• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN HARGA DIRI PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI POLIKLINIK PARU RS PERSAHABATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN HARGA DIRI PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI POLIKLINIK PARU RS PERSAHABATAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HARGA DIRI PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI POLIKLINIK PARU RS PERSAHABATAN

Yastriana Liku Girsang

Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jl. H. Sanusi Lrg Adenan no 2917, Palembang, Sumatera Selatan

Email: Yastrianagirsang@yahoo.com

ABSTRAK

Tingkat kejadian TB Paru di Indonesia masuk dalam kelompok urutan ketiga setelah India dan China berdasarkan laporan WHO tahun 2009 (Riskesdas, 2010). Di Indonesia TB Paru merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Soedarsono, 2006). TB Paru menyebabkan dampak fisik dan psikologis penderita, apabila tidak memiliki mekanisme koping yang baik dapat menyebabkan gangguan pada harga dirinya. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif, sampel yang digunakan yaitu pasien TB di poliklinik paru RS Persahabatan sejumlah 99 responden. Pengambilan sampel menggunakan simple non random sampling dengan teknik accidental sampling. Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis univariat ditemukan 89,1% responden memiliki harga diri tinggi (normal). Pada penelitian ini berarti tidak adanya gangguan pada harga diri pasien TB di poliklinik paru RS Persahabatan. Rekomendasi untuk pihak RS Persahabatan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien TB tentang pengobatan teratur sehingga tidak terjadi kasus TB berulang.

(2)

Pendahuluan

Tuberkulosis merupakan salah satu permasalahan utama dunia dan termasuk dalam permasalahan kesehatan di Indonesia. Tingkat kejadian TB Paru di Indonesia masuk dalam kelompok urutan ketiga setelah India dan China berdasarkan laporan WHO tahun 2009 (Riskesdas, 2010).

Di Indonesia TB Paru merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Soedarsono, 2006).

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) berdasarkan tipe pasien, ditentukan dari riwayat pengobatan sebelumnya. Beberapa tipe pasien TB yaitu;

1. Kasus baru

Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2. Kasus kambuh (relaps)

Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif.

3. Kasus defaulted atau drop out Pasien yang tidak mengambil obat dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4. Kasus gagal

Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke lima (satu bulan sebelum akhir pengobatan). Pasien Dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke dua pengobatan. 5. Kasus kronik atau persisten

Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori dua dengan pengawasan yang baik.

Harga diri

Harga diri merupakan penilain individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri (Stuart, 2009). 1. Harga diri tinggi (normal)

Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998).

2. Harga diri rendah

Harga diri yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk yang mengakibatkan individu cenderung melakukan kesalahan yang berangkat dari penyebab internal (Carpenito, 2001).

Metode

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Desain deskriptif merupakan desain penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk menggambarkan variabel-variabel dari fenomena kemudian diinterpretasikan (Notoatmodjo. 2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif sederhana yang bertujuan untuk melihat gambaran harga diri pada pasien TB. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2013. Menurut perhitungan Slovin (1960) didapatkan jumlah sampel 99 responden. Jumlah

(3)

ini lalu ditambah 10% untuk menghindari kesalahan yang mungkin terjadi saat pengisian kuisioner, sehingga jumlah total sampel yang diambil adalah 109 orang. Sampel diambil di Poliklinik Paru RS Persahabatan.

Dalam penelitian ini, pengambilan sampel menggunakan simple non random sampling dengan teknik accidental sampling.

Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah: Pasien yang baru dan lama didiagnosa TB, sudah menjalani pengobatan dan pengobatan berulang di Poliklinik Paru RS Persahabatan, usia 18-60 tahun, mampu berkomunikasi dengan baik dan kooperatif, mampu membaca dan menulis dan bersedia menjadi partisipan dengan mengisi informed consent.

Hasil

1. Hasil distribusi karakteristik responden TB berdasarkan usia, rata-rata responden berusia 29 tahun dengan rentang usia 18-60 tahun.

2. Hasil distribusi berdasarkan jenis kelamin diperoleh mayoritas laki-laki dengan jumlah 52 orang (52,5%), sedangkan sisanya yaitu perempuan berjumlah 47 orang (47,5%).

3. Hasil distribusi responden terbanyak pada tingkat pendidikan SMA berjumlah 56 orang (56.6%) dan nilai tingkatan pendidikan terendah yaitu SD berjumlah 7 orang (7.1%).

4. Hasil distribusi berdasarkan pekerjaan responden dengan jumlah terbanyak yaitu bekerja dengan jumlah 68 orang (31.3%) sedangkan sisanya yaitu pada responden yang tidak bekerja dengan jumlah 31 orang (68.7%).

