yang sudah berani melakukan hal ini? Pesuruh Nappu kah? Atau Nappu sendiri yang melakukannya?” Mengapa Kongwara menebak kelakuan adiknya? Karena ketidaksukaan adiknya terhadap Kongwara sudah dirasakan semenjak dia membangun rumah tinggi.

Kongwara mohon diri kepada Kepala Kampung Feep untuk pulang dan ia pun kembali ke Kampung Merhaje. Setibanya di rumah tinggi, Kongwara melihat rumah tinggi dan isinya telah terbakar. Musnah harapannya untuk memenangkan sayembara perhiasan adat berbentuk burung Cenderawasih yang akan diperlihatkan pada pesta adat.

Kongwara pulang ke rumah Ibunya. Namun, sesampainya di tempat itu, Ia tidak menemui Ibu dan kedua adiknya. Kakek Yaklep juga tidak mengetahui keberadaan anak dan kedua cucunya.

Kongwara dan Kakek Yaklep bingung hendak mencari keberadaan Ibunya dan kedua adiknya. Seandainya ada di rumah tinggi, akan ditemukan jasad ketiga orang tersebut, tetapi di tempat itu tidak ada jasad yang ditemukan. Mereka termenung sedih. Para tetangganya berdatangan ke rumah Kakek Yaklep untuk mengetahui peristiwa itu. Mereka merasa sedih atas kejadian itu.

Keesokan harinya, seseorang datang ke rumah Kakek Yaklep. Orang itu adalah utusan Marie Kerey. Ia mengatakan bahwa Ibunya dan kedua adiknya menyelamatkan diri dan menetap di sebelah Utara Pegunungan Skow Yambe. Kakek Yaklep dan Kongwara senang mendengar berita tentang keberadaan mereka. Ia menceritakan peristiwa rumah tinggi.

Kongwara tidak dapat menahan amarahnya setelah mendengar cerita dari pesuruh Ibunya. Lalu, Kakek Yaklep berkata, “Orang yang telah melakukan peristiwa itu adalah adikmu sendiri, Nappu. Kakek tidak mengerti mengapa Ia berbuat demikian.”

Amarah Kongwara bertambah. Pada saat itulah, ia berkata bahwa ia tidak ingin mengenal Nappu lagi. Nappu sebagai adiknya dulu … kini ia menjadi musuh. Kakek Yaklep memberi nasihat kepada Kongwara, “Nak,… jangan kamu bernafsu demikian eee. Dia adalah adikmu. Mana kasih sayangmu terhadap adik?”

(45)

“Naaak… itu merupakan musibah yang tidak bisa kita atasi. Hadapi semua cobaan hidup. Perhiasan adat itu bisa dibuat lagi.”

“Memang benar, Pak, tapi waktu sayembara tinggal beberapa hari lagi.” Kakek Yaklep mengangguk-anggukan kepalanya pertanda bahwa ia mengerti apa yang dimaksud oleh Kongwara. Kakek Yaklep beranjak dari duduknya berjalan menuju arah dapur. Tak lama kemudian, ia muncul dengan membawa 3 minuman hangat dalam batok kelapa. “Ayo diminum,” Kakek Yaklep menyuruh orang yang berada di ruang itu.

Setelah mereka selesai berbicara, Pesuruh Marie Kerey mengantar Kongwara dan Kakek Yaklep untuk menemui Marie Kerey dan kedua anaknya. Sesampainya di daerah utara Pegunungan Skow Yambe, mereka bertemu dengan orang yang disayang. Mereka saling berpelukan.

Mereka masuk ke dalam rumah seorang penduduk daerah itu. Kakek Yaklep dan Kongwara mendengar peristiwa rumah tinggi dari Marie Kerey. Kemudian, mereka berbincang-bincang. Kongwara menyatakan kemarahannya terhadap adiknya kepada ibunya. Ibu Kongwara dan Kakek Yaklep menjadi sedih. Mereka rindu kasih sayang Kongwara dan Nappu seperti dulu.

Lalu, Kongwara dan Kakek Yaklep pulang ke Kampung Merhaje. Di Kampung Merhaje, Ia mengumpulkan peralatan berburu dan sedikit harta bendanya karena harta benda lainnya telah terbakar di rumah tinggi. Kongwara menginap di rumah Kakek Yaklep hanya beberapa hari saja karena jika ia lama di tempat itu, ia teringat perbuatan adiknya.

