• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fiqh Perempuan Model Persatuan Islam (Telaah atas Pemikiran K.H. E. Abdurrahman dalam Karyanya Risalah Wanita) Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fiqh Perempuan Model Persatuan Islam (Telaah atas Pemikiran K.H. E. Abdurrahman dalam Karyanya Risalah Wanita) Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid *"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Karyanya

Risalah Wanita

)

Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid

* Abstrak

Persoalan perempuan atau fiqh perempuan yang saat ini menghangat dengan gempita sesungguhnya bukan merupakan persoalan baru. Hal itu paling tidak ditunjukkan oleh K.H.E. Abdurrahman,(1912-1983), salah seorang tokoh Persatuan Islam, yang telah menulis buku Risalah Wanita jauh sebelum persoalan perempuan ini bergema. Buku yang ditulis dengan semangat tekstualis ini penting untuk dikaji karena secara langsung atau tidak telah menyajikan pemikiran salah satu tokoh organisasi Islam yang dikenal sangat legalistic. Dengan kritik analisis jender yang bertumpu pada pembacaan teks yang utuh tulisan ini menampilkan telaah atas karya masih dirujuk oleh para anggota Persatuan Islam atau Persis di Indonesia.

A. Pendahaluan

Dalam salah satu karyanya yang telah menjadi klasik Deliar Noer mencatat Persatuan Islam1 yang lebih dikenal dengan nama

Persis, adalah organisasi modern Islam yang lebih menitikberatkan kegiatannya pada paham keagamaan. Kendati penilaian itu kini tidak

*Penulis adalah Staf Pengajar pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Untuk korespondensi dapat dialamatkan ke e-mail: wagun65@hotmail.com.

1 Tentang kekhasan yang meletarbelakangi pendirian organisasi ini secara detail diceriatakan oleh Deliar Noer. Lihat, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 95. Bandingkan dengan Howard M. Ferderspiel, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. Terjemahan Indonesia oleh Yudian Wahyudi dan Affandi Mohtar, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), p. 16. Lihat juga Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), p. 53.

(2)

lagi sepenuhnya tepat2 namun demikian Persis dengan majalah

bulanannya Risalah, yang menjadi corong kebijakannya, masih memiliki ciri khas tersebut. Pilihan Persis untuk mengutamakan tawaran-tawaran legalisitik yang hitam putih menempatkannya untuk dinilai sebagai satu organisasi yang dianggap kurang toleran. Itulah yang kemudian mengundang orang untuk menilainya sebagai metamorfosis dari Khawarij yang tekstualis dan menampakkan wajah Islam yang kurang ramah.3 Gaya hitam putih Persis ini tampaknya masih akan panjang

karena pimpinan puncaknya hingga sekarang, kecuali K.H. Isa Anshori, selalu berasal dari para ustaz yang dinilai mumpuni dalam bidang keagamaan khususnya ilmu-ilmu syari’ah.4 Satu dari empat orang yang

pernah memegang kepemimpinan puncak dalam lingkungan Persis adalah K.H. E. Abdurrahman (1912-1983).

Ustaz Abdurrahman, demikian orang-orang Persis biasa menyebut namanya, adalah seorang alim yang memiliki reputasi yang sangat terhormat di lingkungan organisasinya. Itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa banyak diantara fatwa-fatwa yang dilontarkan selama hidupnya, hingga saat ini masih dirujuk oleh para anggotanya.5

2 Perubahan kecenderungan Persatuan Islam ini terlihat dari orientasi yang dibawa oleh salah seorang ketuanya, A. Lathief Mukhtar yang menggantikan posisi Ustadz Abdurrahman pada tahun 1983 hingga 1997. Ini pernah disampaikan oleh beliau kepada penulis pada wawancara yang dilakukan untuk penulisan skripsi pada Februari 1995. Dalam bahasa yang lebih ringan hal ini juga disampaikannya pada satu seminar Muhammadiyah-NU yang diselenggarakan di Yogyakarta. Lihat Yunahar Ilyas dkk (ed.) Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman, (Yogyakarta: LPPI UMY dan LKPSM NU, 1993), p. 223-224.

3 Intelektual Muslim seperti Djalaluddin Rakhmat pernah menyampaikan penilian demikian dalam salah satu tulisannya “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh al-Khulafa ar-Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme” dalam Budhy Munawwar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), p. 284-285.

4 Tentang biografi tokoh-tokoh Persatuan Islam ini dijelaskan dengan baik oleh Dadan Wildan dalam Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997).

5 Ini diantaranya diketahui dari salah satu persidangan Dewan Hisbah. Diceritakan oleh Aceng Zakariya bahwa pendapat Ustaz Abdurrahman masih dijadikan sebagai pertimbangan pemutus tatkala lulintas pendapat dalam persidangan tidak menemui kata sepakat. Wawancara dengan Aceng Zakariya, salah seorang

(3)

Sepanjang hayatnya beliau aktif melakukan dakwah Islam dan menyampaikan paham keagamaan yang diyakininya.6 Selama hayatnya

Abdurrahman kerap merekam pikirannya melalui tulisan-tulisannya, baik yang disajikan dalam bentuk artikel untuk rubrik maupun dalam bentuk buku merangkum persoalan-persoalan dalam bidang fiqh dan usul fiqh, hadis dan ulum hadis serta sejarah. Diantara tulisan yang dihasilkannya berjudul Risalah Wanita.

