• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL TESIS

KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA

PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU

(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

I Putu Adi Suryawan

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

2012

(2)

PROPOSAL TESIS

KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA

PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU

(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

I Putu Adi Suryawan Nim : 11.1.2.5.1.0389

PROGRAM STUDI MAGISTER BRAHMA WIDYA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

(3)

KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA

PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU

(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Agama

Program Studi Brahma Widya

Menyetujui :

(4)

KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA

PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU

(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

Dipersiapkan dan disusun oleh I Putu Adi Suryawan

NIM : 11.1.2.5.1.0389

Dipertahankan di depan Panitia Ujian Proposal Pada Tanggal : 22 Juli 2012

Susunan Dewan Penguji

(5)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1. 2 Rumusan Masalah ... 6 1. 3 Tujuan Penelitian ... 7 1.3.1 Tujuan Umum... 7 1.3.2 Tujuan Khusus... 7 1.4 Manfaat Penelitian... 8 1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8 1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN... 10

2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.2 Konsep ... 18

2.2.1 Pengertian Esensi ... 19

2.2.2 Pengertian Upacara ... 19

2.2.3 Pengertian itra Yajña... 22

2.2.4 Pengertian Ngaben Ngelanus... 24

2.2.5 Agama Hindu... 26

2.2.6 Pengertian Filosofis... 29

2.2.7 Provinsi DKI Jakarta ... 31

(6)

2.3.1 Teori Religi ………... 32

2.3.2 Teori Simbol …………... 34

2.3.3 Teori Fungsional Struktural ... 35

2.4 Model Penelitian ... 38

BAB III METODE PENELITIAN... 40

3.1 Lokasi Penelitian ... 40

3.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 41

3.3 Penentuan Informan ………... 42

3.4 Jenis dan Sumber Data ……... 43

3.5 Teknik Pengumpulan Data ………... 43

3.5.1 Observasi …………... 44 3.5.2 Wawancara ……... 45 3.5.3 Kepustakaan ... 45 3.6 Analisis Data ………... 46 3.7 Penyajian Hasil ………... 47 DAFTAR PUSTAKA ... 48

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama Hindu mengajarkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 2 (dua) unsur yang disebut stula sarira (badan wadag), dan suksma sarira yaitu yang menyebabkan badan wadag ini hidup dan bisa bergerak. Unsur halus yang membuat badan wadag hidup dan bisa bergerak juga disebut atma/jiwatma. Atma/jiwatman adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi yang memberi kehidupan pada setiap mahluk. Tanpa jiwatman tidak ada kehidupan di dunia ini.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri oleh setiap mahluk bahwa kehidupan ini tidaklah kekal adanya. Kehidupan akan diakhiri dengan kematian, sebaliknya kematian akan diikuti oleh kelahiran. Menurut ajaran agama Hindu kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah proses perjalanan panjang jiwatman menuju Paramatman.

Umat Hindu yakin bahwa agar perjalanan sang jiwatman menuju paramatma lebih lancar dan tidak menemukan hambatan besar dapat dibantu dengan melaksanakan upacara kematian yang selanjutnya disebut pitra yajña. Pelaksanaan pitra yadnya bagi mereka yang ditinggalkan merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari ikatan tri rna, dengan harapan agar dapat mencapai kebahagiaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang.

Agama Hindu menuntun agar setiap umatnya selalu hormat dan bhakti terhadap orang tua atau leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah

(8)

tiada. Semasih hidup mereka harus dihormati dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sedangkan terhadap mereka yang sudah meninggal wajib diselenggarakan upacara kematian (pengabenan).

Penghormatan kepada orang tua merupakan pintu gerbang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Ketika masih hidup ia akan mendapat pujian dan penghormatan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya, sedangkan setelah kematiannya Ida Sang Hyang Widhi akan menganugrahkan kebahagiaan yang tiada terkira untuknya.

Umat Hindu meyakini bahwa upacara pengabenan merupakan sebuah solusi yang dapat mempermudah dan mempercepat proses pembebasan suksma sarira (badan halus) dari stula sarira (badan kasar). Sang suksma sarira yang hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup) pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatu kembali dengan sang Paramatma, sedangkan stula sariranya dapat kembali kepada asalnya yaitu menjadi panca maha bhuta. Oleh karenanya pelaksanaan upacara pengabenan merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang dirasakan wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh oleh setiap umat Hindu. Karenanya upacara pengabenan seringkali dilakukan sangat meriah bahkan paling meriah diantara panca yadnya. Jika dicermati upacara ngaben menjadi salah satu icon kedatangan touris dari manca Negara. Hal ini terjadi karena mereka merasakan betapa besarnya jasa para leluhur terhadap keturunannya. Karma wasana leluhur merupakan landasan berpijak bagi keturunannya. Para leluhurlah yang telah berjasa memberikan pemeliharaan serta perawatan sejak dalam kandungan sampai dewasa, dan menyebabkan mereka

(9)

mampu berdiri sendiri serta mampu menikmati kehidupan yang lebih baik. Belaian kasih orang tua selalu menyelimuti anak-anaknya ketika mereka kedinginan, demikian pula tetesan keringat dan deraian air mata-nya selalu menyirami anak-anaknya ketika mereka kepanasan.

Upacara ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya dan dilandasi oleh Pitra Rna (hutang jasa kepada leluhur). Keyakinan ini memotivasi umat Hindu untuk menyelenggarakan upacara kematian yang terkadang tampil sangat meriah. Bagi sebagian umat Hindu upacara ngaben mendapat perhatian yang sangat istimewa sehingga dilakukan dengan sangat khusuk penuh pengabdian bahkan terkadang sangat meriah. Terkadang ada yang memaksakan untuk melaksanakan upacara ngaben yang sangat meriah tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapinya dengan meminjam uang kesana kemari, padahal sesungguhnya hal itu bukanlah suatu keharusan. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya tidak semua umat Hindu memahami hakikat pelaksanaan upacara Ngaben. Terkadang upacara ngaben dilakukan dengan sangat meriah karena dilandasi rasa takut, jangan sampai karena upacaranya kurang meriah leluhur mereka tidak memperoleh tempat yang baik atau kurang lancar perjalanannya. Hal itulah yang menyebabkan mereka berusaha melakukan upacara kematian (pengabenan) dengan semeriah mungkin dengan harapan agar arwah leluhur mereka dapat melanjutkan perjalanannya ke alam surga tanpa halangan. Sampai saat ini sebagian umat Hindu masih meyakini bahwa upacara pengabenan merupakan solusi yang paling ampuh untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam

(10)

kehidupan, sehingga saat terjadi kematian pada seseorang kerabatnya merupakan saat terakhir bagi mereka untuk menunjukkan rasa hormat dan bakti mereka.

Hal ini tampak jelas ketika kita menyaksikan usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian umat Hindu disaat sanak keluarganya ada yang meninggal dunia, mereka pada sibuk dan khusus melakukan upacara pengabenan dengan sedetail mungkin. Jangankan bagi mereka yang mampu seperti Keluarga Puri Ubud di Bali yang terbiasa melakukan upacara kematian dengan sangat meriah. Misalnya pada tahun 1998 ketika ada keluarga Puri yang meninggal dunia, mereka melaksanakan upacara kematian yang sangat meriah. Ada balai-balai (bade) setinggi 28 meter menjulang tinggi sebagai wadah jenazah orang tua mereka yang diupacarai. Dapat dipastikan pembuatan balai-balai itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit apalagi untuk mengusungnya ke kuburan, sehingga jika dihitung secara materiil untuk dapat melakukan upacara yang semegah itu dapat dipastikan membutuhkan biaya yang cukup banyak. Akan tetapi sedikitpun tidak tampak keragu-raguan dari pihak keluarga untuk melakukannya, mereka sangat ikhlas karena mereka meyakini hal itu merupakan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan rasa hormat dan bhakti kepada leluhur mereka yang telah berjasa dalam kehidupannya, dan dengan cara itu hutang-hutang mereka terhadap leluhurnya bisa ditebus/dibayar.

