• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERDASAN SOSIAL DALAM SELERA MUSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KECERDASAN SOSIAL DALAM SELERA MUSIK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KECERDASAN SOSIAL DALAM SELERA MUSIK

Leo Panji Mahendra & A. Harsawibawa

Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

______________________________________________________________________________

ABSTRAK

Nama : Leo Panji Mahendra Program Studi : Ilmu Filsafat

Judul : Kecerdasan Sosial dalam Selera Musik

Dalam perdebatan tentang musik, terdapat gagasan bahwa akses manusia kepada musik dapat dicapai melalui emosi. Gagasan ini memiliki kelemahan, yaitu bahwa kita menyandarkan pemahaman kita pada hal yang bersifat tidak stabil. Akses yang layak bagi manusia adalah melalui kognisi. Kognisi bekerja melalui proses sosial, lebih daripada proses individual. Melalui interaksi sosial, manusia mendapatkan kontak yang intens terhadap musik dan nilai-nilai estetika yang berkembang. Dalam interaksi sosial, pola pikir dan perilaku manusia mengalami modifikasi atas dasar gaya-gaya sosial yang bekerja di dalam masyarakat. Kognisi manusia dapat mengalami tekanan tertentu yang mendorongnya untuk memiliki kepekaan tertentu terhadap kualitas musikal, sehingga manusia dapat memiliki kecerdasan selera tertentu, dengan intervensi yang kuat dari pendidikan.

Kata kunci: Habitus; Kecerdasan; Pendidikan; Selera

ABSTRACT

Name : Leo Panji Mahendra Major : Philosophy

Title : Social Intelligence of the Taste of Music

In the academic debate, there is an idea of human’s understanding of music, which is reached by the human’s emotion. This idea had a weakness, i.e. we cannot rely our understanding on that unstable thing. The proper access for human understanding is through the cognition. Human’s cognition is worked under the force of the social process, rather than an individual force. Through the social interaction, human makes some intense contacts to the music and any developed aesthetic’s value. With those social interactions, human’s mind and behaviour are modified under the social forces. Human’s cognition has been driven to be able to get some certain sensitivities to the musical quality, so that human can modified his/her own particular inteligence of taste, with a strong intervention of eduacational system.

(2)

A. Pendahuluan

Musik seringkali dipahami sebagai sebuah pelepasan emosi manusia ke dalam karya seni auditif. Penggunaan nada dalam musik merupakan implementasi kondisi mental manusia. Dengan perkembangan dalam sejarah musik, manusia dapat memanfaatkan nada-nada yang ada untuk meniru kondisi mentalnya. Gambaran tentang kondisi mental manusia dapat diwujudkan melalui penggunaan unsur-unsur musikal, seperti nada, tempo dan tensi. Berbagai unsur tersebut dapat dipolakan melalui emosi manusia.

Dari sisi pendengar, musik dapat dipahami melalui emosi. Makna musik dapat diakses jika pendengar mencoba memahami sebuah karya melalui emosinya. Andrew Bowie menyatakan emosi sebagai “The line between mere feeling, which supposedly has no cognitive content, and emotion, which does, seems to me less clear-cut than is often thought”. Manusia, sebagai pendengar, akan merasakan kedekatan emosional dengan karya tersebut, sehingga makna intrinsik di balik rangkaian nada tersebut dapat dipahaminya, bukan hanya sebagai suara, tetapi sebagai suatu entitas yang bermakna bagi dirinya. Pada gagasan ini, pemahaman terhadap musik bersifat subjektif, dalam arti, pemahaman pendengar akan disesuaikan dengan latar belakangnya, sehingga pendengar dapat merasakan keserupaan emosi pada musik tersebut dengan emosi tertentu yang pernah dirasakannya.

Pada musik-musik tertentu yang memiliki aransemen sederhana (musik pop), emosi dapat dirasakan dengan mudah, sebab musik tersebut cenderung berirama stabil, sebab musik pop memiliki ciri khas kesederhanaan, dalam arti, mudah dipahami oleh pendengarnya. Namun, dengan munculnya musik-musik yang lebih modern, kerumitan aransemennya pun meningkat. Kesederhanaan dan stabilitas irama pun menjadi dipertanyakan. Gagasan modernitas dalam musik tidak hanya mencakup stabilitas, tetapi juga ketidakstabilan unsur-usur musikal. Perubahan dapat terjadi dengan sangat cepat pada gagasan modern. Hal itulah yang menjadi gagasan baru dalam musik. Sebagai representasi dari realitas, musik modern, bersama dengan perkembangan pemikiran modern, menggambarkan keseluruhan realitas manusia, termasuk ketidakstabilan dan dinamika dalam kehidupan sosial, yang tertanam di dalam kesadaran manusia. Gagasan ini seringkali muncul dalam musik-musik progressive dan klasik kontemporer yang menonjolkan perubahan dinamika musik secara tiba-tiba. Musik tidak hanya memberikan ketenangan pada manusia, namun juga memberikan gangguan pada stabilitas antisipasi musikal manusia.

(3)

Dalam perkembangan musik semacam ini, emosi manusia tidak lagi memadai untuk memahami tingkat kerumitan musik. Emosi bekerja pada tataran non kognitif manusia, sedangkan musik-musik modern diciptakan melalui proses kognitif yang rumit, penuh dengan perhitungan dalam mengakali antisipasi musikal manusia.