Kakek Yaklep memberi petuah dan pesan kepada Kongwara untuk tetap baik pada adiknya dan bisa menahan amarah. Selain itu, Kakek Yaklep menyarankan agar Kongwara bisa memaafkan perbuatan adiknya, Nappu. Apapun yang terjadi adalah kehendak yang menciptakan bumi dan langit. Manusia hanya bisa berkehendak sedangkan yang mengatur adalah Sang Pencipta bumi dan langit..

Sebenarnya, dalam hati Kongwara yang paling dalam, ia merasa berat hati untuk meninggalkan Kakeknya dan ia tidak ingin terjadi perpisahan keluarga yang dulu terlihat rukun dan damai, tetapi perasaannya tidak dapat disembunyikan. Sepertinya tidak ada kata maaf untuk adik yang telah memusnahkan harapannya.

(46)
(47)

Namun, sebelum keberangkatannya menuju tempat tujuan, Kongwara mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan mengutarakan keinginannya akan meninggalkan Kampung Merhaje bagian Barat.

Masyarakat setempat tampak sedih karena tidak akan bisa lagi berburu dengan Kongwara. Selain itu, Kongwara sangat bijaksana dan adil dalam memimpin masyarakatnya. Di antaranya ada pesuruh Kongwara berbadan gemuk yang menangis sambil mengusap air matanya. Ia adalah seorang yang selalu mengikuti Kongwara ke mana pun ia berburu.

Satu per satu masyarakat setempat meninggalkan rumah Kakek Yaklep sambil bersalaman dan memeluk Kongwara. Malam harinya, Kongwara tidak bisa memejamkan matanya karena teringat semua peristiwa yang pernah terjadi bersama Nappu di rumah Kakeknya. Mereka saling menyayangi. Namun, Air matanya menetes mengingat peristiwa rumah tinggi. Kongwara ingin melupakan peristiwa itu, tapi tidak bisa.

Malam itu, Kongwara belum bisa tidur. Lalu, ia membangunkan Kakeknya karena ia akan segera pergi. Tak lama kemudian, Kongwara pergi setelah pamit pada Kakek Yaklep. Kakek Yaklep melepas kepergian Kongwara di beranda rumahnya. Ia belum beranjak dari tempat berdirinya sebelum obor Kongwara menghilang dari pandangannya.

Kakek Yaklep masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Situasinya menjadi sepi. Semua cucunya dan anaknya tidak ada di rumah itu lagi. Ia merindukan kemanjaan Bonai dan Muraigil. Semangat hidupnya bertambah saat ia mengingat kedua cucunya, ia tersenyum sendiri mengingat ulah kedua cucunya. Lalu, “Semaaangat eee...!”

Kakek Yaklep tersadar bahwa malam itu sudah larut. Ia memasuki kamar tidurnya. Lalu, ia pun tidur. Sementara di luar sana, terdengar suara binatang malam yang bersahutan. Sang kodok sibuk melantunkan nyanyiannya karena hari tadi sempat hujan. Sementara itu, seekor burung hantu berbunyi, “Kuuukukuk… kuuukukuk,” sambil memperhatikan dua ekor tikus yang sedang berkejar-kejaran.

(48)
(49)

7

Rakyat Merhaje Berpisah

Pagi telah tiba. Seperti biasanya, masyarakat Kampung Merhaje melaksanakan kegiatan sehari-hari, ada yang menjual hasil kebunnya ke pasar, ada yang pergi ke laut mencari ikan, dan sebagainya. Kakek Yaklep menyapu dedaunan di seluruh halaman rumahnya dengan dibantu oleh pesuruh Kongwara. Dedaunan yang kering dikumpulkan oleh pesuruh Kongwara di pojok halaman kebun.

Pagi itu, seorang perempuan mengirim makanan singkong bakar yang masih hangat. Pesuruh Kongwara menerima makanan. Lalu, makanan itu disimpan olehnya di atas batu besar dekat kolam. Mereka menyantap makanan bersama. Sisanya disimpan di dapur oleh kakek Yaklep. Ia berjalan masuk ke dalam dapur hendak mengambil minum. Sedangkan Pesuruh Kongwara pulang ke rumahnya.

