• Tidak ada hasil yang ditemukan

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Puslitbang tekMIRA

Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211

Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373

E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id

L A P O R A N Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang

Dan Pengelolaan Sumberdaya

ESTIMASI STOK KARBON AKIBAT PERUBAHAN LUAS PENUTUPAN LAHAN DI KAWASAN PENAMBANGAN TERKAIT DENGAN SKEMA REDD

(Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation)

Oleh : M. Lutfi, Harry Tetra Antono, Nining Puspaningsih, Retno Damayanti, Wulandari Surono, Wahyu Agus Setiawan, Lasmaria Sibarani, Komarudin, dan Jeni Gindaya

PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA - tekMIRA 2013

(2)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Soemarwoto (2001) menyatakan bahwa radiasi matahari yang terserap bumi, akan dipancarkan kembali oleh permukaan bumi dalam bentuk sinar panas (inframerah) menuju atmosfer. Pada lapisan atmosfer terendah (troposfer), sebagian sinar panas tersebut terserap oleh gas-gas yang terkandung di dalamnya dan tidak dapat terlepas ke angkasa. Ini mengakibatkan suhu pada troposfer meningkat, diiringi dengan peningkatan suhu pada permukaan bumi. Gas yang menyerap sinar panas disebut juga sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) dan peningkatan suhu yang dipicu penyerapan sinar panas oleh GRK disebut Efek Rumah Kaca (ERK).

Kenaikan intensitas ERK yang berlebih, menyebabkan suhu permukaan bumi akan meningkat secara berlebihan, peristiwa ini disebut sebagai pemanasan global yang saat ini tengah menjadi isu lingkungan di berbagai negara. Ini karena pemanasan global menimbulkan dampak luas terhadap kehidupan makhluk hidup, beberapa di antaranya berupa perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Perubahan iklim akibat pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas hujan pada satu daerah dan pada daerah lainnya akan berkurang, sedangkan kenaikan permukaan laut akan menimbulkan masalah intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga daerah-daerah pantai yang rendah menjadi terendam (Soemarwoto 2001).

GRK yang terkandung dalam atmosfer terdapat beberapa macam, antara lain : uap air (H2O), CO2, Metan, CFC (-11,-12,-22), N2O dan masing-masing gas tersebut mempunyai sifat penyerapan sinar dengan panjang gelombang berbeda-beda. Panjang gelombang yang berbeda-beda tersebut membentuk satu jalur keluar sinar (jendela atmosfer) yang dapat melepas 70 – 90 persen radiasi dari bumi, sehingga intensitas ERK di bumi tidak akan berlebih. Akan tetapi dengan adanya pencemaran udara yang berasal dari berbagai gas (emisi), menyebabkan “jendela atmosfer” menjadi tertutup sehingga sinar panas yang dapat melaluinya semakin sedikit membuat intensitas ERK di bumi menjadi berlebih dan suhu bumi meningkat (Soemarwoto 2001).

Secara global, emisi karbon paling besar dihasilkan dari negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Singapura, dan Inggris, akibat dari penggunaan bahan bakar fosil dengan total emisi sekitar 65 persen dari emisi karbon dunia (World Bank 2010). Sementara itu untuk negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara lainnya mempunyai total kontribusi terhadap emisi karbon dunia sebesar ± 15 persen, yang diperkirakan berasal dari deforestasi dan degradasi lahan akibat illegal logging dan kebakaran hutan serta adanya kegiatan aktivitas pertambangan. Dalam rangka menghambat peningkatan

(3)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 2

emisi karbon dunia, negara maju atau industri kemudian meminta negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon.

Pada tahun 2005 isu pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang (RED) muncul saat

Conference of Parties (COP) ke-11, dalam kerangka United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC) di Montreal. Selanjutnya pada COP ke-13 di Bali tahun 2007 dihasilkan kesepakatan untuk memasukkan degradasi hutan dalam skema penurunan emisi karbon, yang disingkat menjadi REDD (Reduced Emission from Deforestation and Forest Degradation). Kemudian pada COP ke-15 di Kopenhagen tahun 2009 dimasukkan istilah baru yaitu REDD+, yang menyertakan peran konservasi dan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan juga peningkatan stok karbon hutan dalam pelaksanaannya (BAPPENAS 2010).

Berdasarkan hasil COP ke-13 dan ke-15, Indonesia kemudian berusaha untuk memenuhi permintaan penurunan emisi melalui program REDD, dengan cara memenuhi persyaratan internasional dan mengangkatnya menjadi kebijakan nasional. Indonesia sendiri sebagai negara berkembang memiliki areal hutan cukup luas, yang secara ekonomi memiliki sumbangan besar terhadap pendapatan nasional dan kehidupan masyarakat lokal di sekitarnya (Nawir dan Murniarti 2008). Oleh karena itu dalam pengangkatan Program REDD sebagai program nasional, memerlukan suatu metode sebagai dasar penentuan mekanisme REDD yang applicable dan dapat memberikan manfaat luas terutama bagi masyarakat lokal. Manfaat yang diperoleh pemerintah dengan adanya kegiatan penghitungan estimasi Stok karbon melalui skema REDD adalah memberikan kompensasi kepada negara yang memelihara Stok karbon.

Perkembangan sektor pertambangan mineral di Propinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) berkembang dengan sangat cepat sekali seiring dengan meningkatnya permintaan bahan mineral seperti emas dan nikel sebagai sumber devisa. Namun dari sisi lingkungan hidup, kegiatan tersebut dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya karena pada kegiatan penambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah dan batuan limbah, serta mengganggu kualitas air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan bekas pertambangan tersebut akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam sehingga kemampuan penyerapan karbon dioksida berkurang atau hilang sama sekali. Apabila hal tersebut dibiarkan menyebabkan bencana yang lebih luas seperti timbulnya lahan kritis, penurunan kualitas lingkungan dan kontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim.

Salah satu sektor yang menjadi sorotan penyebab timbulnya efek rumah kaca adalah sektor pertambangan dan energi. Padahal telah diketahui bahwa sektor ini merupakan salah sektor pembangunan

(4)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 3

yang sangat penting bagi Indonesia karena industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 1.139.495 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit. (Badan Pusat Statistik, 2010)

Setiawan (2013) telah melakukan penelitian pemantauan percepatan kerusakan hutan yang hasilnya menunjukkan adanya penurunan luas hutan yang diakibatkan oleh aktifitas tambang dan non tambang. Peralihan penggunaan lahan akibat adanya aktifitas pertambangan batubara, memberi konttribusi terhadap pemanasan global. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, tekMIRA juga mempunyai kewajiban di dalam melakukan penelitian lingkungan akibat aktivitas pertambangan.

