• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Salamet

(Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep)

Abstrak

Potensi manusia harus senantiasa ditumbuh-kembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan. Dari alasan ini, peserta didik diharapkan mampu mengembakan karakter dirinya. Sedangkan karakter diri selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam dan luar diri. Dalam pendidikan Islam, faktor-faktor-faktor-faktor tersebut secara sinergi dan terpadu mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan. Dan aktivitas pendididikan, baik pendidikan umum maupun yang berbasis Islam, pada umumnya memiliki sumber-sumber norma sebagai landasan berpijak. Pendidikan Islam memiliki landasan utama sebagai aktivitas normatif, yaitu bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, perlu kajian lebih lanjut tentang karakter peserta didik perspektif pendidikan Islam.

Kata Kunci:pendidikan Islam, karakter peserta didik, character

Pendahuluan

Islam menganjurkan kepada manusia untuk mencari ilmu sebagai bekal mengatasi segala permasalahan hidup dan juga membimbing umatnya supaya berakhlak mulia serta berilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan kewajian di mana saja dan kapan saja, karena ilmu merupakan pe-nyelamat di dunia dan bekal di akhirat kelak. Jika manusia belum memiliki ilmu, dalam Islam dianjurkan untuk bertanya kepada mereka yang memiliki ilmu tersebut.

Firman Allah Swt. dalam surat an-Nahl ayat 43:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (DEPAG RI, 1979:408).

Dengan itu, tak ada satu orangpun yang berhak menghentikan atau melarang seseorang dalam mencari ilmu (belajar). Setiap individu berhak mendapatkan pendidikan dan tak ada kata akhir dari suatu proses belajar. Bahkan, Islam sangat meng-anjurkan, sebagaimana sabda Nabi Saw;

        

Menuntut ilmu itu fardu atas setiap muslimin dan muslimat” (al-Ghazali, tt:27).

Berdasarkan alasan dan ajaran Islam tersebut, para ahli pendidikan Islam sejak dahulu sehingga sekarang secara serius melaksanakan proses pendidikan dalam upaya untuk mengembangkan ilmu pe-ngetahuan. Menurut Aminuddin Rasyad yang dikutip Ahmad Tafsir (1996:15), bahwa Islam menginginkan manusia individu (guru dan murid) dan masyarakat menjadi orang-orang yang berpendidikan. Berpendidikan berarti berilmu, berketerampilan, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, pandai ber-masyarakat dan bekerjasama untuk me-ngelola bumi dan alam beserta isinya untuk kesejahteraan umat di dunia dan akhirat serta dekat dengan Khalik-nya.

Keberhasilan dalam memahami ilmu pengetahuan dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis orang yang mencari ilmu itu sendiri. Kondisi psikologis berupa karakteris-tik setiap orang tentu berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Sebagaimana yang

ﺐﻠط ﻢﻠﻌﻟا ﺔﻀﯾﺮﻓ ﻰﻠﻋ ﻞﻛ ﻢﻠﺴﻣ ﺔﻤﻠﺴﻣو

(2)

telah dilakukan oleh Rasulullah, dijelaskan oleh M. Ajaj al-Khatib (1999:75), bahwa Rasulullah mem-pertimbangkan perbedaan daya tangkap, daya ingatan, serta kadar kemampuan akal para sahabatnya. Beliau cukup memberikan isyarat kepada orang yang cerdas dan memberikan pandangan sepintas kepada orang yang mempunyai daya hapalan yang baik.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap orang mempunyai daya tangkap terhadap ilmu yang berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik individu itu sendiri. Antara individu yang pemarah akan berbeda dengan mereka yang memiliki karakter pemaaf, antara penyabar berbeda dengan mereka yang mudah frustasi. Karena itu, dalam pendidikan Islam berupaya untuk me-numbuhkan dan mengembangkan sifat-sifat (karakter) yang baik serta mengendali-kan karakter yang tidak baik.

Persoalan perbedaan individu menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000:55) terdiri dari: 1) perbedaan biologis, 2) perbedaan intelektual, 3) dan perbedaan psikologis. Perbedaan ini tidak dapat dihindari disebabkan pembawaan dan lingkungan hidup yang berbeda. Namun demikian, perbedaan tersebut merupakan potensi manusia yang berkembang.