Aspek kognitif manusia memiliki keterkaitan yang kuat dengan logika, sedangkan emosi memiliki keterkaitan dengan insting manusia sebagai makhluk hidup. Seringkali, manusia melakukan tindakan berdasarkan instingnya, sehingga membawa manusia pada konsekuansi tertentu atas tindakannya. Konsekuensi tersebut dapat diperkirakan melalui hukum kausalitas. Insting manusia bekerja untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai bagian dari semesta yang bersifat naturalistik. Namun, dengan adanya logika, manusia dapat mengakali konsekuensi naturalistik semesta. Penggunaan logika dalam sistem kognisi seringkali melawan insting manusia. Logika digunakan untuk mempelajari insting manusia, sehingga instng tersebut dapat diatasi. Gagasan semacam ini digunakan dalam musik-musik modern, sehingga antisipasi manusia terhadap pola harmoni klasik dalam musik pop dapat diatasi. Manusia menggunakan dinamika musikal, yang didasarkan pada sistem kognitif, untuk melahirkan sensasi baru pada musik, yang tidak hanya bekerja pada tataran emosional manusia, tetapi lebih pada tataran kognitif manusia. Pola kognitif semacam ini memunculkan musik yang berada di taraf keindahan yang lebih tinggi (high art). Konsekuensi dari stratifikasi seni ini adalah bahwa penikmat musik high art dapat memahami musik pop art, sedangkan penikmat musik pop art belum tentu dapat memahami musik high art. Hal ini menunjukan bahwa musik bekerja di tataran kognitif, bukan emosi, sebab, emosi manusia dapat bekerja jika manusia memiliki pengetahuan tentang emosi tersebut, atau setidaknya, jika manusia mengetahui bahwa dirinya mengalami kondisi emosional tertentu. Maka, musik dan maknanya dapat diakses secara penuh oleh sistem kognisi manusia, jika manusia memiliki tingkat kognitif cukup tinggi.

Dari latar belakang ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: • Bagaimana musik dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakat?

• Bagaimana musik dapat menjadi indikator kecerdasan manusia di dalam lingkungan sosialnya?

(4)

Penulisan ini memiliki tujuan untuk membongkar konsep estetika di dalam musik, melalui kerangka epistemologi, yang mendasarkan diri pada gaya-gaya sosial di dalam masyarakat. Konsep sosial menjadi krusial, sebab, musik mengalami perkembangan secara pesat melalui interaksi sosial manusia, yang terjadi sepanjang sejarah.

B. Tinjauan Teoretis

Persoalan tentang musik, sebagai kasus, seringkali dianggap sebagai persoalan nilai yang bersifat subjektif dan personal. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa musik dengan segala kompleksitasnya merupakan hal yang bersifat personal dan tidak terjamah oleh ranah sosial manusia. Kemampuan mausia dalam memahami musik merupakan sebuah kemapuan bawaan yang telah tertanam di dalam otak manusia. Gagasan neurosains menjadi teori yang akan dikaji lebih lanjut.

Dalam pembahasan tentang musik sebagai proses sosial, gagasan Pierre Bourdieu akan digunakan untuk menganalisis segala proses sosial yang terjadi di dalam persoalan selera musik. Teori tentang habitus dan kelas sosial akan mendasari penjelasan tentang kemampuan pemahaman musik yang dimiliki oleh setiap individu manusia.

C. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode kritik reflektif, dengan gagasan sosiologis dalam pemahaman manusia terhadap musik. Pendekatan sosiologis akan menjadi peralatan analisis dalam kemampuan musikal manusia, yaitu kecerdasan musikal manusia merupakan bentukan dari gaya sosial yang bekerja di dalam masyarakat.

D. Pembahasan

Musik merupakan suatu entitas yang nyata bagi manusia. Pada masa pencerahan, musik menjadi karya seni yang diagungkan, sekaligus objek penelitian berbagai disiplin ilmu, terutama filsafat. Musik menjadi simbol dari modernitas, bersama dengan ilmu pengetahuan, dan menjadi sarana untuk mengangkat eksistensi manusia di dunia. Sejak saat itu, musik berkembang menjadi sistem yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, dan sekaligus menjadi indikator peradaban manusia.

(5)

kehidupan, termasuk musik. Hal yang membuat musik menjadi kajian filsafat adalah karena musik makna, bukan hanya karena musik dapat diinterpratasi oleh pendengar, tetapi karena musik adalah bahasa itu sendiri. Musik bukan hanya mengada sebagai pelengkap kebutuhan manusia akan keindahan, melainkan terus berkembang menjadi sistem yang kompleks, yang dapat mempengaruhi pikiran manusia. Dalam pemahaman ini, musik berdiri sebagai entitas tersendiri yang dapat terlepas dari kekuasaan manusia, sebab dalam moment tertentu, musiklah yang menguasai manusia, secara emosional, bahkan juga dapat membentuk identitas manusia.

