• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XV/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XV/2017"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 56/PUU-XV/2017

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965

TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU

PENODAAN AGAMA JUNCTO UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 1969 TENTANG PERNYATAAN

BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN

PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR

(III)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 56/PUU-XV/2017 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang [Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Anisa Dewi 2. Ary Wijanarko 3. Asep Saepudin, dkk.

ACARA

Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III)

Selasa, 26 September 2017, Pukul 14.07– 14.55 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

4) Aswanto (Anggota)

5) Maria Farida Indrati (Anggota)

6) Suhartoyo (Anggota)

7) Saldi Isra (Anggota)

8) Wahiduddin Adams (Anggota)

9) Manahan MP Sitompul (Anggota)

Syukri Asy’ari Panitera Pengganti

(3)

A. Pemohon:

1. Asep Saepudin 2. Siti Masitoh

3. Faridz Mahmud Ahmad 4. Hapid

5. Iyep Saprudin 6. Anisa Dewi 7. Erna Rosalia 8. Tazis

B. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Fitria Sumarni 2. Holy K. M. Kalangit 3. Andang Budhi Satria

C. Pemerintah: 1. Mia Amiyati 2. Jemmy Sandra 3. Alheri 4. Ninik Hariwanti 5. Mulyanto 6. Tony Prayogo

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek kehadirannya. Pemohon, yang hadir siapa? Saya persilakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Assalamualaikum wr. wb.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Hari ini Pemohon yang hadir ada delapan orang, Bapak Asep Saepudin, S.Ag. sebagai Pemohon I, Ibu Siti Masitoh (Pemohon II), Bapak Faridz Mahmud Ahmad (Pemohon III), Bapak Hapid (Pemohon V), Bapak Drs. Iyep Saprudin (Pemohon VI), Ibu Anisa Dewi (Pemohon VII), Ibu Erna Rosalia (Pemohon VIII), dan Bapak Tazis (Pemohon IX).

Kuasa Hukum yang hadir ada tiga orang, saya sendiri Fitria Sumarni, bersama Holy Kalangit, dan Bapak Andang Budhi Satria. Terima kasih.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih, Bu.

Dari DPR tidak hadir, ada surat resmi yang ditandatangani oleh Kepala Badan Keahlian DPR, dengan dasar bahwa ada rapat-rapat internal di DPR, sehingga tidak bisa menghadiri persidangan ini.

Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, saya persilakan.

6. PEMERINTAH: MULYANTO

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Dari Pemerintah, dari Kejaksaan Agung yang hadir Ibu Dr. Dra. Mia Amiyati, S.H., M.H. (Koordinator pada Jamdatun Jaksa Agung Muda Perdata di

(5)

Tata Usaha Negara). Kemudian, Bapak Jemmy Sandra, Bapak Alheri. Dari Kementerian Hukum dan HAM Bu Ninik Hariwanti, S.H., L.L.M. (Direktur Litigasi), saya sendiri Pak Mulyanto, kemudian Bapak Tony Prayogo. Demikian, Yang Mulia, terima kasih.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Agendanya pada sidang siang hari ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Karena dari DPR tidak hadir, maka saya persilakan dari Pemerintah untuk menyampaikan keterangannya. Dan keterangan tertulis belum ada, nanti segera disusulkan, Pak Mulya.

Baik, silakan, Bu. Ibu Dr. Dra. Mia Amiyati, S.H., M.H., ya, silakan.

8. PEMERINTAH: MIA AMIYATI

Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Terhormat Rekan-Rekan Wakil Pemerintah yang terdiri dari unsur Kementerian Hukum dan HAM, unsur Kejaksaan Agung, serta Yang Terhormat Para Pemohon. Akan kami bacakan keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta.

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia). 2. Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia). 3. Muhammad Prasetyo (Jaksa Agung Republik Indonesia).

Dalam hal ini, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah. Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu-kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama, selanjutnya disebut Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD Tahun 1945, yang dimohonkan oleh Bapak Asep Saepudin, S.Ag. (Pemohon I), Siti Masitoh (Pemohon II), Faridz Mahmud Ahmad (Pemohon III), Lidia Wati (Pemohon IV), Hapid (Pemohon V), Drs. Iyep Saprudin (Pemohon VI), Anisa Dewi (Pemohon

(6)

VII), Erna Rosalia (Pemohon VIII), dan Tazis (Pemohon IX). Untuk selanjutnya, disebut sebagai Para Pemohon sesuai registrasi permohonan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017, tanggal 18 Agustus 2017, dengan perbaikan permohonan pada tanggal 5 September 2017 sebagai berikut.