Layaknya sebuah karya yang menyajikan interpretasi seorang intelektual atau faqih, sebagai respons atas berbagai persoalan yang dihadapinya buku Risalah Wanita dapat dipandang sebagai satu dokumen fiqh.7 Mengingat buku ini mengusung persoalan perempuan

sebagai objek bahasannya buku ini pun dapat dinilai sebagai satu contoh dari model fiqh perempuan.8 Dan karena penulisnya seorang

tokoh yang selalu menjaga gawang paham Persatuan Islam buku inipun dapat diniliai membawa suara Persatuan Islam.

Buku ini penting untuk dikaji sedikitnya karena tiga alasan. Pertama, Ia menyajikan persoalan perempuan yang kini tengah

pimpinan teras Persatuan Islam yang saat ini menjadi Ketua Bidang Garapan Tabligh Pimpinan Pusat Persatuan Islam kepada penulis pada 13 Maret 1995 di Pesantren Persatuan Islam Rancabango, Garut.

6 Lihat bagian akhir dari buku Risalah Wanita, (Bandung: Sinar Baru, 1988), p. 215-216. Baca juga Dadan Wildan, Yang Da’i….

7 Sebagaimana diketahui istilah fiqh secara teknis digunakan untuk satu aktifitas tntelektual seorang mujtahid atau faqih dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah ataupun pertimbangan akal sehat guna mencari alasan hukum bagi persoalan-persoalan yang mengemuka. Lihat Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Syria: Dar al-Fikr, 1985), Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dan Hamid Shadiq Qunaybi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut: Dar an-Nafais, 1985), p. 349.

8 Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama menggunakan istilah fiqh perempuan. Meskipun istilah ini sesungguhnya tampak merupakan terjemahan dari fiqh an-Nisa namun penamaan fiqh perempuan tampaknya baru muncul bersamaan dengan gencarnya isu jender disini. Satu buku terakhir yang menucul menggunakan nama ini umpamanya, Buku yang disusun oleh Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender dari penerbit LkiS Yogyakarta. Meskipun buku ini tidak mendefinisikan sama sekali apa yang dimaksud dengan fiqh eperempuan. Kata ini dijelaskan dengan baik oleh Syafiq Hasyim. Ia menulis “Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Kepermpunan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001).

(4)

mengemuka menjadi wacana yang penting untuk dibaca ulang dalam bingkai perspektif baru yang lebih adil. Kedua, kitab ini hingga saat ini masih menjadi rujukan standar para anggota Persatuan Islam untuk berbagai persoalan yang berkaitan dengan perempuan. Ketiga, masih terkait dengan pertimbangan kedua, mengkaji kitab ini langsung maupun tidak langsung telah merepresentasikan pandangan Persatuan Islam tentang perempuan.

B. Sketsa Biografi K.H. E. Abdurrahman

Ustaz Abdurrahman dilahirkan di tatar tanah sunda, tepatnya di daerah Cianjur pada tahun 1912 dari pasangan suami-istri yang bernama Ghazali dan Hafshah.9 Beliau putra tertua dari 11 putra-putri.

Dalam usia 7 tahun Abdurrahman belia telah menuntaskan atau “khatam” al-Quran. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di madrasah terdekat di daerahnya yang bernama madrasah al-Ianah. Tatkala menyelesaikan pendidikannya di tingkat aliyah Abdurrahman dinilai cakap dalam bidang bahasa Arab. Karena itu ia diminta untuk mengajar bahasa Arab di sekolah yang dibina oleh lingkungan para ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama.10 Sebagai seorang guru muda

yang haus berbagai wacana yang berkembang pada masanya, selama di Bandung, Abdurrahman muda membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan berbagai guru dari berbagai lapisan organisasi Islam yang merebak saat itu. Bertemulah ia dengan Ustaz A. Hassan (1883-1957). Sejatinya perkenalan ini diawali dengan kepenasaran Abdurrahman mendengar argumentasi A. Hassan berkenaan dengan hukum beberapa amalan kaum Muslimin yang justru biasa dilakukan Abdurrahman.11

9 Ibid, p. 121, juga K.H. E. Abdurrahman, Risalah, pada judul Riwayat Hidup

10Lihat Ibid., p. 122.

11Amalan yang dimaksud adalah tahlilan, marhaban dan talqin. Lihat Ibid, p. 125. Hemat penulis, ketiga amalan, khususnya tahlilan dan marhaban, jika diletakkan secara sosiologis niscaya terbaca sebagai satu inovasi yang cerdas yang tak dapat dilepaskan dari ajaran Islam. Hal yang sama juga berlaku untuk perayaan hari maulid Nabi, isra’ mi’raj dan lain sebagainya.

(5)

Ketika A. Hassan berhasil meyakinkannya12 sejak saat itu beliau

menjadi murid terdekat A. Hassan13 bahkan melebihi putranya yang

bernama Abdul Qadir Hasan.14

Perjumpaannya dengan A. Hassan memposisikan

Abdurrahman sebagai murid yang paling istimewa. Sedemikian eratnya hubungan antara keduanya hingga sering dijumpai manakala di satu tempat ada A. Hassan maka disana dipastikan Abdurrahman ikut serta.15 Hubungan ini pula pada gilirannya menempa kepakaran

Abdurrahman dalam bidang agama Islam16. Karena itu tatkala A.Hasan

12 Menurut cerita yang berkembang di lingkungan Persis, pertemuan itu diawali dengan pengajian yang disampaikan oleh A. Hassan yang membahas hukum membaca talqin, marhaban dan tahlilan. Pengajian yang kebetulan dihadiri oleh salah seorang teman dekat Ustaz Abdurrahman itu mengundang kepenasarannya untuk langsung berdialog dengan A. Hassan. Dialog yang berlangsung hingga beberapa pertemuan berakhir dengan ketertarikan Abdurrahman dengan model berpikir A. Hassan. Lihat Dadan Wildan, Yang Da’i …, p. 125.

