• Tidak ada hasil yang ditemukan

FASHION DAN KELAS SOSIAL kelas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FASHION DAN KELAS SOSIAL kelas"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

x“Fashion fades, only styles remains the same.”

– Coco Chanel1

Fashion dari sudut pandang saya adalah apa yang ditawarkan oleh rumah mode sebanyak empat kali dalam setahun, spring, summer, fall dan winter. Sedangkan style adalah apa yang kita pilih untuk kenakan sepanjang tahun dari sekian banyak penawaran dari setiap rumah mode. Kita hidup dengan kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, keinginan untuk menjadi bagian dari satu kelompok ataupun golongan. Dalam sebuah studi sense of belonging menjadikan hidup seseorang lebih berarti dengan merasa sebagai bagian dari suatu lingkungan.2 Fashion tercipta sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan akan pengakuan.3 Bila kita berpatokan dengan style maka industri fashion tidak akan sebesar ini. Orang-orang akan membeli pakaian seperlunya, ketika musim dingin kita akan membeli jaket tebal yang baru hanya karena yang lama sudah digigit tikus. Tapi istilah yang kita kenal melalui sekolah-sekolah mode adalah fashion business bukan style business walau style personal dan kelompok juga memilki peran. Inovasi industri fashion lebih mengutamakan style ketimbang hal yang bersifat teknis (kreativitas dalam potongan, warna dan kombinasi, motif, bahan dan pemrosesan dan hasil akhir), yang artinya industri ini memberikan kepuasan terhadap fungsi simbolik yang memperbolehkan konsumer mengekspresikan identitas individu dan sinyal akan status sosial mereka.4 Artinya fashion merupakan sebuah industri yang berpeluang memberikan keuntungan berupa nominal sejak masyarakat membutuhkannya sebagai ekspresi diri dan sumber daya manusia terus direkrut dari tumbuhnya sekolah-sekolah mode. Fashion tidak anya mewujudkan kreativitas melalui perancang namun juga adanyanya fashion stylish yang bertugas memadupadankan hasil karya desainer biasanya untuk dikenakan oleh orang terkenal, atau seleberiti. Dewasa ini bukan hanya orang penting-terkenal atau selerbiti yang dapat menggunakan padupadan hasil kreasi desainer dibantu dengan fashion stylish sejak adanya fenomena ootd. Industri fashion semakin menguntungkan dengan adanya ootd sebagai instrument promosi label-label baru ataupun rumah mode sebesar grup LVMH.

Belum lama saya mengunjungi sebuah optik yang kebetulan menjual kacamata hitam sebuah brand ternama asal kota mode, Paris, seharga enam puluh juta rupiah. Di era dimana pemenuh kebutuhan memproduksi hanya

1 Jo Craven, “Coco Chanel”, Vogue, 11 Mei 2011, diakses 3 Juli 2014 http://www.vogue.co.uk/spy/biographies/coco-chanel-biography

2 Chanokruthai Choenarom, Reg Arthur Williams, dan Bonnie M. Hagerty, “The Role of Sense of Belonging and Social Support on Stress and Depression in Individuals With Depression”, Archives of Psychiatric Nursing 19 (2005): hlm 18, diakses 15 Juli 2014, http://www.hawaii.edu/hivandaids/The_Role_of_Sense_of_Belonging_and_Social_Support _on_Stress_and_Depression_in.pdf

3 Julia Twigg, eds., In J. Powell dan T. Gilbert, “Clothing, Identity and the Embodiment of Age”, Aging and Identity: A Postmodern Dialogue, New York: Nova Science Piublisher (2009): 96, diakses 3 Juli 2014,

http://www.actyourage.eu/uploads/files/clothing_identity_and_the_embodiment_of_age.p df

4 Walter Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”, (versi sebelumnya dari tulisan ini telah dipresentasikan pada International Conference on Cultural Economics yang diselengarakan di Rotterdam, 2002), diakses 3 Juli 2014,