Dalam gagasan ilmu sosial, musik dianggap sebagai sarana bagi pertukaran dan penyebaran nilai-nilai. Pandangan ini memposisikan musik sebagai entitas yang tergantung pada eksistensi manusia. Kehadiran musik merupakan alat untuk memperkuat posisi seseorang secara sosial, kultural maupun politis. Makna sebuah musik tergantung pada kepentingan manusia sebagai pencipta musik.

Manusia dan musik memiliki posisi ganda dalam hubungannya. Secara populer, manusia dianggap sebagai subjek bagi musik. Hal ini terkait dengan gagasan modern yang mengangkat posisi manusia sebagai subjek dari segala realitas, termasuk musik. Posisi subjek ini memungkinkan manusia untuk mempelajari dan menjadikan musik sebagai objek kajiannya. Sebagai objek, musik bersifat pasif bagi manusia, dalam arti, musik tidak dapat melakukan apapun pada manusia, kecuali jika sebuah musik memang dirancang untuk mempengaruhi manusia. Posisi ini diterapkan pada ilmu sosial tentang musik. Sedangkan pada bidang filsafat, musik memiliki posisi yang berbeda. Musik tidak hanya merupakan alat bagi hegemoni politik manusia, melainkan suatu entitas tersendiri. Hal inilah yang memposisikan musik sebagai subjek, berdampingan dengan manusia, sebagai pencipta sekaligus penikmat musik. Melalui kajian filosofis, musik bukan hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan manusia, tapi juga entitas tersendiri yang memiliki karakter serta eksistensinya yang khas di dalam realitas.

Pada filsafat, musik mendapatkan tempat yang lebih tinggi daripada sekedar objek. Musik tidak hanya menjadi interpretasi kondisi psikis manusia, tetapi juga sekaligus dapat mempengaruhi manusia. Filsafat menyediakan tempat bagi musik untuk menjadi sebuah ontologi yang nyata di dunia, bukan hanya pelengkap manusia. Musik dapat dibicarakan sebagai suatu entitas yang mengada dan memiliki pemaknaan yang penuh bagi manusia, sekaligus dapat memaknai ulang keberadaan manusia. Pada posisi ini, musik menjadi objek sekaligus subjek.

(6)

makhluk hidup. Gagasan tentang musik merupakan perkembangan dari insting manusia untuk menarik lawan jenis, sebab, musik sebagai sistem keindahan, juga memiliki fungsi atraktif dan memberikan kenyamanan pada manusia. Pemahaman manusia terhadap musik merupakan kemampuan otak manusia dalam mengolah data suara menjadi sebuah judgment keindahan. Proses ini melibatkan komputasi otak manusia dalam mengidentifikasi stimulus suara yang ditangkap oleh indera. Keindahan yang ditangkap manusia sebagai sebuah sensasi, pada dasarnya merupakan perhitungan akurasi matematis terhadap gelombang suara yang memiliki rasio tertentu. Maka, pemahaman dan judgment tentang keindahan musik merupakan kerja otak secara mekanistik.

Perbedaan utama antara sosiologi musik dan filsafat musik adalah pada posisi musik di dalam dunia. Sosiologi musik menjadikan musik sebagai objek, sedangkan filsafat musik memposisikan musik sebagai objek sekaligus subjek.

Dalam gagasan Bourdieu, selera musik merupakan bentukan sosial. Hal ini melibatkan kekuatan sosial yang bekerja dan berseteru secara terus menerus dalam masyarakat. Melalui gaya sosial ini, kognisi individu mengalami pembentukan, yaitu sebagai habitus, atau pola perilaku dalam praktek sosial. Hal ini menjadikan individu memiliki suatu selera yang berkaitan erat dengan pola konsumsinya. Habitus mengasumsikan bahwa pembentukan kecerdasan musikal seseorang merupakan proses yang bersifat sosial dan dinamis. Menarik untuk dipelajari bahwa Bourdieu memaparkan gagasan tentang selera sebagai suatu fenomena yang kompleks dan melibatkan banyak hal.

Gagasan Bourdieu tentang habitus menunjukkan bahwa terdapat tingkatan di dalam selera manusia. Tingkatan ini ditentukan dari kualitas keindahan yang dapat dinikmati oleh manusia melalui sensasi yang dirasakannya. Seni yang lebih tinggi tercipta dari pola pikir manusia yang lebih cerdas. Kecerdasan ini merupakan hasil dari kontak sosial manusia. Pada kebudayaan yang lebih tinggi, manusia dapat melepaskan diri dari naluri hewani, yaitu orientasi akan kuantitas kepuasan demi bertahan hidup. Manusia membutuhkan kepuasan yang lebih berkualitas untuk mengakali keterbatasan durasi dalam menikmati sensasi keindahan. Dengan adanya seni yang lebih tinggi, maka setiap sensasi yang dirasakan manusia menjadi lebih bermakna dalam pemuasan keindahannya.

Kelas yang lebih tinggi dalam selera, mengasumsikan adanya kecerdasan yang lebih tinggi pula. Selera ini dibentuk dari pendidikan yang didapatkannya. Pendidikan yang didapatkan

(7)

oleh manusia membutuhkan suatu kurikulum yang berfungsi untuk menjaga kualitas keindahan. Kurikulum tersebut memastikan agar manusia memiliki penguasaan keterampilan dasar untuk menciptakan karya yang lebih baik.

