• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trajektori Populisme Islam di Kalangan K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Trajektori Populisme Islam di Kalangan K"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Senior: Ismid Hadad • Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal (Malaysia), Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Australia) • Redaktur Pelaksana Jurnal & Portal: Harry Wibowo • Redaktur Ekonomi: Fachru Nofrian Bakarudin • Redaksi: E Dwi Arya Wisesa, Nezar Patria, Rahadi T Wiratama • Direktur Bisnis & Pengembangan: Elya G Muskitta • Produksi: Awan Dewangga

Alamat: LP3ES, Jalan Pangkalan Jati No. 71, Pondok Labu-Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 27654031 ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengun-dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. © Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Vol. 36, No. 3, 2017

Bangkitnya Populisme dan Krisis Demokrasi

T O P I K K I T A

2 Sejarah Berakhir dan Sejarah Baru Berawal

3 Kebangkitan Populisme Kanan dalam Negara Hukum Demokratis

10 Persenyawaan Politik Identitas dan Populisme: Tawaran Kerangka Analisis

19 Trajektori Populisme Islam di Kalangan Kelas Menengah Muslim Indonesia

28 Gelombang Ketiga “Populisme” di Amerika Latin

48 Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia

Daniel Dhakidae

F Budi Hardiman

Luky Djani

Wasisto Raharjo Jati

Nur Iman Subono

Abdil Mughis Mudhoffir, Diatyka Widya Permata Yasih & Luqman-nul Hakim

Vol. 37, No. 1, 2018: Budaya Humor

Vol. 37, No. 2, 2018: Kedaulatan Energi

100 P A R A P E N U L I S

ISSN 0301-6269

B U K U

88 Menyoal Kembali Populisme

95 Kiri Eropa dan Muslim Progresif

Iqra Anugrah

Muhammad Al-Fayyadl

D I A L O G

60 Kebangkitan Populisme Islam: Menantang atau Diserap Oligarki?

A R T I K E L

82 Menunda Perjuangan Indonesia Merdeka

Emile Schwidder

Sumber Gambar sampul: GM Sudarta

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(2)

19 Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

M

embincangkan populisme dalam

Islam merupakan narasi dan analisis yang menarik dalam kajian sosial-politik Indonesia dewasa ini. Hal tersebut kian “mengental” dengan berlangsungnya serang-kaian aksi protes massal jalanan (mobocracy) saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam yang mengatasnamakan “Aksi Bela Islam”, “Aksi Bela Qur’an, serta “Aksi Bela Ulama” dengan memakai tagar #Aksi411 dan #Aksi212. Tak pelak, muncul aksi “tandingan” menanggapi aksi-aksi sebelumnya dengan me-ngusung pluralisme dan kebinekaan. Dibanding aksi kedua, aksi-aksi pertama sangat menyita perhatian publik dan media massa, baik

nasio-Trajektori Populisme Islam di

Kalangan Kelas Menengah

Muslim Indonesia

*

Wasisto Raharjo Jati

nal maupun internasional, karena jumlah peser-ta yang masif dan menggunakan dalil-dalil dari kitab suci Qur’an dan Hadist untuk melegitimasi unjuk rasa tersebut. Aksi-aksi massa tersebut secara sugestif mampu menautkan dimensi ukhrawi dan duniawi dalam kepentingan politik praktis. Kondisi tersebut kemudian secara dog-matis dan psikis menguras emosi publik, baik di pihak yang menyetujui maupun menentang aksi itu. Terjadi polarisasi sangat tajam yang bersemayam hingga kini dalam tubuh masya-rakat melalui pencapaian serta eksklusi sosial. Segregasi ruang sosial itu bisa kembali “memanas” bila ada peristiwa politik yang memantiknya dan menjadi bom waktu yang siap meledak bila menemukan momen politik yang tepat (misalnya, saat penyelenggaraan pemilihan umum).

Berbagai macam analisis bernuansa populer maupun ilmiah menyebut bahwa aksi-aksi

Populisme merupakan salah satu unit analisis cukup penting dalam membaca konstelasi sosial-politik Indonesia dewasa ini. Istilah itu biasanya disematkan pada kalangan kelas menengah yang mengangkat dan mengatasnamakan aspirasi kaum pinggiran dengan “menelikung” demokrasi. Perkembangan demokrasi pasca-Reformasi di Indonesia yang belum bisa secara maksimal menyelesaikan setiap persoalan antar-warga negara justru melahirkan corak tertentu yang bertolak belakang dengan amanat konstitusi, di antaranya mobocracy yang dijadikan sarana sekaligus alat untuk mengubah praktik demokrasi yang telah mapan. Kelas menengah menjadi aktor yang sangat vokal menyuarakan kepentingan kelompok melalui praktik-praktik informal, egaliter, dan independen. Tulisan ini mengulas perkembangan dan prospek populisme di kalangan kelas menengah Muslim Indonesia.