Kakek Yaklep merebahkan diri di atas bale-bale kayu beralaskan tikar rotan sambil pikirannya melayang ke peristiwa dulu yang pernah terjadi di rumah itu. Lalu, Ia tertidur lama hingga sore hari. Matanya terbuka ketika ia mendengar anak-anak ramai bermain di samping rumahnya.

Kakek Yaklep bangun dari tidurnya dan duduk di samping bale-bale. Beberapa menit kemudian, ia berjalan menuju ke arah jendela dan ia berhenti tepat di depan jendela. Ia melihat anak-anak yang sedang bermain.

Di masa-masa yang sepi itu, Kakek Yaklep teringat kedua cucunya yang suka mengikuti kemana pun ia berjalan. Ia termenung sejenak. Matanya berkaca-kaca ketika mengenang peristiwa keluarganya.

Kakek Yaklep melihat ke arah kelompok anak yang pernah menertawakannya. Ia berjalan dengan terburu-buru ke arah lemari dan mengambil singkong bakar. Singkong bakar ditekan-tekan dengan pisau hingga empuk dan dibentuk bulat sedang sebesar lingkaran jari jempol tangan yang disatukan dengan jari telunjuk.

Apa yang hendak diperbuat oleh Kakek Yaklep? Singkong bakar yang sudah dibentuk dimasukan ke dalam mulutnya dan ditaruh di pipi sebelah kiri. Setelah itu, ia berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke luar rumah seperti ada yang hendak ia kejar.

(50)

40

“Hahahahaha!…hahahahaha!...Semula pipi kanan Kakek lebih besar daripada pipi kiri, tapi sekarang pipi kiri lebih besar daripada pipi kanan. Disengat tawon hutan eee?”

Ternyata Kakek Yaklep memamerkan pipinya yang masih bengkak agar terlihat sama besar, padahal sumpalan singkong bakar tadi tidak sama besarnya dengan bengkaknya pipi kanan. Lucu! Kakek Yaklep jadi tertawaan anak-anak. Ia tersenyum sendiri dalam hatinya sambil lari ke dalam rumah, “Hahahahaha… ulahku menambah senyuman mereka. Saya suka daripada sedih dan sepiii.”

Ketika sampai di dalam rumah, Kakek Yaklep melihat Pesuruh Kongwara sudah duduk di atas bale-bale kayu. “Ada apa, Bapak? sakit gigi? Kata orang harus berkumur dengan air garam, tapi pasti asiiin eee...”

“Tidak perlu itu, ” Kakek Yaklep menolaknya.

“Kata orang air garam mengurangi sakit gigi eee…”

Setelah mendengar perkataan Pesuruh Kongwara yang isinya “Kata orang... kata orang”, Kakek Yaklep berjalan keluar meninggalkan orang yang sedang membuat anak panah. Ia termenung sesaat sambil membuang makanan dari mulutnya dan berjalan menuju ke arah dapur.

Kegiatan masyarakat Kampung Merhaje bagian Barat tidak seramai ketika ada Kongwara. Demikian juga kegiatan anak-anak tidak seramai ketika Bonai dan Muraigil ada. Pada waktu itu, mereka sering berburu. Masyarakat Kampung Merhaje menyukai Kongwara. Mereka selalu ikut berburu jika Kongwara menyempatkan waktunya untuk berburu. Mereka merasa kehilangan seorang pemimpin yang bijaksana.

Sudah berkali-kali masyarakat Kampung Merhaje mengupayakan untuk mencari pengganti Kongwara. Beberapa nama orang dikemukakan kepada Kakek Yaklep untuk dipilih mana yang cocok sebagai ganti Kongwara. Namun, sampai saat ini Kakek Yaklep belum mendapat calon pengganti Kongwara dengan tepat. Akhirnya, mereka mulai berpikir ada kehidupan baru yang dapat mengubah hidup mereka lebih baik lagi.

Masyarakat Kampung Merhaje menjadi berkelompok-kelompok. Mereka mempunyai calon masing-masing untuk menggantikan Kongwara. Namun, calon tersebut selalu ditolak Kakek Yaklep berdasarkan penilaiannya.