Dalam musik, gagasan Bourdieu menunjukkan bahwa musik memiliki kualitas yang harus dipenuhi untuk menciptakan karya yang memenuhi standarisasi ketrampilan dan keindahan. Pendidikan berfungsi untuk menjaga kesempurnaan sensasi yang dapat dinikmati oleh manusia. Setiap sensasi harus memiliki kualitas yang baik, sehingga pada perjalanannya, manusia dapat melakukan peningkatan kualitas secara terus menerus. Kesempurnaan sensasi dalam musik menunjukkan tingkat pola pikir manusia yang lebih tinggi. Maka, untuk mencapai peradaban yang tinggi, manusia perlu menjaga kualitas karya dalam setiap detail sensasi yang dirasakannya. Bourdieu mengajukan gagasan tentang selera sebagai bentukan sosial, terutama melalui perseteruan antar kelas masyarakat. Hal ini berbeda dengan gagasan Kantian yang mengajukan bahwa selera merupakan fungsi sistem kognisi manusia yang bersifat individual. Gagasan Kantian ini mendapat kritikan keras dari Bourdieu, terutama pada persoalan pola kehidupan sosial yang penuh dengan pertukaran nilai. Individu mendapatkan identitasnya melalui kontak dengan lingkungan sosial. Melalui kontak itu, terjadi pertukaran niali secara terus menerus antara individu dan individu, maupun individu dengan komunitas. Meningkatnya kompleksitas corak kehidupan sosial mengasumsikan bahwa identitas manusia terbentuk melalui proses yang lebih rumit pula. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat dilepaskan dari gaya sosial yang bekerja di dalam masyarakat.

Habitus merupakan struktur yang mengklasifikasi watak dan praktek perilaku seseorang. Klasifikasi didasarkan pada pengetahuan yang layak terhadap objek. Perilaku seseorang dibentuk oleh struktur kebudayaan yang rumit, beserta segala perseteruan dan dialektika di dalamnya.

Musik merupakan selera akan keindahan auditif. Manusia akan selalu membuat judgement tentang apa yang dianggap indah. Pada taraf habitus, judgement dibuat bukan lagi sebagai hasil refleksi yang panjang, tetapi menjadi suatu tindakan refleks manusia melalui kognisinya. Dalam perdebatan tentang selera musik, ada perbedaan pandangan musik dari kelompok awam dan profesional musik. Kaum awam memiliki pengetahuan terbatas tentang musik. Pengetahuan yang terbatas itu akan memunculkan stagnansi perdebatan selera pada tingkatan tertentu.

(8)

Sebagai sebuah institusi, musik telah dipelajari strukturnya dan dibuatkan perumusannya untuk dapat diaplikasikan secara turun temurun ke generasi selanjutnya. Warisan ilmu tersebut, dalam perkembangannya akan menjadi semakin kompleks dengan eksplorasi terhadap nada-nada. Perkembangan yang turun temurun itu akan membawa progres kognitif dalam kultur musik. Dan sebagai institusi, ada jaminan bahwa musik merupakan suatu wilayah yang dapat dibicarakan secara ilmiah. Hal ini menunjukan bahwa musik tidak cukup hanya dapat dirasakan secara emotif, melainkan dapat dipahami sejauh tingkatan kognisi manusia. Musik bukanlah suatu wilayah subjektif manusia yang tidak dapat diakses oleh orang lain. Akses musikal dapat dipelajari dalam institusi dan menjadi sebuah warisan kognitif bagi generasi mendatang. Semakin tinggi kemampuan kognisi musikal seseorang, maka dia dapat menciptakan komposisi musik yang lebih baik. Karena itu, standarisasi musikal institutif perlu dibuat untuk menjaga kualitas musik sebagai sebuah kemajuan peradaban. Dengan semua dorongan kognitif, musik mendapatkan gairahnya. Sekalipun terbukti benar bahwa musik dapat membangkitkan emosi seseorang, namun kemampuan kognisi berkuasa atas musik tersebut, dan pada gilirannya akan berkuasa terhadap emosi seseorang.

Dari kutipan Andrew Bowie atas Schlegel: ‘Beauty (harmony) is the essence of music, the highest of all arts. It is the most general (art). Every art has musical principles and when it is completed it itself becomes music’.1 Hal ini menunjukkan adanya prinsip yang harus dipenuhi dalam bermusik. Prinsip tersebut merupakan struktur yang dapat dipelajari melalui kognisi. Dalam hal ini, musik mendapatkan tempatnya sebagai sebuah bahasa, yang memiliki struktur tertentu untuk dapat dipahami.

Keindahan musik juga dapat dipahami oleh para pendengar musik. Pada dasarnya, prinsip pembuatan judgment dalam apresiasi tidak berbeda jauh dengan proses kreasi, hanya saja berasal dari posisi yang berbeda. Pendengar musik dapat menikmati sebuah musik sejauh kemampuan kognisinya dapat memahami pola-pola nada dalam suatu musik. Kognisi pendengar musik juga dapat mengalami peningkatan seperti yang terjadi pada konposer musik. Namun, institusi pendidikan apresiasi musik mungkin kurang populer dibandingkan dengan institusi pendidikan kreasi musik. Hal ini mengakibatkan standarisasi apresiasi musik kurang dikenal secara luas dalam budaya populer. Sarana apresiasi musik yang cukup dikenal hanyalah sebatas media

(9)

populer, yang didalamnya kekuatan kapitalisme kultural bekerja, sehingga standarisasi yang dikenal lebih luas adalah seberapa banyak musik tersebut didengar oleh masyarakat.