Kata Kunci: aksi jalanan, demokrasi, Islam, kelas menengah, populisme S U R V E I

Prisma

* Ini merupakan versi pembaruan artikel penulis

berjudulRadicalism in the Perspective of Islamic Populism: Trajectory of Political Islam in Indo-nesia”, dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2013, hal. 268-287.

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(3)

massa dengan memakai “jubah” agama tersebut merupakan bentuk konservatisme dan ge-lombang baru intoleransi dalam demokrasi di Indonesia. Dari segi jumlah peserta, “Aksi 411” dan “Aksi 212” dapat dikatakan merupakan gerakan massa terbesar pasca-gerakan Mei 1998; yang kurang lebih bertujuan menyuara-kan perubahan maupun tuntutan meski dengan tujuan dan maksud berbeda. Karena itu, po-pulisme menjadi sebuah kerangka teori yang dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk melihat sekaligus menelisik “Aksi 411” dan “Aksi 212.”

Populisme Islam, Kekecewaan

Publik, dan Representasi Publik

Populisme merupakan sebuah istilah yang mulai banyak digunakan untuk menelaah situa-si politik terkini. Sebagaimana diketahui, ke-percayaan publik terhadap demokrasi kian mengendur karena praktik institusionalisme dan prosedural dalam demokrasi justru mela-hirkan banyak bias yang berujung pada mun-culnya oligarki baru. Di sisi lain, aspirasi dari kalangan akar rumput kerap tersendat karena kaderisasi dan komunikasi politik tidak berjalan maksimal. Kondisi tersebut menghadirkan ke-kecewaan publik terhadap jalannya demokrasi, yang kemudian mencari celah alternatif untuk membangun representasi kekuasaan pada aras elite. Populisme menawarkan jalan alternatif tersebut dengan semacam romantisasi kembali pada makna rakyat sebagai “demos”; pemegang kekuasaan tertinggi di atas lembaga trias politika. Romantisasi “demos” menjadi kata kunci penting yang menarik untuk mengembalikan nilai-nilai substantif demokrasi ke dalam praktik pemerintahan. Namun, dalam aspek lainnya, po-pulisme secara tidak langsung mereduksi mar-wah demokrasi karena bertujuan menelikung saluran konstitusional dengan “menafikan” berbagai macam tahapan dan prosedur yang seharusnya dilalui. Hal tersebut tentu saja menjadi preseden negatif bagi indikator capaian demokrasi suatu negara dengan

ketidakperca-yaan terhadap lembaga-lembaga publik mengin-dikasikan adanya permasalahan kredibilitas dalam relasi negara dan masyarakat. Hal terse-but menjadikan gerak populisme di kalangan kelas menengah ibarat dua sisi dari pedang yang sama: aksi kuratif atau aksi represif terhadap demokrasi.

Berkembangnya populisme dalam Islam tidak terlepas dari narasi kekecewaan terhadap demokrasi. Bila populisme konvensional yang bertujuan kuratif dan konstruktif terhadap proses demokrasi agar lebih peka terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakat luas, maka po-pulisme yang berkembang dalam Islam me-ngambil jalur agak berbeda. Pertama, kata “umat” digunakan sebagai proxy demos (rakyat) yang secara eksklusif memperjuangkan kepen-tingan umat Muslim.1

Kedua, alih-alih mendu-kung dengan demokrasi sebagai jalan utama membentuk pemerintahan, populisme Islam cenderung mendukung sistem pemerintahan selain demokrasi, seperti pemerintahan teo-krasi semacam khilafah atau pemerintahan bersyariah yang esensinya menuju pada negara kesejahteraan (darul salam). Ketiga, populisme Islam lebih mengedepankan aspek penguatan identitas berbasis simbol religiositas. Hal terse-but berbeda dengan populisme pada umumnya yang lebih mengutamakan kolektivitas gerakan.

Berkembangnya Populisme

dalam Islam

Populisme yang berkembang dalam Islam senantiasa dikaitkan dengan upaya menjadikan Islam sebagai alat politik. Penggunaan Islam sebagai simbol politik sebenarnya menegasikan pemahaman publik bahwa praktik demokrasi belum kompeten secara rasional dan matang secara material.2 Namun demikian, Islam selalu

1 Lihat, Vedi R Hadiz, Islamic Populism in Indonesia

and the Middle East (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), hal. 4.