Lebih lanjut, Muhaimin (2001:19) menjelaskan, alat-alat potensial manusia harus ditumbuh-kembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan alat potensial tersebut. Pertumbuhan dan per-kembangan karakter manusia di-pengaruhi oleh faktor-faktor keturunan, lingkungan, sejarah dan faktor-faktor temporer (Muhaimin, 2001:19). Dalam ilmu pendidik-an Islam, faktor-faktor tersebut secara sinergi dan terpadu mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000:51), peserta didik atau murid sebagai pokok persoalan dalam pendidikan. murid adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu perlu dipahami pula tentang karakter mereka dan bagaimana me-ngembangkan dan bertindak sesuai dengan karakter tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, perlu digali dan diteliti lebih mendalam untuk mendapat-kan pemahaman yang sangat luas tentang bagaimana seharusnya karakter peserta didik dibentuk dan dikembangkan agar tujuan pendidikan tercapai sesuai dengan cita-cita para peserta didik. Dalam hal ini, pembahas-an tentang karakter peserta didik ini akan ditinjau dari aspek pendidikan Islam.

Pengertian Karakter Peserta Didik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:445), kata karakter berasal dari kata “karakteristik” yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lainnya. Selanjutnya, disebutkan bahwa karakter adalah ciri khusus atau mempunyai ciri khas yang sesuai dengan perwatakan tertentu. Sedangkan Kartini (1990:16) menjelaskan, kata “karakter” berasal dari kata “charac” atau “charassein” atau “chaatto” yang berarti stempel, takut, tarik, guratan, ukiran. Dengan demikian, karakter adalah guratan totalitas yang unik dari seorang individu.

Sejalan dengan pengertian itu, Mohamad Ngazeman (1990:16) menegas-kan bahwa sifat adalah ciri, rupa, keadaan suatu hal. Sifat seseorang merupakan ciri yang dapat diidentifikasi sehingga dapat mem-bedakan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.

(3)

character adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat, sifat yang relatif tetap. Pengertian karakter yang dikaitkan dengan sudut pandang etis dan moral, dapat dipahami karena karakter seseorang dapat menimbulkan suka atau tidak suka; senang atau tidak senang terhadap orang lain. Misalnya, karakter kejujuran dapat me-nimbulkan senang bagi orang lain, sedangkan karakter dusta dapat menimbul-kan rasa benci. Karena itu, memahami karakter seseorang terkait erat dengan landasan etika dan moral.

J.P Chaplin (1999:82) berpendapat, character adalah watak atau sifat yang dapat dirumuskan dalam tiga pengertian, yaitu:

1. Kualitas atau sifat yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.

2. Integrasi atau sintesa dari sifat-sifat individual dalam bentuk satu atau kesatuan.

3. Kepribadian seseorang diper-timbangkan dari titik pandangan etis atau moral.

Sedangkan James Drever (1986:53) berpendapat beda, bahwa character digunakan dalam pengertian biologis terhadap suatu sifat dari suatu organisme dalam dimana ia dapat dibandingkan dengan organisme lainnya. Di bidang psikologi digunakan kepada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang membuat tindakan seseorang relatif stabil dan dapat diramal-kan, sifat khusus pada integrasi ini, atau tampil dalam aksi, disebut character traits dan tes yang disusun untuk mengungkapkan sifat demikian adalahpersonality test.

Selanjutnya, Muhibbin Syah (1995:226) menjelaskan bahwa karakteristik memiliki arti yang hampir sama dengan identitas atau dengan kepribadian. Kepribadian ditinjau

dari sudut pandang psikologi, pada prinsipnya merupakan susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek tersebut, secara fungsional dalam diri individu saling berkaitan, sehingga muncul tingkah laku yang khas dan menetap. Berdasarkan pada tingkah laku tersebut, muncul julukan-julukan yang bermaksud menggambarkan kepribadian seseorang yang mengacu pada sifat seseorang, seperti: Pak Amin malas, Ibu Rini rajin mengaji, dan sebagainya.

Dengan demikian, yang dimaksud peserta didik (siswa atau murid) adalah orang yang menginginkan (the wilier) ilmu, dan menjadi salah satu sifat Allah Swt. yang berarti Maha Menghendaki (Abuddin Nata, 2001:50). Pengertian ini dapat dipahami karena seorang murid dalam pandangan pendidikan Islam adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar bahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.