Dalam proses apresisasi musik, semua orang dapat ikut serta. Hal ini disebabkan karena musik dapat didengarkan, sehingga semua orang yang memiliki pendengaran dapat mengakses musik. Para kreator musik pun juga termasuk di dalam proses apresiasi, karena pembuat musik pasti juga mendengarkan musik yang mereka ciptakan. Karena itu, kelas apresiasi musik lebih luas lingkupnya dibandingkan kelas kreasi musik.

Manusia dapat mendengarkan musik sejauh musik tersedia baginya untuk didengarkan. Di sini, kita berbicara tentang distribusi karya musik melalui media. Seorang pendengar musik tidak memiliki kewajiban untuk mendengarkan beragam jenis musik. Karena itu, sering terjadi bahwa masyarakat hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang musik.

Dalam penjelasan di atas tentang komposisi musik, ada musik yang memiliki komposisi sederhana dan rumit. Musik sederhana memiliki syarat sebatas tidak fals dan dapat diapahami oleh semua orang. Sifat mudah dipahami ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kognisi musikal tinggi pun dapat menikmatinya, apalagi orang yang memiliki kognisi musikal tinggi.

Jika berbicara tentang musik yang dipahami secara luas, maka kita harus berbicara tentang kapitalisme kultural dalam musik. Musik telah menjadi industri untuk mencari keuntungan. Karena tidak ada jaminan bahwa setiap orang mempelajari musik, maka industri musik akan menghasilkan lebih banyak karya musik dengan komposisi sederhana agar dapat diterima lebih luas. Industri, yang memiliki modal besar, memiliki akses media untuk mendistribusikan produknya. Hal ini juga sejalan di dalam bidang musik. Media populer yang memiliki akses luas kepada masyarakat, dikuasai oleh industri musik, sehingga pada wilayah-wilayah tertentu, masyarakatnya tidak memiliki pilihan untuk mengakses beragam jenis musik. Mereka hanya dapat mengakses musik yang disediakan oleh media. Wilayah ini menjadi sasaran industri untuk mendominasi pengetahuan masyarakat secara besar-besaran. Dalam istilah budaya populer, hal ini disebut dengan pembentukan selera pasar.

Selera merupakan judgment seseorang yang dibuat berdasarkan pengetahuannya terhadap objek. Hal ini berarti, pengetahuan menjadi syarat bagi adanya judgment. Manusia dapat memiliki pengetahuan sejauh adanya akses bagi pengetahuan. Jika akses pengetahuan dibatasi, maka kemampuan kognisi manusia pun menjadi terbatas. Dalam kajian budaya populer,

(10)

kelompok ini disebut dengan low culture, karena ketiadaan struktur pengetahuan yang cukup tinggi bagi progres kebudayaan. Dalam proses kapitalisme, kelompok ini harus dijaga keberadaannya sebagai konsumen utama. Jika pengetahuan mereka meningkat, maka industri kehilangan pasar potensialnya.

“The lower positions -and, correlatively, the dispositions of their occupants--- derive some of their characteristics from the fact that they are objectively related to the corresponding positions at the higher level, towards which they tend and 'pre-tend'.”2

Dalam perkembangannya, ada sebagian dari kelompok low culture yang berhasil mengakses lebih banyak pengetahuan daripada yang disediakan, sehingga tingkat kemampuan kognisi mereka meningkat. Akibatnya, standarisasi aesthetic judgment mereka pun meningkat. Mereka memiliki kesadaran akan keindahan yang lebih tinggi, sebab mereka bisa membuat perbandingan dengan objek-objek yang lebih banyak. Hal ini masih sejalan dengan gagasan lack dan desire dari Lacan. Mereka berhasil melawan represi industri pengetahuan. Namun hal ini tidak menghentikan langkah industri. Industri akan membuat represi yang lebih kuat bagi struktur pengetahuan masyarakat, misalnya dengan pembelokan istilah musik untuk keindahan menjadi musik untuk sesuatu yang lain (refreshing dari kepenatan hidup). Dengan cara ini, fokus masyarakat akan dialihkan dari perkembangan intelektual musik. Musik akan tetap ada dalam masyarakat, namun hanya sebagai salah satu sarana hiburan bagi mereka yang penat akan fokusnya terhadap pekerjaan di bidang lain. inilah cara yang digunakan untuk mengurangi kesadaran musikal masyarakat.

Melalui kerangka kerja ini, apresiasi musik hanya dapat mengalami kemajuan sejauh masyarakat berhasil melawan represi industri tanda (pengetahuan). Kemampuan kognitif manusia dapat direkayasa sejauh kepentingan industri. Namun di sisi lain, institusi pendidikan berusaha membebaskan manusia dari struktur kognisi bentukan industri. Pada ranah apresiasi ini, kesadaran dan kognisi musikal manusia dipertaruhkan oleh dua kekuatan tersebut. Perseteruan antara subjek dan other terjadi dengan lebih sengit pada ranah apresiasi ini. Subjek direpresi habis-habisan oleh bahasa yang diternakkan oleh industri (other).