2 Dimensi politik populisme Islam terbagi dalam

dua jalur, yakni “revivalis” yang mengarah pada

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(4)

21 Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

menjadi komoditas politik yang secara sugestif dan sensitif mampu menjadi faktor determinan dalam memengaruhi preferensi politik publik dan hasil akhir. Kelihaian menggunakan isu-isu agama sebenarnya lebih pada upaya meng-aduk-aduk emosi dan pemahaman publik, baik secara dogmatis dan psikis menyangkut urusan duniawi maupun ukhrawi. Implikasinya tampak saat melihat politik yang esensinya adalah suksesi kekuasaan menjadi urusan surga dan neraka. Kondisi itulah yang melatarbelakangi populisme Islam menyeruak masuk ke ruang publik.

Di sisi lain, “radikalisme” dan “terorisme” sering kali disangkutpautkan sebagai bentuk populisme Islam. Kedua istilah tersebut sebe-narnya merupakan bentuk pemahaman Ero-pasentris berdasarkan pengalaman serupa da-lam agama Kristen yang kemudian disematkan untuk memahami praktik kekerasan dengan mengatasnamakan Islam.3 Namun, kedua istilah tersebut sejatinya berjalan dalam logika yang sama sekali berbeda. Radikalisme dan teroris-me lebih teroris-mengarah pada bentuk teroris-mekanisteroris-me kekerasan dan intimidatif dalam upaya meraih kepentingan tertentu, sedangkan populisme lebih banyak bergerak pada alur logika pemak-saan dan seduktif. Hal itu secara signifikan membuat populisme mengandung arti dan menempuh jalan berbeda dibandingkan dengan radikalisme dan terorisme.

Istilah populisme sendiri sebenarnya adalah

proxy dalam demokrasi, dan dipakai untuk mengukur derajat “demos” sebagai pemegang supremasi kedaulatan publik melalui mobilisasi

massa.4 Namun, tatkala demokrasi menjadi kian prosedural dan “konstitusional” meninggalkan masalah tentang adanya kontestasi isu dan kepentingan yang ketat, tak pelak mendorong lahirnya mobilisasi massa sebagai “kekuatan penggertak” (power of deterrence) terhadap elite agar memenuhi segala tuntutan dan ke-pentingan mereka. Dengan kata lain, populisme adalah “cara menelikung” saluran konstitusional melalui pelbagai simbol, baik berupa isu, iden-titas, figur, maupun masalah tertentu yang dinilai urgen dan harus segera diselesaikan. Karena itu, populisme sering dianggap sebagai salah satu faktor utama yang bisa mengubah peta konstelasi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, dengan cepat dan instan.

Namun demikian, karena terutama berbasis pada simbol, populisme yang berkembang di kalangan kelas menengah lebih bersifat tem-porer dan aktif-reaktif terhadap suatu masalah. Pilihan untuk tetap berjalan di jalur konstitusi justru mulai ditinggalkan karena dinilai tidak berpihak pada kepentingan publik secara lebih luas. Logika informalitas, day to day politics, serta egalitarian merupakan indikasi utama praktik politik kelas menengah Indonesia de-ngan bertumpu pada isu maupun kepentide-ngan tertentu yang patut dan harus dibela. Pada intinya, populisme berusaha menjadi payung besar diversifikasi kepentingan melalui sebuah simbol kuat yang mampu memengaruhi dan “mengajak” massa untuk bergerak.

Populisme berlandaskan pengarusutamaan agama (Islam) umumnya mengangkat isu-isu klasik mengenai degradasi moral, demokrasi yang tidak memihak umat Muslim, serta pem-bentukan negara Islam sebagai solusi terakhir. Ketiga isu tersebut senantiasa “dinaikkan” da-lam bentuk alat serta mobilisasi politik yang cu-kup efektif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa populisme Islam adalah semacam

bentuk syariatisasi Islam sebagai dasar negara yang ideal dan “konstitusionalis” yang mengarah pada pengadopsian nilai, norma, dan prinsip Is-lam sebagai agama sipil; lihat, Kemal Karpat, The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State (New York: Oxford University, Press, 2010), hal. 17.

3 Robert Pringle, Understanding Islam in Indonesia:

Politics and Diversity(Singapore: Editions Didier Millet, 2010), hal. 13.

4 Benjamin Arditi, “Populism as an Internal

Pe-riphery of Democratic Politics”, dalam Fransisco Panizza, Populism and the Mirror of Democracy

(London: Verso, 2005), hal. 94-95.