5. Hasil distribusi berdasarkan status pernikahan, mayoritas sudah menikah dengan jumlah 50 orang (50.5%) dan sisanya pada responden yang belum menikah dengan jumlah 49 orang (49.5%). 6. Hasil distribusi berdasarkan

riwayat penyakit menunjukkan bahwa jumlah terbanyak pada responden dengan kasus baru yang berjumlah 78 orang (78.8%) dan nilai terendah pada responden dengan kasus gagal jumlah 10 orang (10.1%).

7. Hasil distribusi responden mayoritas memiliki harga diri tinggi dengan jumlah responden 89 orang (89.9%) dan sisanya mengalami harga diri rendah dengan jumlah responden 10 orang (10.1).

Pembahasan 1. Usia

Pada hasil penelitian ini rentang usia responden 18-60 tahun dengan rata-rata berusia 29 tahun yang termasuk dalam usia produktif. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurniasih (2009) 95,5% mayoritas penderita TB pada usia produktif, Rizkiyani (2008) diperoleh mayoritas usia produktif berjumlah 87,6%, Yunianti (2004) diperoleh usia produktif berjumlah 52%, Departemen Kesehatan RI (2001) diperoleh mayoritas usia produktif berjumlah 75%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Darwel (2012) sebagian besar pasien TB diderita oleh responden yang berumur diatas usia produktif (>64 tahun). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan rentang usia pada masing-masing penelitian. Pada penelitian Darwel (2012) meneliti penderita TB diatas usia produktif (>64 tahun). Dari hasil data diatas bahwa penyakit TB banyak terjadi di usia

(4)

yang produktif. Pada usia produktif seseorang sering bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang banyak, maka peluang untuk tertular melalui droplet (percikan dahak) dari orang yang disekitarnya semakin tinggi. Tetapi penularan ini bergantung pada imunitas atau daya tahan tubuh masing-masing individu.

2. Jenis kelamin

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yang sejalan dengan penelitian Mahpudin (2006), Yanuarita (2009), Darwel (2012), Pujiati (2009), Kurniasih (2009). Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Wulandari (2012), Depkes (2004), Riskesdas (2010) bahwa mayoritas penderita TB berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini mayoritas terjadi pada laki-laki kemungkinan disebabkan adanya faktor yang memperberat penyakit TB seperti kebiasaan merokok. Hal ini diperkuat oleh penelitian Saptawati,Mardiastuti,Karuniawati dan Martin (2010) bahwa faktor kebiasaan merokok pada laki-laki akan memperberat terjadinya kasus TB. Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi imunitas, daya imunitas tubuh yang rendah akan lebih mudah tertular penyakit TB. Berbeda pada perempuan yang menderita penyakit TB bahwa mereka enggan untuk berobat, hal ini dikarenakan adanya stigma dari masyarakat. Dengan mereka enggan berobat akan menyebabkan kondisinya semakin memburuk sehingga berisiko untuk menularkan kepada lingkungan sekitar. Hal ini didukung Melati, Nawar, K

Soetoyo (2008) bahwa perempuan lebih sering terlambat datang kepelayanan kesehatan dibandingkan laki-laki dan perempuan lebih sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan oleh keluarga.

3. Pendidikan

Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan SMA. Hal ini sejalan dengan penelitian Saiful (2009), Pujiati (2009) bahwa mayoritas penderita TB memiliki tingkat pendidikan SMA. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Rusnoto (2008) bahwa pada pasien TB, pendidikan terakhir yang diikuti responden paling banyak tidak tamat SD. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya tingkat kesadaran terhadap penyakit walaupun memiliki tingkat pemahaman yang baik, seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi juga pengetahuan, pemahaman dalam menerima informasi dan mengatasi masalah kesehatannya. Desmon (2006) mengungkapkan bahwa adanya hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian TB dengan pendidikan menengah kebawah mempunyai peluang 2,51 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan pendidikan yang tinggi.

4. Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden bekerja, hal ini sejalan dengan penelitian Wulandari (2012) mayoritas penderita TB bekerja 68%, Perdana (2008) dan Arsin dkk (2004). Perdana (2008) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang buruk akan mendukung

(5)

untuk terinfeksi penyakit TB seperti pekerjaan supir, buruh, tukang becak dan ditambahkan oleh Arsin dkk (2004) bahwa pensiunan dan purnawirawan berisiko terpapar kuman TB dibandingkan dengan orang yang bekerja diperkantoran. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Saiful (2009) terdapat mayoritas penderita TB 46,2% tidak memiliki pekerjaan. Berdasarkan penelitian mayoritas responden sudah bekerja, maka tingkat sosialisasi semakin tinggi sehingga komunikasi secara langsung akan meningkatkan penyebaran TB. Lingkungan pekerjaan juga mempengaruhi penyebaran kuman TB seperti lingkungan kerja yang tidak memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup sehingga kuman TB dapat berkembang dengan cepat.

