• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

65

V.

ANALISIS KERAGAAN USAHATANI

Analisis keragaan berbagai aktivitas usahatani yang dilibatkan dalam MUSOT dilakukan secara deskriptif. Analisis tersebut meliputi ketersediaan sumberdaya lahan, sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga, ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan pakan hijauan lapang, ketersediaan berbagai produk antara di lokasi penelitian, tingkat produksi per unit aktivitas produksi, kebutuhan input per unit aktivitas produksi dan harga setiap aktivitas yang dilakukan. Analisis keragaan usaha di lokasi penelitian sangat penting untuk menggambarkan kondisi aktual penyelenggaraan aktivitas usahatani sayuran organik, usahaternak kelinci, domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan aktivitas produksi silase sehingga model linear yang dirancang dapat memberikan gambaran yang mendekati kondisi aktual daerah penelitian. Hasil analisis ini selanjutnya akan digunakan sebagai acuan penentuan koefisien pada fungsi tujuan dan fungsi kendala kendala pada model usahatani sayuran organik terpadu pada skala wilayah Desa Karehkel.

6.1. Usahatani Sayuran Organik

6.1.1. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Sayuran Organik

Petani sayuran organik bertani sayuran sepanjang tahun. Pemberaan lahan sangat jarang dilakukan karena permintaan sayuran organik selalu ada pada setiap bulannya. Adanya keterbatasan kepemilikan lahan garapan yang dimiliki masing-masing petani juga menjadi alasan mengapa tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan. Sesekali petani melakukan pemberaan lahan yakni paling lama tiga hari sejak pemanenan. Tujuannya adalah selain untuk pembalikkan dan penggemburan tanah juga sebagai upaya mereduksi bahan anorganik yang masih tersisa di lahan garapan. Rotasi tanaman selalu dilakukan petani yakni dengan cara mengganti jenis sayuran yang ditanam pada bedengan yang sama. Misalnya pada bulan April bedengan A ditanami kangkung. Setelah kangkung dipanen kemudian bedengan tersebut digunakan untuk menanam selada.

Periode produksi setiap jenis sayuran berbeda-beda. Bayam hijau dan bayam merah biasanya dipanen rata-rata pada saat tanaman berumur 20 hari. Kangkung biasanya dipanen pada umur tanaman 20 hari sedangkan untuk selada

(2)

66

dan caisin masing masing selama 21 hari dan 40 hari. Tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah tidak memerlukan penyemaian benih. Benih yang ada ditabur begitu saja pada bedengan yang akan digunakan dan dipelihara sampai dengan panen. Berbeda halnya dengan selada, tanaman ini merupakan hasil pemindahan bibit yang dibeli dari ICDF. Sebenarnya periode produksi selada hampir sama dengan caisin. Sangat tingginya angka kegagalan petani saat menyemai sendiri benih selada membuat petani lebih memilih untuk membeli bibit dari ICDF. Periode produksi caisin yang lama disebabkan karena petani menyemai sendiri benihnya kemudian dipindahkan ke bedengan tanam untuk pembesaran sayuran. Tabel 6 berikut ini menggambarkan pola usahatani dan pola tanam sayuran organik di Desa Karehkel.

Tabel 6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik

Jenis Sayuran

Pola Tanam Periode Tanam (Hari)

0 20 40 Caisin Selada Kangkung Bayam hijau Bayam merah Keterangan: = caisin = selada = kangkung = bayam hijau = bayam merah

= caisin/selada/kangkung/bayam hijau/bayam merah; sesuai dengan permintaan ICDF

Lahan yang dimiliki petani sayuran organik rata-rata dipergunakan untuk lahan garapan, pembuatan saung-saung untuk tempat beristirahat dan menaruh pupuk, dan sebagai tempat untuk penampungan air (kobak). Penampungan air

(3)

67

tersebut merupakan tanah yang digali yang memiliki kedalaman kurang lebih satu meter yang digunakan untuk mengambil air saat menyiram sayuran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rata-rata luasan saung tersebut adalah sekitar 2,56 m2 dan luasan kobak kurang lebih 1 m2. Jarak antar bedengan adalah setara dengan lebar bahu orang dewasa atau selebar 50 cm. Luasan lahan yang dimaksud dalam model ini adalah luas garapan aktual berupa bedengan-bedengan yang digunakan untuk budidaya sayuran organik.

Pada kondisi aktual, kepemilikan bedengan setiap petani organik adalah berbeda-beda. Selain itu ukuran masing-masing bedengan juga berbeda-beda. Rata-rata kepemilikan bedengan setiap petani sayuran organik adalah sebanyak 27 bedeng dengan luasan masing-masing bedengan adalah 23,9 m2. Saat ini, penggunaan bedengan di setiap bulannya adalah 100 persen. Artinya seluruh bedengan yang dimiliki petani digunakan seluruhnya untuk menanam sayuran organik. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwasanya setelah tanaman dipanen maka bedengan akan segara ditanami dengan tanaman sayuran lainnya. Pemberaan lahan yang dilakukan dengan sangat singkat atau bahkan tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan dapat dilihat dengan blok persegi yang tidak berjarak dengan blok persegi yang berwarna abu-abu yang berarti bedengan tersebut segera ditanami dengan jenis sayuran lain yang disesuaikan dengan permintaan ICDF.

Setiap bulannya, setiap petani menanam sayuran dengan kombinasi yang berbeda-beda. Sangat jarang seorang petani menanam kelima jenis sayuran tersebut secara bersamaan dalam sebulan. Pengaturan ini sengaja dilakukan oleh ICDF sebagai upaya pemerataan keuntungan yang diperoleh petani karena harga tiap jenis sayuran yang berbeda-beda. Jenis sayuran, waktu tanam, dan waktu panen setiap petani per bulan sepenuhnya ditentukan berdasarkan permintaan ICDF. Secara keseluruhan petani sayuran organik yang ada di Desa Karehkel dalam sebulan menanam kelima jenis sayuran tersebut.

6.1.2. Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik

Kebutuhan input produksi dalam aktivitas usahatani sayuran organik antara lain benih atau bibit, bahan organik, dan pupuk organik. Terkadang petani sayuran memberikan kapur apabila berdasarkan pengamatan petani pertumbuhan sayuran kurang baik. Adanya perbedaan kebutuhan benih atau bibit menyebabkan

(4)

68

biaya produksi per jenis sayuran adalah berbeda-beda. Keberadaan bahan organik seringkali dicampurkan dengan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik tersebut bermerk Kuda laut dan merupakan bantuan dari pemerintah. Setiap karung bahan organik yang memiliki berat 50 kg berharga Rp 20.000,00. Meskipun sebenarnya gratis, seringkali petani membayarkan sejumlah uang tersebut untuk mengganti biaya transportasi pengiriman. Banyaknya penggunaan bahan organik dan pupuk aktivitas produksi setiap jenis sayuran adalah relatif sama. Kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam yang berasal dari luar desa. Banyaknya pupuk organik yang digunakan untuk bedengan dengan luasan 23,9 m2 adalah rata-rata sebanyak 45,75 kg. Sekarung kotoran ayam berisi sekitar 30 kg berharga Rp 5.000,00 atau sekitar Rp 166,67 setiap kilogramnya. Pada Tabel 7 di bawah ini akan disajikan kebutuhan input produksi dan biaya produksi setiap jenis sayuran di luar biaya pupuk organik.

Tabel 7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada

Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden

Nama Input

Biaya Tiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik/Bedeng Berukuran 23,9 m2 (Rp/bedeng)

Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau Benih/bibit 28007.81 11316.29 13225.91 5736.00 4481.25 Bahan organik 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 Jumlah biaya 29563.80 12872.28 14781.90 7291.99 6037.24

Pada penggunaan input bahan organik yang relatif sama maka komponen biaya benih atau bibit lah yang menyebabkan suatu aktivitas usahatani sayuran memiliki biaya produksi non pupuk organik yang lebih mahal. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwasanyabiaya produksi non pupuk organik termahal adalah pada aktivitas produksi selada. Hal ini disebabkan karena bibit yang dibeli adalah dalam satuan tray. Satu bedengan diperlukan kurang lebih 1.195,52 bibit selada atau setara dengan 9,34 tray. Harga satu tray bibit selada adalah Rp 3.000,00. Berbeda halnya pada aktivitas usahatani caisin, kangkung, bayam merah, dan bayam hijau dimana menggunakan benih yang dibeli berdasarkan ukuran kilogram benih. Misalnya untuk 1 kg benih caisin dapat digunakan untuk menanam selada sekitar 14 bedeng. Begitu juga untuk tanaman kangkung, bayam

(5)

69

hijau, dan bayam merah sehingga biaya produksinya secara komparatif lebih murah dibandingkan selada.