I. Pokok Permohonan Para Pemohon.

Bahwa Para Pemohon pada pokoknya memohon untuk menguji, apakah Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan

Agama yang berbunyi, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di

muka umum, menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari

pokok-pokok ajaran agama itu.”

Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang berbunyi:

1. Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

2. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang

berbunyi, “Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama

bersama-sama Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri atau presiden dan/atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memunculkan haknya secara kolektif untuk membangun

masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Pasal 28D ayat (1) UU … Undang-Undang Dasar Tahun 1945

(7)

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta penga …

perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun

1945 yang berbunyi, ayat (1), angka 1, “Setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.” Angka 2, “Setiap orang

berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”

Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi.”

Pasal 28 … 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 yang berbunyi, angka 1, “Hak untuk hidup, hak untuk

disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku … yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Angka 2, “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan alasan-alasan sebagai berikut.

1. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pecegahan Penodaan agama telah menghasilkan adanya ketidakpastian hukum, yang diakibatkan munculnya ruang penafsiran yang beragam. Hal mana, mengakibatkan timbulnya peraturan dan keputusan yang terkait dengan pelarangan atas kegiatan (beribadah) dari Jemaah Ahmadiyah sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2. Bahwa akibat berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama menjadi dasar dikeluarkannya SKB Ahmadiyah yang tidak jelas kapan berakhirnya, membuat tidak terciptanya ketidakpastian hukum bagi para pemohon yang merupakan Warga Negara Indonesia penganut Agama Islam yang berada dalam Komunitas

(8)

Ahmadiyah, sehingga mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional para pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

3. Bahwa menurut para pemohon, penilaian menyimpang dan tidaknya dari pokok-pokok aliran agama, tidak diatur oleh Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama, sehingga menimbulkan terciptanya kepastian hukum.

4. Bahwa menurut para pemohon dalam Putusan 140/PUU-VII/2009 disebutkan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama mengandung kelemahan, sehingga menurut Mahkamah, undang-undang tersebut perlu direvisi. Namun, saat ini Pemerintah sama sekali tidak mengambil langkah sesuai pendapat Mahkamah, sehingga mengakibatkan sering berjalannya waktu ... korban ... seiring berjalannya waktu, korban-korban pelanggaran hak konstitusional terus bertambah tidak terbatas oleh para pemohon dalam perkara a quo.

II. Kedudukan Hukum/Legal Standing Para Pemohon.

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia.

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

c. Badan hukum publik atau privat. Atau d. Lembaga negara.

Ketentuan di atas, dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan.

Yang pertama ... yang pertama adalah kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. (b) Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh

(9)

berlakunya undang-undang yang diuji. (c) Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang dimohonkan pengujian.

2. Bahwa lebih lanjut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide, putusan Nomor 006/PUU-III/2005) dan putusan-putusan berikutnya harus memenuhi 5 syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

b. Hak dan/atau kewenangan tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian.

c. Kerugian tersebut bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. Adanya hubungan sebab-akibat atau clausal-verband antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian.

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak seperti yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak lagi terjadi.

3. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah sangat penting untuk menilai, apakah benar para pemohon telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan a quo.

4. Bahwa menurut Pemerintah persoalan kerugian yang dirugikan oleh para pemohon bukanlah persoalan kerugian konstitusional. Akan tetapi, lebih kepada persoalan implementasi berlakunya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama. Hal ini didasarkan kepada:

a. Bahwa dalam permohonannya para pemohon mengaku beragama Islam. Akan tetapi, para pemohon mengaku dalam menjalankan kegiatan beribadahnya terhalang-halangi oleh ketentuan a quo. Hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dimana warga negara Indonesia yang terbesar adalah agama Islam yang dalam menjalankan kehidupannya maupun peribadatannya sama sekali tidak pernah terganggu dengan berlakunya undang-undang a quo.

