• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibrahim Isa: Tiongkok Yang Kukenal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ibrahim Isa: Tiongkok Yang Kukenal"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Ibrahim Isa: “Tiongkok Yang Kukenal”

http://www.ultimus-online.com/index.php/toko-buku/terbitan-ultimus/product/113-tiongkok-yang-kukenal

IBRAHIM ISA adalah satu dari ribuan orang eksil 65, yaitu mereka yang pada masa itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk menghadiri konferensi internasional.

Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno pada tahun 1960-an. Pada masa itu, dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, pemerintah RI melakukan kerja sama dengan negara asing untuk mengirim orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Cita-cita Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli, sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya alam Indonesia kelak.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu yaitu anti-imperialisme. Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok, kedua negara sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada blok Barat dan blok Timur. Beberapa

(2)

2

negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, Tiongkok, dan sebagainya. Sekitar 1.500 orang dikirim ke negara-negara itu.

Pemerintah Indonesia juga sedang gencar membangun hubungan baik dengan dunia internasional. Menjelang tahun-tahun 1965, pemerintah mengirim sejumlah delegasi untuk menghadiri sejumlah konferensi di negara-negara sosialis. Antara lain ke Tiongkok untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok yang jatuh pada 1 Oktober.

Peristiwa pembunuhan enam jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian dinarasikan oleh orde baru sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi dalih penangkapan, penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan massal jutaan korban manusia tidak berdosa atas tuduhan menjadi bagian dari komunis, lalu menjadi stigmatisasi dan diskriminasi bahkan berimbas sampai kepada anak-cucu mereka.

Sebelum 1 Oktober 1965, profesi Ibrahim Isa adalah wakil Indonesia di Sekretariat Tetap AAPSO (Afro-Asian People’s Solidarity Organization) di Kairo, Mesir, sejak tahun 1960. Sekretariat Tetap AAPSO adalah sebuah Badan Pimpinan Harian dari AAPSO. Dalam Sekretariat Tetap ini, terdapat juga wakil-wakil dari Mesir, RRT, Jepang, India, Indonesia, Vietnam Selatan, Tanzania, Aljazair, Guinea, dan Kamerun. AAPSO didirikan pada tahun 1957 sesudah Konferensi Pertama Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia Afrika di Kairo, Mesir.

Sebagai Sekretaris Komite Perdamaian Indonesia, beberapa kali Ibrahim Isa mewakili Indonesia di berbagai konferensi internasional untuk perdamaian. Pada awal musim panas tahun 1965, sebagai salah satu persiapan Indonesia menyelenggarakan Konferensi Bandung ke-2, Ibrahim Isa ambil bagian dalam Misi Safari Berdikari Pemerintah Republik Indonesia, mengunjungi 14 negeri-negeri Afrika dan Timur Tengah, dalam kapasitas sebagai Penasihat Menlu RI Subandrio.

Ibrahim Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965. Ia melihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saat itu, sudah ada undangan untuk menghadiri Konferensi Solidaritas Asia – Afrika – Amerika Latin di Havana. Ia sudah memperhitungkan pasti pemerintah Indonesia tidak akan mengirimkan delegasi yang dipimpinnya, sebab ini delegasi rakyat, yang isinya banyak simpatisan kiri dan sudah banyak di antaranya yang ditangkap atau hilang. Mereka tidak akan mendapat dukungan sama sekali dari tanah air.

(3)

3

Pada Desember 65, Isa menjelaskan kepada panitia organisasi bahwa di Indonesia terjadi pergolakan, sehingga tidak akan mampu mengirim orang ke Havana. Lalu, panitia mengatakan kalau Bung Isa saja yang mewakili, karena ia sudah mewakili Indonesia di Kairo untuk Gerakan Asia-Afrika. Isa menjawab, tidak bisa sendiri, mesti bersama-sama dengan yang lain. Kebetulan banyak teman lain yang berada di luar negeri. Ibrahim Isa meminta kepada mereka, akhirnya ada tujuh atau delapan orang membentuk delegasi Indonesia, dan berangkatlah mereka ke Havana.