Harga benih bayam hijau dan bayam merah setiap kilogramnya adalah sama yakni Rp 60.000,00. Biaya produksi non pupuk organik pada aktivitas budidaya bayam merah yang lebih mahal daripada bayam hijau disebabkan karena kebutuhan benih untuk bayam merah lebih banyak. Bayam merah di Desa Karehkel memiliki daya berkecambah yang lebih rendah daripada bayam hijau. Salah satu penyebabnya adalah dari kesuburan lahan dan faktor musim. Selain itu, warna bayam merah yang begitu mencolok menyebabkan apabila terjadi sedikit kontaminasi virus mozaik yang ditandai dengan bercak putih pada daun bayam akan sangat terlihat sehingga petani akan menderita kerugian yang lebih tinggi akibat proses sortasi. Oleh karena itu petani mengantisipasinya dengan menaburkan benih dalam jumlah yang lebih banyak atau memerlukan benih lebih banyak untuk kegiatan penyulaman. Besarnya biaya produksi non pupuk organik yang tercantum pada Tabel 7 akan digunakan sebagai dasar penentuan koefisien biaya masing-masing aktivitas usahatani sayuran organik per bedeng sedangkan aktivitas membeli pupuk organik akan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri pada pada model linear yang dibangun.

6.1.3. Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik

Kegiatan bertani sayuran organik diawali dengan persiapan lahan berupa membersihkan bedengan, menggemburkan tanah, memupuk, menyemai benih, menyiram, menyiangi gulma, menyulam, memanen sayuran, dan membersihkan sayuran yang dipanen. Aktivitas usahatani selada dan caisin memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak daripada aktivitas usahatani sayuran lainnya. Salah satu penyebabnya adalah pada selada bibit yang dibeli dalam satuan tray sehingga harus dipindahkan satu per satu di bedengan tanam. Aktivitas usahatani caisin memerlukan curahan tenaga terbesar dibandingkan dengan yang lain. Benih caisin terlebih dahulu disemai di bedeng penyemaian kemudian setelah sekitar seminggu atau dua minggu dipindahkan ke bedengan tanam. Adanya aktivitas penggaruan tanah pada usahatani selada dan caisin juga menjadi salah satu penyebab curahan tenaga kerja kedua usahatani tersebut lebih tinggi Tabel 8 menyajikan curahan tenaga kerja masing-masing jenis aktivitas usahatani sayuran organik.

(6)

70

Tabel 8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran

Organik di Musim Kemarau dan Musim Penghujan

HOK= 10-1 Kegiatan

Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Selada Kangkung Caisin Bayam

Merah Bayam Hijau K H K H K H K H K H Persiapan + Tanam Membersihkan+meng-gemburkan bedengan 4,59 7,10 1,16 1,86 3,64 6,87 5,41 6,86 4,41 7,26 Pemupukan I 0,61 0,61 0,06 0,06 0,20 0,20 0,39 1,55 0,28 0,28 Penyemaian 0,06 0,06 0,10 0,10 0,39 1,55 0,28 0,28 Memindahkan bibit+ tanam 4,88 4,88 1,21 1,21

Menutup dengan net 0,03 0,03 0,05 0,05 0,05 0,05 0,07 0,07 Memasang ajir dan

menaikkan net 0,09 0,09 0,06 0,06 0,10 0,10 0,10 0,10 0,11 0,11 Pemeliharaan Menyiram 4,78 2,39 2,20 1,10 1,82 7,88 5,51 2,75 8,11 5,41 Menggaru tanah 0,96 0,96 1,21 1,35 Pemupukan II 0,67 0,67 0,06 0,06 0,61 0,61 0,77 0,77 0,28 0,28 Menyulam 0,41 0,41 0,46 0,46 0,34 0,20 0,39 0,39 1,14 1,14 Menaikkan dan

menurunkan net saat musim hujan 1,79 0,58 2,20 1,16 1,28 Pemanenan Memanen sayuran, 1,58 1,58 0,47 0,47 1,45 1,45 1,72 1,72 1,45 1,45 Total Kebutuhan tenaga kerja 18,5 20,5 4,56 4,73 20,7 22,2 14,7 16,9 16,1 17,6 Keterangan : K : musim kemarau H : musim penghujan

Pada usahatani kangkung, bayam merah, dan bayam hijau, benih ditebar begitu saja di bedengan tanam sehingga kerapatan tanamannya jauh lebih tinggi daripada tanaman caisin dan selada. Berbeda halnya dengan selada dan caisin yang memiliki jarak tanam tersendiri yakni antar tanam berjarak kurang lebih 12 cm x 12 cm. Adanya jarak tanam tersebut menyebabkan di sela-sela tanaman memungkinkan tumbuhnya gulma sehingga memerlukan penyiangan. Biasanya penyiangan dilakukan sekaligus dengan penggaruan tanah untuk menggemburkan tanah di sela-sela tanaman. Jarak tanam tersebut adalah lebih kecil daripada jarak tanam ideal untuk tanaman selada dan caisin. Susila (2006) mengutarakan bahwa jarak tanam selada adalah 20 cm x 20 cm atau 20 cm x 25 cm sedangkan jarak tanam caisin 40 cm x 40 cm atau 20 cm x 20 cm. Hal tersebut akan berpengaruh langsung pada produktivitas sayuran per bedengnya.

(7)

71

Tabel 8 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja musim penghujan setiap aktivitas usahatani adalah lebih besar daripada musim kemarau. Penyebabnya antara lain penggemburan tanah lebih sulit karena tanah menjadi lebih lengket untuk dicangkul sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Selain itu pada musim penghujan, petani harus membuka paranet setiap harinya untuk menjemur sayurannya agar terhindar dari serangan fungi yang terutama menyerang tanaman bayam. Pada saat musim kemarau, aktivitas penyiraman membutuhkan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi daripada musim penghujan. Rata-rata kebutuhan tenaga kerja pada musim penghujan adalah 9 persen lebih tinggi daripada musim kemarau.

Dalam aktivitas budidaya sayuran organik, petani-petani seringkali membutuhkan bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar tenaga kerja yang disewa digunakan untuk membantu kegiatan pemanenan. Jadwal pengiriman sayuran dilakukan setiap hari Selasa dan Sabtu maksimal pukul 09.00 WIB. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki waktu simpan yang lama maka mendorong petani untuk memanen sayuran pada pagi harinya. Terkadang beberapa petani melakukan pemanenan pada hari Senin atau Jumat sore untuk memenuhi jadwal pengiriman sayuran. Tenaga kerja luar keluarga disewa digunakan untuk mempercepat proses pemanenan sayuran.

Informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja setiap jenis sayuran menjadi dasar pada penentuan koefisien fungsi kendala tenaga kerja pada MUSOT yang dibangun. Tidak adanya dimensi waktu produksi yang diperhitungkan dalam penelitian ini maka pada koefisien fungsi kendala tenaga kerja sayuran organik diasumsikan menggunakan data kebutuhan tenaga kerja pada musim kemarau.

6.1.4. Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran

Saat ini seluruh sayuran yang dihasilkan dijual kepada ICDF. Padahal pasar sayuran organik cukup terbuka lebar bagi petani sayuran organik di Desa Karehkel. Berdasarkan keterangan dari ketua Poktan Sugih Tani, cukup banyak perusahaan yang menawarkan kerjasama dengan para petani sayuran organik Desa Karehkel. Bahkan ada salah satu pihak yang menawarkan kerjasama ekspor sayuran organik. Namun hal tersebut terkendala dengan ketersediaan teknologi dan modal petani sayuran organik itu sendiri. Selain itu, dari segi persepsi petani

(8)

72

merasa memiliki hutang budi dengan ICDF yang selama ini telah membantu dan membina petani organik di Karehkel sehingga tidak memiliki keberanian untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain. Petani sayuran organik sangat memerlukan penyuluhan dan penyadaran terhadap berbagai macam potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk organik.

Kegiatan produksi sayuran organik di Desa Karehkel dilakukan sesuai dengan permintaan ICDF, baik dalam jumlah pengusahaan, waktu tanam, dan waktu panen. Produksi sayuran organik tiap bulannya oleh keenam petani cukup besar yakni rata-rata dalam sebulan petani menjual selada sebanyak 111,64 kg, caisin mencapai 464,69 kg, kangkung sebanyak 590,17 kg, dan bayam hijau mencapai 487,7 kg tiap bulannya. Penjualan bayam merah untuk setiap bulannya masih sangat rendah yakni 20,84 kg. Data penjualan tersebut dapat menggambarkan permintaan aktual setiap jenis sayuran organik per bulan oleh ICDF. Tabel 9 berikut ini akan menyajikan penjualan masing-masing jenis sayuran organik oleh keenam petani sayuran organik di Desa Karehkel.