Pada tahun 2013 dilakukan penelitian pemanfaatan penginderaan jauh untuk mengestimasi penyerapan karbon di daerah reklamasi pertambangan untuk daerah Provinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tindak lanjut penelitian sebelumnya di daerah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan serta Sumatera Selatan dan Bengkulu. Penelitian ini untuk mendukung skenario penurunan emisi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah rasional dalam rangka mitigasi terhadap perubahan iklim, yaitu tindakan yang diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbesar potensi penyerapan karbon dalam pencegahan pemanasan global. Hal ini sesuai dengan Renstra Kelompok Lingkungan – Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara dalam mendukung program pengurangan emisi karbon yang dicanangkan oleh pemerintah sebesar 26% pada tahun 2020.

Adapun untuk mengetahui tingkat kerusakan luas areal hutan yang diakibatkan oleh aktifitas pertambangan di Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dilakukan pendekatan melalui teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2010 untuk wilayah Kalimantan Timur diperoleh serapan karbon/C-Stok sebesar 986.437,262 ton/ha. Dan Kalimantan Selatan (2011) 5.802,97 ton/ha.

Pada tahun 2012 kegiatan penelitian dilakukan di Bengkulu dan Sumatera Selatan dan serapan karbonnya sebesar 7.095,365 ton/ha. Pada tahun 2013 dilakukan kegiatan estimasi serapan karbon dengan cara penghitungan kerapatan pohon dan biomassa hutan sebagai kegiatan lanjutan sesuai dengan road map

Kelompok Lingkungan. Dari hasil penghitungan kerapatan pohon tersebut diharapkan dapat diprediksi jumlah gas CO2 yang dapat diserap dan estimasi nilai ekonominya (Rp/US $). Penelitian lanjutan ini

(5)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 4

ditekankan pada wilayah yang mengalami perubahan bentang alam akibat adanya aktifitas penambangan di Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB). (Gambar 1.1)

Hasil :

Stok Karbon Kaltim : 986.437,262 ton/ha Besaran Penyerapan Karbon di Tambang Terbuka (Kaltim) Besaran Penyerapan Karbon di Tambang Terbuka (Kalsel) Menaksir Kandungan Biomassa dan Karbon di Tambang Terbuka (Sumatera) Pengukuran Kandungan Biomassa dan Karbon Antar Organ Tanaman di Tambang Terbuka (Sulawesi, NTB)

GOAL

Penentuan Besaran Penyerapan Karbon yang dihasilkan dari sektor Pertambangan Indikator : Besaran dan Pemodelan 2010 2011 2012 2013 Pemodelan perhitungan potensi penyerapan karbon pada kawasan reklamasi pertambangan batubara

Nilai estimasi jumlah stok karbon pada perubahan lahan akibat adanya kegiatan aktivitas pertambangan dan nilai ekonomi karbon yang tersimpan berlaku pada pasar karbon berdasarkan skema REDD Tersedia teknik estimasi (perhitungan) stok karbon di hutan revegetasi dan hutan sekunder di tambang batubara terbuka Estimasi dan Informasi

kandungan karbon di hutan revegetasi dan hutan sekunder

Hasil :

Stok Karbon Kalsel : 5.802,97 ton/ha

Gambar 1.1. Road Map kegiatan estimasi stok karbon 1.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup pekerjaan meliputi ;

 Analisis perubahan dan penghitungan kerapatan pohon dan biomassa hutan

 Analisis estimasi nilai ekonomi dari karbon yang tersimpan berdasarkan skema REDD

 Pembahasan hasil analisis. 1.3. Tujuan

 Memantau perubahan luas penutupan lahan pada kawasan aktivitas penambangan di Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat dengan memanfaatkan teknologi inderaja

 Mengestimasi jumlah karbon yang tersimpan saat ini

 Mengestimasi nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari karbon yang tersimpan, menggunakan estimasi harga berdasarkan skema REDD

(6)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 5

1.4. Sasaran

Diperoleh nilai estimasi jumlah stok karbon pada perubahan lahan akibat adanya kegiatan aktivitas pertambangan dan nilai ekonomi karbon tersimpan yang berlaku pada pasar karbon berdasarkan skema REDD

1.5. Lokasi Kegiatan

Lokasi penelitian akan dilakukan di lokasi aktivitas pertambangan mineral (KK) di Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. ( Gambar 1.2)

(7)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 6

Gambar 1.2. Lokasi penelitian

1.6. Penerima Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari keberhasilan kegiatan penelitian ini adalah tersedianya informasi mengenai potensi hilang/bertambahnya penyerapan karbon dan estimasi ekonomi karbon yang dihasilkan sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan penambangan terbuka. Kegiatan penelitian ini untuk meningkatkan

(8)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 7

kemampuan Balitbang/tekMIRA, membantu pemerintah pusat (KESDM, Minerba), Pemda serta Industri Pertambangan dalam mengstimulasi penyerapan karbon untuk menekan pemanasan global dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh.

II. TINJAUAN PUSTAKA/ KAJIAN TEORITIS 2.1. Hutan dan Karbon

(9)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 8

Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan antara lain berupa kayu, hasil hutan bukan kayu, dan satwa, sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon CO2. (Marispatin dkk, 2010)

Sebagai modal pembangunan nasional, hutan jelas memiliki manfaat nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia terutama untuk mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Bahkan FWI (2002) dalam Nawir, dkk. (2008) menyatakan sekitar 10 – 20 juta masyarakat desa di hutan, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan. Terkait dengan pembangunan nasional, pemanfaatan sumberdaya alam mau tidak mau harus dilakukan, namun dalam pelaksanaannya akan selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan yang tidak berkelanjutan akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan, yang membuat lahan menjadi kurang produktif.

Lahan yang terdegradasi adalah lahan bekas hutan yang rusak parah karena terganggu secara intensif oleh kebakaran hutan atau penebangan liar. Hilangnya atau terdegradasinya habitat hutan yang disebabkan, khususnya ulah manusia disebut sebagai deforestasi hutan (Nawir, dkk. 2008). Kerusakan yang terjadi di hutan kemudian akan mengurangi manfaat tidak langsung dari hutan yang berperan penting dalam siklus karbon global. Ini karena hutan memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon 10 kali lebih besar dibanding tipe vegetasi lain, seperti padang rumput, tanaman semusim, dan tundra (Marispatin, dkk 2010). Karbon merupakan bahan dasar penyusun dasar semua senyawa organik, dan pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia (Novita 2010).