(2)

jika ada permintaan,5 kacamata hitam itu tidak mungkin untuk tidak laku terjual. Menurut Karl Marx, dalam Du Gay et al. (1997:52) sebuah produk tidak akan disebut produk sebelum itu dikonsumsi.6 Ironinya biaya empat tahun kuliah saya tidak mencapai angka itu. Hanya untuk sebuah kacamata hitam yang kegunaannya untuk melindungi mata dari terik matahari uang sebesar itu cukup untuk mengirim satu anak putus sekolah ke perguruan tinggi swasta. Siapapun yang membeli barang tersebut pernahkah berpikir tentang itu? Akan tetapi saya sendiri pernah merelakan untuk tidak makan demi membeli barang yang saya idam-idamkan dan saya tidak berpikir bahwa saya bisa memberi makan yatim piatu dengan uang itu. Tapi saya masih bisa mendapatkan replika persis kacamata itu dengan mudah sejak menjamurnya online shop di media sosial Instagram. Semua orang bisa berlagak seperti orang kaya. Mungkin saja, mungkin loh, orang kaya tidak sekonsumtif masyarakat kelas menengah. Ada kecendrungan masing-masing kelas sosial dalam melakukan konsumsi, kelas menengah atas yang selektif dengan pilihannya dalam berbelanja, kelas menengah yang mengandalkan diskon, dan kelas bawah yang istilahnya bersyukur bisa makan hari itu lebih mementingkan kuantitas.7

Tampaknya kita hidup dalam dunia yang tidak begitu peduli satu dengan lainnya. Kita berdiri diatas identitas kita masing-masing pada kelas sosial tertentu. Kelas sosial yang mendorong kita akan kebutuhan terhadap berbagai hal.8 Saya lebih suka bilang ‘berharap dilihat sebagai kelas sosial tertentu’ yang menjadikan kita membutuhkan barang-barang dengan harga diluar akal sehat saya. Penelitian sosiologi membuktikan bahwa pakaian adalah bagian penentu letak kelas sosial seseorang.9 Kelas sosial mereka yang membeli sepatu keluaran terbaru Chanel akan berbeda dengan mereka yang mengenakan sepatu merek Bata. Lagi, di era perkembangan teknologi dan internet sampai kepelosok negeri dan menjamurnya online shop tidak sulit bagi kelas menengah yang berusaha terlihat sebagai kaum sosialita untuk mengenakan sepatu ‘KW’ merek Chanel. Industri yang sangat hebat! Sampai ke barang palsu sekalipun ia menghasilkan nilai nominal. Protes dari rumah mode yang barangnya dipalsukan tentu ada apalagi dari rumah-rumah mode asal ibukota fashion dunia, Paris. Pada tahun 2012 rumah-rumah mode Hermes telah memenangkan $ 100 juta sebagai ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan oleh 34 website yang menjual tas birkin palsu secara online.10 Tapi bukankah barang ‘KW’ juga menguntungkan mereka secara pamor. Tanpa barang ‘KW’ tidak akan ada ibu setengah baya atau mahasiswi di angkutan umum mengenakan tas bermotif Louis Vuitton. Brand mereka tidak akan terkenal sampai kelapisan sosial paling rendah. Apa yang harus diprotes? Konsumen mereka adalah konsumen kelas atas yang sangat konservatif dalam mengkonsumsi serta hanya mengkonsumsi 5 Muchamad Sidik Roostandi, “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet: Studi Kasus Pada Konsumen The Secret factory Outlet, Bandung”(Bachelor thesis,

Universitas Indonesia), 2009.

6 Roostandi, “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet”.

7 Alfitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan”, Majalah Empirika, Januari, 2007.

8 Alfitri, “Budaya Konsumerisme”.

9 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 94.

(3)

%24100-Million-counterfeiting-case-yang dapat menjadi warisan bagi keluarganya11 katakan saja konsumsi yang tidak kehilangan harga jualnya.