5. Status pernikahan

Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden sudah menikah. Hal ini sejalan dengan penelitian Wulandari (2012) bahwa 89,4% penderita TB sudah menikah dan penelitian Kurniasih (2009) bahwa 74,2% mayoritas sudah menikah. Kehidupan berkeluarga akan meningkatkan adanya kontak yang sering terhadap penderita khususnya teman hidupnya. Penderita TB yang sudah menikah lebih tidak menjaga jarak dengan pasanganya karena adanya kedekatan yang cukup erat sehingga meningkatkan penyebaran kuman TB. Hal ini ditambahkan oleh penelitian Rusnoto, Rahmatullah dan Udiono (2007) didapatkan sebesar 63,8% penderita TB banyak terjadi akibat kontak serumah dengan keluarga yang menderita TB. Riwayat kontak anggota keluarga yang

terjadi ≥3 bulan akan menyebabkan risiko terkena penyakit TB.

6. Riwayat penyakit

Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden adalah penderita TB kasus baru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yanuarita (2009) bahwa 71,9% penderita TB adalah kasus baru. Penderita TB dengan kasus baru mungkin ditularkan oleh lingkungan kerja, tempat tinggal yang kurang sehat, dan kontak dengan penderita lain. Di dukung oleh penelitian Adnani dan Mahastuti (2006) bahwa 75% penderita TB memiliki kondisi rumah yang tidak sehat, dan 6-7 kali lebih berisiko menderita penyakit TB akibat dati lingkungan rumah yang tidak sehat.

7. Harga diri pada pasien TB

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami harga diri tinggi. Bertolak belakang dengan penelitian Girma Tamrat (2012) bahwa pada pasien TB 60% responden mengalami harga diri rendah. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh dirinya sendiri dan lingkungan sekitar. Erdem (2003) menyatakan bahwa pada pasien tuberkulosis mengalami penurunan harga diri yang disebabkan oleh kehilangan kepercayaan diri, memburuknya hubungan sosial dan menyerah melawan penyakit. Selain itu, hal yang dapat membuat harga diri rendah yaitu tidak memiliki pekerjaan, efek pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk pulih, perubahan hubungan keluarga dan tidak memiliki dukungan sosial. Harga

(6)

diri yang tinggi (normal) merupakan perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa. syarat, walaupun melakukan kekalahan dan kegagalan tetapi tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Carpenito, 2001). Responden dengan harga diri tinggi (normal) disebabkan karena adanya mekanisme koping yang baik, dukungan keluarga dan pengobatan yang gratis sehingga mengurangi tingkat stres penderita TB. Karakteristik responden berdasarkan usia diperoleh mayoritas penderita TB memiliki harga diri tinggi yaitu pada usia produktif. Seseorang di usia produktif memiliki support system yang lebih baik yang diperoleh dari rekan kerjanya, keluarga maupun lingkungan yang ada di sekitarnya. Dukungan tersebut akan meningkatkan semangat dalam menjalani pengobatannya. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, diketahui mayoritas laki-laki (90,4%) memiliki harga diri tinggi (normal). Hal ini dapat terjadi karena kebanyakan laki-laki memeiliki mekanisme koping yang baik dibandingkan dengan perempuan, perempuan lebih sering merasa malu terhadap penyakitnya dan takut dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sudhakar Morankar (2000) bahwa penyakit TB dipengaruhi oleh masalah psikologis terlebih pada pasien perempuan. Pasien merasa takut penyakitnya dapat menular ke orang lain, mengalami perasaan tidak aman dan nyaman, takut dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Pasien perempuan yang menerima dukungan dari keluarga

dan pasangan hidupnya memiliki mental yang stabil dan lebih optimis dengan pengobatannya. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, diketahui mayoritas responden dengan bekerja 88,2% memiliki harga diri tinggi (normal). Seseorang yang bekerja akan lebih mudah memperoleh informasi, solusi untuk menyelesaikan suatu masalah karena adanya berbagai masukan dan dukungan sosial. Semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya akan semakin meningkat.

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan penderita TB yang memiliki harga diri tinggi mayoritas SMA (87,5%). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin berkembang pola pikir dan pemahaman untuk memecahkan suatu masalah. Karakteristik responden berdasarkan satus pernikahan, diketahui mayoritas responden dengan harga diri tinggi (normal) belum menikah 91,8%. Seseorang yang belum menikah kemungkinan memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan menikah. Kehidupan yang sudah menikah akan memiliki masalah kehidupan yang lebih banyak dan kompleks.

Karakteristik responden berdasarkan riwayat penyakit, diketahui mayoritas responden dengan harga diri tinggi (normal) dengan kasus baru (89,7%). Penderita TB dengan kasus baru belum mengalami perubahan fisik yang signifikan sehingga belum mendapatkan stigma dari lingkungan sekitarnya.