Pada dasarnya karbon itu bersumber dari dua kegiatan utama, yaitu kegiatan antropogenik dan kegiatan alami. Kegiatan antropogenik menjadi sumber utama penghasil karbon dalam bentuk emisi, antara lain berupa kegiatan industri, penggunaan bahan bakar fosil, pembukaan lahan dengan cara membakar, dan penebangan liar. Sementara itu karbon yang berasal kegiatan alami dihasilkan oleh proses respirasi dengan reaksi sebagai berikut :

C6H12O6 + 6 O6 → 6 CO2 + 6 H2O + Energi

Pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer dapat terjadi melalui proses alami berupa fotosintesis oleh semua tumbuhan hijau, yang dalam prosesnya air dan CO2 diolah menjadi gula dengan menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energinya. Reaksi umum dari fotosintesis adalah sebagai berikut :

(10)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 9

Gula hasil fotosintesis kemudian diolah menjadi bagian tubuh tumbuhan, seperti batang, daun, akar, dan zat lainnya, sehingga semakin banyak biomassa hijau maka semakin banyak pula fotosintesis dan CO2 yang terikat atau tersimpan.

Tempat penyimpanan karbon di alam disebut dengan kantong karbon aktif (active carbon pool). Hutan, tanah, laut, dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang berpindah secara dinamis di antara tempat-tempat penyimpanan tersebut sepanjang waktu. Simpanan karbon lain yang penting adalah deposit bahan bakar fosil, yang tersimpan jauh di dalam perut bumi dan secara alami terpisah dari siklus karbon di atmosfer, kecuali jika simpanan tersebut diambil dan dilepaskan ke atmosfer ketika bahan-bahan tersebut dibakar (Sutaryo 2009).

(2.2.) Biomassa Hutan dan Siklus Karbon

Sutaryo (2009) menyatakan dalam inventarisasi karbon hutan, carbon pool yang diperhitungkan setidaknya ada empat, yaitu biomassa permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan karbon organik tanah (tanah mineral atau tanah organik). Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan, seperti batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji, dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan merupakan semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan, karena akar dengan diameter yang kecil sulit dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah.

Di dalam hutan tersimpan banyak karbon dalam bentuk biomassa, yang apabila ditebang dan dibakar, karbon yang tersimpan tersebut akan lepas ke udara dan membuat kadar CO2 (emisi) dalam udara menjadi naik (Soemarwoto 2001). Menurut Brown (1997) dalam Sutaryo (2009), biomassa merupakan total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon yang dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas. Terkait dengan hutan, biomassa hutan adalah keseluruhan volume makhluk hidup dari semua spesies pada satu waktu tertentu, yang dibagi kedalam tiga kelompok utama yaitu pohon, semak, dan vegetasi lainnya (Clark, 1979 dalam Sutaryo, 2009).

Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon, karena jumlah karbon yang tersimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap tanaman (Sutaryo 2009). Fase pertumbuhan tanaman di dalam hutan, laju fotosintesisnya lebih besar daripada laju pernapasannya, sehingga terakumulasilah bahan organik dalam tubuh tumbuhan dan hutan. Pada fase ini laju pengikatan CO2 lebih besar daripada laju emisi CO2, sehingga seringkali dinyatakan hutan memiliki peran dalam mengurangi CO2 di atmosfer dengan mengendapkan

(11)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 10

karbon. Saat tumbuhan atau hutan itu mencapai keseimbangan dinamik, maka laju pengikatan CO2 akan sama dengan laju pembentukan CO2.

Berdasarkan itu maka hutan sebenarnya tidak mengurangi ataupun menambah kadar CO2 di udara, karena semakin tua hutan semakin banyak daun-daun yang saling menaungi dan proporsi tubuh yang tidak mengandung klorofil juga semakin besar seperti batang dan akar (Soemarwoto 2001). Ini berarti penggunaan kayu sebagai bahan bakar tidak akan menambah atau mengurangi kadar CO2 di udara, selama laju penggunaan kayu sama dengan laju pertumbuhan hutan atau kebun. Ini dikarenakan CO2 di alam memiliki siklus daur ulang, sehingga kadarnya di udara selalu berada dalam keseimbangan. Siklus karbon merupakan siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon di antara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi.

Pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan, pengurangan emisi karbon dapat dilakukan dengan melakukan penanaman kembali seperti perkebunan atau reforestasi, agar kadar karbon yang meningkat dapat ditangkap kembali melalui fotosintesis. Adapun alur dari siklus karbon itu sendiri, secara jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Sumber : http//:shifadini.files.wordpress.com/2010/04/carbon-cycle1.jpg&imgrefurl Gambar 2.1. Siklus daur karbon

2.3. Pemantauan Luas Lahan kawasan Aktivitas Penambangan

FWI (2000) menyatakan deforestasi telah menjadi masalah penting di Indonesia sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika penebangan liar hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran. Konsesi pembalakan hutan yang awalnya bertujuan mengembangkan sistem produksi kayu untuk jangka panjang, dan

(12)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 11

dibukanya kemudahaan dalam perijinan untuk melakukan eksplorasi bidang pertambangan pada tahun 1990 dan diperarah adanya aktivitas penambangan liar (PETI), maka lama kelamaan sering mengarah pada degradasi hutan diikuti pembukaan lahan dengan cara membakar lahan. Hasil survei yang dilakukan Pemerintah Indonesia tahun 1990, menunjukkan tutupan lahan pada tahun 1985 menurun 27 persen dari luas kawasan hutan pada tahun 1950 dikarenakan oleh deforestasi (FWI, 2000).

Hartanti (2004) menyatakan deforestasi akan memberikan dampak, baik ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi, pendapatan negara atas pajak dari nilai kayu akan berkurang dan hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk dimasa mendatang. Secara ekologi, kerugian paling besar adalah hilangnya tegakan hutan yang akan berakibat pada rusaknya lingkungan, terjadinya perubahan iklim, penurunan produktivitas lahan, erosi dan banjir, kerusakan habitat, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Oleh karena besarnya nilai kerugian baik ekonomi maupun ekologi, maka diperlukan upaya untuk mendeteksi areal-areal yang mengalami deforestasi yaitu dengan memantau luas lahan hutan yang bersangkutan.

Upaya pemantauan tersebut dapat dilakukan melalui kemajuan teknologi menggunakan teknik penginderaan jauh, berupa potret udara maupun citra satelit. Akan tetapi pada skala makro, penggunaan citra satelit lebih menguntungkan dibandingkan potret udara. Adapun kelebihan yang dimiliki citra satelit antara lain (Hartanti, 2004) :

 Dapat meliputi daerah yang luas

 Proses pengadaan dan pengolahan data lebih cepat, walau untuk daerah yang sulit harus dijelajahi secara terestrial

 Periode ulang pendek

 Data tersedia dalam format digital, sehingga lebih luas aplikasinya

Pemanfaatan data dari penginderaan jauh telah banyak dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti survey kelautan, pertambangan, hidrologi, kehutanan, dan penggunaan lahan. Walau tidak semua karakteristik lahan dapat dikenal dengan sistem penginderaan jauh, namun sifatnya dapat dipelajari melalui indikator yang tampak (Mulyanto, 2004).