Istilah lain tentang peserta didik dalam pendidikan Islam adalah Al-Thalib, yaitu orang yang mencari sesuatu (Abuddin Nata, 2001:51). Artinya, seorang murid adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahu-an, keterampilan dan pem-bentukan karakter tertentu.

Pengertian peserta didik dalam istilah al-thaliblebih bersifat aktif, mandiri, kreatif dan sedikit bergantung kepada guru, (Abuddin Nata, 2001:52). Peserta didik sebagai al-thalib dalam beberapa hal dapat meringkas, mengkritik dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru. Dalam konteks ini, seorang guru dituntut bersifat terbuka, demokratis, memberi kesempatan dan menciptakan suasana belajar yang saling mengisi, dan mendorong

(4)

peserta didik memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian, pem-belajaran dari guru harus merangsang peserta didik untuk belajar, berfikir, melaku-kan penalaran yang memungkinmelaku-kan peserta didik dan guru tercipta hubungan mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik antara guru dan peserta didik ini akan memperkaya kuri-kulum dan kegiatan belajar mengajar pada kelas bersangkutan (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997:196).

Selanjutnya, istilah yang berhubungan erat dengan pengertian peserta didik yaitu al-muta’allim, yaitu orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah muta’allim yang menunjukkan pengertian peserta didik, sebagai orang yang menggali ilmu penge-tahuan merupakan istilah yang populer dalam karya-karya ilmiah para ahli pen-didikan Islam.

Berdasarkan pengertian istilah “karakter” dan “peserta didik” dari para ahli di atas, dapat dipahami bahwa karakter peserta didik berarti sifat-sifat yang dimiliki individu sebagai siswa yang dapat di-identifikasi sebagai orang yang mencari ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh untuk bekal di masa depan baik kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan demikian, masing-masing individu akan memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan kedudukan individu tersebut.

Macam-macam Karakter Peserta didik

Peserta didik dalam pendidikan Islam merupakan unsur manusiawi yang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda-beda. Perbedaan pengalaman tersebut, dapat melahirkan kepribadian yang berbeda pula. Teori ini yang dianut oleh aliran empiris-me, yang percaya bahwa kepribadi-an seseorkepribadi-ang ditentukkepribadi-an oleh pengalamkepribadi-an empiris. Di sisi lain, anak didik sebagai makhluk ciptaan Allah, lahir ke alam dunia ini sudah memiliki pembawaan

masing-masing yang diciptakan-Nya, pembawaan ini pun dapat menentukan kepribadian seseorang. Teori ini banyak dianut oleh aliran Nativisme, yang mengatakan bahwa anak ditentukan oleh pembawaan; baik buruk seseorang tergantung pembawaannya. Namun demikian, pendidikan Islam tidak me-mandang kedua hal tersebut secara berlawanan, melainkan antara pembawaan dan pengalaman empiris saling melengkapi dan saling menunjang dalam pembentukan karakteristik seseorang.

Prinsip-prinsip yang memberikan landasan kokoh tentang karakter peserta didik dalam pendidikan Islam yaitu: sabar, ikhlas, jujur, tawadhu’, qana’ah, toleran, tha’at, tawakal, khauf dan raja, serta syukur.

1. Sabar

Imam al-Ghazali (1995:256) menjelas-kan bahwa kesabaran terdiri dari pengetahuan, keadaan, dan amal. Pengetahuan di dalamnya seperti pohon, keadaan seperti ranting-ranting, dan amal seperti buah. Atas dasar pengertian ini, Imam al-Ghazali me-ngatakan bahwa maslahat keagama-an terdapat dalam kesabaran, sehingga dalam diri manusia harus timbul ke-kuatan dan dorongan untuk me-lakukan kesabaran.

Menurut Thabathaba’i (1991:338), sulit bersabar atas apa yang tidak diketahui maknanya merupakan hal yang sangat dikhawatirkan seorang guru, karena dapat menyebabkan kegagalan di tengah perjalanan menuntut ilmu atau pen-capaian tujuan pendidikan. Dengan demikian, sikap sabar merupakan sifat yang harus dimiliki seorang peserta didik.