Kenyataan itu tidak hanya berlaku bagi umat Hindu yang ada di Bali, hampir sebagian umat Hindu melakukan hal yang tidak jauh berbeda hanya saja cara dan bentuk pelaksanaannya yang berbeda. Misalnya umat Hindu di Tana Toraja, mereka menyelenggarakan upacara kematian dengan sangat meriah.

(11)

Disana tampak tongkonan yang dihias dengan belasan tanduk kerbau yang merupakan simbul keagungan bhakti mereka kepada leluhurnya. Sehubungan dengan hal tersebut pelaksanaan upacara kematian yang merupakan perwujudan rasa hormat dan bakti kepada leluhurnya, terkadang menjadi beban bagi mereka yang kurang mampu. Di satu sisi mereka merasa wajib untuk melaksanakan upacara yang sepantasnya, di satu sisi lagi mereka terbentur oleh masalah ekonomi.

Di era modern terkait dengan tuntutan ekonomi, pelaksanaan upacara yang besar, sering menimbulkan pertanyaan, mengapa upacara untuk orang yang meninggal harus dilakukan dengan sangat meriah?, apakah dengan biaya sebesar itu sudah pasti atma leluhur mereka akan masuk svarga? Apakah dengan upacara yang sederhana leluhurnya tidak memperoleh svarga, atau adakah upacara ngaben yang sederhana sifatnya tanpa mengurangi fungsi dan maknanya.

Akhir-akhir ini umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta mulai tertarik dengan pelaksanaan upacara Ngaben Ngelanus. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama sehingga tidak perlu menyimpan dan merawat jenazah dalam waktu yang lama, hal ini sesuai dengan aturan Pemda DKI Jakarta. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan secara bergotong royong, dimana pembuatan sesajen dibagi sesuai dengan kapasitas anggota tempek. Upacara ngaben ngelanus diyakini sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Karena proses pelaksanaannya yang tidak begitu lama maka biaya yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak. Akan tetapi ada juga yang meragukan kesempurnaan upacara ngaben ngelanus tersebut, misalnya bagaimana dengan

(12)

ala ayuning dewasa, apakah pelaksanaan upacara ngaben dalam waktu yang singkat itu lebih baik, sehingga masih perlu diulas lebih lanjut yakni bagaimana eksistensinya dalam paradigma ajaran agama Hindu.

Dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan rumusan masalah yang akan dibahas : (1) Apakah arti Upacara Ngaben Ngelanus itu, 2) Apa pelaksanaan upacara ngaben ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan upacara pitra yadnya, (3) Bagaimana tatacara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?.

Untuk membedah permasalahan ini, dipergunakan beberapa teori yaitu: teori religi digunakan untuk memahami apakah arti dan bagaimana ngaben ngelanus tersebut, teori semiotic digunakan untuk apakah ngaben ngelanus tersebut mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan pitra yadnya, teori fungsional struktural digunakan untuk memahami arti dan tatacara pelaksanaan upacara ngaben ngelanus.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang di depan, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian yaitu : 1. Apakah Arti Ngaben dan bagaimana Ngaben Ngelanus itu?

2. Apakah Ngaben Ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan Pitra Yajña.

(13)

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam mengadakan penelitian ilmiah, tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai akan sangat menentukan langkah-langkah yang akan dilalui sehingga penelitian yang dilaksanakan menjadi tepat sasaran. Semakin jelas rumusan tujuan penelitian, maka semakin mudah untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian dibedakan menjadi dua yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggali, menginterpretasikan, melestarikan, mengembangkan budaya agama yang hidup dikalangan umat Hindu akan tetapi tidak hanya sebatas pelaksanaan saja akan tetapi harus dibarengi dengan pemahaman akan fungsi dan makna serta nilai filosofinya sehingga pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan kemampuan umat Hindu dan tidak memaksakan apalagi sampai ngutang atau menjual tanah warisan yang hanya sejengkal. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat lebih memahami esensi ajaran agama Hindu sehingga kualitas keberagamaan menjadi lebih baik.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus dan praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam yaitu:

(14)

2. Untuk Mengetahui Apakah Ngaben Ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan Pitra Yajña.

3. Untuk Mengetahui Bagaimana tata cara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di DKI Jakarta

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam mengadakan penelitian ilmiah diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat positif dan membangun masyarakat (subyek penelitian), demikian juga masyarakat akademis. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam mengadakan penelitian ini manfaatnya dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan akademis bagi seluruh karyasiswa khususnya dan kalangan akademis umumnya tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat khususnya bagi penulis demikian juga bagi peneliti selanjutnya yang mungkin ingin meneliti lebih mendalam tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Filosofi mengingat pelaksanaan upacara pengabenan Umat Hindu sangatlah beragam unik dan sarat dengan nilai-nilai filosofis.

(15)

1.4.2 Manfaat Praktis

Bagi peneliti, hasil penelitian ini pasti akan menambah wawasan pengetahuan tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap filosofis apa saja yang terdapat dalam pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, sehingga dapat dijadikan sumber informasi tentang pelaksanaan ajaran agama yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat berguna dalam mengadakan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat:

1) Dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam melaksanakan upacara ngaben ngelanus.

2) Dijadikan acuan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam mengadakan pembinaan dan mengambil kebijakan.

3) Dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh masyarakat dan pemerintah.

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Layaknya karya tulis harusnya merupakan hasil analisis dari sebuah penelitian dan bukan sekedar tulisan yang bersifat fiktif. Karya tulis harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan dalam penyusunannya dilakukan secara kritis, logis, dan sistematis melalui langkah-langkah tertentu. Untuk lebih mempertegas hasil dari sebuah penelitian tersebut, maka sangat diperlukan sumber dari pustaka baik berupa kutipan dari para sarjana atau para rohaniawan, guna mendukung isi tulisan sehingga keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan. Adapun pustaka-pustaka relevan yang mendukung penelitian ini sebagai kajian pustaka sebagai berikut ini.

Relin (2005), dalam tesisnya ”Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian Masyarakat Jawa”, mengungkapkan ritual kematian adalah merupakan tradisi leluhur orang Jawa yang dilaksanakan ketika ada keluarga meninggal dunia. Ritual ini digunakan sebagai sarana persembahan kepada Tuhan untuk mendoakan almarhum agar rohnya bisa mencapai svarga bahkan mokhsa. Pelaksanaannya; mulai dari orang meninggal yang disebut ritual Geblak, Upacara Tiga Hari (telung dinane), Upacara Tujuh Hari (Pitung dina), Upacara Empat Puluh Hari ( ritual petang puluh dina), Upacara Seratus Hari (satus dina), Upacara Pendak Pisan (satu tahun setelah meninggal, Upacara Pendak Pindo (dua tahun setelah meninggal), Upacara Seribu Hari (tiga tahun setelah

(17)

meninggal). Fungsi Ritual ini adalah untuk membantu proses kesempurnaan roh orang yang meninggal dan dapat lebur secara cepat bersatu dengan Tuhan (terciptanya Manunggal Kawula lawan Gusti).