2.4. Pendugaan dan Pengukuran Biomassa serta Karbon

Dalam mengestimasi biomassa di atas permukaan dari suatu pohon atau hutan, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan langsung dengan membuat persamaan allometrik dan

(13)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 12

pendekatan tidak langsung dengan menggunakan biomass expansion factor (BEF). Sementara itu untuk menghitung biomassa terdapat empat cara utama yang dapat digunakan, antara lain (Sutaryo, 2009) :

Sampling dengan pemanenan (destructive sampling)

Sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling)

 Pendugaan melalui penginderaan jauh

 Pembuatan model 2.5. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh; perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan).

2.5.1. Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh

Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan band

(Hyperspectral).

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai

middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda terhadap cahaya matahari sehingga material-material tersebut akan mempunyai resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang.

(14)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 13

Adalah sebuah titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra.

Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh bisa dibedakan atas (Jaya, 2002):

 Resolusi spasial

Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya, atau sesuatu yang ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu obyek di bumi selain mendeteksi (detectable) keberadaannya.

 Resolusi spektral

Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif terhadap sensor

 Resolusi radiometrik

Merupakan ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu obyek oleh permukaan bumi.

 Resolusi Temporal

Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama (revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT 26 hari dan lain sebagainya.

Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah 256 shade grayscale, nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih.

Untuk citra muktispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah

band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites.

Citra, sebagai dataset, bisa dimanipulasi menggunakan algorithm/persamaan matematis. Manipulasi bisa merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan secara matematis untuk membuat composite dari beberapa dataset. Produk data ini, disebut derived products, bisa dihasilkan dengan beberapa penghitungan matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo, dkk, 2003)

(15)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 14

Gambar 2.2. Reflektansi obyek pada berbagai panjang gelombang

2.6. Citra Satelit Sistem RADAR

RADAR (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan posisi obyek tersebut dengan menggunakan gelombang radio. Karena penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Purwadhi, 2001).

Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik ( Gambar 2.3.).

(16)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 15

Hamburan balik ini dipantulkan kembali pada radar sebagai pantulan gelombang radar yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data digital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit).

Biasanya lama waktu sebuah gelombang sampai pada obyek digunakan sebagai penghitung jarak ke obyek (bandwidth). Semakin besar bandwidth semakin baik resolusi yang dihasilkan pada dimensi obyek tersebut. Panjang antena radar menentukan resolusi pada image searah azimuth, semakin panjang antena semakin baik resolusi yang dihasilkan. Synthetic Aperture Radar (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima radar yang bergerak pada jalur terbangnya. Aperture berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar, sebagai contoh, pada kamera pembukaan ini berarti pembukaan lensa kamera, sedangkan pada radar adalah pembukaan antena. Sebuah

aperture sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada radar, antena dipasang di bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Aperture Radar (SLAR).

SAR merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan radar image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari, sehingga dapat melakukan peliputan baik di siang hari maupun di malam hari. Di samping itu, karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak maupun Infra merah, SAR dapat menembus awan maupun debu dimana kondisi ini tidak memungkinkan untuk sistem optik (NASA 1996). Sinyal radar dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang (Gambar 2.4.).

(17)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 16

Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal memengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan.

Citra polarisasi HH, HV dan VV ditunjukkan dalam Gambar 2.5. Untuk mereduksi efek speckle yang ada pada masing-masing citra, sebelum diproses/ diklasifikasi lebih lanjut terlebih dahulu diaplikasikan filter yang telah umum dipakai pada citra SAR yaitu Lee filter.

Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari obyek. Akan tetapi faktor utama yang memengaruhi intensitas hasil balik sinyal obyek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik obyek. Efek geometri sensor/obyek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand dan Kiefer, 2008)(Gambar 2.6).

HH image HV image

VV image

(18)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 17

Gambar 2.6. Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan (NASA 1996).

NASA (1996) mengategorikan nilai hamburan balik pada radar ke dalam beberapa kelas, yaitu nilai

backscatter sangat tinggi (berkisar -5 dB ke atas) biasanya terjadi pada obyek lereng menghadap sensor,

incident angle kecil, permukaan obyek yang sangat kasar, hutan yang tergenang, dan obyek buatan. Pada kelas nilai backscatter tinggi (berkisar 0 sampai -10dB) bisanya terjadi pada obyek dengan permukaan yang kasar dan vegetasi rapat.

Hamburan balik pada radar merupakan ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang kembali ke antena. Nilai hamburan balik yang dihasilkan pada sebuah sensor radar dipengaruhi beberapa faktor antara lain kedalaman penetrasi dari gelombang radar, kekasaran permukaan obyek dan sifat-sifat dielektrik volume obyek.

Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) telah dikembangkan untuk memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk (Dobson, et.al. 199 2). Mekanisma hamburan balik ini digambarkan pada Gambar 2.7.

(19)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 18

Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk menembuskan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung menduga kuantitif dari struktur tegakan dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa yang sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar L-band bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. L-band memiliki kemampuan besar untuk menembus daun-daunan hingga ke pokok batang yang paling bawah.

Banyak studi telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard et.al, 2009; Sarker dan Nichol, 2010). Studi-studi tersebut selain menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan backscatter juga menemukan bahwa backscatter SAR meningkat seiring peningkatan biomassa sampai mencapai nilai saturasi tertentu dan nilai pendugaan tertinggi akan berada pada frekuensi yang rendah atau memiliki nilai backscatter rendah (Bergen dan Dobson, 1999).

2.6.1. Citra Satelit ALOS PALSAR

ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang pada bulan Januari 2006. Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor yaitu PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi band L. Sensor PALSAR mempunyai kemampuan untuk menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam ataupun siang hari. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain (Rosenqvist et al., 2004).

Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen di atas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan

(20)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 19

kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Keterangan umum tentang ALOS disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Keterangan umum ALOS

Alat peluncuran Roket H-IIA

Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima

Berat Satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu Operasional 3-5 Tahun

Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit

Recurrent period: 46 hari Sub Cycle 2 hari Tinggi lintasan: 692 km di atas ekuator Inklinasi: 98,2°

Sumber: Jaxa 2007

Secara ringkas terdapat lima misi dari satelit ALOS (Jaxa, 2007), yaitu:

1. Kartografi : Untuk menyediakan peta wilayah Jepang dan wilayah Asia Pasifik

2. Pemantauan regional : Melakukan pemantauan regional untuk pengembangan pembangunan yang berkelanjutan dan harmonisasi antara kesediaan sumber daya alam pengembangan pembangunan 3. Monitoring bencana : Melakukan monitoring bencana alam

4. Survei sumberdaya : Untuk survei sumber daya alam

5. Pengembangan teknologi : Mengembangkan teknologi penginderaan jauh yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang.