Tabel 9. Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran

Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010

Bulan Jenis Sayuran (kg)

Selada Caisin Kangkung Bayam Merah Bayam Hijau

Juli 2009 361.08 503.919 570.472 Agustus2009 52.78 248.88 330.759 525.168 September 2009 280.111 279.36 282.906 575.904 Oktober 2009 7.98 473.616 747.63 26.26 726.6 November 2009 6.156 391.716 781.092 51.74 397.32 Desember 2009 26.22 789.048 833.391 4.94 556.8 Januari 2010 238.032 574.938 391.482 8.84 429.48 Februari 2010 210.9 665.847 644.085 33.28 185.16 Maret 2010 70.908 397.683 796.302 0 422.28 Sumber: ICDF (2010)

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini permintaan sayuran organik di Desa Karehkel dipenuhi dengan aktivitas produksi yang dilakukan oleh enam orang petani sayuran organik. Adanya rencana perluasan areal tanam sayuran organik oleh ICDF dan rencana GPW untuk menjadikan

(9)

73

Poktan Sugih Tani sebagai sentra sayuran organik perlu didukung oleh adanya peningkatan pasar sayuran organik. Rencana tersebut akan berdampak langsung terhadap peningkatan jumlah produksi setiap bulannya yang disebabkan karena seluruh anggota Poktan Sugih Tani (29 petani sayuran) akan menjadi petani sayuran organik.

Tabel 10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model

Usahatani Sayuran Organik Terpadu

Jenis Sayuran

Rata-rata Jumlah Permintaan per Bulan (kg) Kondisi aktual

(6 orang petani) 1 Orang Petani 29 Orang Petani

Selada 111.64 18.61 539.69

Kangkung 590.17 98.36 2852.44

Caisin 464.69 77.45 2246.05

Bayam merah 20.84 3.47 100.63

Bayam hijau 487.69 81.2 2354.80

Adanya keterbatasan aksesibilitas data permintaan pasar sayuran organik ICDF setiap bulannya maka dalam permodelan usahatani sayuran organik ini memerlukan pendekatan untuk menentukan kendala jumlah permintaan sayuran setiap bulannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan data penjualan sayuran organik aktual pada Tabel 10 di atas adalah sebagai gambaran permintaan sayuran organik tiap bulannya untuk enam orang petani sayuran organik sehingga permintaan setiap satu orang petani petani sayuran organik dan permintaan sayuran organik 29 orang petani dapat dilihat pada tabel di atas. Informasi rata-rata jumlah permintaan sayuran organik untuk 29 orang petani akan menjadi acuan dalam penentuan kendala permintaan sayuran organik pada model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun.

Setiap sayuran yang disetorkan kepada ICDF akan mengalami proses sortasi sehingga terdapat limbah sayuran organik. Selama ini limbah sayuran sortasi tersebut masih belum termanfaatkan dan cenderung hanya dibuang saja. Sebenarnya jumlah sayuran yang diproduksi petani adalah lebih besar daripada jumlah penjualan sayuran aktual (enam orang petani) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Jumlah produksi sayuran dipengaruhi oleh musim. Begitu juga dengan besarnya limbah sayuran sortasi. Potensi limbah sayuran organik yang dapat

(10)

74

mencapai 30 persen dari total sayuran organik yang diproduksi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Rencana GPW untuk menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel selain untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan petani juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi limbah yang dihasilkan dari aktivitas budidaya sayuran organik.

Pada kondisi aktual, jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran sortasi dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan misalnya, jumlah produksi bayam hijau akan lebih sedikit karena banyak yang terserang penyakit sehingga proporsi limbah sortasi bayam hijau akan lebih banyak daripada musim kemarau. Tanaman yangcenderung stabil jumlah produksinya adalah kangkung. Informasi produksi sayuran organik dan limbah sayuran organik per bedeng pada musim kemarau yang tercantum pada Jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran per bedeng dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m2

pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau

Jenis Sayuran Musim Produksi Sayuran/bedeng (kg/bedeng) Proporsi limbah (%) Produksi Limbah sayuran/bedeng (kg/bedeng) Selada Kemarau 15.56 30.00 4.67 Hujan 10.89 14.29 1.56 Caisin Kemarau 24.57 20.00 4.91 Hujan 29.48 16.67 4.91 Kangkung Kemarau 46.68 16.67 7.78 Hujan 46.68 16.67 7.78 Bayam merah Kemarau 21.97 25.00 5.49 Hujan 10.98 30.00 3.29 Bayam hijau Kemarau 24.90 12.00 2.99 Hujan 9.96 20.00 1.99

Tabel 11 akan menjadi acuan dalam penentuan koefisien pada kendala transfer produk sayuran organik MUSOT. Harga jual sayuran organik per kilogramnya pada model linear ditentukan berdasarkan harga beli masing-masing jenis sayuran oleh ICDF. Harga beli selada oleh ICDF adalah Rp 9.000,00 per kilogram; kangkung Rp 5.000,00 per kilogram; caisin Rp 8.000,00 per kilogram; bayam hijau dan bayam merah adalah sama yakni Rp 6.000,00 per kilogram.

(11)

75

Keberadaan limbah sayuran juga memiliki potensi untuk dijual atau dimanfaatkan. Limbah sayur berasal dari sayuran organik yang tidak lolos sortasi. Proses sortasi dilakukan sebanyak dua kali yakni di tingkat petani dan pada saat sayuran disetorkan ke ICDF. Terkadang petani menjual sayuran yang tidak lolos sortir kepada siapa saja yang berminat dengan jumlah dan harga yang tidak menentu. Terkadang petani juga menjual kepada tengkulak yang kebetulan sedang memborong sayuran non organik yang banyak terdapat di sekitar lahan petani sayur organik. Limbah sayuran organik tersebut masih layak konsumsi dan masih dapat dijual namun petani seringkali tidak memanfaatkan limbah sayur tersebut baik untuk dikonsumsi maupun dijual.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya limbah sayuran organik memiliki nilai pasar. Pada penelitian ini, nilai limbah sayuran organik dihitung dengan pendekatan biaya tenaga kerja untuk memanen sayuran setiap kilogramnya. Adanya produksi sayuran per bedeng yang berbeda-beda antar setiap jenis sayuran maka memerlukan pendekatan untuk menghitung harga limbah sayuran per kilogramnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan biaya tenaga kerja untuk memanen setiap kilogram sayuran. Tabel 12 akan menunjukkan pendekatan untuk memperhitungkan harga jual limbah sayuran organik.

Tabel 12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya

Tenaga Kerja Pemanenan

Jenis sayuran Kebutuhan HOK untuk Panen (HOK) Produksi sayuran/bedeng (kg/bedeng) Tenaga Kerja Panen/kg (HOK/kg) Upah Tenaga Kerja Pria (Rp/HOK) Biaya tenaga kerja panen /kg (Rp/kg) Selada 0.158 15.56 0.0101430 25000 253.58 Caisin 0.145 24.57 0.0059217 25000 148.04 Kangkung 0.047 46.68 0.0010062 25000 25.16 Bayam merah 0.172 21.97 0.0078302 25000 195.75 Bayam hijau 0.145 24.9 0.0058276 25000 145.69

(12)

76

Berdasarkan Tabel 12 dapat diperoleh informasi bahwa harga jual limbah setiap kilogramnya adalah Rp 153,64. Nilai tersebut diperoleh dengan merata-ratakan harga limbah tiap jenis sayuran yang secara langsung yang dipengaruhi oleh banyaknya kebutuhan HOK untuk aktivitas pemanenan dan jumlah produksi sayuran per bedengnnya. Harga limbah sayuran per kilogram setiap jenis sayuran diperoleh dengan mengalikan kebutuhan tenaga kerja untuk memanen sayuran tiap kilogramnyadengan upah tenaga kerja yang dalam hal ini disetarakan dengan upah tenaga kerja pria di Desa Karehkel. Berdasarkan informasi pada Tabel 12 maka harga setiap kilogram limbah sayuran yang dijual pada MUSOT adalah Rp 153,64.

6.2. Usahaternak Domba

6.2.1. Kebutuhan Input Produksi Domba

Rata-rata setiap peternak domba di Desa Karehkel memiliki enam domba yang biasanya terdiri dari satu domba jantan dan sisanya adalah domba betina. Kandang yang digunakan berbentuk panggung dan rata-rata memiliki luasan 9,92 m2 dan berkapasitas kurang lebih enam ekor domba. Konstruksi kandang terbuat dari kayu-kayu hutan yang didapat dari hutan rakyat di sekitar rumah warga. Sebagian besar kandang tidak bersekat sehingga bercampur antara indukan jantan, indukan betina, dan anakannya. Pada beberapa peternak terdapat penyekatan kandang namun tidak terlalu besar karena hanya ditujukan untuk mengawinkan domba.

Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel masih dilakukan secara tradisional sehingga input produksi yang diperlukan sangat sederhana. Input produksi ternak domba adalah pakan dan obat-obatan. Obat yang diberikan kepada domba adalah obat diare dan pemberiannya tidak menentu yakni hanya pada saat domba diare. Rata-rata petani memberikan obat diare sebutir per bulan untuk setiap domba yang dipelihara. Biaya produksi per ekor domba pada model sayuran organik terpadu adalah sebesar Rp 500,00 yang tidak lain merupakan harga obat diare per butirnya.

Sebagian besar domba-domba dipelihara secara semi intensif. Pada pagi hari sampai dengan menjelang sore hari domba digembalakan. Pemilik hewan

(13)

77

ternak tetap mencari pakan untuk persediaan pakan ternak saat malam sampai keesokan harinya. Beberapa peternak tidak menggembalakan dombanya dan pakan dipenuhi dengan hijauan yang dicarinya. Berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap responden peternak domba menunjukkan bahwa setiap ekor domba diberi pakan sebanyak 6,25 kg setiap harinya. Pada model linear yang dibangun dalam penelitian ini pakan hijauan atau rumput yang dicari oleh petani tidak dinilai dengan uang namun dinilai dengan curahan tenaga kerja untuk mencari rumput. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput tersebut kemudian dimasukkan pada kendala tenaga kerja aktivitas ternak domba.

6.2.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Domba

Secara garis besar tenaga kerja pada usahaternak dialokasikan pada dua kegiatan yakni pemeliharaan ternak dan mencari pakan hijauan lapangan. Peternak membersihkan kandang dan membersihkan kotoran dalam sebulan sebanyak empat kali. Aktivitas mencari pakan rumput hijauan dilakukan setiap hari. Bisanya peternak mencari hijauan lapang (rumput dan daun-daunan) dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 12.00. Pada pola pemeliharaan domba intensif, pakan hijauan lapangan yang dicari tersebut digunakan untuk pakan ternak sampai keesokan harinya. Biasanya pakan diberikan pada waktu siang hari, menjelang malam, dan pada pagi harinya. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba dalam sebulan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba padaUsahaternak Domba

dalam Waktu Sebulan

No Jenis Kegiatan Konversi HOK/ ekor

1 Membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba 0.11

2 Mencari rumput 3.21

3 Memberi pakan 2.68

Total kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan 6.00

Tabel 13 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja terbesar adalah pada aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Pada musim penghujan hijauan lapang cukup mudah didapatkan. Pada saat musim kemarau tiba, peternak terkadang harus mencari hijauan lapang di tempat yang cukup jauh. Meskipun demikian,

(14)

78

secara keseluruhan hijauan lapang yang menjadi bahan pakan utama ternak di Desa Karehkel tersedia sepanjang tahun. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput sebanyak 3,21HOK dapat menghasilkan rumput sekitar 187,5 kg sehingga setiap kilogram rumput yang disediakan bagi domba memerlukan curahan tenaga kerja sebanyak 0,02 HOK. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka pada model linier usahatani terpadu yang dibangun curahan tenaga kerja dalam keluarga akan dibedakan menjadi dua yakni curahan tenaga kerja untuk pemeliharaan domba yang meliputi aktivitas membersihkan kandang, membersihkan kotoran domba, dan memberi pakan sedangkan aktivitas mencari rumput dibedakan menjadi variabel tersendiri. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan adalah sebanyak 2,79 HOK dan kebutuhan tenaga kerja untuk setiap kilogram rumput yang disediakan adalah 0,02 HOK.

6.2.3. Produksi Domba

Keberadaan ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar ditujukan sebagai tabungan. Ternak tersebut akan dijual apabila pemilik domba memiliki kebutuhan yang sangat mendesak sehingga aktivitas penjualan domba dilakukan secara tidak menentu. Pada model linier usahatani terpadu yang dibangun penerimaan peternak domba berasal dari pertambahan bobot hidup domba. Pertambahan bobot hidup harian domba dan kambing adalah relatif sama. Ella et al. (2003) menyebutkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian kambing adalah 0,047 kg atau 1,41 kg per bulan. Harga per kilogram daging domba di tingkat produsen adalah Rp 21.000,0011.

Selain potensi berupa pertambahan bobot hidup domba, maka hasil sampingan ternak domba berupa kotoran domba juga memiliki nilai ekonomi. Peternak domba di Desa Karehkel sangat jarang menjual limbah domba. Apabila ada yang membutuhkan petani biasanya memberikan saja kotoran domba tersebut. Terkadang ada yang membeli kotoran dengan harga Rp 5.000,00 per karung yang berisi sekitar 35 kg namun hal tersebut jarang terjadi karena mayoritas usahatani tanaman di Desa Karehkel kurang meminati penggunaan pupuk kotoran domba dalam jumlah besar. Penyebabnya adalah sifat dari kotoran domba itu sendiri yang

11

(15)

79

banyak mengandung biji-biji gulma. Pada saat digunakan untuk pupuk akan sangat banyak gulma yang tumbuh sehingga perlu sering disiangi.

Limbah domba berasal dari kotoran domba dan urin domba yang bercampur dengan sisa pakan. Balitnak Bogor (2003) menyebutkan bahwa setiap ekor domba memerlukan pakan hijauan segar sebanyak 5,35 kg setiap harinya atau 160,5 kg setiap bulannya. Feses yang dihasilkan adalah 0,633 kg setiap harinya sehingga dari 100% pakan yang dikonsumsi yang dikeluarkan sebagai feses adalah sekitar 11,83%. Apabila rata-rata setiap domba per harinya diberi pakan sebanyak 6,25 kg maka sisa pakan per harinya adalah sebanyak 0,9 kg. Jika dikalkulasikan maka limbah domba (sisa pakan dan kotoran) yang dihasilkan per harinya diperkirakan mencapai 1,533 atau selama 30 hari (satu bulan) setiap ekor domba menghasilkan sekitar 46 kg limbah domba. Keberadaan limbah domba yang cukup melimpah sangat berpotensi sebagai bahan baku pupuk kandang bagi usahatani tanaman. Adanya karakteristik kotoran domba sebagai pupuk yang kurang disukai petani menyebabkan sangat perlunya penanganan kotoran domba secara khusus sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Saat ini GPW telah mengetahui teknologi pembuatan bokashi pupuk kandang dengan kebutuhan bahan baku 28,8% berasal dari kotoran domba. Oleh karena itu, pengembangan usaha produksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak domba.

6.3. Usahaternak Kelinci

6.3.1. Kebutuhan Input Produksi Kelinci

Aktivitas ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas peternakan yang tergolong baru karena diintroduksikan pada tahun 2009. Pada awalnya kelinci tersebut merupakan bantuan dari program padat karya Disnakertrans Bogor untuk menggerakan ekonomi masyarakat petani. Sebelumnya sama sekali tidak ada aktivitas ternak kelinci sehingga sampai dengan saat ini tingkat penerapan teknologi dan pengetahuan peternak dalam budidaya kelinci masih rendah.Bangunan kandang berbahan baku bambu dan setiap ekor kelinci dikandangkan satu per satu secara terpisah dengan kandang baterai (kandang individu). Jenis kelinci yang banyak dibudidayakan adalah

(16)

80

kelinci hias lokal. Pada beberapa peternak memiliki indukan kelinci angora namun jumlahnya sangat sedikit dikarenakan harga indukan angora yang sangat mahal. Peternak kelinci yang terbesar di Desa Karehkel hanya memiliki bangunan yang berkapasitas sekitar 64 kandang baterai.

Sebagian besar pakan kelinci di Desa Karehkel dipenuhi dengan rumput yang berasal dari lapangan yakni sekitar 67,32 persen dan sisanya sebanyak 32,68 berasal dari dedak. Adanya penyakit buduk pada kelinci menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi peternak, terutama bagi peternak yang memiliki modal kecil. Pencegahan penyakit buduk dapat dilakukan dengan memvaksin ternak kelinci. Responden peternak kelinci yang memiliki indukan kelinci sebanyak 35 ekor memerlukan vaksin buduk dengan volume isi 50 cc berharga Rp 250.000,00 digunakan untuk dua bulan. Diperkirakan setiap bulannya membutuhkan biaya Rp 125.000,00 untuk memvaksin 35 ekor indukan kelinci tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden maka kebutuhan biaya produksi per ekor kelinci non pakan hijauan lapang setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Biaya produksi tersebut merupakan acuan dalam menentukan koefisien biaya pada aktivitas ternak kelinci per ekor indukan pada model linier yang dirancang dalam penelitian ini. Pakan berupa hijauan lapang tidak dimasukkan dalam komponen biaya per ekor indukan kelinci karena setiap kilogram rumput yang disediakan oleh peternak diukur dengan curahan tenaga kerja pada kendala tenaga kerja model sayuran organik terpadu.