13Menurut Wildan bahkan A. Hassan pernah mengatakan bahwa ia memuji Ustaz Abdurrahman dengan mengatakan:” Abdurrahman, kamu akan menjadi murid saya yang pintar bahkan melebihi anak kandung saya”. Lihat ibid.

14Ia merupakan putra tertua dari A. Hassan yang kemudian lebih dikenal sebagai Pimpinan Pesantren Persatuan Islam Bangil. Ia memimpin dan mengasuh majalah al-Muslimun yang diterbitkan di Bangil dan mengeluarkan beberapa pendapat hukum yang relatif berbeda dengan majalah Risalah. Dari sini juga dapat dilihat, tidak sebagaimana yang diasumsikan oleh umumnya beberapa tulisan tentang Persis atau tokoh-tokoh Persis yang menyamakan poros Bangil dengan Bandung, ada perbedaan antara Persis Bangil dengan Persis yang berpusat di Bandung. Abdul Qadir Hasan pernah mengeluarkan pendapat yang konroversial dalam majalah al-Muslimun yang diasuhnya tatkala ia menyatakan bahwa menonton film porno atau blue film, untuk pertimbangan tertentu, diperbolehkan. Salah seorang putranya Ghazi Abdul Qadir pernah menjadi anggota Dewan Hisbah Persatuan Islam (1990-1995).

15Bahkan saat A. Hassan menunaikan ibadah haji yang terakhir ia pun

ditemani oleh Abdurrahman. Lihat Dadan, p. 122.

16Menurut informasi dari Aceng Zakariya, salah seorang murid

Abdurrahman, kepakaran Abdurrahman dalam ilmu agama Islam karena beberapa faktor. Diantaranya sejak awal Abdurrahman memiliki bakat yang kuat dalam bahasa Arab sehingga memudahkannya untuk menelaah persoalan Islam langsung ke kitab standar. Kedua, ia sering dilatih oleh Ustaz A. Hassan untuk membuat draft untuk beberapa tulisan yang kemudian menggunakan nama A. Hassan. Bahkan beberapa

(6)

berketetapan hati untuk meninggalkan Bandung17 menuju kota Bangil

pada tahun 1940 sejarah Persis mencatat Abdurrahmanlah yang secara de facto menggantikan posisi A. Hassan dalam mengelola Pesantren Persatuan Islam di Bandung.18 Posisi pesantren ini tampaknya demikian

penting karena disamping digunakan sebagai tempat untuk membina santri yang kemudian menjadi penyebar paham Persis juga digunakan untuk membina para pengikut Persatuan Islam.19 Sejak saat itu, pelan

namun pasti, pengaruh Abdurrahman di lingkungan Persatuan Islam semakin nyata. Karena itu sebagai seorang pendidik yang loyal pada tahun 1952, oleh Persis Abdurrahman diamanati untuk menjadi Ketua Bidang Tabligh dan Pendidikan. Pada tahun 1953 ia pun ditugasi untuk menjadi Sekretaris Umum Persis mendampingi K.H. Isa Anshari sebagai Ketua Umum20 Demikianlah setelah A. Hassan meninggal dan

pengaruh Isa Anshori berkurang Abdurraman dipilih sebagai Ketua Umum Persatuan Islam pada tahun 1962 hingga akhir hayatnya tahun 1983.

Sebagaimana A. Hassan yang pengaruhnya di mata pengikut Persis demikian kuat, Abdurrahmanpun memiliki posisi yang hampir sama, bahkan dalam beberapa hal lebih mengakar. Itu dapat dilihat dari fakta bahwa fatwa-fatwa Abdurrahman lebih banyak dirujuk daripada A. Hassan21. Disamping aktif membina para anggota Persis baik

tulisan A. Hassan, menurut Aceng adalah murni merupakan tulisan Abdurrahman.Ketiga, Ustaz Abdurrahman sangat ketat membagi waktu dan tekun belajar secara otodidak. Wawancara dengan Aceng Zakariya, 13 Maret 1995 di Garut.

17Pesantren Persatuan Islam didirikan pada tahun 1936 oleh A. Hassan. Tentang kepindahan ini diceritakan oleh Mughni, A. Hasan Pemikir …, p. 71.

18Lihat Dadan Wildan, Yang Da’i …, p. 126.

19Wawancara dengan A. Lathief Mukhtar pada 6 April 1995, di Bandung.

20Lihat Dadan Wildan …, p. 126.

21Kenyataan ini sulit untuk dijelaskan kecuali dengan menempatkan Abdurrahman sebagai seorang pendidik sekaligus mubalig yang sangat loyal di lingkungan Persatuan Islam. Kiranya dapat dipahami umumnya yang mendukung dan meangadopsi serta mengikuti pikiran-pikirannya adalah murid-muridnya sendiri baik sebagai santri maupun sebagai peserta pengajian intensif di lingkungan Persatuan Islam. Hal ini berbeda dengan Ustaz Abdurrahman yang sejak tahun 1940

(7)

melalui dakwah internal maupun lewat mengajar di Pesantren Persis, Abdurrahman pun menuliskan pikiran-pikirannya dalam beberapa buku maupun melalui fatwanya dalam majalah Risalah . Selama hidupnya ia menghasilkan sembilan buku, sebagian ditulis sebagai buku dan sebagian berasal dari beberapa tulisannya dalam bentuk artikel yang dimuat dalam majalah Risalah. Kesembilan karyanya tersebut adalah:22