Mencermati uraian di atas, makna pelaksanaan upacaranya tidak jauh berbeda yaitu untuk mencapai kebebasan yang sejati, akan tetapi prosesi pelaksanaan upacaranya sangatlah berbeda. Perbedaan prosesi upacaranya sangat jelas, hal mana ditunjukkan yaitu ritual kematian umat Hindu di Jawa dilaksanakan dengan jalan mengubur jenazah, yang selanjutnya dibuatkan upacara dan didoakan mulai dari ketika dia baru meninggal, sesudah tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dua tahun sesudah meninggal, tiga tahun sesudah meninggal.

Menurut ketetapan susastra suci Hindu penguburan jenazah sebaiknya dihindari kecuali alasan tertentu. Fungsi pelaksanaan upacaranya adalah sama-sama sebagai penyucian arwah orang sudah meninggal agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta (bersatunya Kawula Gusti). Menurut ketentuan pustaka suci Hindu pelaksanaan upacara pengabenan selain sebagai sarana untuk membebaskan diri dari hutang kepada para leluhur yang sudah banyak berjasa dalam kehidupan, juga berfungsi sebagai penyucikan arwah leluhur sehingga dapat bersatu dengan Sang Pencipta dan tidak dikutuk menjadi Bhuta Cuil yang bisa mengotori alam semesta ini, sehingga Tuhan berkenan turun ke bumi. Berkenaan dengan itu hal tersebut maka penelitian ini pantas untuk dilanjutkan.

Ningrat (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Banten Panjang Ilang Dalam Upacara Ngaben di Mataram, Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna

(18)

”mengetengahkan fokus penelitianya di Kota Mataram, secara diakronis mengikuti tatanan konseptual tiga kerangka dasar keagamaan yang terdiri dari tatwa, susila, dan upacara. Secara umum, dalam realisasi kehidupan sosial beragama aspek upacara merupakan bentuk ekspresif yang secara simultan merupakan wujud penampakan yang paling menonjol, namun secara sistematik satu aspek dengan aspek lainnya saling memberikan fungsi yang saling terkait.

Salah satu elemen dari aspek upacara agama Hindu yang belakangan ini mendapatkan perhatian dari masyarakat Hindu di kota Mataram, menurut Ningrat adalah aktivitas keagamaan serta fenomena yang bertalian dengan wacana simplifikasi dalam tatanan upakara masyarakat Hindu. Munculnya wacana tersebut akibat pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan makna upacara belum mendalam, serta sarana–sarana upacara yang dipakai dirasakan semakin terbatas di kalangan masyarakat Hindu di kota Mataram. Dalam penelitian tersebut diketengahkan tiga permasalahan pokok yang dijawab dalam penelitian, yakni; (1) Bagaimana bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, (2) Apa fungsi simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, dan (3) Apa makna simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram.

Mengenai bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram, dalam hasil penelitian tersebut diketengahkan eksistensi, sarana, dan bentuk Banten Panjang Ilang dari proses pembuatan/pengolahan, tahap penyusunan isinya, tahap penyelesaian dengan pengisian beberapa variasi, sampai pada mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram.

(19)

Fungsi Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram, membahas tentang fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi estetika. Sedangkan makna Banten Panjang Ilang mengupas tentang makan bentuk, makna simbolik Banten Panjang Ilang sebagai oleh-oleh kepada sang atma, sebagai persembahan, sebagai pembinaan moral dan budaya, sampai pada mengupas makna mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram.

Berdasarkan uraian di atas, hal mana menunjukkan bahwa uraian di atas hanya pada penggunaan sarana upacara yang disebut Banten Panjang Ilang yang memiliki makna simbolis sebagai oleh-oleh sang atma, demikian juga sebagai persembahan, akan tetapi tidak membahas prosesi pelaksanaan upacara pengabenan, maka penelitian ini layak untuk diteliti.

Werdinaya (2007) dalam ”Upacara Mebeya Tanem Pada Dua Tradisi Kuno Desa Pakraman Puakan dan Pakusebe di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar”, mengungkapkan Upacara Mebeya Tanem adalah suatu usaha yang dilaksanakan oleh ”sentana” atau ahli warisnya dengan perasaan yang tulus ikhlas tanpa pamrih, sebagai perwujudan rasa bhakti kepada leluhur dengan tujuan untuk membersihkan atman (roh) leluhur agar dapat meningkat dari alam preta ke alam pitra. Mabeya Tanem pada hakikatnya sama dengan upacara Ngaben tetapi menurut tata cara yang dilaksanakan di desa Pakraman Puakan dan Pakusebe memiliki perbedaan-perbedaan yang khas terutama dalam istilah, tata cara, serta prosesi pelaksanaannya, mengingat prosesinya tidak melalui pembakaran jenazah.

(20)

Berkenaan dengan hal tersebut penelitian ini hendaknya dilanjutkan karena pelaksanaan Upacara Mabeya Tanem sangat berbeda dengan norma-norma yang terkandung pada pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, seperti telah dijelaskan di atas prosesi penguburan jenazah bagi orang yang meninggal secara wajar hendaknya sebisa mungkin dihindarkan, jika keluarga yang ditinggalkan tidak memiliki biaya yang cukup disediakan bentuk upacara yang sangat sederhana yang disebut Swasta Gheni, sebab mengubur jenazah bisa mengotori arwah yang orang yang meninggal, dan jika tidak diaben selama tiga tahun akan dikutuk menjadi Bhuta Cuil.

Suastini (2008) dalam tesisnya berjudul ”Upacara Ngaben Matempung di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan”, dikemukakan bahwa upacara ngaben merupakan kewajiban bagi anak dan cucu untuk menghormati orang tua baik semasih hidup maupun sesudah meninggal, yang mana menurut lontar Panca Yadnya perbuatan tersebut dapat menghilangkan penderitaan dan kesengsaraan dari orang tuanya. Menurut ajaran Tri Rna, Upacara Pitra Yadnya merupakan bagian dari Pitra Rna, yang menjelaskan bahwa seorang anak memiliki hutang jasa kepada leluhurnya yang wajib dibayar dengan melakukan penghormatan ketika masih hidup dan melaksanakan upacara Pengabenan sampai Memukur dan Ngelinggihang Dewa Hyang ketika mereka sudah meninggal.

Prosesi Upacara Ngaben Matempung hampir sama dengan pelaksanaan upacara pengabenan yang dilaksanakan secara mandiri atau perorangan, yaitu sama-sama mreteka (mengupacarai) sawa (jenazah) keluarga yang meninggal

(21)

agar lebih cepat dapat bersatu dengan sang pencipta, akan tetapi karena prosesi pelaksanaan Upacara Ngaben Matempung dilaksanakan secara kolosal atau bersama dengan banyak orang, maka dari segi penghabisan biaya akan menjadi lebih hemat.