Tabel 14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel

Komponen Biaya Kebutuhan Input Satuan Harga Satuan (Rp) Total Biaya (Rp) Dedak 2 kg 1.500 3.000 Obat suntik 0,357143 cc 10.000 3571,43 Total biaya 6.571,43

Aktivitas ternak kelinci pada penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas memelihara indukan kelinci betina. Asumsi tersebut digunakan untuk menyederhanakan MUSOT yang dibangun pada penelitian ini karena pengusahaan ternak kelinci di Desa Karehkel ditujukan untuk dapat menghasilkan anakan kelinci hias sehingga aktivitas produksi anakan kelinci hias dikaitkan

(17)

81

dengan memelihara indukan betina. Peternak kelinci di Desa Karehkel, biasanya menggunakan seekor pejantan untuk mengawini 6-10 ekor.

6.3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci

Seperti halnya pada aktivtas ternak domba, kegiatan pada ternak kelinci dibedakan menjadi dua yakni kegiatan pemeliharaan kelinci dan kegiatan untuk mencari hijauan lapang. Kegiatan pemeliharaan kelinci meliputi membersihkan kandang, memberi pakan kelinci, memberikan obat, dan mengawinkan kelinci. Seekor kelinci memiliki masa bunting selama sebulan dan masa menyusui anaknya selama dua bulan. Indukan betina kelinci siap untuk dikawinkan pada saat sudah tidak menyusui. Para peternak kelinci di Desa Karehkel sebagian besar menjual anakan kelinci saat berusia satu bulan sehingga indukan betina kelinci dapat segera dikawinkan dan menghasilkan anakan lagi.

Tabel 15 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja untuk memelihara kelinci selama satu bulan dengan adanya aktivitas mengawinkan yakni disertai dengan buntingnya indukan kelinci dan usahaternak kelinci dengan seluruh indukan menyusui. Total kebutuhan tenaga kerja setiap ekor kelinci dalam satu bulan pada saat indukan kelinci bunting dan menyusui masing-masing sebanyak 0,745 HOK dan 0,841 HOK.

Tabel 15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh

Responden Peternak Kelinci

Jenis Kegiatan

Kebutuhan Tenaga Kerja Bunting (HOK)

Kebutuhan Tenaga Kerja Menyusui (HOK) Membersihkan kandang 0,201 0,201 Mencari rumput 0,067 0,167 Memberi pakan 0,469 0,469 Memberikan obat 0,004 0,004 Mengawinkan 0,004

Jumlah kebutuhan tenaga kerja 0,745 0,841

Tabel 15 menunjukkan bahwa aktivitas memberi pakan kelinci adalah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak yakni rata-rata sekitar 59,4 persen dari total curahan tenaga kerja per ekor kelinci. Hal ini disebabkan karena peternak harus meracik pakan terlebih dahulu misalnya mengencerkan

(18)

82

dedak dan pakan rumput perlu di potong-potong sehingga curahan ternaga kerja yang dibutuhkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lain dalam usahaternak kelinci.

Selain itu, Tabel 15 juga menunjukkan bahwa mencari pakan hijauan ternak kelinci bukanlah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbesar. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan aktivitas ternak domba dimana aktivitas mencari hijauan lapang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak. Penyebabnya adalah kebutuhan pakan hijauan per ekor kelinci adalah jauh lebih kecil daripada domba sehingga curahan kerja yang digunakan untuk mencari pakan hijauan kelinci adalah jauh lebih sedikit.

Kebutuhan pakan kelinci juga berbeda-beda tergantung pada kondisi indukan yang sedang bunting atau menyusui. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan pakan kelinci saat bunting dan menyusui masing-masing adalah 0,183 kilogram per hari dan 0.521 kilogram per hari. Dalam sebulan maka kebutuhan pakan per ekor kelinci saat bunting adalah mencapai 5,49 kilogram dan saat menyusui sebanyak 15,6 kilogram. Adanya kendala dalam menghitung jumlah rumput yang diarit setiap harinya maka khusus untuk ternak kelinci, penyediaan pakan per ekor kelinci baik pada saat bunting maupun menyusui mengacu pada Muslih et al. (2005). Setiap bulannya, peternak responden dengan kepemilikan indukan ternak 35 ekor selalu menggunakan dedak sebagai campuran pakan kelinci sebanyak 70 kilogram. Maka seekor kelinci mengkonsumsi dedak dalam sebulan sebanyak 2 kilogram. Berdasarkan kebutuhan pakan kelinci menurut Muslih et al. (2005) maka pakan hijauan kelinci saat bunting adalah 3,49 kilogram per ekor sedangkan pada saat menyusui sebanyak 13,6 kilogram. Dari Tabel… di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram rumput yang disediakan rata-rata memerlukan curahan tenaga kerja sebesar 0,02 HOK.

Model yang dibangun pada penelitian ini membedakan kegiatan ternak kelinci menjadi dua bagian yakni aktivitas memelihara kelinci dan aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Kebutuhan tenaga kerja per ekor kelinci untuk kegiatan pemeliharaan kelinci saat terdapat aktivitas mengawinkan adalah

(19)

83

sebanyak 0,679 HOK sedangkan jika tidak terdapat aktivitas mengawinkan kelinci kebutuhan tenaga kerjanya adalah sebanyak 0,675 HOK.

6.3.3. Produksi Kelinci

Mayoritas kelinci yang dibudidayakan oleh peternak di Desa Karehkel adalah kelinci hias lokal sehingga produk utama berupa anakan kelinci hias. Setiap anakan kelinci hias dihargai Rp 10.000,00. Setiap indukan kelinci mampu menghasilkan anakan antara 8-10 ekor. Derajat kematian usahaternak kelinci mencapai 25 persen sehingga rata-rata kelinci yang hidup adalah sebanyak 7 ekor. (Farrell dan Raharjo, 1984). Peternak kelinci di Desa Karehkel mengantisipasi risiko kerugian tersebut dengan menjual anakan kelinci pada usia yang masih muda yakni saat berumur satu bulan.

Saat ini, kesadaran masyarakat akan kelebihan limbah kelinci sebagai pupuk organik semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya penelitian dan mulai ada permintaan limbah kelinci sebagai bahan baku pupuk organik. Petani salak di Yogyakarta misalnya, mereka senantiasa mencari pupuk kelinci karena sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan buah. Harga pupuk kotoran kelinci dapat mencapai Rp 7.500,00 per kilogramnya sedangkan urin kelinci mencapai Rp 5.000,00 per liternya12. Harga urin kelinci dan kotoran kelinci yang belum diolah menjadi pupuk di Cileungsi, Pancawati yang berlokasi di sekitar Sukabumi adalah lebih murah daripada harga di Yogyakarta. Harga urin kelinci di Cileungsi hanya berkisar antara Rp 1.000,00-Rp 1.500,00 sedangkan harga kotoran kelinci per 25 kilogramnya berkisar antara Rp 10.000,00-Rp 15.000,00 (Setyadi 2009).

Produksi urin kelinci dan feses kelinci per harinya sangat bergantung pada bobot badan hidup kelinci. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) kembali mengutarakan bahwasanya bobot badan hidup kelinci saat bunting berkisar antara 2,3-6,8 kilogram atau rata-rata 4,55 kilogram sedangkan pada saat menyusui adalah 4,5 kilogram. Setiap kilogram bobot badan seekor kelinci berpotensi untuk menghasilkan urin kelinci sekitar 0,01-0,035 liter per hari atau rata-rata 0,0225 liter per hari dan kotoran kelinci sebanyak 0,028 kg

12

(20)

84

per hari13. Dalam jangka waktu sebulan maka seekor kelinci bunting dan menyusui berpotensi untuk menghasilkan urin masing-masing sebanyak 3,07 liter dan 3,04 liter. Satuan liter urin kelinci dalam penelitian ini akan diasumsikan setara dengan satuan kilogram urin kelinci.

Produksi feses kelinci setiap ekor dalam sebulan dapat mencapai sekitar 3,822 kilogram pada kondisi kelinci bunting dan 3,78 kilogram pada saat kelinci menyusui. Biasanya feses urin tercampur dengan sisa pakannya. Sisa pakan kelinci dapat mencapai 75 persen dari total pakan kelinci yang diberikan14. Produksi kotoran dan urin anakan kelinci diabaikan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena produksi limbah kelinci ditentukan berdasarkan bobot badan kelinci. Bobot badan anakan kelinci sangatlah kecil yakni sekitar 55 gram sehingga dalam jangka waktu sebulan tidak mengalami peningkatan bobot badan yang begitu signifikan (Lebas et al. 1986). Pada penelitian ini, harga jual masing-masing limbah kelinci tersebut diasumsikan memiliki harga yang sama dengan harga limbah di Cileungsi karena di sekitar Bogor masih sangat sulit untuk menelusuri harga pasar limbah kelinci tersebut.