Di Havana, tiba-tiba datang delegasi lain dari Indonesia, diketuai oleh Brigjen. Latief Hendraningrat. Latief adalah anggota parlemen komisi luar negeri, mewakili PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi masih jenderal. Secara hierarkis, ia berada bawah Soeharto. Komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang terpentingnya letnan kolonel. Ibrahim Isa menjelaskan pada panitia bahwa ini bukan delegasi rakyat, tapi dikontrol militer.

Ketika Isa bertanya kepada Brigjen. Latief apa yang mau dibicarakannya dalam konferensi, Latief bilang, “Saya garis PNI, garis Presiden Soekarno, anti-imperialisme, ganyang.” Bung Isa menjawab, panitia di Havana tidak mau dengar tentang itu. Mereka tahu ada pergolakan di Jakarta dan mereka ingin tahu bagaimana Presiden Soekarno. Sebab Presiden Soekarno diketahui sebagai tokoh yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena Brigjen. Latief mengatakan tidak bisa menjelaskan hal itu, Ibrahim Isa mengatakan bahwa dia sendirilah yang akan menjelaskan kepada panitia. Tapi Brigjen. Latief mengatakan tidak bisa. Tidak tercapai sepakat, maka diajukanlah ke komite. Komite akhirnya memutuskan untuk menerima perwakilan yang dipimpin oleh Ibrahim Isa.

Selanjutnya sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, Havana, awal Januari 1966, Ibrahim Isa berpidato di muka kurang lebih 1000 hadirin yang terdiri dari para delegasi organisasi pejuang kemerdekaan anti-kolonialisme, neo-kolonialisme dan imperialisme, dan wartawan internasional. Ia mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. Yaitu naik panggungnya suatu kekuasaan militer di bawah Jenderal Soeharto yang mulai menggerogoti Presiden Soekarno.

Kontan saja, Jakarta marah sekali. Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang berada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekkan Indonesia, dan sebagainya. Fotonya

(4)

4

dimuat dengan huruf-huruf besar di bawahnya: “Gantung Ibrahim Isa”. Itulah yang menyebabkan paspornya dan teman-teman lain dicabut tanpa proses, tanpa ditanya.

Namun, tiba-tiba Presiden Fidel Castro memerlukan mengunjungi teman-teman Delegasi Indonesia, di kamar mereka di Hotel Habana Libre. Kunjungan ini merupakan suatu pernyataan politik penting Presiden Castro untuk menunjukkan bahwa Kuba berada di pihak rakyat Indonesia. Fidel Castro menawarkan fasilitas dan memberikan paspor Kuba, setelah mengetahui bahwa paspor mereka dicabut oleh rezim militer Jakarta.

Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Sekitar setahun kemudian, atas undangan Tiongkok, Ibrahim Isa pindah ke Beijing dan bekerja pada sebuah Lambaga Riset Asia-Afrika di sana. Pada saat yang bersamaan, Isa mendapat informasi bahwa istri dan anak-anaknya yang pada saat itu masih berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat menyusul Isa ke Tiongkok.

Selama di RRT kegiatan utama Isa adalah mengadakan penerbitan mingguan Suara Rakyat Indonesia dan OISRAA Bulletin dalam bahasa Inggris. OISRAA adalah Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika. Penerbitan tersebut memberikan informasi mengenai perkembangan politik Indonesia, mengkritik rezim orde baru dan mendukung Presiden Soekarno.

Setelah orde baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dianggap sebagai komunis. Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap dan diinterogasi oleh pihak militer. Bertahun-tahun, para eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, Kuba, dan lain-lain.