(10)

b. Bahwa terhalang-halanginya para pemohon dalam menjalankan aktivitasnya tidaklah berdasarkan sebagai akibat berlakunya norma a quo yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama karena terjadinya penyimpangan terhadap ajaran agama Islam.

c. Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama telah memberikan delegasi kepada Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri untuk menilai pelaksanaan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tersebut. Sehingga, menurut hukum kebijakan yang diambil oleh menteri-menteri tersebut terkait dengan penetapan adanya peringatan dari ... peringatan dan perintah kepada penganut anggota dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan masyarakat tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

d. Bahwa telah nyata secara konstitusional, Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak merugikan hak-hak warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, terlebih bagi umat Islam. Terjadinya kerugian yang dialami oleh para pemohon semata-mata akibat masalah penerapan/implementasi norma, yaitu karena adanya penilaian terkait kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran yang dilakukan oleh penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sebagaimana tertuang dari keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, melalui SKB Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/a/JA/6/2008 dan Nomor 199 Tahun 2008, tanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan masyarakat, selanjutnya disebut SKB tiga menteri.

e. Bahwa adanya penetapan tersebut bukanlah bentuk diskriminasi terhadap mayoritas atau minoritas dari suatu umat beragama, melainkan penetapan tersebut semata-mata sebagai bentuk perlindungan hukum dari negara kepada setiap pemeluk agama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga guna mencegah timbulnya keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat, serta terjadinya perbuatan-perbuatan anarkis, maka terhadap upaya-upaya penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tersebut ditetapkanlah SKB tiga menteri tersebut, sebagai

(11)

tindak lanjut kewenangan yang diberikan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama.

f. Bahwa menurut Pemerintah kerugian yang paling dirasakan karena adanya upaya-upaya penyalah gunaan dan/atau penodaan agama, lebih banyak dirasakan oleh umat beragama yang pokok-pokok ajaran agamanya telah dilakukan penyimpangan, disalahgunakan, dan/atau dinodai, dan bukan sebaliknya, kerugian itu diderita oleh pihak-pihak yang melakukan penyimpangan.

g. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, cukup menjadi alasan bagi Pemerintah untuk mengatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan Pemerintah lebih jauh menilai tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

III. Keterangan Pemerintah atas Materi Permohonannya Dimohon Untuk Diuji.

A.Permohonan para pemohon nebis in idem, terkait dengan materi muatan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama.

1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang ... Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau

bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali.” Yang juga sejalan dengan

ketentuan Pasal 42 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan, “Terhadap materi

muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang

yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”

2. Bahwa mengenai konstitusional Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah, pada putusan Mahkamah Nomor 140/PUU-VII/2009 bertanggal 19 April 2010

dengan amar putusan menyatakan, “Menolak permohonan

para pemohon untuk seluruhnya.”

3. Bahwa Para Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 pada pokoknya memohon agar ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala hukum ... dengan segala akibat hukumnya. Sedangkan para pemohon dalam perkara a quo memohon untuk menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

(12)

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, junto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden, sebagai undang-undang secara konstitusionalitas bersyarat, bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai meniadakan hak untuk menganut aliran agama ibadah Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya dan harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

4. Bahwa terhadap materi muatan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 dan dalam permohonan a quo terdapat kesamaan.

5. Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah sebagaimana dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tertanggal 19 April 2010 antara lain pada paragraf 3.50, paragraf 3.51, dan paragraf 3.64 yang dalam ini kami mohon izin dianggap dibacakan, Yang Mulia.

6. Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah, sebagaimana dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, tanggal 19 April 2010 antara lain pada paragraf 357 yang pada pokoknya sebagai berikut.

Bahwa Mahkamah berpendapat, Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi sependapat dengan Ahli Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang menyatakan:

1)Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama bukan undang-undang tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, melainkan undang-undang tentang larangan penodaan terhadap agama.

2)Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penerus suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama, jika masalah seperti itu timbul, maka dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama). Di samping itu, substansi Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan

(13)

beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau penghinaan terhadap agama, blasphemy atau defamation of religion juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Secara substansi, Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta-merta diartikan sebagai bentuk dari pengekangan verum ex pertum terhadap verum in pertum seseorang atas kebebasan beragama.

7. Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah sebagaimana dalam Putusan Nomor 84/PUU-X/2012, tanggal 19 September 2013, antara lain pada paragraf 313 yang pada pokoknya sebagai berikut.

Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dan putusan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya Mahkamah beranggapan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan walaupun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna karena apabila Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dicabut sebelum adanya peraturan baru lainnya sebagaimana ditentukan nomor 1 aturan uraian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat.