2. Ikhlas

Ikhlas adalah perbuatan membersihkan dan memurnikan; sesuatu yang bersih dari campuran yang mencemarinya

(5)

(Al-Ghazali, 1995:316). Jika suatu perbuatan bersih dari riya’ dan ditunjukkan bagi Allah Ta’ala, perbuatan itu dianggap khalis.

Seorang pelajar harus ikhlas mem-bersihkan hati sebagai prasyarat untuk menuntut ilmu. Sebagaimana penjelas-an al-Nawawy (1993:102), bersihnya hati dalam menuntut ilmu seperti bersihnya bumi untuk tanaman. Dengan demikian, seorang peserta didik perlu membersih-kan hatinya agar dapat menyerap ilmu pengetahuan secara baik.

3. Jujur

Salah satu sifat seorang peserta didik yang dapat menentukan kepercayaan orang lain, baik guru maupun teman sesamanya, adalah kejujuran. Jujur dapat ditandai dengan sikap terbuka atas apa yang sebenarnya ada atau terjadi pada dirinya. Lawan dari sifat jujur ini adalah dusta, suka berbohong baik pada dirinya maupun pada orang lain. Sifat dusta ini seringkali menjadi penyebab hilangnya rasa percaya diri. Sedangkan sifat jujur dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Sifat jujur ini tidak hanya dalam perkataan, melainkan pula mencakup segala perbuatan.

Dalam pendidikan Islam, kejujuran seorang peserta didik merupakan asas yang menjiwai segala hubungan dengan seorang guru. Sifat jujur yang terpelihara dengan baik dalam diri seorang peserta didik akan menjadikan seorang guru menaruh percaya pada peserta didik tersebut. Kepercayaan ini merupakan nilai tersendiri yang tidak dapat dibeli dengan banyaknya materi.

4. Tawadhu’

Muhammad bin Jamil Zainu (1997:21) menjelaskan, bahwa yang dimaksud tawadhu’ yaitu mengakui kebenaran

dari orang lain dan rujuk dari kesalahan kepada kebenaran. Menurut al-Nawawi (1993: 104), murid harus bersikap tawadhu terhadap ilmu dan guru, karena hanya dengan sikap tawadhu itulah ilmu dapat tercapai. Ilmu itu musuhnya sifat sombong seperti banjir tidak suka dataran yang tinggi.

5. Qana’ah

Qana’ah adalah menerima cukup. Qana’ah merupakan kekayaan yang sebenarnya. Rasulullah Saw bersabda: “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan jiwa” (Hamka, 1990:228). Dengan demikian, sifat qana’ah berkaitan erat dengan cara penerimaan dan kondisi psikologis seorang anak didik terhadap apa yang diperolehnya. Sifat qana’ah ini, tidak hanya berkaitan dengan cara penerima-an terhadap materi, tetapi juga berkaitpenerima-an dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki-nya.

6. Toleran

Imam Al-Ghazali (1995:120) menjelas-kan bahwa sifat toleran seorang pelajar adalah menghindarkan perbedaan yang menyebabkan perpecahan demi meraih lezatnya persaudaraan. Oleh karena itu, sifat toleran dapat menimbulkan persaudaraan yang terpelihara dan terhindar dari saling permusuhan. Seorang peserta didik yang toleran terhadap orang lain, berarti ia mem-bangun persaudaraan yang menjadi jalan bagi kelancaran belajar bersama. Seorang peserta didik selain me-merlukan bimbingan seorang guru, juga memerlukan kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama. Teman ini diyakini besar pengaruhnya terhadap kesuksesan belajar mereka, sehingga muncul pula akhlak yang harus

(6)

dilakukan antara sesama peserta didik dan cara mencari kawan yang baik. Berkaitan dengan masalah ini, seorang peserta didik harus bersikap toleran. Sikap toleran ini, dapat melahirkan sikap terbuka terhadap orang lain, terutama ketika terjadi perbedaan pendapat. 7. Tha’at

Imam Syafi’i berkata (dikutip Abuddin Nata, 1997:80) “aku mengadukan masalahku kepada guruku bernama Waki’, karena kesulitan dalam men-dapatkan ilmu (sulit menghapal). Guruku itu menasehatiku agar menjauhi perbuatan maksiat. Selanjutnya, guruku mengatakan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”. Ungkapan Imam Syafi’i itu mengisyarat-kan bahwa ilmu itu hakikatnya cahaya dari Allah, dan hal itu hanya diberikan kepada hamba-Nya yang tha’at.