Tidak membahas barang palsu tapi pasar fashion sangat dipengaruhi oleh aktifitas kreativ para desainer dan penguasaha.12 Kreativitas yang digambarkan sebagai produk ekonomi dihasilkan oleh pikiran manusia.13 Artinya industri ini tidak akan pernah kehabisan sumber daya. Tidak perlu takut terutamanya. Permasalahannya ada pada seberapa besar dunia harus menghargai kreativitas? Apa yang menjadikan sepatu warna hitam dengan yang bercorak tribal dihargai berbeda? Kegunaannya sama. Materialnya sama hanya digunakan beberapa warna berbeda pada sepatu yang satunya. Kembali ke masalah kacamata hitam, apa yang membuat kacamata hitam tersebut dihargai seharga biaya kuliah saya. Kreativitas menjadikan industri fashion berada pada pijakan untuk dapat melakukan konfrontasi dan kompetisi.14 Saya memahaminya ketika kreativitas adalah sumber daya tanpa batas maka sumber daya tersebut dapat terus digali dan dipaksa untuk memberikan sesuatu yang baru. Loh, yang terbatas saja dieksploitasi habis-habisan. Setiap saat setiap rumah mode mengeluarkan produk terbaru dari kreativitas perancangnya sebutlah tangan Karl Largerfeld yang saat ini menangani Chanel15 maka pihak Louis Vuitton atau Prada akan mencoba menandinginya dengan material yang lebih berkelas karena jika bicara selera maka selera dari konsumen mereka berbeda-beda atau dengan contoh, jika kita perhatikan apa yang sebetulnya dikeluarkan setiap rumah mode adalah tren yang sama entah siapa yang pertama kali memunculkannya. Misalnya ketika platform shoes sedang hip maka semua rumah mode memasukan platform shoes kedalam katalog masing-masing.

11 Alfitri, “Budaya Konsumerisme”.

12 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.

13 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”. 14 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.

(4)

Perbandingan harga platform shoes merek dagang Steve Madden16 dan Charles & Keith17

Akan tetapi fashion bukanlah satu-satunya hal yang patut disalahkan. Maksud saya fashion merupakan sebuah industri yang tidak akan berjalan tanpa adanya permintaan dari masyarakat. Cara berpakaian adalah konstruksi dari masyarakat kita. Semuanya ada dalam aturan tidak tertulis, pakaian apa yang harus kita kenakan untuk menghadiri pesta pernikahan (sebagaian pernikahan mencantumkan dress code), untuk interview kerja, sampai ke pemakaman. Masyarakat yang mengkonstruksikan pemahaman itu semua. Lalu kita juga protes karena tuntutan untuk membeli untuk setiap occasion. Kita yang dirugikan oleh apa yang kita konstruksikan atau kita yang pikirannya terkonstruksi oleh tren yang dibuat oleh desainer-desainer kreatif, desainer life style. Bahkan beberapa restaurant tidak mengizinkan masuk pengunjung yang mengunakan sandal jepit. Lihat kan bagaimana pakaian mendeskripsikan seseorang. Sampai pada industri pakaian dalam wanita yang fashion show-nya disiarkan di tv kabel.

16 Steve Madden, diakses 15 Juli 2014,

http://www.stevemadden.com/product/SURFSIDE/163270.uts 17 Charles & Keith, diakses 15 Juli 2014,

(5)