PALSAR merupakan salah satu instrumen ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR mempunyai sorotan yang dapat disetir dalam elevasi, di samping mode ScanSAR. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. Sedangkan karakter teknik sensor PALSAR disajikan pada Tabel 2.2.

(21)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 20

Gambar 2.8. Instrumen PALSAR (Jaxa, 2007).

Gambar 2.9. Prinsip geometri dari PALSAR (Jaxa, 2010).

Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrument PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Karakteristik PALSAR

Mode Fine ScanSAR Polarimetric

(22)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 21

Mode Fine ScanSAR Polarimetric

(Experiment Mode)

Frekuensi 1.270 MHz (L-Band)

Lebar kanal 28/114 MHz

Polarisasi HH/VV/HH+HV atau

VV+VH HH atau VV HH+HV+VH+VV

Resolusi spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look)

100 m (multi look) 30 m

Lebar cakupan 70 km 250-350 km 30 km

Incidence angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 dB (70 km)

<-25 dB (60 km)

<-25 dB <-29 dB

Panjang bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit

Ukuran AZ:8.9 m x EL :2.9 m

Sumber : Jaxa (2007)

2.7. Sistem Informasi Geografi

Johnson (1992) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem yang berguna untuk menangani dan menganalisis data geografi untuk banyak pemakai dan aplikasi. Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis yang terdiri dari data geometrik dan data deskriptif. Data geometrik berhubungan dengan lokasi, bentuk dan hubungan antar kenampakan, misal peta-peta atau data dari penginderaan jauh. Sementara itu, data deskriptif berhubungan dengan sifat-sifat dari kenampakan, misal tabel, grafis dan keterangan lainnya. Data tersebut dipakai sebagai visualisasi dan menerangkan keadaan dunia yang sesungguhnya.

SIG adalah informasi yang dibuat untuk berbagai data yang dikumpulkan dengan keruangan atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah sebuah sistem database dengan kemampuan spesifik untuk data keruangan dan juga sebuah perangkat operasi untuk bekerja dengan data.

Menurut Paryono (1994) SIG memerlukan data masukan agar berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya. Data masukan tersebut dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu : (a) Data lapangan, data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti misalnya pH tanah, salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan sebagainya (b) Data peta, informasi yang lebih terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk digital, misalnya peta geologi, peta tanah dan sebagainya. Apabila data sudah terekam dalam bentuk peta, tidak lagi diperlukan data lapangan, kecuali untuk mengecek kebenarannya. (c)

(23)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 22

Data citra pengideraan jauh, citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sementara itu, citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya.

Ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta fisis, sedangkan data penginderaan jauh juga memerlukan data lapangan untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang diabaikan.

Menurut Jaya (2002) pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). Data spasial (peta) yang umum digunakan di bidang kehutanan antara lain adalah:

1. Peta Rencana Tata Ruang, 2. Peta Rencana Tata Guna Hutan, 3. Peta Rupa Bumi (Kontur), 4. Peta Jaringan Jalan, 5. Peta Jaringan Sungai, 6. Peta Tata Batas,

7. Peta Batas Unit Pengelolaan Hutan, 8. Peta Batas Administrasi Kehutanan, 9. Peta Tanah,

10.Peta Iklim, 11.Peta Geologi, 12.Peta Vegetasi,

13.Peta Potensi Sumberdaya Hutan.

(2.8.) Biomassa

Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisme hidup setiap pohon di atas permukaan tanah dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area. Total biomassa yang terdapat pada areal hutan dibagi ke dalam dua bagian yaitu biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan tanah.

(24)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 23

Biomassa pada dasarnya terdiri dari bobot organisme hidup di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah, seperti pohon, semak belukar, tumbuhan menjalar, akar dan berat organisme mati dan sampah kasar yang terasosiasi dengan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, BGB), penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu, 2005). Tabel 2.3 menyajikan rangkuman dari beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda berdasarkan (1) pengukuran lapangan, (2) remote sensing, dan (3) GIS.

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran (Lu, 2005): (a) teknik pemetaan pemanenan atau teknik pemercontohan destruktif (b) teknik pemercontohan non-destruktif (c) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, and (d) estimasi menggunakan model.

Tabel 2.3. Beberapa metode untuk menduga biomassa

Ketegori Metode Data digunakan Karakteristik Referensi

Metode Dasar-Pengukuran Lapangan Penarikan contoh Destruktif

Pohon per contoh Individu pohon Klinge, et.al.(1975)

Allometric equations

(persamaan allometric)

Pohon per contoh Individu pohon Overman, et.al. 1994); Honzak, et.al., (1996); Nelson, et.al. (1999) Konversi dari volume ke biomassa Volume dari pohon per contoh atau tegakan

Individu pohon atau

tegakan vegetasi Brown dan Lugo (1984), Brown, et.al. (1989), Brown dan Lugo (1992),

Gillespie, et.al.(1992), Segura dan Kanninen (2005) Metode Dasar-Penginderaan Jauh Metode berdasarkan fine spatial-resolution data Aerial photographs,

IKONOS Per-pixel level Tiwari dan Singh (1984), Thenkabail , et.al.(2004) Metode berdasarkan medium spatial-resolution data Landsat

TM/ETM+, SPOT Per-pixel level Roy dan Ravan (1996), Nelson, et.al. (2000a), Steininger (2000), Foody, et.al.,

(25)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 24 Metode berdasarkan coarse spatial-resolution data IRS-1C WiFS,

AVHRR Per-pixel level BarbosWylie, et.al., et.al.(2002), (1999), Dong, et.al.(2003) Metode

berdasarkan data Radar

Radar, lidar Per-pixel level Harrel, et.al.(1997), Lefsky, et.al.(1999b), Santos, et.al.(2002, 2003)

Metode

Dasar-SIG Metode berdasarkan

Ancillary data

Elevasi,

kemiringan, tanah, presipitasi, dll.