8. Tawakkal

Tawakal berarti pengandalan hati kepada Tuhan Yang Maha Pelindung karena segala sesuatu keluar dari ilmu dan kekuasaan-Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat membahayakan dan tidak dapat memberinya manfaat, (Imam Al-Ghazali, 1995:290). Seorang peserta didik perlu bertawakal dalam belajarnya dan dapat memanfaatkan seluruh waktunya baik siang maupun malam, baik ketika sedang diam atau dalam perjalanan. Jangan menyia-nyiakan waktu sedikitpun selain dalam ilmu kecuali dalam kondisi darurat, seperti untuk makan dan tidur atau istirahat sebentar.

Oleh karena itu, peserta didik tidak menempatkan diri mereka kecuali di tempat yang terhormat, tempat yang dapat dihargai tanpa bersikap sombong

dan egois, dan tidak pula menggunakan kemampuan mereka kecuali untuk tujuan-tujuan yang tepat. Mereka juga dapat meneladani banyak tokoh yang mencurahkan dedikasi, seraya tetap berani melakukan kritik secara terbuka terhadap kebobrokan moral yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.

9. Khauf dan Raja

Harapan (raja) dan takut (khauf) termasuk kedudukan para penempuh jalan Allah dan keadaan para pencari ridha Allah. Sifat yang ditunggu apabila menimbulkan kesedihan di hati di-namakan rasa takut (khauf). Jika menimbulkan kegembiraan maka dinamakan harapan (Al-Ghazali, 1995:261).

Dengan itu, peserta didik diharapkan dan sudah semestinya memiliki sifat khaufdanraja(harapan dan rasa takut) supaya dalam menuntut ilmu men-dapatkan nilai prestasi sebagaimana tujuan pendidikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Asma Hasan Fahmi (1979:174) mengatakan, “para pelajar mendapat penghormatan dan penghargaan karena mereka mencari sesuatu yang amat tinggi nilainya dalam dunia ini, yaitu ilmu pengetahuan”. Dengan ilmu, seseorang dapat menjadi mulia, sebagaimana Nabi Adam a.s dihormati oleh malaikat karena ia memiliki ilmu yang mulia.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakter Peserta didik

Sardiman AM. (2001:118) menjelaskan, bahwa karakter peserta didik adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan sosialnya. Ber-dasarkan pada pengertian yang

(7)

dikemuka-kan Sardiman tersebut, dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi karakter peserta didik secara umum yaitu; faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Kedua faktor ini yang dominan mem-pengaruhi karakteristik peserta didik.

1. Faktor Internal

Fleksibilitas (kelenturan) sifat peserta didik ditinjau dari segi fisiologi, yaitu hasil dari hakikat jaringan urat syaraf dan sel-sel otak (Al-Syaibani, 1979:156). Syaraf dapat di-pengaruhi oleh perulangan latihan yang menghasilkan adat kebiasaan sifat tertentu.

2. Faktor Lingkungan

Lingkungan tempat peserta didik hidup diyakini besar pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian dan karakter peserta didik, Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Keluarga, merupakan lingkungan yang pertama dan utama dialami oleh seorang peserta didik. Situasi keluarga akan turut menentukan bagaimana karakter peserta didik dibentuk. Sedangkan sekolah, merupakan lingkungan tempat bertemu peserta didik dengan teman-teman yang lain. Pertemuan mereka datang dari ber-bagai budaya dan sosial yang berbeda-beda. Seorang peserta didik yang secara psikologis berada pada masa pencarian identitas, akan mengikuti gaya hidup temannya yang lain yang dianggapnya cocok dengan dirinya.

Dengan demikian, untuk terbentuknya karakter peserta didik yang baik perlu dibangun suatu lingkungan yang baik, agar peserta didik dalam menjalani hidupnya menuju pada pembinaan sifat-sifat yang positif. Walaupun pada awalnya sifat seorang peserta didik adalah baik, namun karena hidup dalam lingkungan yang tidak baik, ia dapat mengalami penyimpangan dan perubahan kepribadian sesuai dengan watak lingkungan itu sendiri.