6.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi

6.4.1. Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi

Jenis pupuk bokashi yang diproduksi di Desa Karehkel adalah bokashi pupuk kandang karena sebagian besar bahan bakunya (sekitar 59%) berasal dari limbah ternak. Adanya proses fermentasi bahan-bahan pupuk menggunakan MOL (mikroorganisme lokal) dapat mempercepat penguraian bahan organik kotoran ternak tersebut. Deptan mendefiniskan bokashi pupuk kandang dengan suatu aktivitas memproduksi kompos dengan bahan tertentu yang melibatkan proses fermentasi bahan baku kompos berupa kotoran ternak15. Bahan baku yang digunakan untuk membuat pupuk bokashi di Desa Karehkel antara lain kotoran domba, kotoran kelinci, urin kelinci, sampah dedaunan, molasses (air gula), MOL, dan arang sekam. Penggunaan MOL dapat mempercepat proses pengomposan.

13

The Rabbit. www.quavet.i12.com%2FRabbit.htm&anno=2 [Mei 2010]

14

Memproduksi Pupuk Organik dari Kelinci.

http://foragri.blogsome.com/memproduksi-pupuk-organik-dari-kelinci/ [Mei 2010]

15

Bokashi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati).

(21)

85

Pengomposan pupuk kandang secara alami memakan waktu antara 3-4 bulan sedangkan dengan menggunakan MOL pengomposan hanya memakan waktu sekitar dua minggu (Setiawan 2010). MOL yang diproduksi oleh GPW terdiri dari berbagai macam bahan baku yang mudah didapatkan di sekitar desa misalnya bodogol pisang, berenuk, dan rebung.

Kebutuhan tenaga kerja tersebut meliputi aktivitas memproduksi MOL (mikroorganisme lokal) dan memproduksi bokashi itu sendiri. MOL yang dimaksud dalam penelitian ini dikhususkan pada MOL yang berbahan dasar bodogol pisang. Ketersediaan bodogol pisang yang cukup banyak di Desa Karehkel sangat memungkinkan untuk dapat memproduksi MOL sepanjang tahun. Bahan-bahan MOL lainnya seperti rebung dan buah berenuk yang cukup terbatas ketersediaannya serta keong sawah yang seringkali beraroma tidak sedap saat dibuat menjadi MOL menjadi kendala tersendiri dalam memproduksi MOL dengan bahan-bahan tersebut. Secara garis besar, aktivitas memproduksi MOL memerlukan bahan baku berupa bodogol pisang, air kelapa, molasses (air gula jawa), dan air besar. Biaya produksi setiap liter MOL bodogol pisang adalah Rp 475,00. Tabel 16 di bawah ini akan menunjukkan kebutuhan bahan baku dan biaya produksi berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden produsen bokashi di Desa Karehkel.

Tabel 16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan

Dasar Bodogol Pisang

Bahan Baku Kebutuhan Satuan Harga Satuan (Rp) Total Biaya (Rp)

Bodogol Pisang 1 kg 1000 1000

Air beras 5 liter 100 500

Air kelapa 5 liter 250 1250

Gula 0.25 kg 8000 2000

Total Biaya Produksi 10 Liter MOL Bodogol Pisang 4750

Dalam aktivitas produksi kompos, seringkali terjadi penyusutan bobot bahan baku kompos yakni sebanyak 30-40 persen (Gaur 1980). Sebanyak 100 kilogram bahan baku yang dikomposkan akan menjadi kompos seberat 60-70 kilogram kompos. Penyusutan bobot bahan baku saat dikomposkan adalah sekitar 35 persen. Adanya penyusutan bobot bahan baku dalam memproduksi bokashi

(22)

86

pupuk kandang sebanyak 35 persen menyebabkan dengan bahan baku sebanyak 727,5 kilogram akan menghasilkan bokashi sebanyak 472,875 kilogram.

Berdasarkan teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Karehkel, 58,2 persen bahan baku berasal dari limbah ternak. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Krehkel sangat berpotensi untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak. Kebutuhan bahan lain yang cukup besar adalah pada kebutuhan sampah daun kering yang diperoleh dengan cara mengumpulkan di sekitar lokasi produksi. Oleh karena itu, kegiatan mencari sampah daun kering dimasukkan pada komponen kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi pupuk bokashi. Kebutuhan molasses dipenuhi dengan membeli limbah industri gula aren yang ada di sekitar lokasi penelitian. Tabel 17 berikut ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan pembuatan bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdasarkan informasi responden.

Tabel 17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total

Penggunaan Bahan Baku sebanyak 727,5 Kilogram

Bahan Baku Satuan Kebutuhan Bahan Baku Proporsi Bahan Baku (%)

Kotoran kambing Kg 210 28.9

Kotoran lunak kelinci Kg 210 28.9

Sampah daun kering Kg 240 33.0

Sekam Kg 40 5.5

MOL Kg 2.5 0.3

air kelapa Kg 20 2.7

urine kelinci Kg 3 0.4

molases (air gula) Kg 2 0.3

Total kebutuhan bahan baku Kg 727.5 100.0

Komponen biaya per kilogram pupuk bokashi yang diproduksi diperoleh dengan menjumlahkan seluruh biaya-biaya bahan baku di luar limbah ternak yakni diantaranya biaya pembelian sekam, biaya bahan baku MOL, biaya pembelian molasses, dan biaya pembelian air kelapa. Pada kondisi aktual, kebutuhan input tersebut selalu tersedia sehingga tidak menjadi kendala dalam model yang dibangun.

Komponen biaya limbah ternak pada model ini dipisahkan sehingga dapat terlihat keputusan optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku pupuk baik dari dalam maupun luar desa. Kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang berupa kotoran ternak dibedakan menjadi komponen biaya tersendiri. Harga beli

(23)

87

setiap kilogram limbah ternak adalah sama dengan harga jual setiap limbah ternak yang dihasilkan di Desa Karehkel. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini, kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci menghadapai pasar yang sama sehingga harga setiap limbah tersebut adalah sama dengan harga pasar. Harga masing-masing limbah ternak tersebut adalah Rp 142,86 per kilogram kotoran domba, Rp 1.250,00 untuk setiap liter urin kelinci yang dibeli, dan Rp 500,00 untuk setiap kilogram kotoran kelinci. Struktur biaya per kilogram bokashi yang menjadi acuan dalam penentuan koefisien biaya pada aktvitas memproduksi pupuk organik bokashi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

Tabel 18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk

Kandang yang Diproduksi

Bahan

Baku Satuan

Kebutuhan Bahan Baku untuk 472.875 kg

bokashi (Kg)

Kebutuhan Bahan Baku per Kilogram Bokashi

(kg) Harga Satuan (Rp) Biaya (Rp) Sekam kg 40 0.0846 150 12.69 MOL kg 2.5 0.0053 475 2.51 Air kelapa kg 20 0.0423 250 10.57 Mollases kg 2 0.0042 8000 33.84

Total Biaya per Kilogram Bokashi 59.61

6.4.2. Kebutuhan Tenaga Kerja

Kebutuhan tenaga kerja dalam memproduksi bokashi pupuk kandang tidak terlalu besar. Produksi bokashi dengan total bahan baku mencapai 727,5 kilogram hanya membutuhkan curahan tenaga kerja sekitar 5,3 HOK. Kebutuhan tenaga kerja tersebut sudah termasuk dengan aktivitas memproduksi MOL sesuai dengan kebutuhan bahan baku pembuatan bokashi. Data mengenai kebutuhan curahan tenaga kerja produksi pupuk bokashi pada Tabel 19 memiliki periode produksi selama satu bulan yakni 30 hari. Aktivitas memproduksi MOL yang lebih sederhana menyebabkan curahan tenaga kerja yang digunakan adalah lebih kecil daripada aktivitas pembuatan bokashi. Tabel 19 secara lengkap akan menunjukkan curahan tenaga kerja dalam memproduksi bokahi pupuk kandang sesuai data yang diperoleh dari responden.