1. Ahlus Sunnah waljama’ah

2. Jihad dan qital

3. Darul Islam

4. Ahkamusy Syar’i

5. Dirayah Ilmu Hadis

6. Perbandingan Mazhab

7. Menempatkan Hukum dalam Agama

8. Renungan Tarikh dan

9. Risalah Wanita

Judul terakhir adalah buku yang menjadi fokus kajian ini. C. Sekitar Buku Risalah Wanita

Buku ini secara keseluruhan mencakup dua ratus enam belas halaman termasuk halaman biografi Abdurrahman. Secara umum buku, yang semula merupakan artikel yang ditulis Abdurrahman untuk rubrik fatwa dan renungan tarikh ini, menampilkan tiga klasifikasi bahasan. Pertama berisikan fiqh ibadah, kedua fiqh sirah (sejarah), keempat tentang akidah. Dari ketiga bagian ini fiqh ibadah mengambil porsi halaman yang paling banyak. Hal demikian dapat dipahami karena persoalan perempuan yang disajikan pada bagian fiqh ibadah merupakan masalah yang sangat jamak ditemukan dan masih tetap menjadi persoalan dalam kehipan sehari-hari. Ketiga klasifikasi tersebut karena secara sinergis membahas tentang perempuan maka secara utuh dapat dinamakan sebagai buku fiqh perempuan.

meninggalkan Bandung. Secara psikologis keberadaannya di Bangil sejak itu tidak banyak mempengarui memori kolektif para pengikut Persatuan Islam.

22Lihat bagian sampul belakang dari buku Ustaz Abdurrahman, Menempatkan Hukum dalam Agama, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990).

(8)

Pada bagian fiqh ibadah dibahas masalah yang berkaitan dengan thaharah atau bersuci, sholat, puasa, zakat, haji, dan masalah-masalah lain yang terkait. Bagian akiedah hanya membahas dua masalah-masalah yaitu tentang takhayul dan signifikansi keyakinan beragama. Sedangkan bagian fiqh sirah atau renungan tarikh menyajikan dan mengupas pembahasan seputar tokoh-tokoh perempuan yang menjadi suri tauladan sepanjang masa, seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah, Siti Hafshah, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Ummu Sulaim, Ummu Umarah dan lain sebagainya.

D. Kecenderungan Umum Pikiran K.H. E. Abdurraman

Tulisan-tulisan Abdurrahman umumnya banyak mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi. Pendapat para ulama dirujuk manakala diperlukan untuk memposisikan dan meneguhkan pendiriannya. Cara seperti ini tampaknya ditempuh untuk memposisikan kecenderungan Persatuan Islam yang di sini dikenal dengan jargonnya “kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” yang bermakna purifikasi seluruh amalan sehingga benar-benar menempatkan kedua sumber itu sebagai sumber utama hukum Islam sebelum perujukan kepada sumber-sumber lain. Dalam argumentasi yang dikemukakannya hampir tidak dijumpai interpretasi yang melampaui makna harfiyah teks. Model ini dalam tradisi khazanah Islam dilakukan pertamakali oleh kelompok Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud ibn Ali al-Isfahani azh-Zhahiri23 dan lebih dielaborasi oleh

Ibn Hazm al-Andalusi24. Kelompok ini dicirikan dengan penolakannya

atas qiyas dan sumber-sumber hukum ‘aqliyah yang mengandalkan interpretasi intelektual atas teks-teks keagamaan.25

23 Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi as-Siyasah wal ‘Aqa’id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Ttp: Dar al-Fikr al’Arabi, Tt), p. 544.

24 Baca Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm:Hayatuh, wa ‘Ashruh Arauh wa Fiqhuh, (Ttp: dar al-Fikr al’Arabi, Tt).

25 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib, 582-592. Bandingkan dengan Wahbah az-Zuhayli, Fiqh Islami wa Adillatuh, (Damaskus:Dar al-Fikr,1985), p.41-42.

(9)

Sejalan dengan kecenderungan tersebut karya-karya Abdurrahman umumnya memperlihatkan nuansa fiqh yang tekstualis. Dalam paradigma model ini sikap kritis yang rasional seolah-seolah tidak mendapatkan tempat.

E. Perspektif K.H. Abdurrahman tentang Perempuan

Sebagai sebuah buku yang menampilkan fiqh perempuan menarik memperhatikan tulisan-tulisan Abdurrahman. Daya tarik Abdurrahman terletak pada caranya menyajikan tulisan yang meskipun menggunakan ungkapan-ungkapan yang sederhana dan lugas namun selalu berusaha untuk memberikan rujukan jika itu menyangkut pendapat para ulama. Namun sebagaimana disebutkan terdahulu pendapat para ulama itu acapkali hanya digunakan untuk menguatkan pendapatnya.

Dalam kaitannya dengan cara pandangnya tentang perempuan tampak Abdurrahman di beberapa bagian tulisannya berusaha untuk bersikap adil terhadap perempuan. Itu ditunjukannya pada judul tulisannya “Wanita di Sekolah”, “Wanita Berdakwah”, “Wanita Merias Diri”. Pada keempat fatwanya tersebut Abdurrahman dengan objektif menyajikan argumentasi tekstual yang berimbang sehingga perempuan ditempatkan sebagai makhluk yang wajar sebagaimana halnya laki-laki.