Terbaru adalah wabah narsisistik seiring makin populernya media sosial dengan hastag ootd (outfit of the day). Fashion ada sebagai alat dengan harapan untuk fit in atau untuk stand out.18 Mengikuti logika ketidakstabilan pomodernisme yang memproduksi kecemasan, bersamaan dengan kesenangan, beserta perantaranya.19 Analogi melalui fenomena ‘the ootd’ maka kesenangan adalah titik ketika seseorang memposting foto dirinya mengenakan pakaian yang bagus maka ia akan mendapatkan likes dan comments, kecemasan memegang posisi sebagai pengantar mereka untuk membeli produk terbaru dan terbaik dari industri fashion. Pujian layaknya narkotika yang menyebabkan kecanduan bagi sebagian mereka yang mendapatkan kepercayaan dirinya lewat dunia maya. Saya melihat kreativitas dengan fenomena-fenomena seperti itu sebagai sebuah konstruksi sosial. Boleh kan jika saya mengatakan bahwa batik tidak akan pernah ada di runway jika Indonesia tidak sedang gencar-gencarnya mengenalkan batik kepada dunia setelah diklaim oleh Malaysia.20

Saya ingin menekankan ulasan ini mengenai fenomena fashion terkait dengan wabah narsisistik spesifiknya ootd, kelas sosial, dan barang palsu. Saya melihat keterkaitan antara wabah narsisistik dengan alasan seseorang membeli barang fashion tidak melihat itu barang asli ataupun palsu keduanya sama menguntungkan. Media sosial membantu pembentukan wabah ini. Hadirnya media sosial memungkikan seseorang yang pada dasarnya bukan siapa-siapa untuk memposting kreativitasnya memadu-padankan pakaian, menggambar, atau merancang pakaian, tiba-tiba menjadi selebriti di media sosial. Menguntungkan sebetulnya lambat laun semakin ia memilki banyak followers dan kreativitasnya dinikmati banyak orang semakin besar kemungkinan ia mendapatkan penghasilan dari kemampuannya berkreasi dengan pakaian. Diana Rikasari, penulis blog Hot Chocolate & Mint, mengawali karirnya lewat ketertarikannya mengulas mengenai fashion. Pertama kali saya mengikuti blognya pada sekitar tahun 2009 follower-nya masih belum seberapa namun profilnya sudah ditampilkan di majalah remaja, saat itu saya berlangganan KaWanku. Kini ia adalah fashion blogger ternama dan keliling dunia menjalani profesinya, ia bahkan menjual sepatu rancangannya dengan merek, Up.21 Apa Diana Rikasari tidak kita katakan narsis? Ya, tapi narsis yang membawa berkah. Sayang tidak semua orang seberuntung itu. Lainya yang mengikuti fashion menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan hanya sebatas untuk ‘difoto’, sebatas untuk menunjukan bahwa ia juga mampu dan sama gaul-nya untuk memilki barang yang sama. Seperti pendapat saya diawal bahwa kelas sosial tertentu berharap untuk dipandang sebagai kelas sosial yang lain. Pencitraan.

Saya mencoba memahami mengunakan sudut pandang posmodernis yang diungkapkan Firat (1992: p.81), bahwa kecenderungan dalam masyarakat posmodern adalah “dominasi atas apa yang ditawarkan pasar 18 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 96.

19 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 96.

20 Dasril Roszandi, “Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya RI”, 21 Juni 2012, Tempo, diakses 15 Juli 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2012/06/21/078411954/Malaysia-Sudah-Tujuh-Kali-Mengklaim-Budaya-RI

(6)