Karakter Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Setiap aktivitas pendidikan, umum maupun Islam tentu memiliki sumber-sumber norma. Pendidikan sebagai aktivitas yang normatif dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu yang digunakan sebagai landasan berpijak. Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki landasan utama yang bersumber pada ajaran-ajaran Islam.

Al-Qur’an menurut Abdurrahman Shalih (1994:152), sebagaimana yang dikutip dari Thabram dan S. Arifin, memiliki spesifikasi pandangan kependidikan. Beberapa idiom yang banyak dijumpai dalam al-Qur’an seperti perkataan “rabb” sebagai akar kata tarbiyah merupakan konsep pendidikan yang secara konvensionai masih digunakan hingga sekarang.

Di samping itu pula al-Qur’an memiliki beberapa keistimewaan dalam usaha pendidikan manusia di antaranya adalah:

1. Menghormati akal manusia; 2. Bimbingan ilmiah;

3. Tidak menentang fitrah manusia; 4. Penggunaan kisah-kisah untuk

tujuan pendidikan; dan

5. Memelihara keperluan-keperluan sosial (Hasan Langgulung, 1995:36-37).

Sumber pendidikan Islam yang paling utama adalah al-Qur’an yang juga merupakan sumber pertama dalam ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Langgulung (1995: 196) menyatakan bahwa tidaklah berlebihan kita menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pertama yang patut menjadi tempat peng-ambilan pendidikan Islam kita. Demikian juga Zakiyah Darajat (1996:21) berpendapat bahwa pendidikan Islam harus menggunakan al-Qur’an sebagai sumber utama yang merumuskan berbagai teori pendidikan Islam.

(8)

Oleh karena itu, bertolak dari pe-mahaman terhadap al-Qur’an khususnya surat al-Kahfi ayat 66-67, peserta didik agar sukses dalam belajarnya, ia harus:

1. Menunjukkan minat yang tinggi, 2. Tawadhu’

3. Tha’at,

4. Berambisi untuk memperoleh ilmu, 5. Sopan santun,

6. Sabar, 7. Optimis, dan 8. Ikhlas.

Karakteristik-karakteristik tersebut yang dapat dipahami dari surat al-Kahfi ayat 66-67 tentu memiliki implikasi logis terhadap diri peserta didik yang sedang melaksanakan proses belajar mengajar. Dengan demikian, implikasi pendidikan dari karakter peserta didik dalam ayat al-Qur’an tersebut, yaitu:

1. Peserta didik dalam melaksanakan proses belajar mengajar harus memiliki niat yang lurus.

Niat yang lurus, merupakan langkah awal untuk membangun unsur psikologi manusia yang kokoh, tangguh, tidak mudah patah semangat, sehingga suatu aktivitas dilalui dengan penuh keyakinan. Dalam pendidikan Islam, niat yang lurus itu terpusat pada Allah SWT sebagai sumber ilmu dan kebahagiaan. Oleh karena itu, niat dalam belajar terkonsentrasi pada upaya untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat yang dianugerahkan oleh Allah Swt.

2. Peserta didik dalam melaksanakan proses belajar mengajar harus memiliki kesucian hati.

Sifat-sifat yang dituntut dalam mencari ilmu tersebut dalam pendidikan Islam mengarah pada konsekuensi untuk mensucikan hatinya dari sifat kotor, hasud, dan akidah yang lemah agar ia mampu nangkap ilmu dan menghapalnya serta me-nyingkap berbagai rahasianya. Dalam pen-didikan Islam, ilmu itu datang dari Allah, sehingga untuk mendapatkannya perlu

mendekatkan diri kepada Allah. Untuk dapat dekat dengan Allah, tiada lain yaitu dengan cara membersihkan hati dari sifat-sifat yang hina dan kotor. Hal ini didasarkan pula bahwa ilmu adalah ibadahnya hati dan taqarubnya Jiwa kepada Allah. Sebagaimana shalat tidak sah kecuali suci dari najis, maka ilmu pun tidak sah kecuali bersihnya hati dari kejelekan karakter. Hal inilah yang me-nyebabkan seseorang akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat sehingga menggapai derajat yang tinggi.