1. Wanita di Sekolah

Pada tuilisannya ini Abdurrahman menyatakan pendapatnya bahwa dalam dunia pendidikan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Alasan yang dikemukakan oleh Abdurahman adalah bahwa Rasulullah saw pernah memberikan satu hari khusus untuk para Sahabat perempuat (Shahabiyyat) untuk menimba ilmu pengetahuan dan nasihat dari beliau. Bahkan pada saat menunaikan shalat idul fithri pun beliau pernah secara khusus menyampaikan khutbahnya untuk mereka. Rangkaian hadis yang dirujuk oleh Abdurahman untuk menopang pendapatnya itu adalah sebagi berikut:

Pertama,26

(10)

ÞÇáÊ ÇáäÓÇÁ ááäÈí Õáì Çááå Úáíå æ Óáã:

ÛáÈäÇ Úáíß ÇáÑÌÇá, ÝÇÌÚá áäÇ íæãÇ ãä äÝÓß,

ÝæÚÏåä íæãÇ áÞíåä Ýíå ÝæÚÏåä æÃãÑåä

Artinya:”Kaum Wanita telah meminta kepada Nabi saw.:”Kami telah kalah oleh kaum pria (dalam hal ilmu). Karena itu tentukanlah bagi kami satu hari (untuk mendapatkan pelajaran). Lalu Rasulullah saw. Pada suatu hari memberikan nasihat dan menyampaikan pelajaran kepada mereka”

Dalam kaitan dengan permintaan tersebut disebutkannya pula riwayat Abu Hurairah yang menceritakan:27

ãæÚÏßã ÈÈíÊ ÝáÇ äÉ ÝÃÊÇåä ÝÍÏËåä

Artinya:”Kujanjikan tempat (belajar) kamu sekalian di tempat si Anu. Lalu Rasulullah mendatangi mereka dan memberi pelajaran kepada mereka”.

2. Wanita Berdakwah

Abdurrahman menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk seorang perempuan melakukan dakwah bahkan ketika kegiatan dakwah itu harus dilakukanya dengan menempuh perjalanan sendirian sepanjang dia yakin akan kemanannya. Pendapatya ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Shahabat ‘Adi ibn Hatim yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:28

áÊÑíä ÇáÒíäÉ ãä ÇáÍíÑÉ ÍÊì ÊØæÝ

ÈÇáÈíÊ áÇ ÊÎÇÝ ÅáÇ Çááå

Artinya:”Kamu pasti akan melihat seorang perempuan yang berkendaraan unta dari Hirah kemudian ia melakukan thawaf di Ka’bah, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah”

3. Wanita Merias Diri

Menurut Abdurrahman, tidak ada larangan bagi seorang perempuan untuk merias dirinya sepanjang dilakukan secara wajar dan tidak bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam. Alasan yang

27 Ibid., p. 37.

(11)

dikemukakannya adalah hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad dan al-Bukhari sebagai berikut:29

ßá æÇÔÑÈ æÇáÈÓ æ ÊÕÏÞ Ýì ÛíÑ ÔÑÝ æáÇ ãÎíáÉ

Artinya: “Makanlah dan minumlah serta berpakaianlah secara wajar dan tidak dimaksudkan untuk sombong”

4. Wanita di Medan Perang

Menurut Abdurrahman tidak ada larangan sama sekali bagi perempuan untuk ikut terlibat bahu membahu bersama kaum pria di medan perang.30 Pendapatnya ini didasarkan kepada beberapa hadis

Nabi yang secara jelas menyebutkan bahwa dalam setiap peperangan yang dilakukannya Rasulullah saw. selalu melibatkan para Sahabat perempuan. Hadis-hadis Nabi tersebut diantaranya adalah:

pertama,31

ÞÇáÊ ÇáÑÈíÚ ÈäÊ ÇáãÚæÐ: ßäÇ ãÚ

ÇáäÈí Õáì Çááå Úáíå æÓáã äÓÞì æ äÏÇæì ÇáÌÑÍì

æäÑÏ ÇáÞÊáì Åáì ÇáãÏíäÉ

Artinya:”Ar-Rubay’ binti al-Mu’awwiz berkata:”Kami (kaum perempuan) biasa ikut berperang bersama Rasulullah saw. (Yang kami kerjakan adalah) menyaediakan air, mengobati yang aterluka dan memulangkan yang terbunuh ke Medinah” Kedua,32

Ãä Ãã Óáíã ÅÊÎÐÊ íæã Íäíä ÎäÌÑÇ ÝßÇä

ãÚåÇ ÝÑÂåÇ ÃÈæ ØáÍÉ ÝÞÇá íÇ ÑÓæá Çááå åÐå

Ãã Óáíã ãÚåÇ ÎäÌÑ ÝÞÇá áåÇ ÑÓæá Çááå Õáì

Çááå Úáíå æÓáã: ãÇ åÐÇ ÇáÎäÌÑ¿ ÞÇáÊ: ÇÊÎÐÊå

29 Ibid., p. 50. 30 Ibid., p. 41. 31 Ibid., p. 42. 32 Ibid., p. 43.

(12)

Åä Ïäì ãäì ÃÍÏ ãä ÇáãÔÑßíä ÈÞÑÊ ÈØäå ÝÌÚá

ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã íÖÍß.

Artinya:”Bahwasannya Ummu Sulaim pernah memegang belati dalam perang Hunain lalu terlihat oleh Abu Thalhah dan ia melaporkannya kepada Rasulullah saw. Katanya:”Wahai Rasulullah Ini Ummu Sulaim memegang belati”. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Ummu Sulaim,:”Untuk apa belati itu?. Ummu Sulaim menjawab:”Saya gunakan belati ini untuk membelah perut orang musyrik yang mendekati saya. Rasulullahpun dibuat tertawa”

Pembacaan Abdurrahman yang tampak adil terhhadap perempuan pada empat persoalan di atas karena secara harfiyah hadis-hadis di atas hampir tidak mungkin ditafsirkan di luar makna teksnya. Dalam ungkapan lain pandangan Abdurrahman dalam keempat masalah tersebut adalah sebagai sesuatu yang sangat wajar apabila memperhatikan daya tunjuk teks hadis yang secara informatif telah secara langsung menukik pada keterangan hukum yang sangat jelas.