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(5)

“panacea” dan ekspresi berpikir eskapisme kelas menengah Muslim baru, yang secara tidak langsung mencerminkan potensi untuk kembali mengambil “garis konservatif” setelah sebelumnya berada di jalur inklusif. Pola ter-sebut dapat dilihat dari serangkaian ekspresi Islam skriptual di ruang publik yang berujung pada ekslusivisme di dalam komunitas ma-syarakat. Pada dasarnya, ekspresi yang ber-kembang di kalangan kelas menengah Muslim Indonesia lebih mengarah pada kontekstuali-sasi keimanan di ruang publik. Namun, konteks-tualisasi tersebut menjadi keliru dan salah arah manakala keimanan dijadikan alat utama men-justifikasi kepentingan politik tertentu.

Pada dasarnya, kelas menengah Muslim di Indonesia sebagai pelaku utama populisme Islam lebih mencari eksistensi daripada sekadar ideologi.5 Dengan kata lain, mereka berkei-nginan membangun dan menunjukkan eksis-tensi (politik) melalui jalur nonpartai. Sementara itu, dari segi sosial, populisme lebih diartikan sebagai popularisasi Islam sebagai bentuk atau “pandangan hidup.” Namun demikian, kelas menengah Muslim di negeri ini sangat terfrag-mentasi dalam menerima dan memahami Islam secara lebih luas. Semua bergantung pada kebutuhan individu ataupun kolektif. Hal yang sesungguhnya jauh lebih menarik adalah ko-relasi antara kelas menengah Muslim dan makna populisme yang dapat ditafsirkan aneka macam.

Argumentasi mengenai populisme Islam yang berkembang di Indonesia didahului oleh istilah-istilah akademis, seperti conservative

turn, masyarakat intoleran, jihad urban, dan

religious claimant.6 Keempat istilah analitis

tersebut berangkat dari pertanyaan mengapa kekerasan mengatasnamakan Islam kembali menyeruak pasca-Orde Baru. Kemunculan berbagai kelompok “jihadis” perlu dicermati sebagai indikasi menguatnya Islam sebagai ideologi politik. Sebagaimana dikemukakan dalam tesis Noorhaidi Hasan, jihadisme yang muncul sebagai embrio populisme Islam tidak terlepas dari setting perang global terhadap terorisme. Hal tersebut membawa dampak pada pelbagai labelisasi negatif, seperti Kristen, Tionghoa, serta Barat yang dianggap sebagai “musuh” Islam. Sentimen tentang segregasi masyarakat Indonesia berdasarkan identitas yang membentuk “kantong-kantong” sosial itu hadir sejak era kolonialisme hingga detik ini. Jihad yang dipahami kelas menengah Muslim Indonesia dewasa ini tentu saja berbeda dengan makna jihad pada era Nabi. Bila dahulu yang diperangi adalah ideologinya, maka jihad yang kini berkembang cenderung terpolarisasi secara politis.

Argumentasi conservative turn didalilkan oleh Martin van Bruinessen yang melihat gejala konservatisme berangkat dari upaya pemurnian kembali masyarakat melalui Islam.7 Gagasan

tersebut bermula dari kelompok diskusi kecil di kampus yang kemudian menyasar kelompok-kelompok majelis ta’lim masyarakat perkotaan. Narasi lain mengenai conservative turn hadir seiring dengan kian maraknya “pengultusan” ulama sebagai sikap taklid umat kepada

pe-5 Pada dasarnya, kelas menengah Muslim

Indone-sia berupaya membangun citra sebagai masya-rakat modern, namun di sisi lain tetap mencoba membangun masyarakat Islami. Ambivalensi seperti itu membuat pemahaman tentang nilai-nilai, prinsip, dan norma Islam berbasis isu dan kepentingan mudah merenggang dan fluktuatif; lihat, Liputan Khusus Majalah TEMPO edisi 19-25 Juni 2017, “Muslim Konservatif: Saleh atau Salah?”, hal. 50-65; Wasisto Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Depok: Penerbit LP3ES, 2017), hal. 74.

6 Argumentasi religious claimant sebenarnya

me-rupakan bentuk transformatif dari konservatisme religius yang hendak diterapkan dalam konste-lasi politik Indonesia; lihat, Gde Dwitya Arief Metera, “Problems with Indonesia’s Religious Democracy”, dalam http://crcs.ugm.ac.id/ news/11137/problems-with-indonesias-religious-democracy.html (diakses 24 Juli 2017).

7 Lihat, Martin van Bruinessen (ed.), Contemporary

Developments in Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn” (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies [ISEAS], 2013).