Per-pixel level atau

per-field level Brown, et.al.Iverso , et.al.(1994), (1994), Brown dan Gaston (1995)

Sumber: Lu (2005)

2.9. Metode Pendugaan Biomassa dengan Non-DestructiveSampling

Pendekatan destruktif untuk menduga biomassa memberikan hasil yang paling akurat, tetapi penerapan teknik ini tidak dapat dilakukan pada seluruh areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup besar. Selain kerusakan yang diakibatkan, mahalnya biaya dan banyaknya waktu yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa yang lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Teknik pendugaan biomassa yang banyak dilakukan pada saat ini adalah pendekatan non-destructive sampling yang tidak memerlukan pemanenan pohon.

Pendekatan non-destructive sampling memiliki persamaan regresi yang berbeda-beda, dengan parameter penyusunnya seperti tinggi pohon, diameter pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa. Persamaan regresi yang banyak digunakan untuk menduga biomassa menurut Husch, dkk.(2003) adalah sebagai berikut;

B = C0 + C1S

B = C0 + C1S + C2S2

B = exp (C1S)

(26)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 25

B = C0 + C1logS

Menurut Chave dkk, (2005) berdasarkan pengujian yang telah dilakukan didapatkan bahwa diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain berat jenis pohon dan tipe hutan. Teknik estimasi biomassa non-destruktif memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Pada kasus area hutan tropis campuran yang heterogen, survey lapangan tidak mungkin dilakukan untuk mengambil sample pada plot dengan aksesibilitas yang rendah. Untuk memonitoring area hutan tropis campuran yang heterogen maupun hutan tropis homogen, penginderaan jauh menyediakan alat yang paling sesuai dan efektivitas waktu serta biaya jauh lebih baik dibandingkan pengukuran in-situ.

Dalam beberapa tahun terakhir, teknik penginderaan jauh (remote sensing) telah menjadi hal umum dalam menduga AGB (Lu, 2005). Penginderaan jauh sistem optik pada dasarnya merespon pada struktur kimia daun seperti Normilize Difference Vegetation Index (NDVI) (Dong dkk, 2003). Berdasarkan resolusi spasial, Lu (2005) mengategorikan data penginderaan jauh (citra satelit) untuk estimasi AGB ke dalam tiga kategori yaitu fine spatial-resolution data (resolusi spasial kurang dari 5 m), medium spatial-resolution data

(resolusi spasial pada kisaran antara 10 m hingga 100 m), dan coarse spatial-resolution data (resolusi spasial lebih dari 100 m). Penggunaan coarse spatial-resolution data memiliki keterbatasan dikarenakan ukuran pikselnya yang besar, dimana berbagai jenis pohon dari bermacam-macam area hutan terdapat di dalam piksel tersebut dan perbedaan yang amat besar antara ukuran pixel dengan plot yang dibuat untuk pengukuran lapangan.

2.10. Stok Karbon

Karbon stok yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan jumlah C dari total biomassa terhitung pada tegakan. Umumnya, karbon pada tegakan dihitung dengan fraksi karbon sebesar 0.5 (IPCC, 2006).

Untuk keperluan akutansi karbon REDD, perhitungan karbon dilakukan menggunakan metodologi tertentu berdasarkan standar internasional yang berlaku, baik itu VCS, UN-CDM, atau yang lainnya. Dalam metode-metode tersebut, digunakan istilah carbon pool sebagai sumber karbon yang diperhitungkan. Carbon pool

tersebut antara lain dapat berupa:

(27)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 26

IPCC (2006) mengungkapkan bahwa biomassa di atas permukaan merupakan seluruh biomassa hidup yang terdapat di atas permukaan tanah mencakup batang, tunggak, cabang, daun, biji, dan kulit batang. Untuk menghitung variabel ini digunakan plot ukur dengan ukuran bervariasi dan persamaan alometrik yang sesuai.

2.10.2 Karbon di Bawah Permukaan Tanah

Karbon di bawah permukaan tanah yang diperhitungkan dalam carbon pool umumnya bersumber dari akar pohon hidup yang diameternya melebihi 2mm dan akar dari tunggak pohon. (IPCC 2006).

2.10.3 Nekromasa

Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan diukur agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat. Pengukuran nekromasa berkayu di lapangan dilakukan pada plot utama dengan data yang dikumpulkan dari tiap plot yaitu diameter nekromasa berkayu, tinggi atau panjang nekromasa berkayu, dan berat jenis nekromasa.

2.10.4 Serasah

IPCC (2006) mengkelaskan serasah sebagai seluruh komponen biomassa mati dengan berbagai macam kondisi pembusukan diatas tanah mineral atau organik, termasuk juga dedaunan, jamur, dan akar-akar halus yang terlihat (<2mm)

2.10.5 Bahan Organik Tanah

Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.

(28)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 27

III. PROGRAM KEGIATAN

Kegiatan Estimasi Stok Karbon akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD (Reduced Emission from Deforestation and Forest Degrafation) meliputi kegiatan persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan laporan meliputi :

3.1. Persiapan

Persiapan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: a. Kajian hasil kegiatan sebelumnya.

b. Persiapan teknis, meliputi :

 Studi literatur

 Pengumpulan data sekunder c. Persiapan administrasi

3.2 Pengambilan Data Lapangan

Pelaksanaan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi:

Ground Truth, terdiri dari:

- Penentuan lokasi sampel

- Pengukuran data lapangan pada peubah peubah biomassa hutan - Identifikasi jenis pohon yang telah ditanam

3.3. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: pengolahan Data Citra Digital, análisis Sistem Informasi Geografis (SIG) , dan statistik antara lain :

 Melaksanakan pra pengolahan citra

 Klasifikasi multi spektral citra

 Analisis perubahan tutupan lahan

 Analisis karbon hutan

3.4. Penyusunan Laporan

(29)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 28

IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Metodologi

Metode penelitian menggunakan data primer dan sekunder pada lahan hutan di Propinsi Sulawesi Utara (PT. J. Resources), Sulawesi Selatan (PT. Vale) dan Nusa Tenggara Barat (PT. Newmont) , dengan tujuan hasil penelitian dapat menjadi data penting dalam rangka persiapan pelaksanaan REDD. Wilayah yang dijadikan objek studi dalam penelitian ini akan ditentukan secara sengaja (purpossive) (KK penambangan mineral), dengan melakukan penelusuran pada beberapa aspek seperti : historikal wilayah, luas lahan reklamasi, dan laju deforestasi. Adapun desain dari penelitian ini, secara ringkas dapat terlihat pada Tabel 4.1. Tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 4.1.

Pengolahan dan analisis data spasial dilakukan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan lahan atau berubahnya fungsi lahan dengan metode sistem informasi geografi (SIG) dengan dibantu hasil tracking

GPS yang gunanya untuk penentukan titik kontrol (GCP) di lapangan yang juga diperlukan dalam proses koreksi geometrik citra. Sebagai data sekunder untuk membantu interpretasi digunakan peta penggunaan lahan.