Sebagai pribadi, peserta didik harus bersih hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam menangkap pelajaran, menghapal dan meng-amalkannya.

3. Peserta didik dalam proses belajar mengajar harus memiliki akhlak yang mulia.

Peserta didik yang sedang belajar harus bersikap tawaddu’ rendah hati pada ilmu dan guru. Di samping ia juga harus menjaga keridhaan gurunya. Ia jangan menggunjing di sisi gurunya, juga jangan menunjukkan perbuatan yang buruk, mencegah orang lain yang menggunjing gurunya. Dalam pada itu, ia berupaya untuk lebih dekat dengan guru agar mendapatkan pemahaman yang sempurna dan tidak sulit, bersikap sopan santun ketika mengadakan proses belajar mengajar, karena yang demikian itu berarti menghormati guru dan memuliakan majelis ilmu, jangan mengajukan pertanyaan atau permasalahan kecuali setelah mendapatkan izin dari guru. Bersamaan dengan itu jangan bertanya, tentang sesuatu di luar masalah yang dibahas, kecuali masalah itu diketahui-nya, karena hal itu akan kurang menyenang-kan hati guru.

Selanjutnya, peserta didik bersikap sabar, dan menjauhkan diri dari perlakuan yang kurang baik dari gurunya dan jangan menutup diri dan terus berupaya me-nyertainya dengan menduga tetap ada

(9)

nilai-nilai positifnya, dan hendaknya ia menduga terhadap perbuatan guru yang secara lahiriah tampak buruk, tetapi pada hakikatnya tetap baik. Ia tetap harus me-nunjukkan sikap yang manis, cita-cita yang tinggi, tidak puas dengan hasil ilmu yang sedikit padahal peluang cukup banyak, tidak menunda-nunda keberhasilan walaupun sedikit.

4. Peserta didik dalam proses belajar mengajar harus menyempurnakan ikhtiar.

Ikhtiar merupakan kewajiban setiap insan dalam rangka menggapai pertolongan Allah Swt. dalam mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Artinya kesucian hati dan kemuliaan akhlak tidak terpisah dari keharusan berikhtiar dalam mendapatkan pertolongan Allah Swt. Kesempurnaan ikhtiar seorang siswa terlihat dan sejauh mana kerelaan berkorban dan meluangkan waktu yang cukup untuk tercapainya ilmu yang diinginkan. Peserta didik harus siap mencari ilmu walaupun dengan jarak yang jauh dan memerlukan perjalanan yang sulit. Melalui ikhtisar tersebut, peserta didik akan terlatih untuk berjuang di jalan kebenaran yang diridhai Allah dengan sungguh-sungguh, karena mencari ilmu merupakan pekerjaan yang paling mulia.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa peserta didik harus bersih hatinya agar mendapatkan pancaran ilmu dengan mudah dari Tuhan melalui seorang guru. la juga harus menunjukkan sikap akhlak yang tinggi, terutama terhadap gurunya, pandai membagi waktu yang baik, me-mahami tata krama dalam majelis ilmu, berupaya menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap yang memancing ketidaksenangan guru, giat belajar dan sabar dalam menuntut ilmu. Sifat-sifat yang demikian itu sebagai prasyarat untuk men-capai keberhasilan dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Jadi, peserta didik bukan hanya orang yang melewati pendidikan dan memperoleh Ijazah. Mereka juga bukan sekedar peserta didik yang mendalami dan mempelajari ilmu di sekolah. Mereka selain itu semua adalah kelompok orang yang berakhlak mulia, memiliki karakteristik yang terpuji. Dengan demikian, dalam pendidikan Islam peserta didik selain berilmu juga disertai taqwa dan amal saleh yang melekat pada kepribadian-nya.

Dengan demikian, implikasi dari sifat-sifat yang telah dikemukakan di atas, menuntut pada peserta didik untuk memiliki sifat yang baik tersebut, karena tanpa disertai dengan sifat yang terpuji, kecerdasan akal semata-mata tidak akan menghantar-kan pada perolehan kebenaran ilmu secara hakiki. Ilmu yang benar secara hakiki me-rupakan limu yang dianugerahkan Allah dan membawa pada kemanfaatan.

