Kelainan Badan, Genitalia,
dan Ekstremitas
Suatu kelainan bawaan di mana meatus uretra eksternus terletak di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung penis. Hipospadia biasanya disertai bentuk abnormal penis yang disebabkan adanya chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang.
Di AS terjadi pada setiap 300-350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya dan makin jarang frekuensinya.
A. Produksi androgen abnormal
B. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang berhubungan, misalnya tuberkulum genital C. Estrogen dari lingkungan
A. Lipatan uretra bisanya bergabung pada raphe di garis tengah, dari perineum hingga glans. Hipospadia terjadi karena lipatan uretra gagal menyatu secara lengkap. B. Perkembangan dipengaruhi testosteron yang menginduksi
virilisasi genitalia eksterna. Sesuai posisi meatus uretra eksterna A. Anterior: Glanular, koronal, subkoronal
B. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile C. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal
Definisi
Epidemiologi
Potensi
Penyebab
Patofisiologi
Klasifikasi
Gambar 47. Kiri:Hipospadia tipe glanular.Tengah:Tipe penile.Kanan: Tipe penoskrotal.
27
Hipospadia
Tanda/ gejala Hipospadia yang khas:
- Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian ventral menyerupai meatus uretra eksternus
- Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal
- Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang ke distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar
- Kulit penis di bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis. - Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada - Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis
dari glans penis
- Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok
- Sering disertai undescended testis
- Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal
1. Tidak ada yang spesifik, harus dicari misalnya atresia ani 2. Pembesaran prostatic utricle (10-15%). Hal ini menyulitkan
kateterisasi
3. Intersex (9%), genitalia meragukan antara pria atau wanita 4. Undescended testis
Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk penis normal, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada tempat yang seharusnya, yaitu di ujung penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp. A. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap. 1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus
dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun.
Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal
Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis
Kelainan
Penyerta
Manajemen
Diagnosis
2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.
Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari
kulit preputium dibagian lateral yang ditarik ke ventral dan dipertemukan pada garis median
Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi I telah matang.
B. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal. Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian dorsal dan distal penis dengan pedikel kemudian ditransfer ke ventral. 1. Fistula uretrocutaneous
2. Stenosis uretra 3. Striktur uretra 4. Twisted penis
Nekrosis atau ulserasi akibat tekanan yang lama, biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi.
Data di Amerika tahun 1994, ulkus dekubitalis terjadi pada kurang lebih 10% pasien yang dirawat, di mana 60% di antaranya berusia di atas 70 tahun.
A. Etiologi utama 1. Tekanan
a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan jaringan lebih dari 32 mmHg, sirkulasi menurun dan terjadi iskemi
b. Saat terlentang tekanan pada tumit dan sakrum mencapai 40-60 mmHg, sedangkan saat duduk tekanan pada iskium dapat mencapai 100 mmHg
c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang diperlukan untuk terjadi iskemi
d. Meski tekanan melebihi tekanan kapiler, terjadinya ulkus dekubitalis dapat dicegah dengan menghilangkan tekanan secara periodik (ubah posisi setiap 2 jam) 2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan
trombosis dan iskemi
3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat pemindahan posisi pasien
4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat terjadi akibat inkontinensia atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus B. Etiologi tambahan
1. Malnutrisi
2. Gangguan saraf sensoris 3. Infeksi pada luka 4. Usia
5. Imobilisasi
6. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, merokok, penyakit pembuluh darah
Klasifikasi ulkus sesuai National Pressure Ulcer Advisory Panel system di Amerika
Stage I: Eritema yang bertahan lebih dari 1 jam setelah tekanan dihilangkan, kulit utuh
Stage II: Kehilangan kulit partial thickness
Stage III: Kehilangan kulit full thickness hingga subkutan tapi
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Klasifikasi
belum mencapai fascia
Stage IV: Kerusakan melewati fascia mengenai otot, tulang, tendon, atau persendian
Terdapat kemerahan atau ulserasi pada pasien yang mengalami imobilisasi. Pada posisi terlentang biasanya terdapat di sakrum dan tumit, pada pasien posisi duduk sering terdapat di iskium dan trokanter
Diagnosis
Manajemen
A. Pencegahan:1. Mengatasi faktor risiko utama
a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi setiap 2 jam, pasien duduk diangkat setiap 10 menit selama lebih dari 10 detik
b. Minimalkan kelembaban dengan sering mengganti pakaian dan seprai
c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang nyaman dan sesuai
d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hati-hati
2. Mengatasi faktor risiko sekunder a. Obati infeksi
b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal
Gambar 48.Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering. Kiri pada posisi supinasi (terlentang), kanan pada pasien dengan posisi duduk
c. Hentikan rokok
d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada B. Penanganan ulkus dekubitalis
1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala setiap 2 jam
2. Ulkus dekubitalis partial thickness a. Atasi semua etiologi
b. Penutup luka, bisa ditambah dengan silver sulfadiazin c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif 3. Ulkus dekubitalis full thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati c. Penutup luka lembab-basah, antibiotik bila infeksi,
penutup oklusif untuk luka pasca-debridement tidak terinfeksi, mengobati infeksi jaringan lunak
(debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik sistemik), atau penggunaan vacuum assisted closure pada luka decubitus tertentu
d. Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau pada kasus sederhana bisa dengan graft
Gambar 49. Kiri:
. Kanan:
Ulkus dekubitalis pada punggung dan sakrum-iskium. pra-operasi Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak mengalami gangguan sensibilitas permanen.