(24)

88

Tabel 19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875

Kilogram

Jenis Kegiatan Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK)

Pembuatan MOL (2.5L)

Menghaluskan bahan baku (bodogol pisang) 0,050

mencampur bahan 0,006

Pembuatan MOL 0,025

Aktivitas produksi bokashi (472.875kg)

Mengumpulkan dan mencampur bahan baku 0,286

Pembuatan kompos 0,286

Pembalikkan kompos 0,357

Mengumpulkan sampah dedaunan kering 4,286

Total Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) 5,296

Secara kesuluruhan, aktivitas mengumpulkan sampah dedaunan kering membutuhkan curahan tenaga kerja terbesar yakni sekitar 81 persen. Curahan tenaga kerja untuk memproduksi MOL hanya sebesar 1,53 persen dari total kebutuhan tenaga kerja total sedangkan sisanya digunakan untuk aktivitas produksi bokashi. Berdasarkan informasi pada Tabel 19 di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram bokashi yang diproduksi memerlukan curahan tenaga kerja sekitar 0,01 HOK. Kebutuhan curahan kerja sebanyak 0,01 HOK tersebut menjadi acuan dalam menentukan koefisien fungsi kendala tenaga kerja model terintegrasi yang dibangun pada aktivitas produksi pupuk bokashi.

6.4.3. Produksi Pupuk Bokashi

Adanya perbedaan teknologi yang digunakan dalam memproduksi pupuk bokashi di Desa Karehkel dengan pupuk kotoran ayam yang biasanya digunakan petani sayuran organik menyebabkan adanya perbedaan harga antara kedua jenis pupuk tersebut. Kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk organik sama sekali tidak terdapat perlakuan secara khusus. Kotoran ayam tersebut hanya didiamkan saja sampai dengan suhunya meningkat kemudian menjadi stabil sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Berbeda halnya dengan pupuk kandang yang diproduksi di Desa Karehkel dimana bahan baku mengalami proses fermentasi sehingga menjadi pupuk bokashi.

Cukup beragamnya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdampak pada tingginya biaya produksi per kilogramnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwasanya harga

(25)

89

pokok produksi per kilogram bokashi di Desa Karehkel mencapai Rp 665,97. Jika dibandingkan dengan harga pasar pupuk kotoran ayam maka tentu saja harga pupuk bokashi lebih mahal. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa penggunaan pupuk bokashi untuk kegiatan usahatani sayuran organik kurang menguntungkan pada tingkat produksi sayuran dan harga sayuran organik yang sama. Berapapun keuntungan yang diambil oleh produsen kompos untuk setiap kilogram bokashi yang dijual, harga pupuk bokashi akan tetap lebih mahal daripada harga kotoran ayam per kilogramnya di pasaran. Pada penelitian ini diasumsikan produsen pupuk organik menjual pupuk bokashi dengan keuntungan per kilogramnya sebanyak 10 persen. Perhitungan mengenai HPP pupuk bokashi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

6.5. Aktivitas Produksi Silase

Adanya rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel merupakan sebuah upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari aktivitas usahatani, salah satunya adalah limbah sayuran. Karakteristik limbah sayuran yang mudah busuk menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Berdasarkan asumsi permintaan sayuran organik setiap bulannya maka potensi limbah yang dapat dihasilkan per bulannya dapat mencapai sekitar 1,4 ton. Pengolahan limbah sayuran menjadi silase dapat menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayur sebagai pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama.

Silase merupakan hijauan pakan ternak yang disimpan dalam wadah tertutup yang kedap udara sehingga terfementasi dalam keadaann tersebut (Gohl 1981 diacu dalam Maskitono 1990). Dalam pembuatan silase memerlukan berbagai bahan baku pendukung yakni bahan pengawet dan zat aditif. Bahan pengawet yang dapat digunakan salah satunya adalah dedak. Zat aditif digunakan sebagai pemacu aktivitas fermentasi. Zat aditif tersebut terdiri dari bakteri-bakteri yang berfungsi sebagai pencegah pembusukan dan perombak karbohidrat dan protein. Penggunaan silase sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelebihan diantaranya pakan ternak lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang bersifat sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, memperbaiki resistensi penyakit dan

(26)

90 natural immunity, dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth promoter dan penghambat penyakit (Sapienza dan Keith 1993).

Penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak sangatlah memungkinkan namun tidak dianjurkan bagi ternak-ternak yang berusia muda. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwa ayam yang berumur sehari tidak dapat meningkatkan bobot badan karena kurang dapat memanfaatkan zat makanan dalam bentuk silase (ph 4,6) sehingga metabolisme di dalam tubuh akan terganggu karena ph rendah menyebabkan enzim pencernaan tidak bekerja secara optimal, sedangkan pH dalam saluran pencernaan berkisa antara 5-7,5 (basa). Namun adanya silase dapat memacu pertumbuhan, meningkatkan pertumbuhan berat badan dan mencegah gangguan pencernaan pada ternak muda. Kajian lainnya mengenai pemanfaatan silase sebagai pakan ternak menunjukkan bahwa pada komposisi silase tertentu dapat meningkatkan produksi ternak, tidak berpengaruh terhadap produksi ternak, atau malah menurunkan produksi ternak jika dibandingkan dengan dampak penggunaan pakan ternak secara tradisional (Nikmah 2006; Tonnedy 2006; Asminaya 2007).

Jenis dan takaran bahan baku silase yang tepat memerlukan kajian teknis tersendiri sehingga silase yang dihasilkan dapat memaksimumkan pertumbuhan ternak. Penelitian ini tidak membahas aktivitas produksi silase yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak yang dapat memaksimumkan pertumbuhannya. Secara teknis penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak adalah memungkinkan sehingga dalam penelitian ini kajian mengenai aktivitas produksi silase lebih diarahkan pada sisi ekonomi. Aktivitas produksi silase yang masih jarang dilakukan oleh para peternak menyebabkan data mengenai kebutuhan input produksi diperoleh dengan studi literatur. Silase dalam penelitian ini menggunakan bahan baku berupa limbah hijauan sebanyak 95 persen dari total kebutuhan bahan baku silase. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan silase dapat menggantikan kebutuhan pakan hijauan yang berbahan dasar limbah sayuran bagi ternak di Desa Karehkel.

6.5.1. Kebutuhan Input Produksi Silase

Silase yang dilibatkan dalam model memiliki bahan baku utama berupa limbah sayuran atau limbah organik. Bahan baku lainnya yang digunakan adalah

(27)

91

bahan aditif yang berasal dari MOL (mikroorganisme lokal) dan bahan pengawet berupa dedak. Aktivitas memproduksi silase dengan 100 kilogram bahan baku utama memerlukan dedak sebanyak 4,89 kilogram (Soegiri et al. 1981). Seperti halnya pada aktivitas produksi bokashi, dalam memproduksi silase juga terdapat penyusutan bobot bahan baku. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwasanya penyusutan yang terjadi adalah sekitar 16,5 persen.

Penentuan koefisien biaya per unit aktivitas produksi silase pada model sayuran organik terpadu yang dibangun didasarkan pada biaya produksi per unit silase non biaya pembelian bahan baku hijauan. Aktivitas menggunakan bahan baku hijauan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri sehingga model yang dibangun dapat memberikan informasi mengenai keputusan optimal pemenuhan kebutuhan hijauan tersebut. Alternatif yang dapat dipilih yakni memanfaatkan limbah sayuran di dalam desa, membeli limbah organik yang dihasilkan di pasar yang berada di sekitar Bogor atau kombinasi keduanya. Kebutuhan bahan baku dan biaya pembelian bahan baku dapat ditunjukkan oleh Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20. Kebutuhan Input dan Biaya Non Bahan Hijauan untuk Memproduksi

Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram

Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku

(Kg) Satuan

Harga Satuan (Rp)

Total biaya variabel (Rp) Bahan baku hijauan 100 kg 153,64 15.364 MOL 0,01 liter 475 475 Dedak 4,89 kg 1500 7.335 Total 104.9 22.703,75

Adanya penyusutan bobot silase maka berdasarkan total bahan baku silase pada Tabel 20 menunjukkan banyaknya silase yang dapat diproduksi adalah sebanyak 87,6 kilogram. Biaya produksi non limbah hijauan silase setiap kilogram nya adalah Rp 73,4. Harga pasar limbah sayuran organik diasumsikan sama dengan harga jual limbah sayuran yang dihasilkan pada usahatani sayuran organik di Desa Karehkel. Selain limbah sayuran organik, usaha produksi silase juga memiliki alternatif lain pemenuhan kebutuhan bahan baku hijauan. Pada model ini diasumsikan produsen silase dapat memperoleh bahan baku hijauan berasal dari limbah organik pasar yang diperoleh dari luar desa. Harga per kilogram limbah organik pasar adalah diasumsikan sama dengan limbah sayuran organik yang

(28)

92

dihasilkan di Desa Karehkel karena keduanya merupakan produk antara yang relatif sama dan berada pada pasar yang sama.

6.5.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Silase

Aktivitas memproduksi silase tidak jauh berbeda dengan memproduksi bokashi pupuk kandang. Bahan-bahan yang ada dikumpulkan menjadi satu kemudian dibuat tumpukan dan diberi zat aditif. Proses pembuatan silase dilakukan secara anaerob sehingga bahan baku tidak boleh kontak langsung dengan udara. Akibatnya tidak ada proses pembalikkan bahan baku yang dilakukan secara rutin. Kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi silase dengan bahan baku hijauan sebanyak 100 kilogram adalah sebanyak 0,005 HOK dan dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini.