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(6)

23 Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

mimpin. Lebih dari sekadar conservative turn, ada indikasi lebih besar yang hendak disam-paikan populisme Islam, yakni melakukan

religious claimant di ruang publik.

Religious claimant selama ini diartikan se-bagai bentuk aksi unjuk kesalehan di ruang pu-blik berbasis simbol keagamaan. Dewasa ini, kesalehan sudah tidak lagi sekadar menjalan-kan ibadah wajib dan sunnah, namun juga diser-tai simbol-simbol yang memerkuat peribadatan itu. Hal tersebut penting untuk dikaji lebih lanjut mengingat “nilai” kesalehan telah menjadi ba-gian dari pemenuhan identitas seseorang atau kolektif. Dalam konteks itu, sikap chauvinistik terhadap agama menjadi dalil yang tak terpisah-kan, karena munculnya sikap religius sendiri vis a vis terhadap entitas politik amoral. Sayangnya, posisi religious claimant senantiasa mengede-pankan aksi intrusi dan persekusi kekerasan terhadap orang atau kelompok lain yang diang-gap tidak satu pandangan, baik dalam keimanan maupun teologi.

Kedua tahapan sebelum masuk ke fase populisme tersebut menunjukkan adanya eska-lasi pemahaman akan nilai-nilai, norma, dan prinsip Islam secara lebih ketat dan kuat. Hal tersebut bisa diindikasikan dengan pemaknaan

hira’ dan hijrah sebagai bentuk penegasan identitas keislaman. Hira’ sendiri sebenarnya bermakna “gua” yang dalam sejarahnya adalah tempat Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu, sedangkan hijrah’ lebih kepada makna pindah dari kafir menuju saleh. Keduanya kemudian menjadi tolok ukur penting akan pemahaman biner masyarakat dewasa ini yang “terjebak” antara kafir versus Islam. Viktimisasi Islam kemudian dinarasikan secara luar biasa yang mendorong masyarakat kelas menengah awam bertransformasi menjadi kelas menengah Muslim. Dalam konteks kelas menengah Muslim di Indonesia, kedua hal tersebut menjadi titik analisis utama menguatnya kebang-kitan Islam di dalam ruang publik. Fase per-kembangan populisme Islam dengan kasus kelas menengah Muslim Indonesia dianalisis dalam Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa berlangsung semacam eskalasi kebutuhan cukup signifikan dalam tubuh kelas menengah Muslim di Indo-nesia. Pertama, kelas menengah Muslim In-donesia sesungguhnya identik dengan kelas menengah Indonesia pada umumnya yang kemudian mengalami “santrinisasi” pasca-Orde Baru. Santrinisasi tidak diletakkan sebagai hasil pendidikan pesantren secara fisik, namun seca-ra keilmuan telah diajarkan agar lebih mudah diserap oleh publik. Kedua, Islam diletakkan dalam lingkup primordial yang dipakai sebagai alat penekan sekaligus “penawar politik” kepada rezim yang berkuasa. Kebutuhan akan reli-giositas kelas menengah Muslim sesungguh-nya adalah hasil Islamisasi masyarakat secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.8 Sementara itu, munculnya populisme

Islam kerap dinarasikan sebagai bentuk ketia-daan ruang ekspresi umat dalam ruang kekua-saan negara yang pada gilirannya memicu pergolakan secara masif.

Berkembangnya tahapan dari conservative turn, religious claimant, hingga populisme Is-lam juga menunjukkan adanya ekspresi kesa-lehan dan kemarahan dari waktu ke waktu. Jika sikap konservatif diberi makna sebagai bentuk aksi dan praktik kembali pada nilai-nilai Islam secara mendasar dalam arti literal, maka sikap religius adalah upaya untuk menunjukkan kepa-da publik bahwa sesungguhnya umat merupa-kan representasi dari kelompok terpilih, baik sebagai pemimpin duniawi maupun akhirat. Narasi duniawi-ukhrawi dalam menjelaskan populisme Islam itu kurang lebih sebagai beri-kut. Pertama, narasi tersebut seolah menegasi-kan makna demokrasi dengan berupaya meng-ubahnya menjadi teokrasi. Kedua, masyarakat kemudian “tergiring” untuk menautkan dimensi duniawi-ukhrawi itu menjadi relasi negara dan masyarakat. Implikasinya adalah terbentuknya makna jihad dan thagut serta memicu aksi-aksi

8 Lihat, Inaya Rakhmani, Mainstreaming Islam in

Indonesia: Television, Identity, and the Middle Class (New York: Palgrave Macmillan, 2017).