Mencermati pemaparan di atas, pelaksanaan Upaca Ngaben Matempung menitikberatkan pada penghematan akan biaya yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara pengabenan tersebut. Sedangkan menurut Teks Yama Purwana Tattwa, pelaksanaan upacara pengabenan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan yang melaksanakan upacara. Jika keluarga yang ditinggalkan tidak mampu dari segi ekonomi, maka upacara pengabenan dapat dilaksanakan sesederhana mungkin sehingga tidak memberatkan keluarga yang ditinggalkan. Akan tetapi jika keluarga yang ditinggalkan berkecukupan baik dari segi ekonomi demikian juga yang lainnya, maka penyelenggaraan upacara pengabenan yang mewahpun tidak dilarang. Selain itu upacara Ngaben Matempung hanya memungkinkan dilaksanakan jika ada kesepakatan banyak keluarga memiliki sawa yang belum di aben untuk melaksanakan upacara pengabenan. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini tepat untuk dilanjutkan.

Adiputra (2003) dalam tesisnya berjudul ”Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan”, dinyatakan bahwa upacara Ngaben Beya Tanem sudah dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Desa Adat Tengkudak sejak jaman dahulu sampai sekarang. Upacara pengabenan ini merupakan sesuatu yang unik, karena mayat tidak boleh dibakar, tetapi harus dikubur. Keunikan lain dalam pelaksanaan upacara ini yaitu diiringi dengan Tari

(22)

Baris Memedi khususnya dalam upacara Ngaben Beya Tanem yang tergolong utama. Penyelenggaraan Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak meliputi tiga jenis, yaitu: Swasta Sundari, Swasta Geni, dan Sawa Preteka. Tingkat upacaranya juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu: utama, madya dan nista.

Pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem diselenggarakan atas dasar tiga pertimbangan yaitu: secara geografis Desa Adat Tengkudak terletak di kaki Gunung Batukaru yang merupakan kawasan suci. Pembakaran mayat dikhawatirkan akan mencemari kawasan suci tersebut yang merupakan stana dari Betara Tumuwuh (Bhatara Penataran Sakti Bali) sebagai Purusa. Disamping itu, dikawatirkan pula dapat mencemari danau Beratan sebagai linggih Dewi Danuh sebagai Predana. Secara epistemologis Hindu, manusia berasal dari unsur Panca Mahabhuta. Secara sosial, upacara itu sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, yang mengatur dan menjaga keseimbangan tiga penyebab kehidupan, yaitu: parahyangan, palemahan, dan pawongan.

Semua sarana upacara untuk pelaksanan Ngaben Beya Tanem tersedia dan dapat diperoleh dari lingkungan desa tanpa perlu mendatangkan dari luar desa. Sebelum pelaksanan penguburan yang disebut dengan pekutangan ditarikan sebuah tarian sakral yang disebut dengan Baris Memedi. Tarian ini ditarikan mulai dari kuburan sampai di depan rumah orang yang diaben, dan berakhir kembali di kuburan, yang umumnya diawali dengan pedeeng. Pengkajian terhadap sarana upacara menyimpulkan bahwa ada kesamaan dengan sarana upacara pengabenan yang dilakukan oleh masyarakat di desa tetangga, yang berbeda hanyalah mayat tidak dikremasi tetapi dikubur dan tidak ada upacara

(23)

pembuangan abu jenasah yang disebut nganyud. Upacara dipimpin oleh Balian Desa yang dipilih dalam Paruman Desa. Balian Desa ini diberi tanggung jawab melakukan upacara Pitra dan Manusa Yadnya.

Upacara Ngaben Beya Tanem dilakukan dengan jalan ngelanus, artinya setelah pelaksanaan upacara penguburan dilanjutkan dengan upacara ngerorasin. Upacara ngerorasin dimaksudkan untuk menstanakan Dewa Hyang. Sesudah tiga hari pelaksanaan upacara, dilanjutkan dengan upacara nebus pitra, yang dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada Balian Desa yang telah membantu penyelenggaraan upacara. Dengan telah dilaksanakannya upacara ngerorasin, maka berakhirlah upacara Ngaben Beya Tanem.

Berdasarkan penelitian dan tulisan di atas, nampaknya upacara Ngaben Beya Tanem berbeda dengan prosesi upacara ngelanus. Adapun yang membedakannya adalah: 1) dalam pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem jenazah dikubur atau tidak dibakar, sedangkan menurut ketetapan sedangkan pada upacara ngaben ngelanus yang dilakukan di Provinsi DKI Jakarta melalui proses dibakar. 2) Pelaksanaan upacara Mabeya Tanem di Desa Tengkudak diiringi tarian Baris Memedi, sedangkan pada pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus tidak diwajibkan adanya pementasan tari. Hanya saja pada pelaksanaan upacara Mabeya Tanem di Desa Tengkudak juga upacara ngaben ngelanus di DKI Jakarta sama-sama memiliki kelebihan demikian juga kekurangannya, dan sama-sama diyakini benar oleh masyarakat setempat. Untuk dapat memahami mengapa pelaksanaan upacara itu sama-sama diyakini dan dianggap benar sehingga masih dilaknakana maka jawabannya akan lebih sempurna jika penelitian ini dilanjutkan

(24)

karena dapat dipahami dasar dan alasan mereka melaksanakan upacara dimaksud apakah mematuhi tradisi atau berdasarkan referensi kitab suci yang dijadikan sebagai rujukan. Sebab jika hanya berdasarkan pada tradisi tentu masih perlu digali dan dicari dasar hukum yang dijadikan acuan pelaksanaan upacara, sebab upacara pengabenan merupakan kewajiban dan merupakan keharusan untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Masalahnya jika warga desa Tengkudak berpindah domisili ke tempat lain tentunya pelaksanaan upacara Pengabenan Beya Tanem yang dilaksanakan di Desa Tengkudak tidak bisa diterapkan di daerah lain.

Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut di atas, upacara ngaben ngelanus bagi Umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta belum ada yang meneliti, untuk itu kiranya sangat penting untuk diteliti lebih lanjut dan diangkat sebagai pokok pikiran dalam tulisan ilmiah.

2.2 Konsep

Konsep adalah abstaksi mengenai satu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. Konsep-konsep sebagai pendukung analisis dalam penelitian ini akan dijelaskan, sehingga dapat memberi bingkai sesuai dengan permasalahan yang akan dijadikan obyek penelitian. Adapun konsep yang akan dijelaskan terkait dengan penelitian ini meliputi: konsep filosofis, konsep upacara, konsep ngelanus, konsep masyarakat Hindu, konsep DKI Jakarta.

(25)

2.2.1 Pengertian Esensi

Pengertian Esensi menurut kamus umum bahasa indonesia adalah hakekat, inti; hal pokok. (Poerwadarminta, 1991 : 278). Esensi adalah substansi yang paling mendasar dari suatu isu. Maka tanpa menyelesaikannya apalagi tidak menyentuhnya, tidak akan ada penyelesaian apalagi kemajuan. Tanpa mengetahui esensi dari sesuatu yang akan di bahas maka kita sulit untuk membedakan mana yang merupakan kulit dan mana isi dari suatu persoalan.

Maka dalam penelitian ini ditekankan pada esensi, agar dapat menggali secara dalam apa sebenarnya yang menjadi esensi / hakekat, inti; hal pokok dari ngaben ngelanus. Apakah esensi dari ngaben ngelanus sama dengan ngaben yang biasanya. Bagimana praktik ngaben ngelanus apakah tetap sempurna dalam pelaksanaanya tanpa mengurangi makna dan nilai dari Ngaben yang biasa.