Taste represents the concealed exercise of power; it is a ‘matter of course’, the ‘natural

2  Pierre  Bourdieu.  1984.  Distinction:  A  Social  Critique  of  the  Judgement  of  Taste.  Harvard  College.  Hal.  123    

(11)

difference’ that has grown apart from the social.3 Selera musik, merupakan persoalan identitas manusia yang berkaitan dengan kelas sosial. Melalui selera, manusia mengidentifikasi dirinya ke dalam suatu komunitas. Karena selera merupakan hasil dari suatu pola pikir tertentu, individu tersebut telah mengalami perseteruan antara gaya-gaya sosial yang terjadi di dalam lingkungan sosialnya. Bahkan, perseteruan tersebut akan mengalami perseteruan lebih lanjut dengan sisi subjektifnya. Latar belakang seseorang, termasuk kecerdasan dan tingkat pendidikannya, akan menentukan tingkatan seleranya.

Manusia memahami keindahan seni melalui proses pembelajaran reflektif yang dirumuskan melalui pendidikan. Sebagai sebuah sistem, keindahan seni dan musik, merupakan kesepakatan bersama yang berkembang dalam kebudayaan melalui pola pikir komunal masyarakat terhadap respon realitas. Karena keindahan musik merupakan bentukan sosial, maka manusia mempelajari nilai tersebut melalui kontak sosial. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang mengasumsikan semakin tingginya kelas sosial. Kecerdasan ini mengarahkan pola pikir dan pola perilaku manusia pada kelas tertentu. Maka, selera keindahan manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kecerdasan yang dimilikinya di dalam kehidupan sosial.

Musik merupakan suatu keindahan bebunyian yang memiliki struktur tertentu. Struktur inilah yang menjadikan musik mendapatkan unsur keindahannya, dan menjadi berbeda dengan sebuah kumpulan suara. Pemahaman tentang struktur musik bisa didapatkan dari kontak sosial manusia. Dengan kontak yang berlangsung secara terus menerus, manusia bisa memahami struktur keindahan di dalam musik.

Namun, seiring perkembangan musik dan kompleksitasnya, kontak sosial tidak lagi memadai untuk memahami musik dengan struktur harmoni baru. Seringkali, musik ditampilkan dengan harmoni yang tidak lazim. Kontak sosial manusia masih mampu untuk menjadi sarana pembelajaran struktur harmoni yang lazim. Namun, dalam struktur harmoni yang tidak lazim dan memiliki kompleksitas tinggi, manusia membutuhkan pembelajaran yang lebih dari sebatas kontak sosial.

Struktur musik yang kompleks tidak lagi memberikan kenyamanan musikal yang didasarkan pada kesesuaian antisipasi manusia. Musik modern memberikan penekanan pada

3  Simon  Susen  &  Bryan  Turner.  2011.  The  Legacy  of  Pierre  Bourdieu:  A  Critical  Essays.  London:  Anthem  Press.  Hlm   126.  

(12)

gagasan keindahan itu sendiri. Keindahan didapatkan melalui pemahaman terhadap struktur, bahkan struktur yang rumit sekalipun. Maka, dengan struktur harmoni tertentu, musik akan mendapatkan keindahannya.

Dalam praktek pembelajaran musik, sering ditemukan eksplorasi pada komposisi nada. Musik yang umum muncul di dalam kebudayaan, terutama pada kebudayaan pop, hanya mengekspos sebagian kecil struktur harmoni musikal. Di luar struktur umum tersebut, ada banyak sekali struktur lain yang memiliki harmoni berbeda. Pembelajaran musikal akan menuntut individu untuk dapat memperluas wawasan akan keindahan dari struktur lainnya. Secara filosofis, kemampuan untuk memahami struktur harmoni ini merupakan suatu proses adptasi kognitif manusia terhadap realitas musikal. Individu manusia mengalami kontak denga realitas, yaitu nada-nada musik yang didengarnya. Setiap nada tersebut memberikan sensasi tertentu pada manusia. Jika manusia bisa mendapatkan struktur harmoni keindahannya, maka otak manusia telah melakukan proses adaptasi dalam mencerna nada tersebut. Namun, jika manusia tidak mendapatkan struktur keindahan di dalam pola nada tersebut, maka otaknya belum mampu beradaptasi terhadap pola tersebut. Dalam rangka adaptasi ini, manusia melakukan proses pembelajaran.

Pembelajaran dilakukan manusia terhadap kemampuan kognitifnya, artinya dilakukan untuk meningkatkan pengetahuannya. Hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan. Secara mendasar, pendidikan mengasumsikan bahwa objek kajian dapat didiskusikan. Dengan begitu, maka individu bisa mencapai sebuah kesepakatan tentang musik, atau dengan kata lain, keindahan musik memiliki sifat objektif.