atas yang berwujud, virtual atas yang sebenarnya ... imajiner atas materi dan gambaran atas produk”.22 Jadi logika pada dunia posmodern dibalik: pasar yang menyesuaikan dengan gambaran bukan sebaliknya.23 gambaran tersebut bagaikan sebuah produksi nilai yang memaksa konsumen untuk mengkonsumsi apa yang diproduksi oleh produsen. nilai yang kemudia menjadi besar, yang kemudian menjadi global, yang mengatakan apa yang layak dan tidak layak, yang mengajarkan dunia apa yang mereka perlu milki. Gambaran tersebut adalah visi dari pada desainer fashion yang didukung oleh perusahaan, difasilitasi terbentuknya oleh media. Media tersebut dapat berupa orang terkenal seperti selebriti. Namun di era ‘ootd’ ini desainer ataupun rumah mode lebih mudah dalam merealisasikan visi tersebut dengan pekerja yang sukarela menjadi agen pembentuk nilai ini. Ide mengenai pembentukan pasar ini diamini oleh teori mengenai kemungkinan bahwa pemahaman teoritis pasar memang dapat berkontribusi pada pembentukan bentuk pasar dan praktek (Kjellberg & Helgesson, dalam press, 2006).24 Ini dapat menjelaskan bagaimana visioner fashion mencoba menerapkan nilai melalui berbagai media mengenai imajinasi atas produknya. Imajinasi itu divisualisasikan melalui idola untuk menggunakan produk-produk tertentu dengan harapan akan mempengaruhi pengikutnya. Namun pernyataan Firat mengenai imajinasi mengenai produk menurut saya kurang lengkap karena di era yang saya sebut dengan era ootd ini, bukan sekedar gambaran mengenai produk itu nilai yang dibutuhkan ketika seseorang memutuskan untuk membeli barang. Lengkapnya ada faktor lain yaitu faktor hip. Sebagian dari kita akan membeli barang yang kelihatannya banyak orang yang memakainya. Era ootd memungkinkan seseorang yang bukan siapa-siapa untuk mejadi selebriti di media sosial. Merekalah sukarelawan fashion yang membentuk faktor hip ini. Seperti diungkapkan oleh penteori Perancis, Guy Debord (1983), mengenai tontonan (spectacle). “Spectacle adalah kecenderungan untuk membuat dunia melihat melalui berbagai mediasi khusus.”25 Kita hidup di era posmodernisme, era dimana manusia mengkonsumsi visi atau imajinasi dari para visioner. Produksi yang mengontrol apa yang kita konsumsi. Indvidu tidak lagi berhak untuk menentukan kebetuhannya karena kebutuhan telah terkonstruksi sampai ketitik kebutuhan tersebut adalah citra diri seseorang. Saya percaya akan manusia selalu ingin diakui dan menjadi bagian dari satu kelompok atau golongan.26 Manusia punya hasrat untuk menunjukan identitas mereka salah satunya melalui fashion dan style dimana pakaian punya andil dalam menentukan identitas seseorang.27 Sayangnya era ini lain. Ini adalah era dimana bukan identitas yang ditunjukan tapi keinginan untuk memilki identitas tertentu yang menjadi kebutuhan. Sekali lagi bukan identitas sejati tapi citra diri. Keinginan yang mengarahkan individu kepada pola hidup yang konsumtif.

22 Diego Rinallo, Francesca Golfetto, “Representing markets: The shaping of fashion trends by French and Italian fabric companies”, Elsevier Journal (2006): hlm 857, diakses 3 Juli 2014,

http://www.idhe.ens-cachan.fr/servlet/com.univ.collaboratif.utils.LectureFichiergw? ID_FICHE=28632&OBJET=0008&ID_FICHIER=215686

23 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.

24 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.

25 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 858.

26 Choenarom, Williams, dan Hagerty, “The Role of Sense of Belonging”, hlm 18.

(7)

Penteori posmodernisme lainya Baudrillard mengatakan bahwa posmodernisme bergerak diatas mode produksi ke dalam mode simulasi dan informasi yang menyingkirkan proses kekuasaan dari semata-mata produksi menjadi informasi dan hiburan. Sedangkan konsepsi Jamsenson (dalam Featherstone 2005) tentang posmodernisme terpengaruh kuat oleh Baudrillard yang memandang budaya posmodernisme sebagai budaya masyarakat konsumen, tahapan kapitalis baru setelah Perang Dunia II. Dalam masyarakat ini budaya diberi arti baru melalui penjenuhan sinyal dan pesan sampai sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dalam kehidupan sosial dapat dikatakan telah bersifat kultural.28