Tabel 4.1. Desain Penelitian “Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD (Reduced Emission from Deforestation and Forest Degradation)

(30)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 29

NO TUJUAN PARAMETER Alat METODE Bahan Cara Kerja OUTPUT

1 Mengestimasi

stok karbon 1. Diameter dan tinggi hasil survey tegakan 2. Biomassa atas permukaan 1. Meteran 2. Tali rafia 3. Phi-band 4. Kantong plastik 5. Tally sheet 6. Alat tulis 7. Pita ukur 8. Komputer 9. Software Erdas Imagine 10.Software ArcGIS 11.SPSS 12.Microsoft Excel 1. Pengukuran peubah tegakan dan pengambilan sampel biomassa atas permukaan al: Pohon Tumbuhan bawah Serasah 2. Persamaan Alometrik -Pengolahan

data 1. Nilai biomassa pada tiap plot ukur atau kelas tegakan reklamasi 2. Estimasi stok karbon tiap plot ukur. 3. Peta Estimasi Simpanan Karbon 2 Mengestimasi nilai ekonomi karbon Potensi nilai keekonomian pada wilayah kuasa pertambangan 1. Microsoft Excel 2. Erdas Imagine 3. ArcGIS Prakiraan harga

karbon Pengolahan data

Estimasi nilai ekonomi karbon

(31)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 30

Gambar 4.1. Tahapan penelitian

Data Citra Data Pengukuran Lapangan Pra-Proses Citra: Filter Lee-Sigma Pemotongan Citra Perhitungan Biomassa: Persamaan Alometrik

Citra ALOS PALSAR Polarisasi HH dan

HV

Biomassa Lokasi Pengukuran

Ekstraksi Nilai Backscatter

Nilai Backscatter Lokasi Pengukuran

Analisis Regresi Non-Linear

Persamaan Matematis Hubungan Backscatter & Biomassa Raster Calculator/Erdas Modeller

Peta Potensi Biomassa

Perbandingan Multi-Waktu Peta Perubahan Simpanan Karbon Metodologi REDD Nilai Keekonomian Karbon

(32)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 31

4.1.1. Pra-Pengolahan Citra ALOS PALSAR

Citra ALOS PALSAR yang digunakan dalam penelitian merupakan citra dual polarisasi (HH dan HV) dengan level pengolahan ortho-4.1, dan citra sudah dikoreksi menyesuaikan dengan keadaan permukaan bumi sebenarnya. (JAXA 2012). Penelitian ini menggunakan data multi waktu tahun 2007 hingga tahun 2012 pada masing-maisng lokasi penelitian.

# Pemotongan

Pemotongan citra dilakukan untuk mempercepat proses pengolahan citra. Citra ALOS PALSAR dipotong mengikuti batas kuasa pertambangan masing-masing wilayah penelitian.

# Filter Lee-Sigma

Speckle merupakan ketidakpastian atau fluktuasi secara statistik yang terjadi pada setiap piksel dalam citra RADAR. Citra radar dengan resolusi tinggi seperti yang digunakan pada penelitian ini memiliki banyak

speckle. Hal ini dapat dikurangi melalui proses filtering. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah filter adaptif berupa Filter Lee-Sigma. Filter ini sesuai dengan citra SAR karena nilai tengah yang tidak berubah, melainkan disesuaikan dengan ukuran filter. Makin besar ukuran filter, makin kecil nilai standar deviasi. (Nurhadiatin 2011). Ukuran filter lee-sigma yang digunakan adalah 3x3

4.1.2. Estimasi Jumlah Biomassa Tersimpan pada Tegakan

Estimasi jumlah karbon yang tersimpan pada tutupan lahan hutan diolah dan dianalisis dari data pengukuran lapangan. Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) pada setiap plot dengan menggunakan model alometrik. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas kerapatan jenis (ρ)

setiap spesies yang diukur. Adapun persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah :

AGB = 0.11 ρ (D)^2.62 (Ketterings et al. 2001)

Keterangan:

AGB = biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) D = diameter setinggi dada (cm)

(33)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 32 ρ = kerapatan jenis (ton/m3)

4.1.3. Backscatter PALSAR

Estimasi biomassa pada daerah penelitian didasarkan pada dua macam parameter penduga yaitu nilai backscatter pada polarisasi HH dan HV. Pengambilan acuan nilai backscatter ini dilakukan pada titik-titik survey lapangan yang ditandai menggunakan GPS. Adanya simpangan pada saat pengambilan titik di lapangan dikompensasi dengan cara memperlebar radius pengambilan sampel backscatter pada citra. Nilai

backscatter yang digunakan kemudian adalah rata-rata dari backscatter dalam radius tersebut. Skema pengambilan nilai digitalpada Citra ALOS PALSAR dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Skema pengambilan nilai digitalpada Citra ALOS PALSAR 4.1.4. Estimasi Biomassa Menggunakan Citra ALOS PALSAR

Nilai backscatter PALSAR untuk tiap plot sampel diturunkan dari nilai backscatter tiap polarisasi dan

band sintetis dan merupakan nilai rata-rata dari 5x5 piksel yang dipusatkan pada masing-masing plot sampel. Nilai backscatter (σo) dihitung dari nilai digital number menggunakan rumus:

σo = 10log10 (dN2) + CF ; Titik contoh Simpangan Radius pengambilan backscatter Piksel Piksel Piksel Piksel

(34)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 33

Keterangan :

σo = Backscatter (dB)

dN = Nilai digital (degree)

CF = Calibration factor dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2007 sebesar -83,0 (JAXA

Publication, 2007)

Nilai backscatter ini kemudian di hubungkan dengan nilai biomassa terukur yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan. Hubungan antara nilai backscatter dan biomassa tersebut akan menghasilkan persamaan regresi matematis yang dapat dipakai untuk menduga nilai biomassa di lokasi lain dalam suatu areal perusahaan tambang yang memiliki nilai backscatter yang serupa.

4.1.5. Estimasi Jumlah Biomassa Tersimpan pada Tegakan

Estimasi jumlah karbon yang tersimpan pada tutupan lahan hutan diolah dan dianalisis dari data pengukuran lapangan. Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) pada setiap plot dengan menggunakan model alometrik. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas kerapatan jenis (ρ)

setiap spesies yang diukur. Adapun persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah : AGB = 0.11 ρ (D)^2.62 (Ketterings et al. 2001)

Keterangan:

AGB = biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) D = diameter setinggi dada (cm)

ρ = kerapatan jenis (ton/m3)

4.1.6. Regresi Biomassa dan Nilai Backscatter

Pada penelitian tahun 2002 menggunakan citra radar, Imhoff (2002) menjelaskan bahwa terdapat nilai kejenuhan untuk pendugaan biomassa menggunakan radar. Selain itu, nilai backscatter yang negatif membuat hubungan berbentuk Power dan Logaritma tidak memungkinkan untuk digunakan. Adanya kejenuhan ini mempermudah penentuan bentuk model yang sebaiknya digunakan untuk menghubungkan (regresi) biomassa dengan nilai backscatter.