Pada akhir 1986, Ibrahim Isa pindah ke Belanda dengan mengajukan permintaan suaka politik, yang diterima oleh pemerintah Belanda. Bersama kawan-kawan lainnya, ia mendirikan Yayasan Asia Studies. Ia aktif dalam Yayasan Wertheim Foundation. Menjabat sebagai Sekretaris dan merangkap sebagai Bendahara. Ia juga dikenal sebagai salah seorang pengurus Amnesti Internasional. Ia adalah anggota sesepuh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia dan Lembaga Perjuangan Korban 1965 di Belanda. Dengan penuh antusias ia turut membina Perhimpunan Persaudaraan Indonesia agar tetap terpelihara

(5)

5

sebagai organisasi yang hidup dan dinamis. Ia merupakan salah seorang anggota Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI) di Belanda

Ibrahim Isa tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai pemikirannya tentang Indonesia lewat berbagai tulisan. Lewat tulisan-tulisannya itulah Isa mencoba melawan lupa. Dengan “Kolom Ibrahim Isa”, ia aktif dan terus menulis di berbagai milis, Facebook, dan beberapa media cetak. Selama tinggal di Belanda, ia telah menulis beberapa buah buku: Suara Seorang Eksil, Bui Tanpa Jerajak Besi, dan Kabar dari Seberang.

Beberapa hari sebelum terbitnya buku Tiongkok yang Kukenal ini, kami menerima kabar berita duka itu. Ibrahim Isa meninggalkan kita semua pada hari Rabu, 16 Maret 2016 jam 15.30 di rumahnya di Amsterdam Zuid Oost.

Pada hari Selasa 22 Maret 2016 di pekuburan Westgaarde Ookmeerweg Amsterdam telah dilangsungkan upacara pemakaman Ibrahim Isa. Bung Chalik Hamid, yang bersama Ibrahim Isa juga menjadi eksil 65 di Belanda, melukiskan selengkapnya seperti kami kutip berikut ini:

Udara sangat bersahabat, cerah dan sejuk mengusap dada. Mentari hadir menampakkan wajahnya di langit Amsterdam. Angin lembut kadang bertiup perlahan mengantarkan kepergian seorang teman, seorang sahabat dan pejuang kemerdekaan yang meninggalkan kita untuk selamanya. Setelah mayatnya dimandikan dan disembahyangkan secara Islam, kemudian dibawa ke ruangan pertemuan.

Gedung tempat berlangsungnya upacara penuh sesak oleh para hadirin yang datang dari berbagai negeri, dari kota-kota besar Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Belgia, dan Indonesia. Tampak hadir Dubes RI di Belanda yang berkedudukan di Den Haag, Bapak I Gusti Agung Wesaka Puja, wakil-wakil dari pengurus berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Belanda seperti Persaudaraan, LPK65, YSBI, DIAN, Stichting Wertheim, Amnesti Internasional, IPT65, Stichting Nusantara, Paguyuban (dari Swedia), dan PPI dari Leiden. Karangan bunga warna-warni persembahan dari para sahabat penuh mengelilingi peti mati yang diletakkan di ruangan gedung, di hadapan para hadirin.

Sebelum kata sambutan dari berbagai kalangan, Tiwi, putri sulung Ibrahim Isa menyampaikan pidato. Ia mengatakan, “Hari ini kita akan bersama-sama mengantar ayah, kakek, eyang-buyut, bapak mertua, dan suami ibuku ke tempat peristirahatan beliau

(6)

6

untuk selamanya. Mohon maaf atas segala kesalahan atau kekhilafannya. Ingin saya sebutkan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ke-62 perkawinan ayah dan ibuku, A’im dan Mungi, demikian panggilan mereka. ‘Hari pernikahanku, juga hari perpisahanku dengan ayahmu,’ kata ibuku waktu kami memutuskan bahwa upacara akan dijatuhkan pada hari ini tanggal 22 Maret 2016.

Ada sedikit cerita kecil tentang bagaimana ayah bertemu ibu. Ayah adalah seorang guru, pada umur muda sudah menjadi kepala sekolah. Pada suatu hari seorang muridnya datang ke kantor ayah dan pandangannya tertarik ke sebuah kalender yang tergantung di dinding. Kalender tersebut dihiasi foto seorang wanita berbaju Minangkabau. Sang murid menceritakan bahwa foto itu adalah foto mbakyunya, juga seorang guru dan sedang mencari pekerjaan. Ayah menyuruh sang murid memberitahunya supaya datang melamar pekerjaan sebagai guru di sekolah ayah. Akhir cerita, di akhir tahun 1954 mereka menikah dan mendiami rumah paman ibu yang pernah beberapa waktu terkenal sebagai rumah kediaman Barack Obama di Indonesia ketika masih kanak-kanak.