Pandangan Abdurrahman baru terlihat membawa nuansa dan kecenderungan patriarkhi33 dan relatif misoginik34 manakala teks-teks

33 Patriakhi adalah paradigma atau idiologi dari berbagai variasi idiologi hegemoni yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Menurut Pyke, sebagimana dikutip Muhadjir Darwin, ideologi ini didasarkan kepada tiga asumsi yang meletarinya, (1) kesepakatan-kesepalatan sosial yang sesungguhnya hanya menguntungkasn kepentingan kelompok yang dominan cenderung dianggap mewakili kepentingan semua orang; (2), ideologi hegemonis ini merupakan bagian dari pemikiran sehari-hari, cenderung diterima apa adanya (taken for granted) sebagai sesuatu yang memang demikianlah semestinya;(3), dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinat ideologi seperti ini dinilai sebagai penjamin kohesi dan kerjasama sosial sebab jika tidak demikian yang terjadi justru suatu konflik. Lihat Muhadjir Darwin “Maskulinitas Laki-laki: Posisi Laki-laki dalam masyarakat Patriarkhi“ dalam Muhadjir Darwin dan Tukiran (ed.) Menggugat Budaya Patriarkhi, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 2001), p. 24.

34 Secara etimologis kata ini berasal dari mysoginy yang berarti kebencian kepada perempuan. Lihat John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:Gramedias Pustaka Utama, 1993),p. Menurut Fatimah Mernissi, sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, perspektif misoginis ini banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita Israiliyat yang memposisikan perempuan tidak senyaman sebagaimana yang dinikmati oleh laki-laki. Karena cerita-cerita ini banyak mewarnai

(13)

yang disuguhkannya cukup problematik. Itu diantaranya tampak saat Abdurrahman menyampaikan argumentasinya pada judul-judul bahasan: wanita di atas panggung, wanita mengantarkan jenazah ke kuburan, dapur yang ditinggalkan.

1. Wanita di atas Panggung

Abdurrahman berpendapat bahwa pemunculan perempuan dalam berbagai pentas terbuka yang ditonton oleh khalayak laki-laki dan perempuan secara sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, tandas Abdurrahman, pemunculan perempuan di muka umum dipandang sebagai aurat yang dimanpaatkan oleh syeitan untuk wahana berbuat dosa. Alasan yang dikemukannya adalah bahwa hadis-hadis Nabi menyebutkan bahwa pemunculan perempuan di tengah masyarakat dipandang sebagai bentuk aurat sementara para adanya penonton laki-laki di tengah-tengah acara tersebut tidak diperbolehkan. Karena itu tampilnya seorang perempuan di depan panggung terbuka yang ditonton oleh laki-laki sama dengan mempertontonkan aurat. Alasan yang dikemukan oleh Abdurrahman adalah dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama,35

ÇáãÑÃå ÚæÑÉ ÝÅÐÇ ÎÑÌÊ ÇÓÊÔÑÝåÇ ÇáÔíØÇä

Artinya;”Perempuan adalah aurat Bila ia keluar rumah maka setan terpikat (untuk memandangnya)”

Kedua,36

íÇ ÃÓãÇÁ Åä ÇáãÑÃÉ ÅÐÇ ÈáÛÊ ÇáãÍíÖ

áÇ íÕáÍ Ãä íÑì ãäåÇ ÅáÇ åÐÇ æ åÐÇ æÃÔÇÑ Åáì

æÌåå æßÝíå

media kitab-kitab tafsir sejak para Tabi’in dapat dipahami jika mempengaruhi maind set kaum Muslimin. Lihat Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Quran, Jakarta: Paramadina, 1999), p. 132.

35 Lihat Ibid., p. 39. 36 Ibid., p. 40.

(14)

Artinya:”Wahai Asma, sesungguhnya tatkala seorang perempuan telah dwwasa maka yang boleh terilihat (orang lain) hanyalah wajah dan telapak tangannya”

Ketiga,37

íÇ Úáí áÇ ÊØÈÚ ÇáäÙÑÉ ÇáäÙÑÉ ÝÅä áß

ÇáÃæáì æáíÓÊ ÇáËÇäíÉ

Artinya:”Wahai ‘Ali janganlah matamu jelalatan, untukmu pandangan pertama dan tidak yang kedua”

Ketiga hadis di atas menurut Abdurrahman merupakan keterangan yang merinci untuk ayat al-Quran dalam Surat an-Nur ayat 31 dan 32 yang berbunyi:38

Þá ááãÄãäíä íÛÖæÇ ãä ÃÈÕÇÑåã

Artinya:” Katakanlah kepada kaum Mukminin laki-laki agar mereka menjaga penglihatan mereka”

æÞá ááãÄãäÇÊ íÛÖÖä ãä ÃÈÕÇÑåä

Artinya:” Katakanlah kepada kaum Mukminat agar mereka menjaga penglihatan mereka”

2. Wanita Mengantar jenazah ke Kuburan

Abdurrahman menyatakan bahwa Islam melarang perempuan Muslimah untuk mengantar jenazah ke kuburan meskipun ada satu keterangan dari Nabi kepada Sahabat Umar ibn al-Khathab yang menyuruhnya untuk membiarkan seorang perempuan yang bersikeras untuk mengantarkan jenazah ke kuburan. Menurut Abdurrahman, meskipun larangan Nabi ini tidak keras sebagaimana disebutkan dalam hadis namun fakta menunjukkan tidak banyak perempuan yang mengantarkan jenazah ke kuburan pada masa Nabi. Karena, kata Abdurrahman, apabila ada perempuan yang mengantarkan jenazah ke kuburan, karena tidak ada tuntunan yang mengharuskan atau menganjurkan perempuan untuk melakukannya maka perbuatan