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(7)

intoleran terhadap semua yang non-Islam. Keti-ga, pengutamaan sikap religius dalam demo-krasi yang dijalankan sepenuhnya dengan logi-ka populisme seolah menciptalogi-kan segregasi cu-kup lebar dalam artikulasi kepentingan dan isu.

Keempat, peran ulama mengalami penguatan tidak lagi sebagai broker kultural, melainkan juga

broker politik. Keempat hal tersebut membuat populisme Islam yang berkembang dalam kelas menengah Muslim menjadi agak rancu untuk dibicarakan lebih lanjut. Di satu sisi, agama ditampilkan sebagai justifikasi dari aksi politik tertentu yang bertindak secara inkonstitusional. Di sisi lain, populisme yang berkembang justru

ingin “memeluk” demokrasi seraya mendesak rezim yang berkuasa agar mengakomodasi ke-pentingan politik mereka. Dengan kata lain, narasi populisme Islam yang berkembang di dalam tubuh kelas menengah Muslim Indo-nesia belum bisa menawarkan solusi alternatif terhadap masalah yang selama ini dihadapi umat Islam.

Narasi Diskriminasi Menjadi

Sumber Populisme Islam?

Diskriminasi dan alienasi telah menjadi analisis klasik dalam membahas populisme

Tabel 1 Tahapan Populasi Islam dalam Kelas Menengah Muslim Indonesia

Sumber: Diolah dari berbagai data.

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(8)

25 Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

Islam di kalangan kelas menengah Muslim yang pada gilirannya memicu mobilisasi massa. Hal tersebut tercermin dalam pergolakan umat versus negara di masa Orde Baru hingga awal Reformasi mulai dari DI-TII, NII, Komando Jihad, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, dan lain-lain. Di tingkat akar-rumput Indonesia sendiri, perkembangan Wahabi dan Salafi tampak tidak terelakkan dalam peta dakwah di kalangan masyarakat kelas menengah Muslim.9 Hal lain

yang juga menarik dalam melihat pertumbuhan kelas menengah Muslim di Indonesia adalah berlangsungnya kapitalisasi nilai-nilai Islam, baik dalam bentuk visual maupun material. Karena itu, populisme berkembang ke kedua arah, yak-ni revitalisasi Islam di ruang publik dan kapita-lisasi Islam di ruang sosial. Populisme berbasis revitalisasi Islam mengusung “kekecewaan” terhadap praktik politik formal yang kian me-nguat bila ruang terbuka untuk berekspresi yang diberikan negara justru “diduduki” oleh para elite baru. Ideologi yang tidak jelas ditam-bah mengecilnya peran partai politik berbasis Islam membuat sentimen politik itu kian me-nguat dan melebar.

Tak pelak, sentimen politik berbalut hasrat kepentingan dan isu yang tidak tersampaikan secara tuntas pada ranah formal tersebut akan menciptakan dan melahirkan praktik intoleransi terhadap elemen masyarakat lainnya. Dalam hal ini, populisme kelas menengah Muslim yang digerakkan dengan logika tersebut sebe-narnya tidak lebih dari sekadar “pengikut ke-pentingan” orang atau kelompok yang menjadi patron mereka. Mobilisasi massa Islam juga terkait dengan penyediaan logistik yang besar, sehingga populisme Islam justru lekat terikat pada (patron) kepentingan tertentu. Kondisi itulah yang membuat aktor dan kelompok-kelompok populisme Islam rentan dipengaruhi dan dikuasai kepentingan tertentu yang sesung-guhnya tidak terkait sama sekali dengan per-juangan Islam. Populisme Islam yang digerak-kan oleh logika kekecewaan politik dapat dianalisis dalam kerangka yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Narasi kekecewaan publik dalam populisme politik diartikan sebagai respons terhadap alienasi ekonomi serta situasi politik represif yang memicu pergolakan publik secara masif di tingkat akar rumput. Pada dasarnya, populisme adalah ideologi yang melekat pada kelas me-nengah yang melihat dimensi politik secara

Tabel 2 Narasi Populisme Islam Kontemporer

9 Lihat, Jati, Politik Kelas Menengah Muslim….

Sumber: diolah dari berbagai data.