Fungsi paling penting dari pendidikan adalah sebagai standarisasi kualitas musikal. Pendidikan menuntut individu untuk menguasai teknik dasar yang tepat. Hal ini bertujuan untuk melatih individu agar memiliki kepekaan terhadap detail kualitas keindahan. Dengan memiliki kepekaan tersebut, individu akan membentuk seleranya kepada kelas yang lebih tinggi secara hirarkis. Kepuasan dalam seni bukanlah mengacu pada kuantitas konsumsi keindahan, tetapi pada kualitas. Dengan kepekaan terhadap kualitas, individu berada di taraf yang lebih tinggi, sebab, individu tersebut telah mampu menempatkan pola adaptasinya di taraf kepuasan kognitif. Di posisi ini, individu mampu mengatasi keterikatannya dengan naluri alamiahnya, yaitu ketergantungan pada kuantitas.

(13)

(bukan hanya mendengarkan) musik dengan baik. Hal inilah yang menunjukkan bahwa individu memiliki selera yang lebih tinggi. Secara sosial, hal ini ditentukan dari tingkat dan jenis konsumsinya. Namun, secara filosofis, hal ini menunjukkan bahwa identitas hirarkis ditentukan oleh kemampuan kognisinya dalam membuat judgment. Ada standarisasi yang perlu diperhatikan dalam memperbincangkan sebuah keindahan. Jika suatu karya telah memenuhi standard keindahan, maka karya tersebut menjadi layak untuk diperbincangkan. Untuk menentukan kelayakan ini, individu membutuhkan kepekaan terhadap kualitas.

Maka, kepekaan terhadap kualitas ini merupakan identitas seseorang, yang membedakannya dengan individu lain, didasarkan pada kemampuan kognitifnya yang terbentuk melalui proses sosial. Dari persoalan pendidikan, kepekaan ini membutuhkan suatu proses reflektif manusia terhadap realitas keindahan, melebihi kemampuan bawaan otaknya.

Gagasan neurosains, tentang kemampuan manusia dalam memahami keindahan musik, memiliki keterbatasan, yaitu pada reduksi pemahaman selera manusia kepada insting alamiah. Manusia tidak selalu terikat pada naluri alamiahnya. Ada proses reflektif yang dilakukan oleh manusia, sebagai usahanya untuk melepaskan diri dari respon alamiah tersebut. Sekalipun manusia mengalami proses evolusi yang membentuk kecerdasannya, gagasan tentang insting, sebagai mekanisme respon manusia terhadap alam, tidak memadai untuk menjelaskan dinamika selera manusia. Musik tidak hanya berhubungan dengan emosi, tetapi lebih pada kognisi manusia. Manusia mendapatkan makna sebuah musik melalui pengetahuan dan pemahamannya terhadap musik sebagai realitas. Kecerdasan manusia akan membentuk tingkat selera musiknya. Selera musik tidak hanya berbeda secara horizontal, tetapi juga secara vertikal. Ada tingkatan kualitas musik yang menjadi orientasi manusia dalam merespon keindahan. Fokus terhadap kualitas ini hanya bisa dipelajari manusia melalui pendidikan, sebab, sistematika pendidikan memastikan agar kualitas keindahan musik tetap terjaga dari ketidaksempurnaan teknis dasar dan teori.

Pendidikan memiliki pengaruh paling penting dalam tingkat pemahaman manusia akan musik. Musik memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Hal ini membutuhkan tingkat kognitif yang lebih tinggi pada manusia untuk dapat memahami berbagai variasi musik. Manusia memang membutuhkan kapasitas kemampuan otak dalam memahami musik, namun, hal tersebut tidaklah cukup dalam meningkatkan kecerdasan selera bermusik manusia. Kemampuan otak manusia dalam memahami musik dapat dimaksimalkan dengan pendidikan yang didapatkan

(14)

manusia melalui kontak sosialnya.

Musik sebagai seni, mendapatkan identitasnya melalui konstitusi sosial dalam judgment akan keindahan. Keindahan yang dirasakan oleh manusia merupakan implikasi dari kontak manusia dengan realitas yang berada disekitarnya. Realitas yang dimaksud bukan hanya yang bersifat naturalistik. Dengan kompleksitas kehidupan manusia yang semakin tinggi, keindahan juga muncul dari kehidupan sosial manusia. Bahkan, seiring dengan perkembangan peradaban, kehidupan sosial memegang peranan mayoritas dalam realitas manusia. Segala aspek yang berkaitan dengan manusia, termasuk keindahan, mendapatkan konstitusinya dari kehidupan sosial. Karena itu, nilai keindahan merupakan bentukan sosial, sehingga terdapat standarisasi keindahan di dalam seni yang mengasumsikan adanya seni yang lebih tinggi dan lebih rendah. untuk dapat mengetahui standarisasi tersebut, manusia harus melakukan kontak dengan lingkungan sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan neurosains tentang kapasitas kemampuan otak manusia tidaklah memadai untuk menjelaskan proses pemahaman manusia terhadap berbagai tingkat kerumitan musik. Gagasan neurosains tidak akan bekerja jika tidak ada penjelasan sosiologis tentang proses sosial dalam pemahaman musik.