Gambar 50. Ulkus dekubitalispada sakrum-iskium.Kiri:Pra-operasi.Kanan: Pasca operasi dengan flap V-W advancement gluteus maksimus pada daerah sakrum.
GS
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate tumbuh lebih lebar dari nail bed
1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi 3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk 5. Pergerakan kaki yang salah 6. Deformitas di kaki
1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat penyembuhan luka.
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut “fishhook nail”. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing toenail bertambah parah.
Definisi
19
Lesi Kuku:
Ingrowing Toenail
Epidemiologi
Etiologi
Faktor Risiko
Patofisiologi
Gambar 51. Ingrowing toenailpada jari I kaki kiri bagian medial, sampai ke bagian proksimal. Perlu dilakukan operasi “nail plasty.” Perhatikan pada gambar kiri, daerah yang mengalami inflamasi. Tampak depan: penonjolan jaringan lunak tepi kuku akibat proses peradangan.
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate tumbuh lebih lebar dari nail bed
1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi 3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk 5. Pergerakan kaki yang salah 6. Deformitas di kaki
1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat penyembuhan luka.
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut “fishhook nail”. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing toenail bertambah parah.
1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah adanya kuku yang melukai sisi lateral nail groove
2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat dilakukan manajemen konservatif, diantaranya:
a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove menggunakan kapas yang diberi pelembab
b. Splinting menggunakan potongan selang infus yang diletakkan antara kuku dan lateral nail groove, dipertahankan selama 3-4 minggu
c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali bagian tepi) dapat membuat kuku lebih fleksibel d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan
menggunakan perekat kulit/ plester
3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal, maka dapat dilakukan pembedahan. Manajemen ingrowing
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate
Komplikasi
Gambar 52. Nail plasty. Kiri atas:
Kanan atas: Kiri bawah: Kanan bawah:
Setelah anestesi blok dan torniquet menggunakan kasa yang dipelintir, 3mm kuku dipotong menanjang sampai dengan nail fold. kuku patologis diambil. Penjahitan kuku dan kulit secara “through and through.” Luka diberi antibiotik topikal dan ditutup perban ketat melingkar.
GS GS
Anatomi Kulit
Penyembuhan Luka
Keloid dan Parut hipertrofik
Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-2 B B GF ons (Online). Dapat diakses di:
. (Online). Dapat diakses di:
(Online). Dapat diakses di:
Sammer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-8.
1. Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various methods of treating keloids and Hypertrophic Scars: a 10-year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9. 2. Reiken R, Wolfort F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth
using Selectively Photo Thermolysis. Lasers Surg Med. 1997; 21:7-12.
3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic Scars: A Comprehensive Review. Plas Recons Surg. 1989; 84:827-37.
4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of Hypertrophic Scars and Keloids with Triamcinolone. Plas Recons Surg. 1971;48:256-9.
5. Blackburn WR, Cosman . Histologic Basis of Keloid and Hypertrophic Scar differentiation. Clinicopathologic Correlation. Arch Pathol. 1966;82:65-71.
6. Cosman , Cricklair , et.al. The Surgical Treatment of Keloids. Plas Rec Surg. 1961; 27:335-9.
7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared. (Online). Dapat diakses di: www.phudson.com/scar/ keloidvhyper.html
8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD.
www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/ keloid_and_hypert.html
9. Kantor J. Keloid 2004.
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000849.htm 10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of
Hypertrophic Scars and Keloid: A Multifaceted Approach. www.thaicosderm.org/ med.topik/keloidRX.htm
Teknik Dasar Pembedahan
Anestesi Lokal
Skin Graft dan Flap
Bedah Mikro
Trussler AP. Surgical Tecnoques and Wound Management. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 9-15.