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(9)

egaliter, independen, non-partisan, dan kolektif. Pengertian tersebut melekat pada sifat kelas menengah sebagai privileged class yang senan-tiasa menjaga agar kepentingannya selalu ter-penuhi. Dengan kata lain, populisme adalah upaya pemenuhan berbagai kepentingan yang disatukan dalam satu tema besar. Karena itu, sangatlah penting membuat konstruksi tentang “musuh bersama” agar muncul imaji politik dan narasi pembelaan bahwa ada kepentingan dan permasalahan yang perlu ditegakkan. Dari hal itu bisa dicermati bahwa corak populisme (Islam) di Indonesia lebih banyak mengedepan-kan aspek emosional, simbolis, pragmatis, dan berjangka pendek. Namun, tren populisme itu sendiri sangat bergantung pada momentum politik dan terpenting adalah bagaimana me-rengkuh pengaruh politik melalui jalur akar rumput.

Dari hal tersebut sebenarnya sudah terlihat bahwa keberadaan dan eksistensi partai Islam belum mampu tampil sebagai rumah besar umat Islam secara utuh. Islam sebagai agama tidak serta-merta dikontekstualisasikan ke dalam politik bersifat profan. Kondisi tersebut menegasikan makna agama sebagai “penjaga moral” masyarakat, terlebih lagi ulama yang justru mengalami desakralisasi menjadi broker

politik. Dalam arti itu, tidak ada perbedaan signifikan antara populisme Islam dengan po-pulisme pada umumnya. Hal yang sesungguh-nya perlu diperhatikan adalah pergeseran motif populisme yang semula material mengarah ke simbol.

Secara teoretis, populisme Islam yang ber-beda dengan populisme pada umumnya, dapat dilihat dalam dua indikator berikut. Pertama, po-pulisme Islam berbeda dengan pola popo-pulisme yang menubuh dalam negara atau penguasa, misalnya, Peronisme, Chavizmo, Kemalisme, dan sebagainya. Kedua, populisme Islam bukan bentuk populisme berbasis figur politik. Kedua indikator atau pengertian tersebut memiliki makna bahwa tujuan akhir populisme dalam tubuh kelas menengah Muslim cenderung lebih mengarah pada kepentingan kolektif

dengan mengatasnamakan Islam. Fase analisis dalam melihat populisme Islam dapat dilihat da-ri pergeseran “Islam Politik” yang mengedepan-kan adanya semacam kebutuhan amengedepan-kan bentuk negara menjadi “Islam Publik” yang lebih me-lihat kebutuhan dalam ruang ekspresi skala nasional maupun global.

Ada yang memandang pergeseran tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh tren pasca-Islamisme dalam masyarakat Muslim. Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pada saat bersamaan bibit radi-kalisme justru menguat dalam tataran penge-tahuan dan praksis. Islamisme diberi makna secara sederhana sebagai instrumentasi agama dalam kepentingan politik. Hal tersebut dapat dibaca dalam penguatan dan “pemekaran” mak-na jihad sebagai bentuk perjuangan Islam. Jihad dimaksud adalah melawan “musuh” Islam, yakni Barat, yang kemudian diperluas menjadi siapa pun yang melawan Islam. Perluasan de-finisi tersebut menunjukkan bahwa gejala populisme kini berkembang tidak hanya pada aras informal saja, namun juga pada aras formal. Hal tersebut juga tampak dari perluasan makna

thagut yang tidak hanya menyasar rezim yang berkuasa, namun juga kalangan non-Muslim.

Selain dimaknai sebagai bentuk ekspresi akan representasi, populisme Islam juga tum-buh dan berkembang atas ekspresi akan materi. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena satu sisi kebutuhan teologi dan materi menjadi abu-abu dalam ruang diskusi populisme Islam di Indo-nesia. Pada dasarnya, populisme Islam yang berkembang di Indonesia masih sebatas res-pons “reaksioner” dan emosional terhadap situasi politik kekinian yang dianggap tidak memihak umat Islam.

Hal menarik dari populisme yang berkem-bang dalam tubuh kelas menengah Muslim bukan terletak pada upaya menjadikan Islam sebagai civil religion yang secara inklusif mendorong dan menjadi nilai dan norma bersa-ma. Populisme semacam itu cenderung menjadi orkestrasi kolektif untuk menunjukkan aktor yang berpengaruh dalam menentukan suara

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(10)

27 Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

umat. Karena itu, tidak berlebihan bila popu-lisme Islam kemudian dipahami sebagai bentuk “ideologi pembebasan” yang berupaya mewu-judkan redistribusi sumber daya dari kelompok dominan kepada kelompok marginal. Salah satu penyebab hadirnya populisme Islam adalah karena sebagian besar borjuasi Muslim me-nganggap diri “dipinggirkan” dari pola pemba-ngunan modern dalam kerangka neoliberal. Hal tersebut justru membuat kelas menengah Mus-lim di Indonesia mengalami konsolidasi secara ekonomi dan politik. Konsolidasi di bidang poli-tik terutama dalam hal penyampaian ekspresi politik Islam, sedangkan konsolidasi di bidang ekonomi dimaksudkan sebagai bentuk redistri-busi ekonomi yang merata dan seimbang.