(51)
(52)

42

Maka pada suatu sore, Kakek Yaklep mengadakan pertemuan masyarakat di rumahnya. Masyarakat sekitar banyak yang datang hingga ada orang yang duduk-duduk di halaman luar karena tidak bisa masuk ke dalam ruang pertemuan.

Para wanita paruh baya dan yang masih muda membantu Kakek Yaklep membuat makanan dan minuman untuk dihidangkan kepada para tamu. Hingga hari hampir gelap, pembicaraan mereka belum juga selesai. Pertemuan menjadi seru ketika ada beberapa orang yang tidak setuju dengan dipilihnya nama seseorang.

Pada intinya, mereka ingin kehidupan yang lebih baik dan mereka tidak ingin ada permusuhan karena mereka merasa satu saudara. Kakek Yaklep menerima keinginan mereka dan ia akan berusaha secepat mungkin menyatukan kembali masyarakat yang sudah membentuk kelompok masing-masing.

Obor di simpan oleh pesuruh Kongwara di setiap pojok halaman untuk menerangi suasana yang gelap. Pertemuan telah selesai dan suasana di rumah Kakek Yaklep menjadi sepi kembali.

Beberapa hari kemudian, Kakek Yaklep masih memikirkan pembicaraan pada waktu pertemuan di rumahnya. Ia belum juga mendapat nama orang yang akan menggantikan posisi Kongwara karena ada nama orang yang bisa dipercaya, tetapi usianya ada di bawah usia kakek Yaklep. Ia ingin generasi penerus yang baik. Rupanya tidak mudah memilih seseorang untuk dijadikan seorang pemimpin.

Sudah hampir seminggu Kakek Yaklep memikirkan siapa pengganti Kongwara kelak hingga akhirnya ia jatuh sakit. Ia berusaha tidak memperlihatkan rasa sakitnya di depan masyarakat Kampung Merhaje. Lalu, Ia meramu minuman dari dedaunan yang tumbuh sekitar halaman rumahnya. Minuman itu diminum oleh Kakek Yaklep secara beraturan. Kesehatannya berangsur-angsur menjadi pulih kembali.

(53)

Pemilihan orang yang akan menggantikan Kongwara belum juga terlihat hasilnya, sedangkan masyarakat Kampung Merhaje sangat mengharapkannya. Maka, Kakek Yaklep melakukan pertemuan dengan sesepuh lainnya untuk membentuk tim pemilihan. Pemilihan kedua pun tidak ada hasilnya karena Kakek Yaklep kurang menyetujui nama calon yang diusulkan oleh masyarakat setempat. Salah satu alasannya adalah ada nama yang berasal dari luar Kampung Merhaje.

Pada siang harinya tanpa disangka-sangka, sekelompok orang datang menghadap Kakek Yaklep hendak berpamitan pergi meninggalkan kampung Merhaje. Mereka ingin mencari tempat dengan suasana baru ke arah Timur. Mereka tidak sabar menunggu pemimpin baru. Kakek Yaklep tidak bisa mencegah kehendak mereka. Akhirnya, Kakek Yaklep melepas kepergian mereka satu-persatu.

Kakek Yaklep mengantar sekelompok orang yang hendak pergi meninggalkan Kampung Merhaje hingga beranda rumahnya. Ia memeluk satu persatu dari mereka. Mereka pun pergi meninggalkan Kakek Yaklep dengan lambayan tangannya. Sungguh mengharukan peristiwa tersebut. Di satu pihak ingin mencari pengalaman baru dengan suasana baru. Sedangkan di pihak lain ingin mempertahankan masyarakatnya agar tidak meninggalkan kampung halaman.

Perjalanan mereka memerlukan waktu banyak. Mereka harus berjalan kaki naik turun bukit dan berkelok-kelok. Karena niat mereka besar sekali untuk pindah dari tempat semula ke tempat yang baru, mereka tidak mengeluh dengan perjalanan jauhnya. Mereka pergi berhari-hari hingga sampai di Papua Nugini. Lalu, mereka di sambut masyarakat dan menetap bersama suku Daitere.

Sejak saat itulah penduduk Kampung Merhaje berkurang sedikit demi sedikit. Perjuangan mereka mendapatkan hasil yaitu sampai pada suatu daerah yang mereka inginkan. Kelompok lainnya atau sebagian dari mereka meneruskan perjalanan menyusuri aliran sungai.

Referensi

Dokumen terkait