Thorne AC. Local Anesthetics. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 99-103
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal
1. Chang E. Grafts.
16-20. 2. Lynch J. Flaps.
22-30. 3. Spector J, Levine J. Cutaneous Defects: Flap, Grafts, and
Expansion. Current Therapy in Plastic Surgery. Saunders, Philadelphia. 2006. Hal 11-20.
4. Perdanakusuma D. Skin Grafting. Airlangga University Press. Surabaya. 1998. Hal 7-27.
5. Smith JD, Pribaz JJ. Flaps.
261-290.
6. Matheus J, Foad N. Text book of application of Flap. 2nd ed. CV. Mosby Company, St. Louis. 1998. Hal 585-609.
7. Grande D. Skin Grafting. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: www.emedicine.com/derm/topic867.htm 8. Hart JP. Skin Graft. (Online). 6 Okt 2005. Dapat diakses di:
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 002982.htm
1. Borschel GH. Microsurgery. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 38-43 2. Shenaq SM, Sharma SK. Principles of Microvascular
Surgery. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 73-77
Neurofibroma
Nevus
Lipoma
1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma.
78. 2. Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and generalized skin
Disorders.
150-1.
3. Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5. Panitia Kanker RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta.1999. Hal 565-87.
4. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/ hsc/dental/opath/cards/neurofibroma.html
5. Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: http://en.wikipedia.org/wiki/neurofibroma
6. Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat diakses di: www.childrenshospital.org/az/site1085/ printerfriendlypageS1085PO.html
7. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di:
www.maxillofacialcenter.com/bondbook/softtissue/neurofib. html
1.
2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar 2002. Dapat diakses di: http://www.aafp.org/afp/
20020301/901.html
3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http:// www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/ lipoma.html
4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http:// www.webmd.com/hw/skin_and_beauty/tp21226.asp 5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://
www.mayoclinic.com /health/lipoma/DS00634
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin Lesion: Tumors of Melanocyte System. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 305-7
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Fibroma
Kista Ateroma
Karsinoma Sel Basal
Karsinoma Sel Skuamosa
Melanoma
Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2006;19:151–152
Pieter J, Prasetyono TOH, Bisono, Halimun M. Kista. Dalam Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta: 2005. Hal 321
1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980; 7:301-311.
2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker RSUP dr Sardjito. Yokyakarta. 1996. h. 448-452.
3. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of management of basal and Squamous Cell Carcinoma of the Skin. Cancer. 1995. 75:699-704.
4. Richmond JD, Davie . The Significance of Incomplex excision in Patients with Basal Cell Carcinoma. Br J Plast Surg. 1987. 40:63-67
5. Riefkohl Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of Difficult Basal Cell and Squamous Cell Carcinoma of Skin. Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104
6. Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma). Dermatology in Focus. Elsevier Churchill Livingstone. Edinburg. 2005.p.130.
7. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor Infiltration in Basal Cell Carcinoma. J Dermatol Surg Oncol. 1991. 17:574-57
RM
R,
Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 315-24
1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 61-73
2. Mecht SD. Melanoma. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 325-55
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins;
Brown DL, Borschel GH. Facial Reconstruction (Section). Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 109-34
Am. J. Trop. Med. Hyg., 60(2), 1999, hal. 223–232
2. Bourgeois DM, Diallo B, Frieh C, Leclercq MH. Epidemiology of the incidence of oro-facial noma: a study of cases. Am. J. Trop. Med. Hyg., 61(6), 1999, pp. 909–913
3. Devi SR, Gogoi M. Aesthetic restoration of facial defect caused by cancrum oris: A case report. Indian Journal of Plastic Surgery, Vol. 36, No. 2, Dec, 2003, pp. 131-133 Hemangioma
Ingrowing Toenail
Rekonstruksi Kelainan di Muka
Noma
1. Cavaliere CM. Vascular Anomalies.
80-1. 2. Mulliken JB. Vascular Anomalies.
191-196 3. Dufresne CR. The Management of Hemangiomas and
Vascular Malformations of the Head and Neck. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St.Louis. 2000. Hal 973-995
4. Kantor J. Hemangioma. University of Maryland Medical Centre. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.umm.edu/ ency/article/001459.htm
Krull EA. Toenail Surgery. Dalam Krull EA, Zook EG, Baran R, Haneke E, editor. Nail Surgery, A Text and Atlas.