2.2.2 Pengertian Upacara

Konsep upacara dalam hubungannya dengan pelaksanaan yajña menurut Agama Hindu, bahwa pengertian upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “mendekati” dan berarti juga penghormatan (Wiana, 1998 : 42). Sedangkan menurut (Mas Putra, 2001 : 6) upacara berasal dari kata "upa" yang berati berhubungan dan "cara" yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Gerakan dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan sesuatu Jadi upacara yang dimaksud dalam Agama Hindu adalah pelaksanaan dan suatu yajña atau korban suci. Lebih lanjut (Sura 1999 : 38) menyatakan bahwa upacara agama adalah rangkaian

(26)

upacara yang urut dan sistimatis formalistik. Upacara juga berati gerakan sekeliling kehidupan manusia, aktivitas-aktivitas manusia dalam upaya dan usaha menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan segenap Asta Dewatanya (Supartha, 1997 : 34). Dalam kamus Sansekerta Indonesia dijelaskan bahwa upacara memiliki arti "mendekati" (Tim Penyusun, 2000 : 112). Secara maknawi inti upacara agama merupakan aktivitas manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada sesama dalam bentuk saling mengabdi sesuai dengan swadharma masing-masing, dekat kepada alam lingkungan dalam wujud menjaga lingkungan alam dan yang paling penting adalah membangun rasa lebih dekat kepada Ida Sang Hyang Widhi sesuai dengan konsep Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana.

Upacara Yadnya merupakan salah satu korban/persembahan suci yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menghubungkan atau mendekatkan dirinya dengan Ida Sang Hyang Widi. Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985; 23) mengungkapkan tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang sebagai suatu komunitas, walaupun sebagai warga istimewa. Selanjutnya ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang dilaksanakan dengan gembira, bahkan terkadang sangat meriah dan juga keramat. Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi dirinya dari ketidak berdayaan hidup dan hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian

(27)

menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup.

Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904 dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia meyakini dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual.

Menurut Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 167) yang menyatakan bahwa tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual) atau dapat dikatakan ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Simbol itu sendiri menjadi pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam agama. Di samping itu simbol-simbol digunakan untuk memberikan kemungkinan suatu perpanjangan dari penampakan yang Illahi.

Selain itu Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 183) menyatakan pula, bahwa upacara (ritual) mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru, misalnya; penempatan pada lingkup yang kudus.

(28)

2.2.3 Pengertian Pitra Yadnya

Kata pitra yajña berasal dari dua kata yaitu pitra dan yajña. Pitra/ pitara artinya bapak, ibu atau leluhur yang telah meninggal, sedang yajña dari kata yaj yang artinya persembahan. Menurut Wijayananda, kata yajña sesungguhnya berasal dari kata Sanskerta yang diartikan pemujaan, persembahan, korban suci, upacara korban dan lain sebagainya. Sedangkan dalam Bhagawadgita menurut Wijayananda, Yajna diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran sebagai persembahan (Wijayananda, 2004:14).

Sedangkan menurut Tim Penulis buku Catur Yajña Pemda Tingkat I Bali (1989/1990) kalimat Pitra Yajña terdiri dari kata Pitra (pitara) dan yajña. Pitra (pitara) berarti bapak/ibu leluhur yang terhormat sinuhun dan yajña berarti penyaluran tenaga atas dasar suci, untuk keselamatan bersama atau pengorbanan. Jadi yang dimaksud pitra yajña ialah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar suci (ikhlas) (persembahan) yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama (Tim, 1989/1 990:75).

Ajaran suci Veda disamping mengamanatkan untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para dewata, juga diamanatkan untuk memuja leluhur, karena pada nakikatnya para leluhur adalah perwujudan atau pengejawantahan dewata (Pitr dewo bhawa, mair dewo bhawa, ayah adalah perwujudan dewata, ibu adalah perwujudan dewata). Roh suci leluhur yang telah mencapai moksa, bersatu dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua jenis leluhur, yakni yang karena karmanya yang baik memperoleh sorga atau moksa, sedang yang karmanya yang buruk memperoleh neraka (naraka). Selanjutnya kepada mereka

(29)

yang mendapat tempat yang baik ( sorga dan moksa ) dimohon karuniannya, sedang yang berada dalam lembah neraka, keturunannya patut mendoakan dan berbuat baik untuk membebaskan mereka dari lembah kesengsaraan dengan doa, mantra dan persembahan ( Yajña ) (Titib, 1998 : 225)

Persembahan kepada leluhur atau roh suci dalam kitab Manawa Dharmasastra disebut pitra yajna (prasita) “gryarca pracitam petr tarpanam”, Prasita adalah persembahan tarpana kepada lelluhur (Pudja dan Sudharta, Mdhs, III : 74). Perintah pelaksanaan pitra yajña kepada umat manusia yang mempunyai leluhur demi membahagiakan dan mendoakan agar menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra III.82 :

Kurya daharahah craddham Annadyeno dakena wa, Payo mula phalairwapi Pitrbhyah pritimawaham Terjemahannya :

Upacara pitra yajna yang harus kamu lakukan, Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air atau susu dengan ubi-ubian dan buah-buahan dan dengan demikian menyenangkan para leluhur. (Pudja dan Sudharta, 2002 : 154)

Pernyataan sloka tersebut di atas memberikan inspirasi kepada umat untuk tetap menghaturkan persembahan kepada leluhur. Persembahan tidak diukur dari besar dan kecilnya harga, tetapi nilai persembahan itu diukur dari ketulusan dan cinta kasih sraddhā atau yajña yang dipersembahkan. Dengan mempersembahkan sebagian makanan yang dimiliki yang dilandasi hati yang suci akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan para leluhur.

Tidak mengurangi makna/nilai persembahan kepada para leluhur, selain menghaturkan persembahan agar para leluhur bahagia dan damai atau mencapai

(30)

moksa bagi yang belum, juga persembahan itu dilakukan untuk memohon maaf atas kesalahan dan mohon bimbingan kepada para leluhur agar anak keturunannya sejahtera dan bahagia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh mantram Rgveda X. 15:4

Barhasadah pitara ūti arvāg Imā vo havyā cakrma juṣadhvam

Ta ā gata avasā ṣamtamena Atha naḥ sāṁ yor arapo dadhāta Terjemahannya:

Wahai para leluhur yang duduk: bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda semoga anda bahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan. (Titib, 1989:227)

Pada intinya upacara pitra yajna dilakukan untuk memuja Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita yang masih hidup dan para leluhur (pitara) bebas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang abadi. Karena hidup yang bahagia dan damai lahir dan bathin merupakan cita-cita dan tujuan manusia hidup. Apalagi mencapai kemanunggalan dengan Brahman. Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Karena apabila sudah bahagia manusia tidak memerlukan apa-apa lagi, kebahagiaan bernilai bukan dari suatu nilai lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri.

2.2.4 Pengertian Ngaben Ngelanus

Menurut Wiana (1998 : 32) Upacara Pitra Yadnya (ngaben) merupakan suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan kepada orang yang telah meninggal, karena manusia selama hidupnya atmanya dibelenggu oleh dua

(31)

lapisan sarira yang disebut : stula sarira dan suksma sarira. Maka ”ngaben” yang artinya menujua api. Api dalam lambang agama Hindu yaitu melambangkan ”Brahma”. Dapat diuraikan kata ngaben artinya perjalanan menuju ke alamnya Brahma. Kalau disimpulkan bahwa fungsi ngaben adalah melepaskan atma dari ikatan Stula sarira (Panca Maha Bhuta).