Tabel 21. Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Memproduksi Silase dengan Bahan

Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram

Jenis Kegiatan Curahan Kerja (HOK)

87.6 kg 1 kg

Membuat MOL sebanyak (10 gr) 0.0000001 0.000

Mengumpulkan dan mencampur bahan baku 0.286 0.003

Pembuatan silase 0.143 0.002

Total Kebutuhan curahan tenaga kerja silase 0.429 0.005

6.5.3. Produk Silase

Hasil dari aktivitas memproduksi silase adalah silase itu sendiri namun pada penerapan usaha secara terpadu keberadaan silase dapat sebagai produk akhir maupun produk antara. Posisi silase sebagai produk akhir apabila silase yang diproduksi dijual ke luar desa sedangkan silase sebagai produk antara yaitu pada saat dipergunakan sebagai input aktivitas usaha lainnya misalnya sebagai pakan ternak.

Pakan ternak silase komersial masih sangat sulit ditemui sehingga tidak ada aktivitas jual beli silase di pasaran. Hal ini menyebabkan tidak adanya informasi mengenai harga pasar untuk setiap kilogram silase yang dijual. Pada penelitian ini harga jual silase setiap kilogram dilakukan dengan menambahkan biaya produksi per kilogram silase dengan profit sebesar 10 persen. Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwasanya harga pokok produksi adalah Rp 590,77.

(29)

93

Berdasarkan asumsi profit yang digunakan maka besarnya harga jual satu kilogram silase adalah Rp 649,85. Harga jual ini akan menjadi koefisien penerimaan pada aktivitas menjual silase dalam model sayuran organik terpadu yang dibangun. Pemanfaatan silase sebagai pakan ternak hanya terdapat pada model terintegrasi. Pada penelitian ini, diasumsikan pemanfaatan pakan silase sebagai pakan ternak adalah sebesar 50 persen dari total kebutuhan pakan ternak. Kondisi tersebut didasari oleh penelitian Nikmah (2006) yang mengutarakan bahwa pemberian silase dengan kadar 50 persen memberikan hasil terbaik pada produksi ternak dan aman bagi konsumsi pakan ternak.

6.6. Ketersediaan Sumberdaya dan Input Pendukung

Sumberdaya pendukung yang dimaksud pada bagian ini antara lain sumberdaya tenaga kerja sewa yang tersedia di Desa Karehkel, ketersediaan rumput yang dapat disediakan petani setiap bulannya, ketersediaan limbah organik pasar dan ketersediaan kotoran ayam yang di sekitar Desa Karehkel. Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup Bogor (2004) diacu dalam Muthmainnah (2008) menyebutkan bahwa produksi sampah perbulan oleh TPA Galuga yang berada di Kecamatan Cibungbulang per bulannya mencapai 11.092.500 kilogram. Limbah organik yang dihasilkan per bulan oleh pasar dari tahun 2001-2003 rata-rata adalah sebesar 13 persen dari total sampah yang diproduksi atau setara dengan 1.442.025 kilogram. Adanya kesulitan dalam memperoleh data dan memperkirakan jumlah produksi aktual sampah organik pasar maka pada kendala ketersediaan limbah organik pasar diperkirakan sama dengan 1.442.025 kilogram. Sebagian besar limbah organik pasar tersebut terdiri dari sayur-sayuran yang sudah tidak layak untuk dijual.

Ketersediaan tenaga kerja sewa luar keluarga ditentukan berdasarkan Laporan Register Desa (2009) mengenai jumlah buruh tani yang tersaji pada di Tabel 3 pada Bab V. Jumlah buruh tani atau tenaga kerja sewa dalam kegiatan pertanian berjumlah 304 orang. Diasumsikan seluruh buruh tani tersebut adalah pria sehingga ketersediaan tenaga kerja setiap bulannya adalah sebanyak 9120 HOK. Upah tenaga kerja setiap HOK di Desa Karehkel adalah Rp 25.000,00 yang terdiri dari Rp 20.000,00 sebagai upah dan Rp 5.000,00 sebagai natura berupa makan siang.

(30)

94

Ketersediaan rumput diperkirakan dengan pendekatan kemampuan peternak menyediakan rumput untuk pakan ternaknya setiap bulannya. Dalam hal ini, peternak yang dimaksud ialah peternak kelinci dan peternak domba. Berdasarkan perhitungan maka dapat diperoleh bahwasanya dalam sebulan pakan hijauan lapang berupa rumput yang dapat disediakan peternak adalah mencapai 122,7 ton. Perhitungan tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.

Tabel 22. Total Penyediaan Rumput Per Bulan oleh Peternak di Desa Karehkel

Jenis ternak Kepemilikan/ orang (ekor) Jumlah pemilik segapoktan (orang) Penyediaan rumput/ekor /bulan(kg) Jumlah penyediaan rumput (kg) Domba 6 104 187,5 117.000 Kelinci 21 20 13,63 5.724,6

Total penyediaan rumput 122.724,6

Kebutuhan pakan hijauan kelinci ditentukan berdasarkan kebutuhan pakan terbanyak yakni pada saat menyusui yakni 13,63 kilogram. Hasil perhitungan di atas didasarkan pada kemampuan masing-masing peternak dalam menyediakan pakan hijauan populasi ternak domba dan kelinci di Desa Karehkel. Populasi ternak pada Tabel 22 diperoleh dari data GPW maupun dari Statistik Desa Karehkel. Jumlah tersebut akan dijadikan sebagai kendala ketersediaan pakan hijauan lapang pada model yang dibangun. Kebutuhan curaha kerja untuk mencari rumput dirata-ratakan antara mencari rumput pada ternak domba dan mencari rumput pada ternak kelinci sehingga diperoleh HOK per kilogram rumput yang disediakan adalah sebesar

Selain ketersediaan buruh tani dan ketersediaan pakan hijauan lapang, jumlah kotoran ayam yang berfungsi sebagai pupuk pada usahatani sayuran organik tersedia dengan terbatas. Kondisi tersebut terjadi karena kebutuhan kotoran ayam dipenuhi dengan membeli dari peternakan ayam yang berada di sekitar Desa Karehkel. Berdasarkan statistik peternakan oleh Disnakan (2008) dapat diketahui bahwasanya populasi ternak ayam, pedaging maupun petelur, yang berada di sekitar Desa Karehkel mencapai 5,945 juta ekor dan berpotensi untuk menghasilkan kotoran ayam setiap bulannya sekitar 59,45 ton. Lokasi peternakan yang berada di sekitar Desa Karehkel diantaranya Leuwisadeng,

(31)

95

Rumpin, Cibungbulang, Cibeber, Barengkok, Tajur Halang, dan Pabangbon. Lokasi peternakan ayam yang berada di sekitar Desa Karehkel yang sering memasok kebutuhan kotoran ayam dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6. Pada model yang dibangun, kendala ketersediaan kotoran ayam yang dapat dibeli adalah sama dengan kebutuhan maksimum pupuk organik untuk budidaya sayuran organik sebanyak 783 bedengan atau sebanyak 35.822,25 kilogram.

Gambar

Tabel 6.  Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik
Tabel  9.    Penjualan  Tiap  Jenis  Sayuran  Organik  oleh  Enam  Petani  Sayuran  Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010

Referensi

Dokumen terkait

™ Dr. Irwan Adi Ekaputra, selaku pembimbing skripsi dan dosen Manajemen Portofolio penulis. Penulis tidak hanya berterimakasih atas semua bimbingan dan kritikannya, tetapi juga

Melihat kondisi dan peluang sebagai tuntutan kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah, maka yayasan Bina Mandiri Gorontalo yang letaknya di Kabupaten Boalemo

Rokan Hulu Jaya telah memenuhi standar sesuai dengan PSAK No.23 yang menyatakan bahwa pendapatan diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau dapat

Abbreviations 1 first person 2 second person abil abilitative abl ablative adv adverbial ben benefactive caus causative circ circumstantial cmp comparative cond conditional cop

Manfaat Penulisan Penulis berharap hasil dari penulisan ini memberikan sumbangsih khazanah keilmun dalam Hukum Islam khususnya dalam bidang keluarga terkait peran dan

SUZUKI SPLASH GL Manual ‘2011 Hitam Kond Trwt Service Suzuki Ass Allrisk KM Rendah Hrg Nego. Raden Inten

Pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah sampling, yaitu pengambilan conto material yang sesedikit mungkin namun dapat mewakili material keseluruhan. Sampling

pengertian berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif yuridis, yaitu untuk memberikan gambaran umum