Penutup

Berdasarkan pembahasan tentang karakter peserta didik tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan dengan pemaparan berikut; Pertama,pendidikan Islam erat sekali dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan dalam merumuskan teori-teori pendidikan Islam. Aktivitas pendidikan yang sejalan dengan pedoman al-Qur’an dan al-Hadits tersebut, hampir dapat dipastikan tidak akan hampa dari nilai-nilai Ilahi yang pada gilirannya dapat dicerna oleh peserta didik sebagai bekal hidup baik di dunia maupun di akhirat. Peserta didik dalam pendidikan Islam merupakan salah satu komponen utama yang bersifat manusiawi dan memiliki potensi untuk dinamis ke arah kemuliaan akhlak, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan pendididkan Islam berpotensi besar dalam membentuk karakter peserta didik sesuai dengan konsep-konsep yang termuat dalam Qur’an,

(10)

al-Hadits dan hasil pemikiran para ahli pendidikan Islam.

Kedua, implikasi paedagosis yang tersirat dalam surat al-Kahfi ayat 66-67 tentang karakter peserta didik merupakan pelajaran sejarah yang menggambarkan proses pencarian ilmu, yaitu yang dilakukan oleh Nabi Musa a.s. sebagai seorang peserta didik. Beliau memiliki beberapa karakter yang dapat dipandang sebagai unsur manusiawi dan dapat diteladani oleh para peserta didik. Di antara karakter yang dimiliki oleh Nabi Musa a.s, yaitu tawadhu’, sabar, ikhlas, khauf dan raja, ambisius dan syukur. Sedangkan ketidaktaatan Nabi Musa terhadap Hidir sebagai gurunya justru menjadi penyebab gagalnya kebersamaan mereka, sehingga dalam ujung kisah disebutkan mereka berpisah karena melanggar kesepakatan yang berarti pula hilangnya sifat taat terhadap guru. Dengan demikian, implikasi pen-didikannya bahwa seorang siswa harus menghiasi diri dengan kesucian jiwa dan akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sehingga dapat menerima pancaran cahaya ilmu dari Allah Swt. Jika tidak demikian, ilmu yang didapatkan oleh seorang peserta didik menjadi kurang bermanfaat dan tidak menghantarkan pemilik ilmu tersebut pada derajat takwa.[]

Daftar Pustaka:

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Abuddin Nata,Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Dan Murid, Jakarta: Rajawali Press, 2001.

___________,Filsafat Pendidikan Isam. Jakarta: Logos, 1997.

Ahmad Tafsir, Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Fakultas Tarbiyah UUN Sunan Gunung Djati Bandung, 1995.

Al Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

________, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jilid I, Semarang: Cv. Asyifa, 1995.

Al Syaibani, Falafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bintang, 1979.

Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1996.

Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1992.

Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.

Hasan Langgulung,Manusia dan Pendidikan (Studi Analisis Psikologi dan Pendidikan), Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.

James Drever,Kamus Psikologi,Jakarta: Bina Aksar, 1986.

J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, metode ini memuat beberapa tahap yang harus dikerjakan dalam kelompok dimana setiap tahap akan lebih membuat suasana pembelajaran menjadi hidup sehingga siswa bisa

4.4.4 Grafik Hubungan Antara Putaran Poros dan Daya Mekanis Untuk Tiga Variasi Kecepatan Angin Data dari Tabel 4.4, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 yang sudah diperoleh pada

bersama akibat hukum dari perceraian adalah majlis hakim Pengadilan Agama Semarang dalam membagi harta bersama dengan berlandaskan dari rasa keadilan, sehingga

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi atau penerapan pendekatan Realistic Mathematic Education dengan strategi

Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan satuan organisasi wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di lingkungan masing-masing maupun an tar

Karya menumental lainnya yang terkait dengan konteks “temporer” adalah ketika Presiden sukarno sedang mendengungkan jargon politiknya yang disebut Genta Suara Revolusi

Harga jual suatu rumah pada perumahan merupakan penjumlahan dari harga tanah matang dalam satu kavling dengan biaya konstruksi rumah serta besarnya keuntungan yang diambil..

Adanya teori harapan, teori emosi, dan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh para tokoh psikologi, terbukti bahwa aspek-aspek kejiwaan seperti perasaan dan emosi memegang