Fenomena ootd begitu masive. Ia seperti gaya hidup anak muda masa kini. Kita tidak secara langsung sadari bahwa dengan memposting gambar-gambar dengan hastag ootd dan hastag brand yang kita gunakan mengkoneksikan kita langsung dengan mereka dan memberikan mereka publisitas gratis. Semudah itu media sosial saat ini membuat kita terhubung. Anak muda berpikir ini keren menggunakan barang-barang dari merek tertentu dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu menempatkan hastag ootd tapi mereka tidak sadar sudah mejadi budak dari kapitalisme modern. Secepat kita mengetahui itu hal ini tidak lagi keren. Strategi ootd ini ternyata diakui oleh brand sebesar Nivea untuk meproduksikan Nivea Soft Moisture cream Pot.29 Diakui oleh Sophie Rock bahwa ootd merupakan fenomena yang luar biasa yang dapat meng-capture imajinasi konsumen, Nivea mengajak konsumen untuk menggunakan hastag ootd pada foto mereka tapi ditambah dengan hastag niveasoft30 perlu saya tegaskan lagi bahwa fashion adalah mengenai imajinasi dari para desainer31 dan masyarakat posmodernisme didominasi oleh gambaran mengenai suatu produk.32 Spesifik generasi muda, umum untuk semua, seperti dibodohi oleh apa yang disebut hip. Ootd yang kependekan dari outfit of the day bukan lagi soal apa yang dikenakan seseorang hari itu. Gaya berpaiakan atau selera. Tapi telah menjelma sebagai bentuk promosi oleh berbagai macam brand termasuk brand besar. Seperti Marx pernah tegaskan bahwa untuk produksi baru perlu adanya motif maka produsen akan menciptakan manner (perilaku)33, ootd salah satunya.

Sepertinya fenomena ootd memberikan saya gambaran langsung mengenai apa yang saya pahami melalui kelas Ekonomi Politik Internasional mengenai sesuatu yang disebut-sebut adalah global value change. Saya meyakini fenomena ini adalah instrumen dan bentuk nyata terciptanya atau terstrukturnya global value change. Nilai ini dibentuk lewat promosi gratis oleh eksploitasi fashion. Kenapa saya mengatakan eskploitasi karena banyak dari mereka penggila hastgag ootd yang tidak menyadari dirinya dipebudak oleh gaya hidupnya yang dia gembar-gemborkan sebagai fashionista. Walau intense dari oenggunaan hastag ini adalah untuk mendapatkan lebih banyak

28 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 858.

29 Louise Ridley, “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”, Campaign, 13 September 2013, diakses 10 Juli 2014 http://www.campaignlive.co.uk/news/1211822/

30 Ridley, “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”.

31 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.

32 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.

(8)

likes dan comments. Padahal mereka diperbudak oleh imajinasi para desainer untuk menjadi penyumbang pundi-pundi uang bagi rumah mode yang dibilang berkelas itu, yang merasa dirugikan setelah karyanya beredar di komoditas barang palsu. Dulu sewaktu kecil kita diajarkan untuk berpakaian layak untuk merasa layak dengan diri kita dengan mengenakan pakaian yang bersih dan rapih. Ketika saya beranjak besar saya tahu lebih dari itu mengenai bagaimana kita merasa layak adalah jika orang lain bilang bahwa kita layak, bahwa kita terlihat mengagumkan. Saya dibesarkan di masa dimana pengakuan dari dunia adalah hal nomor satu dihidup manusia. Bagaimana semua orang diantarkan untuk tumbuh besar sebagai bagian dari komunitas. Jika seseorang bukanlah bagian dalam satu komunitas atau dia berbeda maka dia akan dianggap layaknya produk gagal. Miris rasanya bahwa ternyata kita melabeli setiap hal yang kita kenal. Kita melabeli seseorang dari apa yang dia kenakan. Apa iya hanya karena dia tidak berpakaian layak-nya apa yang dikonstruksikan entah masyarakat kita atau visi para desainer maka dia adalah mahluk yang tidak layak.