2001. Hal 135-61
1. Enwonwu CO, Falkler WA Jr, Idigbe EO, Afolabi BM, Ibrahim M, Onwujekwe D, dkk. Pathogenesis of Cancrum Oris (Noma): Confounding Interactions of Malnutrition with Infection.
Bibir Sumbing
Muka Sumbing
1. Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2004. Hal 151-9.
2. LaRossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 755-67.
3. Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 769-97.
4. Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft Lip and Palate. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 237-44.
5. Byrd, HS. Unilateral Cleft Lip. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 245-53.
6. Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Lip and Nose Repair. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 255-63.
7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000. p: 1111-12
8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215 9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171-89 10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di:
www.fpnotebook.com/NIC7.htm
1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial
Syndromes. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 165-173.
2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 349-363.
3. Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related Deformities. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 741-754.
Fraktur Tulang Muka
Luka Bakar
1. Manson PN. Facial Fractures.
383-406 2. Edward SP. Facial Trauma.
174. 3. Mas'ud AF, Sudjatmiko G, Prasetyono T, Susanto I.
Association beetwen Facial Bone Fracture and Traumatic Bone Injury. Makalah PIT Bali 2006. Divisi Bedah Plastik RSCM. Jakarta. 2006
4. Richardson ML. Facial and Mandibular Fractures. University of Washington School of Medical. (Online). 2000. Dapat diakses di: www.rad.washington.edu/mskbook/facialfx.html 5. Darmadiputra, Bisono, et.al. Fraktur Tulang Wajah. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. EGC. Jakarta. 2003. Hal 337-339. 6. Setiamihardja S. Trauma/Fraktur Tulang Muka. Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. FKUI Bag. Ilmu Bedah RSCM. 1995: Hal 425-7.
7. Dolan KD, Jacoby CG, et.al. The Radiology of Facial Fractures Radiographics. 1984;4:575-663.
8. Facial Fracture Symptoms. (Online). Dapat diakses di: www.emedicinehealth.com/facial_fracture/page3_em.htm 9. Harris, Troetscher. Face and Mandible. (Online). Dapat
diakses di: www.uth.tmc.edu/radiology/test/er_primer/ face/facetxt.html
10. Mitchell, B. Maxillofacial Trauma. Gale Encyclopedia of Medicine. (Online). Des 2002. Dapat diakses di:
www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/maxillofacial_trauma.jsp 11. Facial Bone Fracture. (Online). Dapat diakses di:
www.health_care_clinic.org/injuries/facial-bone-fracture.htm
1. Pacella, S. Acute Burns.
380-386
2. Setiamihardja S. Luka bakar. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. Hal 435-40.
3. About Burn Injuries. (Online). Dapat diakses di: www.burn_recovery.org/injuries.htm
Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
4. Burns management. (Online). Dapat diakses di:
www.health.nsw.gov.au/public_health/burns/burnsmgt.pdf 7. Www.bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/329/7460/
274?etoc.
8. Massachusetts Burn Injury Reporting System. 2001 Annual
Report. www.mass.gov/dfs/
osfm/firedata/mbirs/mbirs_2001ar.pdf 9. www.medscape.com/viewarticle/535519?rss 10. www.burnsupportonline.com/pic.asp?icat=6&ipic=7
1. Barret JP. Burn Reconstruction. British Medical Journals. 31 July 2004; 329; 274-276.
2. Wolter KG. Burn Reconstruction.
390-6 3. Burn Reconstruction. (Online). Dapat diakses di:
www.btinternet.com/~bmphilp/eburns/burn_reconstruction. html
1. Coleman DJ, Banwell PE. Hypospadias. In Mathes SJ, editor, Plastic Surgery. 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2006. Hal 1259-1279.
2. Hollenbeck BK. Nelson CP. Hypospadias.
372-4. 3. Horton Sr CE, Horton Jr CE, Devine CJ Jr. Hypospadias,
Epispadias and Exstrophy of the Bladder.
1101-8.
4. Baskin, LS. Hypospadias. Anatomy, Embryology and Reconstructive Techniques. University of California. USA. (Online) 2000. Dapat diakses di: www.brazjurol.com.br/ novembro/baskin_621_629.htm
5. Sastrasupena, H. Hipospadia. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. h. 428-34.
6. Soomro, NA., Neal, DE. Treatment of Hypospadias: an Update of Current Practice. Hosp Med. 1998; 59:553-556. 7. Hypospadias. Www.surgicaltutor.org.uk/defaulthome.htm?
System/hnep/hypospadias.htm~right.
8. www.pennhealth.com/.../hypospadiasrepair_4.html (Online). Dapat diakses di:
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal Kontraktur