(35)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 34

Regresi non-linear berbentuk eksponensial merupakan bentuk yang disarankan dalam menjelaskan hubungan antara dua variabel tersebut. Dalam menganalisis hubungan antara biomassa dan backscatter, digunakan program statistik SPSS.

Setelah diperoleh hubungan matematis antara backscatter dan biomassa, Erdas modeler digunakan untuk mengubah nilai digital pada tiap-tiap piksel citra menjadi biomassa yang mewakili wilayah penelitian.

Peta biomassa yang dihasilkan pada proses ini kemudian dibandingan secara multi-waktu untuk memperoleh perbandingan simpanan karbon.

4.1.7. Analisis Keekonomian Selisih Simpanan Karbon

Perbandingan kandungan biomassa secara multi-waktu memungkinkan untuk melihat adanya pertambahan atau pengurangan simpanan karbon pada lokasi penelitian. Untuk melihat potensi keekonomian dari simpanan karbon tersebut maka simpanan karbon pada lokasi penelitian haruslah bertambah. Sebagai contoh penerapan kasus REDD, maka dapat juga disimulasikan aplikasi salah satu metodologi REDD yang telah disahkan oleh UN-CDM, VCS, atau lembaga akreditasi karbon internasional lainnya.

Karbon umumnya diakreditasi dalam satuan tCO2e, yang setara dengan satu ton emisi CO2. Untuk

merubah nilai biomassa menjadi tCO2e dapat menggunakan persamaan berikut:

CER = (B x CF x 44/12)/1000

CER = Certified Emission Reduction (tCO2e)

B = Biomassa (kg) CF = Carbon Fraction (0.5) (IPCC, 2006)

(36)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Vale Indonesia (Tbk)

Pengukuran dilakukan di dua lokasi terpisah, yaitu hutan tanaman hasil reklamasi tambang dan hutan alam. Pengukuran di hutan tanaman hasil reklamasi dilakukan pada plot ukur lingkaran berukuran 0.1 ha, dengan diameter 17.8m. Pengukuran di hutan alam dilakukan penggunakan plot persegi berukuran 20 x 20 m dan disusun dengan bentuk jalur. Data berupa diameter dan tinggi pohon kemudian dicatat untuk pendugaan biomassa tegakan di dalam plot ukur tersebut.

5.1.1. Pengolahan Data Biomassa Lapangan dan Pendugaan Simpanan Biomassa Multi-Waktu untuk Tahun 2008 dan 2010

5.1.1.1. Gambaran Umum Hasil Pengambilan Data Biomassa di PT. Vale Indonesia (Tbk.)

Pengukuran lapangan terhadap parameter peubah dominan biomassa seperti diameter dan tinggi pohon di dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. Vale Indonesia (Tbk.) dilakukan di 23 lokasi terpisah. Wilayah pengamatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wilayah reklamasi dan wilayah berhutan alami. Pada wilayah reklamasi, dilakukan pengambilan percontoh tegakan dalam plot sebanyak 17 lokasi dengan ukuran plot seluas 0.1 ha, sedangkan pada hutan alam dilakukan pengambilan percontoh tegakan dalam plot sebanyak 6 lokasi dengan ukuran plot seluas 20 x 20 m. Peta sebaran titik pengambilan Contoh di PT. Vale Indonesia (Tbk.) disajikan pada Gambar 5.1.

(37)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 36

Spesies di hutan tanaman dan hutan alam sangat beragam, tercatat ada 33 spesies pohon-pohonan yang ditemukan pada saat survey lapangan. Untuk mempermudah pendugaan biomassa secara keseluruhan, dan meminimalisir galat yang terjadi akibat tingginya jumlah persamaan alometrik yang digunakan, maka persamaan matematis yang digunakan untuk menduga jumlah biomassa pada tegakan yang ditemui dilapangan adalah persamaan yang dibuat oleh Ketterings et a,. 2001.

B = 0.11 ρ D2.62

B : Biomassa tegakan (Kg)

Ρ : Massa jenis spesies (ton/m3)

D : Diameter (cm)

Katalog spesies di PT. Vale Indonesia (Tbk.) sudah cukup baik mencatat seluruh nama Latin untuk tiap-tiap jenis pohon yang mungkin ditemui di lapangan, sehingga tidak ditemukan kesulitan dalam mencari referensi massa jenis tiap-tiap spesies. Untuk acuan data massa jenis digunakan data dari Database Massa Jenis Kayu, World Agroforestry Center (ICRAF). Rangkuman pengukuran data lapangan pada hutan tanaman untuk di PT. Vale Indonesia (Tbk.) disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan pada hutan alam disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.1. Rangkuman pengukuran biomassa pada hutan tanaman reklamasi PT. Vale Indonesia (Tbk.)

No Nama Plot Biomassa

(ton) 1 Butoh I 4.11 2 Butoh II 6.27 3 Butoh III 11.71 4 Rante I 13.68 5 Rante II 10.51 6 Debbie I 10.67 7 Debbie II 9.14 8 Evita I 16.01 9 Evita II 3.27 10 Evita III 10.97 11 Evita IV 12.46 12 Himalaya I 16.79 13 Himalaya II 10.62 14 Hasan I 11.40

(38)

Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD 37

No Nama Plot Biomassa

(ton)

15 Hasan II 6.89

16 Petea I 6.39

17 Petea II 7.79

Tabel 5.2. Rangkuman pengukuran biomassa pada hutan alam PT. Vale Indonesia (Tbk.)

No Nama Plot Biomassa (ton) 1 HTA I 9.14 2 HTA II 10.95 3 HTA III 7.67 4 HTA IV 6.44 5 HTA V 11.31 6 HTA Liliana 21.45

Berdasarkan data hasil pengukuran tersebut, potensi simpanan biomassa untuk hutan tanaman reklamasi adalah 32.7 ton/ha untuk tegakan paling muda dan 167.9 ton/ha untuk tegakan yang sudah cukup tua. Sementara untuk hasil pengukuran di hutan alam menunjukkan bahwa potensi karbon terendah adalah 64.4 ton/ha hingga 214.5 ton/ha. Potensi yang terdapat pada hutan tanaman reklamasi cukup tinggi, terutama pada umur tua dikarenakan kerapatan yang tinggi dan juga penanaman spesies cepat tumbuh.

Referensi

Dokumen terkait