(7)

Simpulan

1. Pasien TB di poliklinik paru RS Persahabatan tahun 2013 mayoritas memiliki harga diri tinggi.

2. Pasien TB dengan jumlah responden 99 orang, berdasarkan usia rata-rata responden berusia 29 tahun. Berdasarkan jenis kelamin mayoritas pada pasien laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas pasien TB memiliki tingkat pendidikan SMA. Dari segi pekerjaan, pasien TB mayoritas sudah bekerja. Pada pasien TB mayoritas sudah menikah dengan riwayat penyakit mayoritas dengan kasus baru. Hasil distribusi responden tentang harga diri mayoritas pada harga diri tinggi. Hasil distribusi harga diri berdasarkan umur masing-masng mempunyai jumlah yang sama. Harga diri tinggi mayoritas dengan jenis kelamin laki-laki. Responden dengan harga diri tinggi (normal) mayoritas bekerja dan sisanya tidak bekerja. Harga diri tinggi mayoritas pada tingkat pendidikan SMA. Harga diri tinggi (normal) mayoritas pada responden yang belum menikah. Hasil distribusi harga diri rendah dan harga diri tinggi mayoritas pada reponden dengan kasus baru.

Saran

1. Bagi pihak Rumah Sakit Adanya kerjasama dengan Puskesmas yang terdekat dengan pasien untuk melihat atau mengkaji lingkungan disekitar pasien karena dengan adanya lingkungan yang tidak sehat dapat mempengaruhi penyebaran TB semakin cepat. 2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk

penelitian selanjutnya dan diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan kuisioner yang sudah ada seperti lingkungan, stigma, dan support system dari responden. Referensi

Carpenito, L J. (2001), Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, Alih bahasa Monica Ester, Jakarta : EGC

Erdem. (2003), Determination of self-esteem levels of patients with tuberculosis.

Darwel. (2012). Faktor-Aktor Yang Berkorelasi Terhadap Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Sumatera. Tesis. FKM UI

Desmon, F. (2006). Hubungan antara merokok, kayu bakar dan kondisi rumah dengan kejadian penyakit tuberkulosis Paru. Tesis. FKM Universitas Indonesia Kurniasih Tri (2009). Analisis

Faktor

Notoatmodjo.S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rieneka Cipta

Mahpudin. A. H. (2006). Hubungan faktor lingkungan fisik rumah, sosek dan respon biologis terhadap kejadian TB Paru BTA positif pada penduduk dewasa di Indonesia. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

(8)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia Http://Www.Klikpdpi.Com/Kon sensus/Tb/Tb.Html#3

Rizkiyani Indri. (2008). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun 2006 di Puskesmas Wilayah kecamatan palmerah Jakarta Barat. Skripsi: FKM UI Depok Riskesdas (2010). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Bakti Husada Rusnoto. (2008). Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati). Jurnal Epidemiologi. di unduh dari Soedarsono. (2006). Diagnosa dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru. Indah Offset, Jakarta

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. 9th edition. St Lois

Missousi: Mosby Inc., an affiliate of Elsevier Inc

Sudhakar Morankar, Ph.D. (Anthropology) and Nishi Suryawanshi Ph.D., (Anthropology). (2000). Foundation for Research in Community Health, Pune. India

Yanuarita D.P. (2009). Prevalensi tuberkulosis paru di rumah sakit paru rotinsulu bandung periode januari-desember 2007

Yunianti Ratnasari. (2004). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Di Balai Pengobatan Penyakit Paru (Bp4) Yogyakarta Unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan bahasa dan kata-kata yang digunakan Gita Bhebhita dalam proses penyampaian pesan, diterima oleh pengikut akun Instagramnya yang akhirnya menghasilkan

1) Pembersihan tongkol yaitu ijuk yang ada disekitar tongkol bunga disingkirkan agar tidak mengganggu proses penyadapan. 2) Pemukulan tongkol yaitu setelah pembersihan,

Pasar modal merupakan sarana untuk mencari tambahan modal. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah dan hal itu hanya bisa

Gambar 3.44 Rancangan Layar Halaman Edit Pemakaian di halaman Prepaid 98. Gambar 3.45 Rancangan Layar Halaman

However, usually it’s just that it’s a big industry, there is a tremendous amount of information out there, and unless you’re looking for it, you don’t necessary run

It’s great because you don’t fight battles about things like, “Can we capture this kind of data?” or, “Will somebody put effort into structuring this data that we

Konteks yang terdapat pada iklan dengan kata クエッ kue serta tampilan gambar yang saling berhubungan pada iklan tersebut memiliki implikatur yang ingin disampaikan bahwa

Diminta : Lakukan evaluasi terhadap sambungan tersebut dengan metode LRFD dan ASD. Kondisi geser blok.. Luas penampang netto yang terjadi masih diatas syarat luas penampang minimum..