Enam puluh dua tahun suka dan duka, jalan panjang dan berliku, penuh tantangan dan cobaan, ayah dan ibuku selalu bersama menghadapinya dengan tabah. Demikian juga selama periode ketika ayah menderita sakit terakhir ini. Ibu sebagai tulang punggung dari seluruh keluarga dalam memberikan sokongan dan rawatannya dengan sabar dan penuh kasih sayang kepada ayah. Sehari suntuk ibu sibuk tak henti-hentinya menjawab panggilan ayah, membuatkan minuman atau makanan apa saja yang ayah minta.”

Kemudian Tiwi melanjutkan, “Dari Indonesia ke Mesir, lalu ke Tiongkok, sampai berakhir di negeri Belanda. Kehidupan ayah telah menjadikan kami seorang manusia dunia. Akan tetapi di negeri mana pun kami bermukim, ayah selalu mengingatkan kami agar selalu menggunakan bahasa Indonesia, mengenal Indonesia dan kebudayaannya. Ayah telah dengan gigih berusaha melawan penyakitnya, yang semakin lama semakin merusak jasmaninya. Akan tetapi semangat dan kepeduliannya terhadap sesama manusia akan selalu menjadi sumber inspirasi yang mendorong kami berteladan kepadanya. Hari ini saya ingin mengucapkan, ‘Ayah, Yi Lu Ping An!’ Kata-kata dalam bahasa Tionghoa ini yang selalu tak lupa ayah ucapkan jika kami berpamit dari rumah ayah dan ibu. Berarti: Selamat jalan!”

Haru menyusup ke celah hati ketika seorang wanita kecil, cucu Ibrahim Isa, menggesek senar biolanya melantunkan sebuah lagu sedih sebagai sinyal ucapan selamat jalan kepada sang eyang. Irama itu merupakan ucapan terima kasih kepada eyang yang telah hadir di bumi pertiwi dengan segala sumbangannya bagi kemanusiaan.

(7)

7

Setelah irama melenyap, tak lama tampil menghadap mikrofon seorang menantu Ibrahim Isa yang berasal dari Afghanistan. Ia juga menyatakan selamat jalan kepada sang mertua. Ia menyatakan bahwa keluarga besar Ibrahim Isa adalah keluarga internasional, keluarga berbagai bangsa. Dalam keluarga ini terdapat orang Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, Polandia, dan Iran. Putri Isa yang berada di Jerman memiliki dua putra. Salah seorang dari putra ini menikah dengan seorang gadis Iran. Putri Iran ini juga hadir dalam upacara dengan mendorong kereta bayi yang masih kecil dan baru lahir. Dengan demikian Ibrahim Isa bukan saja memiliki banyak cucu, tetapi bahkan telah memiliki cicit. Seolah memberikan jawaban kepada orde baru Soeharto, bahwa generasi korban kejahatan akan lahir dan berkembang di mana saja, tidak bisa dibendung oleh siapa pun. Ia akan memberikan perlawanan terhadap setiap kejahatan.

Pada kesempatan itu juga putra-putri Isa lainnya memberikan kata sambutannya, termasuk kerabat dan sahabat lain. Setelah upacara dalam gedung selesai, keranda mayat digiring menuju liang lahat. Keranda diikuti barisan keluarga, berjejer ke belakang diikuti barisan para sahabat dengan berbagai karangan bunga persembahan yang datang dari berbagai negeri.

Sebelum keranda dimasukkan ke dalam liang kubur, di tempat ini diadakan upacara perpisahan terakhir. Bapak Haji M.D. Kartaprawira, Ketua Lembaga Perjuangan Korban 65 (LPK65) menyampaikan sepatah dua patah kata perpisahan dan dilanjutkan dengan doa selamat jalan secara muslim. Perlahan-lahan keranda diturunkan. Keluarga dan para hadirin secara teratur menabur bunga ke atas keranda.

Selamat jalan Bung Ibrahim Isa! Beristirahatlah dengan tenang di tempat pembaringan terakhir!

Referensi

Dokumen terkait