(9)

Daftar Pustaka

Alfitri. “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan”, Majalah Empirika, Januari, 2007.

Charles & Keith. diakses 15 Juli 2014.

http://www.charleskeith.com/INTLStore/CK/IDN/Shoes/Wedges/Studded-Platform-Sandals/Black/CK1-80580067/Product.

Choenarom, Chanokruthai, Reg Arthur Williams, dan Bonnie M. Hagerty. 2005. “The Role of Sense of Belonging and Social Support on Stress and Depression in Individuals With Depression”. Archives of Psychiatric Nursing

19 (2005): hlm 18. Diakses 15 Juli 2014.

http://www.hawaii.edu/hivandaids/The_Role_of_Sense_of_Belonging_and_Soc ial_Support_on_Stress_and_Depression_in.pdf.

Craven, Jo. 2011. “Coco Chanel”. Vogue, 11 Mei 2011. Diakses 3 Juli 2014. http://www.vogue.co.uk/spy/biographies/coco-chanel-biography.

N.n.. “Hermes Wins $ 100 Million Conterfeiting Case”. Jeweller, 8 Mei 2012. Diakses 3 Juli 2014. http://www.jewellermagazine.com/Article.aspx? id=2350&h=Hermes-wins-%24100-Million-counterfeiting-case-.

Ridley, Louise. 2013. “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”. Campaign, 13 September 2013. Diakses 10 Juli. 2014 http://www.campaignlive.co.uk/news/1211822/.

Rinallo, Diego, danFrancesca Golfetto. “Representing markets: The shaping of fashion trends by French and Italian fabric companies”. Elsevier Journal (2006): hlm 857. Diakses 3 Juli 2014, http://www.idhe.ens-cachan.fr/servlet/com.univ.collaboratif.utils.LectureFichiergw?

ID_FICHE=28632&OBJET=0008&ID_FICHIER=215686.

Roszandi, Dasril. “Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya RI”. 21

Juni 2012, Tempo. Diakses 15 Juli 2014.

http://www.tempo.co/read/news/2012/06/21/078411954/Malaysia-Sudah-Tujuh-Kali-Mengklaim-Budaya-RI.

Santagata, Walter. “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”. (versi sebelumnya dari tulisan ini telah dipresentasikan pada International Conference on Cultural Economics yang diselengarakan di Rotterdam,

2002). Diakses 3 Juli 2014,

http://www.eblacenter.unito.it/WP/2005/7_WP_Ebla.pdf.

Sidik Roostandi, Muchamad . “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet: Studi Kasus Pada Konsumen The Secret factory Outlet, Bandung”. Bachelor thesis, Universitas Indonesia, 2009.

Steve Madden. diakses 15 Juli 2014.

http://www.stevemadden.com/product/SURFSIDE/163270.uts

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jum’at Tanggal Dua Puluh Sembilan Juli Tahun 2016 (29/07/2016) Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan Barang/ Jasa Konstruksi Bidang Bina Marga

[r]

Sehubungan telah dilaksanakan tahapan evaluasi penawaran dan evaluasi kualifikasi, maka dengan ini kami mengundang Saudara Direktur/Wakil Direktur/Pimpinan Perusahaan/Pimpinan

If poker is your game it is a little different, most games depend on luck and all you really need to know if the basics, but poker is totally different because you are playing

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pedoman Pengangkatan Dewan Pengawas

Menimbang : bahwa dipandang perlu guna menetapkan waktu berlakunya aturan hukuman yang termaksud dalam Pasal 3 ayat 2 Ordonansi (Staatsblad Indonesia 1948 No. 141) untuk

belajar - Pembiasaan bersabar / menunggu giliran dalam berbagai kegiatan - Pembiasaan mengikuti aturan sederhana - Pembiasaan perilaku hidup bersih sehat 09.20 – 09.40 Makan Sehat