E. KESIMPULAN

Pendidikan menjadi akses bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya dalam segala hal, termasuk musik. Makna pendidikan yang dimaksud bukanlah dalam arti sempit, yaitu pendidikan yang didapatkan melalui suatu institusi formal, tetapi lebih pada pendidikan dalam arti luas, yaitu proses pembebasan manusia untuk mendapatkan kemanusiaannya melalui pengetahuan dan keterampilan. Terdapat kelas-kelas dalam seni musik yang berkaitan dengan tingkat kerumitannya. Namun, hal yang lebih penting dalam musik adalah penguasaan terhadap teori dan teknik dasar untuk menciptakan suatu karya yang layak untuk disebut musik, bukan hanya suara bising (noise). Penguasaan teknik dasar inilah yang seringkali luput dalam berbagai karya musik, sehingga ada ketidaksempurnaan dalam musik. Dalam proses sosial, ketidaksempurnaan ini dapat meluas dalam masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi kualitas musikal yang ada di dalam masyarakat. Karena itulah, pendidikan dalam musik menjadi faktor penting untuk menjaga kualitas keindahan musik. Pendidikan dibutuhkan agar standarisasi musik terhindar dari kontaminasi ketidaksempurnaan teknis dasar. Dengan adanya komunitas sosial dalam musik, walaupun bersifat non formal, standarisasi musik dapat dijaga melalui

(15)

akurasi teknik dan teori dasar musik, sehingga kualitas musik akan tetap terjaga keindahannya. Namun, jika komunitas atau institusi tersebut bersifat formal, pendidikan akan lebih baik, sebab ada sistem kurikulum yang menjadikan penguasaan teknik dasar sebagai kewajiban dalam musik. Pendidikan juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas musikal, sehingga komposisi musik dapat berkembang menjadi lebih variatif dengan tetap berpegang pada standarisasi keindahan. Jika selera menjadi dasar dari penciptaan karya musik, maka pendidikan berfungsi menentukan tingkat kecerdasan manusia dalam selera bermusiknya. Setiap genre musik memiliki karakternya yang khas. Karakter itu diperkuat dengan penguasaan teknik dasar dalam pendidikan, sehingga identitas dari suatu genre menjadi jelas. Sebagai identitas, suatu genre musik memiliki kemungkinan untuk mengalami stagnasi dalam variasi musikal. Hal ini dapat dihindari dengan pendidikan musik, yaitu melalui peningkatan selera keindahan manusia, yang mungkin memiliki konsekuensi pada meningkatnya kerumitan dalam komposisi musik. Kerumitan inilah yang seringkali menjadi kendala bagi banyak orang yang tidak kemampuan dan pemahaman untuk melakukan praktek itu. Namun, dengan standarisasi penguasaan teknik dasar, manusia dapat mengalami peningkatan gradual dalam menguasai kerumitan komposisi musik tertentu, baik secara teori maupun praktek. Maka, pendidikan dapat meningkatkan kemampuan musikal manusia secara signifikan. Dan sebagai representasi dari realitas, pendidikan musik memiliki peranan dalam peningkatan kualitas kemanusiaan yang bekerja pada ranah kognitif manusia, melebihi kemampuan bawaan manusia yang terdapat pada gagasan neurosains.

F. KEPUSTAKAAN

Allison, Henry E. 2001. Kant’s Theory of Taste: A Reading of the Critique of Aesthetic Judgment. Cambridge University Press.

Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard College.

Bowie, Andrew. 2007. Music, `Philosophy and Modernity. Cambridge University Press. Bowman, Wayne D. 1998. Philosophical Perspectives on Music. New York: Oxford University Press.

(16)

Channey, David. 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. (terj). Yogyakarta: Jalasutra.

Demetriou, . and Efklides, A. 1994. Intelligence, Mind, and Reasoning: Structure and Development. Amsterdam: North-Holland.

Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. London and New York: Verso.

Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsbury Publishing.

Levitin, Daniel J. 2006. This Is Your Brain on Music. Dutton.

Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh: Hasti T. Champion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Susen, Simon & Bryan Turner. 2011. The Legacy of Pierre Bourdieu: A Critical Essays. London: Anthem Press.

Referensi

Dokumen terkait

Ikan Bandeng Presto adalah produk yang diolah dari ikan yang mengalami perlakuan sebagai berikut : pencucian, pembuangan insang dan isi perut, pembelahan atau tanpa

Oleh karena itu, Informan tersebut di atas dipilih secara sengaja dengan mempertimbangkan kriteria yang dijelaskan oleh Bungin (2003:54) dalam (Riduwan, 2013) bahwa

PRODUK EXTRA TERHADAP NIAT MEMBELI KONSUMEN DENGAN PENGKATEGORIAN STOCK-UP DAN NONSTOCK-UP DI CARREFOUR BG JUNCTION SURABAYA” sebagai pemenuhan salah satu syarat dalam

Dari hasil penelitian didapatkan 3 tema yang terdiri dari 5 subtema yaitu : (1) Pola Asuh dengan subtema kuranganya pengetahuan tentang pola asuh (2) Dampak pola Asuh

Metode dilakukan dengan color deconvolution dimana dengan menggunakan metode ini warna dipisahkan berdasarkan stain yang telah didefinisikan melalui larutan Hematoxylin,

...laporan keuangan konsolidasian yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang materil...Grup mengalami defisit sebesar Rp 1.213.491.601.495...hal-hal

Oleh karena itu, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa metode penelitian digunakan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan dari sebuah penelitian

Pelaksanaan tindakan siklus I meliputi kegiatan (1) pembahasan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru, (2) membagi siswa kedalam 6 kelompok, (3) siswa