37 Ibid.

(15)

semacam ini tidak berpahala dan memiliki keutamaan sama sekali.39

Alasan yang dikemukakan Abdurrahman adalah:40

Úä Ãã ÚØíÉ ÑÖí Çááå ÚäåÇ ÞÇáÊ: äåíäÇ Úä

ÇÊÈÇÚ ÇáÌäÇÒÉ æáã íÚÒã ÚáíäÇ

Artinya:”Ummu Athiyyah berkata:”Kami (Kaum perempuan) dilarang untuk mengikuti jenazah dan larangan itu tidak dinayatakan keras”

3. Dapur yang Ditinggalkan

Disebutkan oleh Abdurrahman bahwa saat ini, karena situasi yang melingkupinya banyak perempuan keluar rumah mencari kerja sementara tugas pokoknya sebagai seorang istri di rumah ditinggalkannya.41 Karena itu tidaklah mengherankan ketika dapur yang

mestinya disana dijumpai seorang istri yang sibuk tengah mengolah masakan dan hal terkait lainnya mulai sepi dan ditinggalkan. Menurut Abdurrahman keadaan ini jika dibiarkan dapat merusak tatanan keluarga Islam.42 Alasan yang dikemukakan Abdurrahman karena

tradisi perempuan bekerja adalah tradisi yang dibawa dari Barat dan Amerika yang disusupkan ke dalam masyarakat Islam. Padahal dalam masyarakat Barat dan Amerika pun sesungguhnya perempuan bekerja tidak sepenuh hati. Mereka mencari pekerjaan karena alasan-alasan yang beragam; misalnya karena belum ingin punya anak, belum mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, membantu suami dan lain sebagainya.43 Namun tatkala mereka mulai bekerja merekapun dengan

leluasa dapat meninggalkan dapur dan rumah kapan saja karena makanan instant demikian melimpah disekitar mereka. Dan merekapun tak perlu repot memikirkan siapa yang menjaga putra mereka yang masih kecil karena untuk itu mereka bisa menyewa baby sitter.44 Satu

pemandangan yang tidak islami, kata Abdurrahman. Karena bagaimanapun islam mengajarkan seoranmg istri harus menunaikan

39 Ibid, p. 57. 40 Lihat Ibid, p. 56. 41 Lihat Ibid, p. 182. 42 Ibid, p. 181. 43 Ibid, p. 183. 44 Ibid.

(16)

tugas keluarga di dalam lingkungan rumah. Istrilah yang harus menyiapkan makanan di dapur untuk keperluan suami dan anak-anaknya. Dan karena itu pula istrilah yang menyediakan segala keperluan bayinya.

F. Apresiasi dan Kritik: Mencari format Fiqh Perempuan yang Egaliter

Menyimak buku karya Abdurrahman pembaca disuguhi uraian yang padat dengan dalil-dalil yang sarat dengan pendekatan yang tekstual. Seluruh hadis dan ayat al-Quran yang dijadikan landasan argumentasi oleh Abdurrahman disajikan lengkap dengan aroma zhahiriyah tanpa memperhatikan konteks yang mengitari menculnya ayat dan hadis tadi. Dengan segala plus minusnya Abdurrahman secara konsisten telah menampilkan satu model pendekatan dalam menyajikan fiqh perempuan.

Pilihan Abdurrahman pada pendekatan zhahiriyah telah menggiringnya pada satu semangat patriarkhi45 dan misoginik46 yaitu

semangat yang lebih mengutamakan laki-laki dan memandang perempuan sebagai makhluk nomor dua (baca: perspektif second sex) setelah laki-laki, disertai anggapan bahwa memang posisi tersebut pantas bagi perempuan. Padahal al-Quran secara ideal mendeklarasikan spirit egaliter yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama untuk memperoleh peran terbaik di sisi Allah. Jika pesan normatif ayat al-Quran tersebut dibawa dalam aras senyatanya maka dapat dikatakan bahwa mengubah kultur masyarakat dari patriarkhi dan misoginik ke kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah satu upaya yang sejalan dengan semangat al-Quran.

Perpspektif Abdurrahman yang patriarkhi dan misoginik sulit untuk dielakkan manakala memperhatikan uraiannya pada tulisannya “wanita dia atas panggung”, “wanita mengantar jenazah ke kuburan” serta “dapur yang ditinggalkan”.

Meskipun tidak dinyatakan secara esksplisist oleh Abdurrahman namun pada pemaparannya tentang hukum wanita di

45 Lihat catatan kaki nomor 34.

(17)

atas panggung terbaca diskirimanasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, umpamanya, patut dipertanyakan benarkah tampilnya seorang perempuan Muslimah sebagai seorang pemain pada pentas drama dan sandiwara pada panggung terbuka yang ditonton oleh laki-laki bertentangan dengan ajaran Islam sementara bagi laki-laki-laki-laki untuk hal yang sama tidak berlaku.Jika alasan yang dikemukakan Abdurrahman bahwa penampilan perempuan pada khalayak yang ramai merupakan aurat mestinya hal yang sama juga dapat berlaku bagi laki-laki. Dengan demikian dalil yang dikedepankan Abdurrahman pun harus dibaca secara kritis. Misalnya, hadis yang menyebutkan bahwa wanita itu aurat mesti dibaca bahwa pengertian aurat disini adalah bahwa perempuan merupakan makhluk Allah yang mesti dijaga dan dihormati. Namun itu tidak berarti tidak boleh untuk tampil di muka umum. Sedangkan hadis yang menceritakan asma binti Abu Bakar tentang batas aurat perempuan tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa perempuan tidak boleh tampil dalam khalayak yang ditonton laki-laki. Sebab menggunakan hadis ini sebagai hujjah sama dengan telah membuat stigma yang semena-mena terhadap aktifitas berkesenian yang dialakukan oleh sekian banyak Muslimah. Adalah tidak bijaksana untuk menghukum setiap Muslimah yang berkesenian secara otomatis telah mempertontonkan auratnya.