Menurut Putra (1993) dalam Upacara Pitra Yadnya Recadana pada warga bhakti yoga Desa Bestala bahwa yang disebut upacara pitra yajña (ngaben) adalah serangkaian upacara penyucian dan ”Mrelina” serta penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia (mrtyu) menurut agama Hindu. Selanjutnya yang dimaksud dengan ”Mrelina” yaitu merubah suatu wujud sedemikian rupa sehingga unsur-unsur yang ada kembali kepada asal semula (Panca Maha Bhuta). Sarana yang digunakan untuk penyucian atau pembersihan pada jenazah adalah air dan tirtha (air suci). Selanjutnya dalam pembakaran dan mrelina digunakan ”Api Pemrelina”.

Selanjutnya ”Ngelanus” (bahasa Bali), berasal dari kata lanus yang berarti lancar/cepat. Ngelanus dalam bahasa Bali seketika. Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan, ”Upacara Ngaben Ngelanus” yang dimaksudkan adalah pelaksanaan ”Upacara Ngaben” sampai ”Nyekah” yang dilaksanakan dalam waktu satu hari. Pelaksanaan Upacara Ngaben seperti ini saat ini menjadi pilihan bagi umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta. Fenomena tersebut merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini dilakukan.

(32)

2.2.5 Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang paling tua di dunia. Diinspirasikan oleh wahyu ("oleh nafas Tuhan"), para rsi jaman dahulu menyanyikan lagu yang suci di hutan dan juga di tepian sungai India, jauh ribuan tahun sebelum Moses, Buddha atau Kristus. Lebih dari ribuan tahun lagu ini tetap dinyanyikan oleh para rsi, yang menggabungkan kebijaksanaan yang melahirkan agama Hindu yang dikenal dengan nama Hinduisme saat ini. Nama asli dari Agama Hindu adalah Sanatana Dharma (Kebenaran universal atau abadi). ( Pandit, 2006 : 3 )

Walaupun asal usul dari Hindu bagaimana pun juga kontroversial, para cendekiawan setuju bahwa agama Hindu ada sejak awal 500 S.M, orang Persia memanggil orang India yang tinggal di tepian sungai Indus (dikenal dengan nama Sindhu dalam bahasa Sanskrta) sebagai Sindhus. Dalam Bahasa Persia, kata Sindhu menjadi Hindu dan orang yang tinggal di India dikenal dengan nama Hindu.

Tidak seperti agama lain di dunia, agama Hindu tidak berasal dari seorang pendiri atau sebuah kitab, atau dimulai pada titik waktu tertentu. Sangat tidak mungkin untuk menentukan waktu dan tempat asalnya. Dalam buku-buku biasanya dikatakan bahwa Agama Hindu kira-kira terbentuk 1500 S.M, yang didasarkan pada Teori Invasi Arya (lihat bab 39) yang sekarang tidak dipergunakan lagi. Menurut teori ini bangsa Arya pada jaman Weda datang dari India tengah, yang menyerbu India sekitar tahun 1500 S.M, menghancurkan pera-daban yang lebih maju yaitu Perapera-daban Harappan, dan menyebarkan budaya Weda di India. Berdasarkan bukti arkeologi dan kesusastraan, cendekiawan

(33)

moderen telah menyebutkan bahwa tidak ada invasi Ārya dan orang-orang jaman Rg Weda yang menyebut diri mereka Aryan (kata Ārya dalam bahasa Sanskrta berarti kebijaksanaan), merupakan penduduk asli India dan merupakan salah satu etnik grup sejak 6500 S.M atau bahkan lebih awal lagi.

Agama Hindu berkembang dari jaman pra-sejarah di India dalam bentuk pantheon agama Monothéisme (contohnya memuja satu Tuhan dalam berbagai cara dan bentuk). Sementara itu sejumlah kelas sosial muncul dalam masyarakat Hindu dalam bentuk upacara agama yang besar-besaran, pengorbanan binatang, pelaksanaan sistem kasta yang terlalu kaku dan pernyataan kesuperioran para Brahmana dari kasta yang lainnya.

Agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab suci Hindu yang terhimpun dalam Veda Sruti, Veda Smrti, Itihasa, Upanisad dan sebagainya.

Pertumbuhan filsafat keagamaan (Darsana) dan perkembangan pelaksanaan keagamaannya tak dapat melepaskan diri dari sumber-sumber tersebut, sehingga perkembangan agama senantiasa bersifat religius, dalam arti dan bernafaskan keagamaan. Agama Hindu merupakan sumber kekuatan batin yang menjiwainya.

Perkembangan Agama Hindu di India, berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang yaitu berabad-abad hingga sekarang. Sejarah yang amat panjang itu menurut pendapat Govinda Das Hinduism Madras, 1924, halaman 25, zaman dikatakan dapat dibagi 3 bagian yang besar, sekalipun batas-batas

(34)

pembagiannya tak dapat dipastikan dengan jelas. Ketiga bagian itu adalah: ( Ngurah, dkk, 2005 : 15)

1. Zaman Veda Kuna.

Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Ārya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punyab (daerah lima aliran sungai). Zaman Veda kuna merupakan zaman penulisan wahtu suci Veda yang pertama yaitu Ŗg Veda. Kehiduopan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Veda Saṁhitā, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Veda secara oral, yaitu dengan menyayikan dan mendengarkan secara berkelompok.

2. Zaman Brahmana.

Pada zaman Brahmana, kekuasan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan-persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan Upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam kitab suci Veda. ( Netra, 1994 : 2 )

3. Zaman Upanisad.

Pada zaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas kepada upacara dan saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bhatin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Zaman Upanisad ini

(35)

adalah zaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Veda. Pada zaman ini uncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Ithihasa dan Purana. Sejak zaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum. ( Netra, 1994 : 2 )

2.2.6 Pengertian Filosofis

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ’philos’dan”sophos”, menjadi ’philosophia’. Philos berarti cinta atau teman dan shopos berarti bijaksana. Jadi philosophia atau fisafat berarti cinta kepada kebijaksanaan atau pengetahuan. Pengetahuan atau kebijaksanaan memberi kebenaran, bagi orang yang mencintai pengetahuan, karena itu yang mencarinya adalah orang-orang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu hingga sekarang. Di dalam mencari kebenaran itu, filsuf mempergunakan cara dengan berfikir dalamnya. Hasil filsafat disebut falsafah. Filsafat sebagai hasil berfikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati sempurna. Filsafat terbentuk karena berfilsafat. Dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah mencari kebenaran, dan filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berfikir secara sistematis dan universal. (Burhanuddin Salam, 1996;24-25).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ialah suatu ilmu atau usaha untuk mencari kebenaran yang hakiki, dengan cara berfikir

(36)

sedalam-dalamnya secara sistematis dan universal untuk melahirkan kebijaksanaan.

Sejalan dengan penjelasan diatas, penulis melihat bahwa dalam ajaran Agama Hindu juga dikenal dengan adanya filsafat Saiva. Filsafat Saiva merupakan satu cabang dari agama Hindu, dimana gambaran perbedaanya adalah pemujaan bentuk phalus dari Siva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak jaman prasejarah, terbukti dari hasil penggalian arkeologi yang ditemukan di Harappa dan Mohenjodaro dan memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang 5.000 tahun lamanya. Simbol phalus dari Siva, seperti yang ditemukan pada reruntuhan pradaban lembah sungai Hindus, yang bahkan hingga saat ini merupakan objek pemujaan diantara para pengikut aliran Saiva, yang merupakan keyakinan hidup dari seluruh bagian India. Para arkeologis di Harappa menemukan Siva Lingam, yaitu benda dari tanah liat yang di bakar, dengan puncaknya yang menurut perkiraan Dr.R.E.M. Wheeler, merupakan sebuah phalus, dan cincin tebal yang lebar, yang di nyatakan sebagai sebuah Yoni ( prinsip wanita).