8. Bahwa berdasarkan uraian tersebut telah secara terang-benderang ketentuan secara substansi dan materi Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang diuji oleh Para Pemohon adalah sama dengan materi muatan Permohonan Nomor 140/PUU-VII/2009 yang telah diputus oleh Mahkamah dengan Putusannya Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 sehingga menjadi nebis in idem. Dan oleh karena itu, sudah sepatutnya jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. B.Keterangan Pemerintah atas materi permohonan.

1. Bahwa pandangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara adalah Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila tercermin berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

(14)

2. Pancasila sebagai norma filosofis negara, sebagai sumber citra hukum yang terumus lebih lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang-undangan, merupakan kaidah dasar fundamental negara (staat fundamental norm). 3. Butir pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha

Esa yang secara filosofis mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan menjamin untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Sebagai dasar pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas negara dan pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan nasional yang berasaskan keagamaan.

4. Pengakuan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak dapat dipisahkan dengan agama karena adalah salah satu tiang pokok daripada prikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi prikehidupan negara dan unsur mutlak dalam usaha national building.

5. Dalam kerangka itulah, prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dengan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualism maupun prinsip komunalisme.

6. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan ruang adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi antiagama, serta tidak membenarkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.

7. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi, the superior law of the land the Indonesia, justru merupakan pedoman kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam 3 pasal sekaligus. Yang pertama adalah dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Kedua adalah dalam

(15)

Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Ketiga adalah dalam Bab 11 yang membicarakan khusus tentang agama, yakni Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun

1945, yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.” Pedoman tersebutlah yang kemudian

menjadi dasar dikeluarkannya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama.

8. Bahwa Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama, serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.

9. Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak melarang seseorang untuk melakukan penafsiran terhadap

suatu ajaran agama apapun … ataupun melakukan kegiatan

keagamaan yang menyerupai suatu agama yang dianut di Indonesia secara sendiri-sendiri. Yang dilarang adalah dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajukan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1 Undang-Undang tentang Pencegahan Penodaan Agama). Jika hal tersebut tidak diatur, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan benturan serta konflik horizontal, dapat menimbulkan keresahan, perpecahan, dan permusuhan dalam masyarakat.

10. Bahwa penafsiran terhadap suatu ajaran atau suatu aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengalah terhadap kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum. Namun,

(16)

penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sebuah ajaran agama yang bersangkutan, yaitu kitab suci masing-masing. Sehingga, kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak didasarkan pada metodologi yang umum yang diakui para penganut agama serta tidak berdasarkan pada sebuah kitab suci yang bersangkutan, akan menimbulkan reaksi yang mengancam. Reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum, apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Hal itu sesuai dengan ketentuan article 18 ICCPR yang menyatakan bahwa freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. Artinya bahwa kebebasan menjalankan dan melanjutkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan hanya diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak, dan kebebasan mendasar orang lain.

11. Bahwa negara tidak dapat menentukan tafsiran yang benar mengenai ajaran suatu agama. Setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterimanya, umum kepada internal agama tersebut. Oleh karena itu, yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut paham agama yang tidak dipisahkan dari negara. Pemerintah memiliki Kementerian Agama yang melayani, melindungi, tumbuh, dan berkembangnya agama dengan sehat. Dan kementerian agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun sebagian pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal ini, negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan. Dengan demikian, tidak ada etatisme dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama.

12. Bahwa dalam Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama berdasarkan penjelasan angka 1 umum, angka 4,

“Pengertian penyelewenangan atau penyimpangan dalam

penafsiran atau kegiatan dari ajaran pokok agama tertentu, tidak didasarkan pada penafsiran negara. Akan tetapi

(17)

didasarkan pada penafsiran ulama dari agama yang bersangkutan, yang dalam proses penafsirannya melibatkan

para ahli yang terkait dengan masalah yang dibahas.”

13. Bahwa meyakini dan mengamalkan ajaran suatu agama seperti agama Islam, akan membentuk komunitas atau umat yang didasarkan pada keyakinan dan amanah tersebut. Secara sosiologis, ulama merupakan pemuka dan representasi dari umat beragama yang bersangkutan yang memiliki otoritas keilmuan dalam menafsir ajaran agamanya. Manakala ada orang melakukan penafsiran dan kegiatan yang dianggap menyimpang oleh ulama yang memiliki otoritas, kemudian dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajukan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran, dan kegiatan menyimpang, maka hal itu jelas akan mengusik ketenteraman beragama dari umat yang bersangkutan. Sehingga, dapat menimbulkan reaksi dari umat yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusuhan sosial karena umat tersebut merasa dinodai dan dihina agamanya dengan penafsiran yang menyimpang tersebut.