Demikian halnya dengan hadis yang menggambarkan pengalaman yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib yang diingatkan Rasulullah saw. saat matanya jelalatan karena memandang seorang perempuan. Kiranya kurang tepat menggunakan hadis ini untuk menyimpulkan kaharaman tampilnya perempuan pada dunia pementasan. Sebab jika demikian logikanya sama dengan telah memvonis setiap laki-laki yang menonton pertunjukan yang menampilkan entertainer perempuan selalu memperhatikan pesona perempuan itu dan bukan pesan yang dibawa olehnya. Barangkali tidak bisa dipungkiri baik laki-laki maupun perempuan memiliki pesona masing-masing manakala tampil di muka umum dan itu tidak berarti secara serta merta menjadi dosa apabila ia memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan yang positif. Sinteron keagamaan yang akhir-akhir ini muncul di layar kaca acapkali menampilkan artis terkenal untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang dibawanya.

(18)

Pembacaan yang sama juga dilakukan atas hadis yang menayatakan perempuan tidak boleh mengantarkan jenazah ke kuburan. Pertama larangan ini tidak bersifat tegas. Kedua, larangan inipun mesti diletakkan dalam konteks masyarakat Arab yang biasa melakukan ratapan yang berlebihan (niyahah) saat ada orang meninggal. Karena itu tatkala ada seorang perempuan yang bersikeras untuk ikut mengantarkan jenazah bersama Rasulullah dan para Sahabat lalu beliau membiarkanya fakta ini sebaiknya dibaca bahwa larangan bagi perempuan untuk mengantarkan jenazah ini adalah tidak bersifat umum. Artinya bagi perempuan yang secara psikologis siap untuk mengantarkan jenazah tidak ada larangan sama sekali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perempuan yang mengantarkan jenazah ke kurburan tetap mendapatkan pahala dan keutamaan sebagaimana halnya laki-laki.

Dalam satu tarikan pembacaan yang sama pula uraian Abdurrahman dalam “dapur yang ditinggalkan” mesti dipahami. Disini Abdurrahman berpendapat bahwa tugas pokok perempuan itu adalah mengurus rumah sehingga bekerja di luar rumah dengan meninggalkan tugas di dapur dan mengurus anak adalah tidak islami. Hemat penulis, sebagaimana disebutkan di depan, Islam mengajarkan bahwa setiap laki-laki dan perempuan untuk sama-sama memberikan kontribusi terbaik bagi kehidupan (amal shalih). Dan persoalan kehidupan yang demikian beragam dan banyak yang terjadi di luar rumah tidak hanya menuntut peran laki-laki tapi juga meniscayakan peran perempuan di dalamnya. Karena itu menempatkan perempuan pada urusan-urusan domestik tanpa memeberinya kesempatan untuk terlibat pada persoalan-persoalan publik bukan saja telah menutup hak perempuan tapi juga berlawanan dengan ajaran Islam.

F. Penutup

Dari uraian yang diketengahkan kiranya dapat disimpulkan bahwa buku Risalah Wanita karya Abdurrahman ini adalah buku jenis fiqh perempuan yang mewakili Persatuan Islam yang membawa kecenderungan zhahiriyyah. Kecenderungannya ini meskipun pada beberapa pendapatnya tentang peran perempuan dapat dikatakan adil

(19)

namun beberapa fatwanya masih mengusung semanagat patriarkhi dan misoginis.

(20)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, K.H.E, Risalah Wanita, Bandung: Sinar Baru, 1988. ---, Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru, 1988. Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi as- Siyasah wal ‘Aqaid wa Tarikh Mazahib Fiqhiyyah, Ttp:Dar alFikr al-‘Arabi, Tt.

---, Ibn Hazm, Hayatuh wa ‘Asruh Arauh wa Fiqhuh, Ttp:Dar al-Fikr, Tt.

Darwin, Muhadjir dan Tukiran (Ed.), Menggugat Budaya Patriarkhi, Yogyakarta: Pusat Penelitian UGM, 2001.

Federspiel, M. Howard, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, terj Indonesia Yudian Wahyudi dan Affandi Mukhtar, Yogyakarta: Gadah Mada Universityu Press, 1996. Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang isu-isu Keperempuanan

dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001.

Ilyas, Yunahar dkk (Ed.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta: LPPI UMY, 1993.

Muhammad, K.H. Hussein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001.

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta; LP3ES, 1984.

Qal’ah Ji, Muhammad Rawwas dan Hamid Shadiq Qunaybi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, Berurt: Dar an-Nafais, 1985.

Rakhmat, Djalaluddin, “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh dari al-Khulafa ar-Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.

Umar, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Quran, Jakarta: Paramadina, 1999.

(21)

Wildan, Dadan, Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.

Yafie, K.H. Alie, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994.

Az-Zuhayli, Wahbah, Fiqh Islami wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 1985.

Referensi

Dokumen terkait