Dari daftar kepustakaan yang berlaku pada saat ini menunjukkan bahwa terdapat delapan aliran filsafat Saiva yaitu, Pasupata Dualisme, Saiva Siddhanta Dualisme, Dvaitadvaita Saivaisme dari Lakulisa Pasupata,Vasistadvaita Saivaisme dan Saiva Monistik dari Kasmir. Menurut Abhinavagupta secara logika Filsafat Saiva berkembang dari Dualisme menuju monistik, melalui Dvaitadvaita, (Maswinara,1999:213). Penulis melihat bahwa pengaruh filsafat Saiva ini telah ada sejak lama, bahkan dari ajaran tentang Siwa telah melahirkan

(37)

suatu agama dimana Siwalah yang dianggap sebagai Dewa tertinggi pada ajaran ini. Di indonesia khususnya di Bali ajaran Siwa berkembang sanagt pesat dan mempengaruhi setiap upacara atau ritual keagamaannaya. Ajaran Siwa yang kita kenal disebut dengan Saiva Siddhanta.

2.2.7 Provinsi DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta adalah sebuah bagian dari negara Indonesia, bahkan terletak di tengah-tengah negara kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan letak geografisnya juga posisinya sebagai ibu kota negara Indinesia, penduduk Provinsi DKI Jakarta sangatlah heterogen, baik sukunya, bangsanya, agamanya juga adat dan budayanya. Selain itu kehidupan masyarakat Provinsi DKI Jakarta juga sangatlah sibuk, akan tetapi pelaksanaan agama, adat juga budaya dari masing-masing daerah tidaklah ketinggalan, terutama pelaksanaan upacara ngaben ngelanus masih tetap menjadi pilihan masyarakat Hindu DKI Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebutlah penelitian ini dilakukan

2.3. Landasan Teori

Dalam melakukan penelitian terhadap objek ini, tentunya peneliti tidak dapat lepas dari teori. Oleh karena teori merupakan pijakan didalam mengupas isi yang terkandung didalam objek yang akan diteliti. Dalam meneliti pelaksanaan upacara khususnya Upacara Ngaben Ngelanus, banyak teori yang dapat digunakan, akan tetapi dalam hal ini peneliti memilih menggunakan beberapa

(38)

teori yang sangat mendukung keberhasilan penelitian ini. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa teori yang dipilih yakni :

2.3.1 Teori Religi

Makna agama (religi) berangkat dari pemahaman ke-Tuhanan sehingga umat meningkatkan Sraddha (Keimanan) dan Bhakti (Taqwa) umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan aneka nama (Titib, 2006:24). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa ”suatu religi itu adalah suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat”. Artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut umat (Koentjaraningrat, 1985 : 37)

Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985 : 23) mengungkapkan tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang sebagai suatu komunitas, walaupun bukan sebagai warga istimewa. Selanjutnya ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira, meriah dan juga keramat.

Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904 : dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai

(39)

tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Dengan demikian, Preusz menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua aspek dari satu tindakan, dan seringkali ia beranggapan bahwa upacara religi memang bersifat ilmu gaib.

Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi diri dari ketidak berdayaan hidup dari hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup.

Herts (dalam Koentjaraningrat, 1985 : 29), mengungkapkan bahwa mati berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, manusia beralih dari suatu kedudukan sosial dalam dunia ini, ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi.

Selanjutnya Herts, Van Gennep menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan upacara kematian semua ritus dan upacara itu dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: 1) pemisahan atau separation, 2) peralihan atau marge, 3) integrasi kembali atau agregation (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32-33). Dalam bagian pertama dari ritus, manusia melepaskan kedudukannya yang semula, acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan. Dalam bagian kedua, ketika dianggap sudah mati sehingga dia tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun, perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan yang baru. Dalam bagian ketiga, mereka diresmikan dalam

(40)

lingkungan sosialnya yang baru. Dalam inisiasi sering ada acara dimana individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan kembali.

Berdasarkan uraian di atas teori religi sangat dibutuhkan dalam penelitian ini mengingat Upacara Ngaben Ngelanus bagi umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta berfungsi sebagai sarana penyucian, hal mana dalam teori religi disebut inisiasi.

2.3.2 Teori Simbol

Secara etimologi simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman terhadap objek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak terbatas pada isyarat fisik, tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata, yakni simbol suara yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Singkatnya, simbol berfungsi memimpin pemahaman subjek kepada objek (Triguna, 2007). Kata simbol berasal dari bahasa Yunani, yaitu simballo (sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, membandingkan, bertemu, melempar menjadi satu, menyatukan. Secara leksikal kata simbol bererti lambang (Poerwadarminta,1984 : 947). Imanuel Kant (dalam Triguna, 2000 : 29) mendefinisikan simbol adalah perantara untuk menampilkan akal murni melalui relasi dengan yang transendental. Menurut Kant, simbol berfungsi untuk (I) menerapkan suatu pengertian objek pengalaman inderawi ; (2) untuk menerapkan hokum refleksi atas pengalaman kepada objek lain.

Cassier membedakan pengertian antara tanda (sign) dan simbol (symbol), tanda adalah bagian dari dunia fisik yang berfungsi sebagai operator dan

(41)

memiliki substansi sedangkan simbol merupakan bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai signator oleh karena itu simbol tidak memiliki kenyataan fisik tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000).

Menurrut Cassier dan Sradley dalam bingkai kebudayaan tidak semua tindakan manusia bernuansa simbol, hanya tindakan-tindakan tertentu lazimnya disebut simbol dan tindakan simbol itu memberikan suatu kekhususan seakan akan mempertebal dan mempererat sifat-sifat tindakan biasa (Triguna, 2000 : 4). Dalam makna tertentu, simbol acap kali memiliki makna mendalam, yaitu suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat. Simbol hanya hidup selama simbol mengandung arti bagi kelompok manusia yang besar, sebagai suatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi simbol sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan.

Teori ini akan dimanfaatkan untuk segala hal yang sifatnya simbol, untuk menemukan makna simbolik, terkait dengan pelaksanaan “Upacara Ngaben Ngelanus”.

2.3.3 Teori Fungsional Struktural

Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti fungsi adalah kegunaan suatu hal (Tim, 1995:282 ). Dalam bahasa latin, kata fungsi disebut function yang artinya menjalankan, melaksanakan.Teori fungsional structural ini menekankan pada keteraturan dan pengabaian konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat agama. Masyarakat agama merupakan suatu sistem sosisl yang terdiri atas bagian–bagian yang satu sama lainnya saling berhubungan menyatu

(42)

dalam keseimbangan perubahan yang terjadi pada suatu bagian yang akan membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Dasar berfikirnya, setiap struktur dalam sistem sosial memiliki fungsional terhadap yang lainnya.