14. Bahwa apabila negara membiarkan keadaan sebagaimana dikemukakan di atas, berarti negara tidak melaksanakan kewajibannya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, guna menjaga ketenteraman beragama, mencegah penyelewengan-penyelewengan dari ajaran pokok, dan melindungi ketenteraman agama dari penodaan dan penghinaan, maka pemberlakuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang didasari ... pada dasarnya sudah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

15. Bahwa berlakunya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama adalah sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum. Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama adalah implementasi dari pembatasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni pembatasan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

16. Bahwa mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009,

(18)

tanggal 19 April 2011, dalam paragraf 3, 58, yang pada pokoknya sebagai berikut. Bahwa Mahkamah menilai rumusan Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang memberikan larangan kepada setiap orang untuk mempublikasikan penafsiran berbeda dari agama yang dianut di Indonesia adalah bentuk dari tindakan pencegahan (preventive action) dari kemungkinan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat Indonesia. Mahkamah memahami bahwa agama merupakan perihal yang sakral, yang amat sensitif bagi kebanyakan orang, keberadaan agama bukan saja sebagai ke-absurd-an hubungan transenden pribadi atau individu, melainkan telah menjadi sebuah modal sosial yang berperan besar dalam sendi-sendi kemasyarakatan. Sejarah telah membuktikan bahwa agama mampu membangun peradaban tersendiri Indonesia dan tidak dapat dilepaskan dari struktur kehidupan masyarakat Indonesia. Bahwa hak beragama sebagai hak individu adalah hak asasi yang melekat dalam setiap diri manusia semenjak ia lahir. Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, hak beragama juga telah menjadi sebuah hak kolektif masyarakat untuk dapat dengan tenteram dan aman menjalankan ajaran agamanya tanpa merasa terganggu dari pihak lain. Oleh karena itu, Mahkamah menilai bahwa dalam konteks hak asasi individu tidak dapat dipisahkan dari hak beragama dalam konteks hak asasi komunal (vide Putusan MK Nomor 012-016019/PUU-IV/2006, tanggal 19 Desember 2006). Bahwa pembatasan mengenai nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai komunal (communal values) masyarakat adalah pembatasan yang sah menurut konstitusi. Tradisi keagamaan di Indonesia memang memiliki kekhasan dan keunikan yang memang tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Namun, Mahkamah tidak menafsirkan adanya organisasi-organisasi keagamaan yang telah berurat, berakar, dan memiliki landasan sejarah sebagai organisasi induk dari agama-agama di Indonesia. Organisasi keagamaan induk inilah yang pada akhirnya mampu menjadi mitra negara dalam menciptakan ketertiban masyarakat beragama untuk saling menghargai dan bertoleransi. Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat dipisahkan dari pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama, sehingga rumusan definisi yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat dibaca secara tersendiri, melainkan harus dikaitkan dengan pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang

(19)

memiliki substansi untuk mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

17. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka pemberlakuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama PNPS justru telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan dengan tetap mengacu pada pembatasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni pembatasan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. 18. Bahwa terkait dengan timbulnya peraturan dan keputusan

terkait dalam pelanggaran atas peribadatan atau kegiatan ibadah dari jemaah Ahmadiyah, hal itu tidaklah sebagai akibat diberlakukannya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Akan tetapi, akibat pelaksanaan penegakan hukum sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama karena terjadinya penyimpangan terhadap ajaran agama Islam.

19. Bahwa mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, tanggal 19 April 2010, dalam paragraf 359 yang pada pokoknya sebagai berikut. Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang memerintahkan dikeluarkannya SKB adalah benar karena dibuat atas perintah Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat bahwa keberadaan surat keputusan bersama yang dikeluarkan bersama-sama antara Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri merupakan bukti dari kehati-hatian dalam pelaksanaan kewenangan negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang/kelompok yang dianggap menyimpang, terlepas dari soal apakah SKB tersebut berupa regeling atau beschikking, substansi perintah Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi.

20. Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka terhadap dalil para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama telah menghasilkan adanya ketidakpastian hukum yang mengakibatkan munculnya ruang penafsiran yang

(20)

beragam, hal mana yang mengakibatkan timbulnya peraturan yang terkait dengan pelarangan atas kegiatan beribadah dari Jemaat Ahmadiyah sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah tidak berdasar.

Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama tidak bertentangan dan/atau penodaan agama ... tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 281 [sic!] ayat (1) dan (2), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

IV. Petitum.

Berdasarkan penjelasan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah mohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia dapat memberikan putusan sebagai berikut.

1. Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kekuatan hukum (legal standing).

2. Menolak permohonan pengujian para pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). 3. Menerima keterangan presiden secara keseluruhan.

Bertentangan Nomor 1 ayat (3) adalah tidak berdasar ... mohon izin, Pak, ada kekeliruan.

4. Menyatakan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 281 [sic!] ayat (1) dan (2), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Demikian keterangan ini, atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diucapkan terima kasih.

Jakarta, 26 September 2017. Kuasa Hukum Pemerintah Republik Indonesia tertanda Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly. Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo. Waalaikumsalam wr. wb.

(21)

Waalaikumsalam wr.wb. Terima kasih, Bu Mia. Dari meja Hakim? Cukup, ya?

Sebelum saya akhiri, perlu saya sampaikan sidang yang berikutnya akan kita selenggarakan pada hari Selasa, 10 Oktober 2017 pada pukul 11.00 WIB, dengan agenda untuk mendengarkan keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan apakah Pemohon mengajukan ahli atau saksi?

10. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Ya, Yang Mulia. Kami akan mengajukan ahli.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Berapa ahlinya?

12. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Saat ini yang sudah confirmed ada enam orang.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Enam orang, kita dengar ... itu ahli, ya?

14. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Ahli.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Saksi ada enggak?

16. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Saksi ada nanti.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Berapa saksinya?

18. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Saksinya nanti akan kami sampaikan.

(22)

Oh, kita mendengarkan keterangan ahli dulu, ya. Enam orang, kita dengarkan dua dulu, ya.

20. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Tanggal 10 Oktober?

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, 10 Oktober, ya. Jadi, dua ahli dari Pemohon, supaya makalah atau keterangan ahlinya bisa disampaikan ke Majelis dua hari sebelum sidang diselenggarakan, langsung diserahkan ke Kepaniteraan, ya. Jadi, sidang berikutnya hari Selasa, 10 Oktober 2017, pada pukul 11.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, mendengarkan keterangan Pihak Terkait dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan dua orang ahli dari Pemohon, ya. Baik.

Dari Pemerintah, ada yang ingin disampaikan? Cukup?

22. PEMERINTAH: MULYANTO

Cukup, Yang Mulia.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, dari Pemohon cukup, ya?

24. KUASA HUKUM PEMOHON: FITRIA SUMARNI

Cukup.

(23)

Baik, terima kasih. Sidang selesai dan ditutup.

Jakarta, 26 September 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d.

Yohana Citra Permatasari

NIP. 19820529 200604 2 004

SIDANG DITUTUP PUKUL 14.55 WIB KETUK PALU 3X

Referensi

Dokumen terkait

 Oleh karena request antara layer AJAX dan server berupa bagian kecil dari informasi (tidak komplit satu halaman) maka sering digunakan untuk interaksi dengan database

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan sesuai atau tidaknya butir soal tes membaca bahasa

Kotoran kambing dapat digunakan sebagai bahan organik pada pembuatan pupuk kandang karena kandungan unsur haranya relatif tinggi dimana kotoran kambing bercampur dengan air

Dalam proses penelitian ini peneliti berperan langsung, bertindak sekaligus sebagai instrument dalam pengumpulan data, karena penelitian ini dilakukan dengan fokus

Saat ini praktikum Administrasi Jaringan Komputer pada Politeknik Caltex Riau masih menggunakan Software Virtualisasi seperti VMWare atau VritualBox yang merupakan

zingiberi asal Temanggung dan Boyolali yang telah disimpan dalam medium tanah steril selama enam tahun masih tumbuh dengan baik pada medium PDA dan memenuhi cawan Petri setelah

Pada penelitian ini dilakukan penerapan metode scrum pada aplikasi manajemen proyek perangkat lunak untuk membantu tim dalam memahami proyek.Pada penelitian ini scrum

Pada aplikasi 1: Gambar 1, 2 dan 3 dapat dilihat Pada aplikasi 2: Gambar 4, 5 dan 6 dapat dilihat bahwa prosentase kematian larva Aedes aegypti pada bahwa prosentase