Dalam perjalanannya, populisme yang ber-kembang dalam tubuh kelas menengah Muslim Indonesia bersifat fluktuatif yang kerap di-kaitkan dengan isu radikalisme, negara Islam, dan terorisme, yang membuat hubungan nega-ra dengan umat menjadi kunega-rang harmonis. Hal itu sering kali terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru; menjadikan Islam sebagai bagian dari objek kekerasan. Hal itu berdampak pada kebangkitan dan revitalisasi Islam sebagai “identitas politik.” Namun demikian, narasi po-pulisme Islam dalam logika kapitalisasi nilai-nilai Islam justru memiliki pengertian dan pema-haman berbeda dengan logika “kekecewaan.” Hal yang sesungguhnya diinginkan oleh se-bagian besar kelas menengah Muslim lebih mengarah pada publikasi nilai-nilai Islam agar bisa diterima dan didaku sebagai “perintis” da-lam setiap kehidupan bermasyarakat. Semen-tara itu, kapitalisasi Islam merupakan bentuk

ekspresi populisme kelas menengah Muslim yang paling “lunak”, karena hampir seluruhnya bersifat seremonial. Namun, populisme melalui kapitalisasi juga perlu dilihat sebagai bentuk adaptasi atau representasi Islam dengan “wajah” baru; tidak semua hal bisa dikatakan populisme Islam bila semangat mengedepankannya tidak mendapat tempat dalam masyarakat.

Kesimpulan

Trajektori populisme Islam di dalam tubuh kelas menengah Muslim terus-menerus me-ngalami transformasi. Mulai dari isu masyarakat

vis a vis negara beranjak menuju apple to ap-ple, baik dengan negara maupun masyarakat sekitar. Populisme yang mengakar pada soal kepentingan yang tak tersampaikan justru me-ngalami peningkatan dengan wujud identitas politik. Dengan demikian, populisme yang ber-kelindan dengan identitas ditambah narasi du-niawi-ukhrawi amat sangat mungkin menjadi pemantik yang membuat mobilisasi massa ber-basis kelas menengah Muslim dapat muncul di berbagai tempat. Populisme seperti itu sesung-guhnya adalah cerminan dari politik primordial yang belum selesai di Indonesia. Aksi politik bernuansa keagamaan sebagaimana “Aksi 411” dan “Aksi 212” seolah membuktikan bahwa pengedepanan sikap ideal dan rasional dalam pembangunan politik di Indonesia masih jauh dari harapan. Sekali lagi, ada dan menguatnya politisasi agama serta sosialisasinya di ruang pu-blik menegaskan bahwa primordialisme masih memiliki peran dan menempati posisi penting dalam demokrasi Indonesia kontemporer•

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

(11)

W

asi

sto

Ra

ha

rdj

o

Gambar

Tabel 1 Tahapan Populasi Islam dalam Kelas Menengah Muslim Indonesia
Tabel 2 Narasi Populisme Islam Kontemporer

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji coba lapangan menunjukkan t hitung > t tabel yaitu 1,83 > 1,67 maka, hipotesis H 0 ditolak,sehingga dapat disimpulkan pembelajaran dengan menggunakan

KJ selaku dosen pembimbing 1 yang telah bersedia meluangkan waktunya, pengalaman, ilmu, bantuan pemikiran dan bimbingan yang sangat berguna dalam proses penyelesaian Karya

Dalam membuat rangkaian timbangan dengan menggunakan load cell sebagai sensor untuk mendapatkan nilai pengukuran yang akurat belum maksimal karena pergeseran

2 Melihat pengertian jenis penelitian tersebut, dalam penelitian ini peneliti melakukan studi langsung ke lapangan untuk memperoleh data yang konkrit tentang

Hasil penelitian didapatkan mayoritas responden yang diberikan terapi religi memiliki perubahan nilai rata-rata pada saat pretest dan postest yaitu dengan nilai

Satu dari sekian banyak masalah dalam sebuah keluarga yang sering dialami anak yang memiliki saudara lebih dari satu yakni munculnya rasa persaingan antar saudara kandung atau

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa diklat responden yang ada di koperasi adalah secara umum diatas hanya dibidang akuntansi dasar dan manajemen yang secara spesifik

Berdasarkan tabel rekapitulasi rata-rata variabel kinerja dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan tergolong dalam kategori baik yang ditunjukkan sebesar 4,19