Tokoh teori ini adalah Merton, yang menyatakan bahwa para penganut teori ini harus memperhatikan aspek peranan sosial keagamaan, pola-pola institusional keagamaan, proses sosial keagamaan, serta organisasi kelompok keagamaan. Sebenarnya masih banyak aspek yang dapat dikaji, tetapi pusat perhatian senantiasa pada fungsi dari suatu fakta terhadap fakta lainnya. Menurutnya, fungsi adalah akibat-akibat yang diamati menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem sosial (Triguna, 1997:18).

Pitana dan Gayatri (2005:19) menyatakan bahwa ada beberapa asumsi pokok teori fungsional structural yaitu sebagai berikut :

1. Masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian–bagian (subsistem) yang interdependen. Masing-masing bagian mempunyai fungsi tertentu, yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan . 2. Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan

fungsi-fungsi dan peranannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu sistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang seharusnya.

3. Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan stabil.

(43)

4. Berfungsinya masing-masing bagian (subsistem) dan suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil dan normal karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan.

Pada pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus terdapat pembahasan secara struktural suatu pengorganisasian pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus yang sederhana akan tetapi tidak mengurangi fungsi dan maknanya. Pada pelaksanaan “Upacara Ngaben Ngelanus” di Provinsi DKI Jakarta masing-masing subsistem organisasi kemasyarakatan berperan aktif dan mengatur dirinya untuk dapat berfartisifasi secara aktif sehingga upacara dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.

(44)

2.4 Model Penelitian

WEDA

KARANGKA DASAR AGAMA HINDU

TATTWA SUSILA UPACARA

NGABEN NGELANUS

MOKSARTAM JAGADHITA YA CA I TI DHARMA

(45)

Weda adalah kitab suci Umat Hindu. Ajaran agama Hindu meliputi tattwa, susila dan Upacara. Upacara agama Hindu disebut panca yajña, yaitu Dewa yajña, Bhuta yajña, Pitra yajña, Manusa yajña dan Resi yajña. Upacara Ngaben Ngelanus termasuk upacara pitra yajña. Upacara pitra yajña berfungsi sebagai pembebasan diri dari hutang terhadap para leluhur, juga sebagai penyucian arwah orang yang telah meninggal agar arwahnya tidak dikutuk menjadi bhuta cuil, yang mengotori dunia. Melalui pelaksanaan upacara pitra yajña maka alam semesta akan tersucikan sehingga keadaannya menjadi damai.

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam membuat kajian ilmiah, selain berlandaskan kepada teori diperlukan pula metode-metode tertentu sesuai dengan obyek yang diteliti. Metode adalah suatu jalan yang dapat dipakai untuk mendekatkan kita kepada obyek ilmu pengetahuan atau cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan (Surachmad, 1979:121).

Metode mempunyai peranan penting dalam megumpulkan dan megolah data pada pelaksanaan penelitian. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, metode didefenisikan sebagai cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 1991:149).

Metode adalah usaha menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Hadi, 1981:4).Untuk mengetahui suatu karya ilmiah hendaknya mempergunakan perhitungan-perhitungan yang tepat, sehingga perlu dirumuskan metode yang relevan dengan permasalahan, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian.

3.1 Lokasi Penelitian

Mengingat pelaksanaan upacara agama Hindu sangat ditentukan oleh Desa (tempat), Kala (waktu) juga Patra (keadaan), dimana upacara agama tersebut dilaksanakan maka penentuan Lokasi sangatlah diperlukan. Sehubungan

(47)

dengan hal tersebut, peneliti membatasi lokasi penelitian ini hanya di Provinsi DKI Jakarta. Adapun maksud pembatasan lokus penelitian ini adalah agar hasil yang diperoleh dapat bermanfaat semaksimal mungkin.

3.2 Jenis Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini bersumber pada peristiwa yang dilakukan oleh masyarakat, jadi proses pendekatannya dilakukan secara deskriptif dan metode yang digunakan dalam upaya pengumpulan data ditempuh pendekatan yang bersifat kualitatif, artinya ukuran data yang dihasilkan tidak berwujud benda, melainkan gejala atau nilai yang akan diukur secara kualitatif dan tidak secara statistik. Hadjar dalam Kantriani ( 2008 : 41 ) menyatakan penelitian kualitatif bertujuan nuntuk mendapat pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan penelitian tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan.

Selanjutnya pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural kemasyarakatan. Melalui pendekatan sosial kemasyarakatan diharapkan dapat terfokos pada sejumlah konsep khususnya sehingga dapat dipahami filosofinya.

(48)

3.3. Penentuan Informan

Metode penentuan informan dalam penelitian ini adalah menggunakan model purposive. Digunakan model purposive ini dalam menentukan informan, karena informan dipilih oleh peneliti sendiri yang dipandang mampu memberikan informasi berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Informan yang dipilih telah memenuhi syarat-syarat tertentu terutama tingkat pengetahuan yang dimiliki dan yang tidak kalah pentingnya adalah kejujuran di dalam memberikan keterangan nantinya. Sehingga akan mendapatkan informasi yang benar berkaitan dengan permasalahan yang diteliti ( Kaelan, 2005: 181 )

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan posisional, (2) pendekatan reputasional, dan (3) pendekatan pengambilan keputusan. Dalam pendekatan tersebut dapat ditentukan tokoh mana yang merupakan ahli agama, tokoh agama dalam lembaga formal dan informal pada lembaga adat, yang dianggap benar-benar memahami persoalan dan permasalahan yang diangkat dalam satu penelitian.

Untuk menghindari adanya penyimpangan dalam menentukan informan kunci, diperhatikan juga heterogenitas informan, seperti pendidikan, pengalaman dan pemahaman terhadap persoalan yang sedang diteliti.

(49)

3.4. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Data primer yaitu hasil observasi lapangan tentang pelaksanaan upacara ngaben nglanus itu sendiri.

2. Data skunder adalah buku-buku yang merujuk pada pelaksanaan upacara kematian.

3. Data penunjang yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber yang sudah ditentukan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu usaha untuk mengumpulkan bahan-bahan sebagai sumber tertulis, atau informasi yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penulisan karya ilmiah. Dalam hal pengumpulan data ini digunakan metode studi kepustakaan dan wawancara.

Secara sederhana perpustakaan dapat dirumuskan sebagai usaha yang dengan teratur dan sistimatis, menyelenggarakan pengumpulan, perawatan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk pelayanan yang bersifat edukatif, informative dan rekreatif, kepada masyarakat (Surjono, 1979:5). Adapun maksudnya adalah untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai sumber dan keterangan-keterangan yang merupakan berbagai pendapat dan hasil penelitian serta pembahasan para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah yang diungkapkan.

(50)

3.5.1 Observasi

Metode observasi adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara langsung (Burhan, 2003 : 26). Menurut Koentjaraningrat (1997 : 139) “Pengamatan” merupakan metode yang pertama digunakan dalam penelitian ilmiah, dan menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadoi sasaran penelitian.

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1935:62) mengatakan observasi adalah pengamalan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai tenomena sosial dan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.

Sedangkan menurut Bogdan dalam Moleong (2004:117) mendefinisikan pengamatan berperanserta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara subjek dan lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.

Jadi berdasarkan uraian tersebut metode observasi partisipatif atau pengamatan berperanserta digunakan dalam penelitian ini pengamatan langsung ke obyek penelitian untuk mengetahui keadaan daerah penelitian yang dikunjungi termasuk informan dengan melakukan pengamatan serta meneliti hal-hal yang penting.

Referensi

Dokumen terkait