• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antara kiri dan kanan menguji ideologi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Antara kiri dan kanan menguji ideologi."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

kiri dan kanan ; antara liberalisme dan marxisme

Pendahuluan

Abad ke-20, dari sudut sejarah pertarungan ide-ide barangkali bisa dilihat sebagai abad puncak pertarungan antara ideology sosialisme dan liberalism. Tentu tanpa bermaksud meminggirkan perdebatan yang lain, perdebatan kedua ideology ini menjadi semacam payung besar bagi lahirnya banyak perdebatan lainnya. Perdebatan Marxisme dan Liberalisme, tentu tidak hanya tentang individualism dan kolektivisme. Karena ada banyak tokoh-tokoh pemikir dari kedua aliran tersebut, yang mengkonstruksi ideology tersebut menjadi mapan. Marxisme tidak bisa hanya semata dilihat sebagai buah pikiran Karl Marx. Walau memang pokok pikirannya tentang metode dialektis adalah dasar dari ide marxisme. Liberalisme pun tidak terbentuk dalam satu kurun waktu tentu, atau dilahirkan oleh satu tokoh tertentu. Banyak pemikir yang berkontribusi dalam membentuk perspektif tersebut. Karenanya kadang ada kemiripan dalam dua kutub pemikiran tersebut. Popper misalnya melihat bahwa ada kemiripan antara historisme Marx dan Historisime J.S Mill1[1]. Persamaan lainnya adalah keduanya kecewa dengan liberalism laissez-faire, dan mencoba membuat fondasi yang lebih baik untuk mewujudkan ide fundamental tentang kebebasan.

Tapi dalam hal metodologi, ada satu perbedaan yang paling kentara dalam pemikiran keduanya. Bagi Mill perkembangan harus dapat dijelaskan oleh progresifitas manusia, yang menurutnya merupakan pondasi bagi penegakkan ilmu social. Ia mencoba untuk membangun metodologi psikologisme. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Marx, yang menegaskan bahwa hubungan legal dan berbagai struktur politik tidak dapat dijelaskan dengan apa yang telah disebut sebagai ‘progresifitas umum pikiran manusia’2[2]. Hal itu jelas terlihat dalam epigramnya yang terkenal ‘bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya tapi eksistensi sosialnya lah yang menentukan kesadarannya.

Revolusi Prancis 1789 sebagai sebuah revolusi politik dan revolusi industri pada awal abad 19 dan 20 adalah dua momentum besar dalam pembentukan teori sosial. Keduanya bukanlah peristiwa tunggal yang tidak saling terkait. Keduanya mengarahkan proses transformasi

1[1]. Karl. R. Popper, The Open Society and Its Enemies, edisi Bahasa Indonesia, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2008, p.356

(2)

dunia barat dari sistem pertanian menuju industri. Periode tersebut merupakan tonggak lahirnya kapitalisme yang kemudian dijawab dengan kemunculan sosialisme, selain itu urbanisasi sebagai ekses lainnya melahirkan mazhab Chigago. Aufkalarung adalah titik tolak usaha untuk membangun dunia yang lebih baik dan rasional. Dengan menekankan pada rasio, para filsuf pada era ini cenderung menafikan nilai dan institusi tradisional, karena dianggap irrasional. Selain dianggap berlawanan dengan sifat manusia juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Karl Marx adalah salah satu teoritisi yang dipengaruhi oleh pemikir pencerahan, walaupun dia membangun teoritis awalnya di Jerman. Dua filsuf besar yang tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Karl Marx adalah G.W.F. Hegel dan Ludwig Feurbach. Salah satu varian yang membedakan Marx dengan para konservatif adalah pada dialektikanya, kerangkan pikir dialektis berbeda dengan gagasan kausalitas yang dikembangkan pemikir konservatif. Dialektika mengarahkan pemikiran pada efek respirokal kekuatan-kekuatan sosial.

Perdebatan kedua kutub besar pemikiran tersebut pernah tercermin dari perseteruan blok barat dan timur, sempat mereda setelah runtuhnya Uni Soviet . hal tersebut bisa diilihat dari klaim Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. Namun, hal tersebut kembali menguat setelah terjadinya krisis ekonomi global saat ini. Kembali ada pertanyaan apakah kita on the right side of history? Krisis global saat ini telah mengingatkan dunia pada depresi besar pada 1930-an. Krisis global ini mengarahkan perdebatan pada kegagalan liberalism dan kapitalisme dan memalingkan pandangan pada sosialisme dan marxisme. Menarik juga untuk mengulang kembali pertanyaan Marshall Berman : Bagaimana Das Capital berakhir sementara capital itu sendiri hidup terus?3[3]

Namun, bagi para pembela liberalisme – kapitalisme, perdebatan ini bukanlah antara kapitalisme dan sosialisme melainkan diarahkan pada perdebatan antara Keynes dan Hayek. Perdebatan yang diarahkan bukan untuk merestrukturasi system liberalism yang kapitalistik melainkan mencoba untuk menyesuaikan system kapitalisme dengan konteks zamannya Tapi tentu kita akan mengingat pernyataan dari Mazimilien Robespierre, “On ne saurait pas faire une omelette sans casser des oeufs”, bahwa seseorang tidak dapat berharap membuat omelet tanpa memecahkan telur4[4].

3[3]. Francis Wheen, Marx’s Das Capital : A Biography, edisi bahasa Indonesia Das Kapital : Kisah Sebuah Buku yang Mengubah Dunia, diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, PT. Wahana Aksi Kritika, 20012, p. 7

(3)

Kiri dan Kanan

Bicara akan liberalism dan marxisme adalah bicara tentang polarisasi “kiri”dan “kanan”. Hal tersebut dikarenakan seperti jamak diketahui, bahwa dalam perspektif marxisme penindasan berawal dari pemilikan pribadi yang terlalu luas. Liberalism kapitalisme hadir untuk terus mendominasi dengan mendidik dan memilih insane-insan yang dibutuhkannya melalui suatu proses “survival of the fittest”5[5]Pemilikan yang kemudian menjadi awal dari akumulasi capital yang kapitallistik. Maka untuk mencapai kondisi masyarakat yang lebih baik, yang harus dilakukan adalah merestrukturisasi pondasi tersebut. Restrukturisasi kepemilikan ini yang kemudian menjadi indikasi kekirian.

Komunis hadir dengan wacana penghilangan kepemilikan pribadi secara toral. Kelompok yang lebih moderat hadir dengan tawaran nasionalisasi. Pandangan diataslah yang kemudian mengalamatkan revolusi social menjadi milik kelompok kiri. Implikasinya adalah jikapun ada tindakan penghilangan milik pribadi seperti yang dilakukan oleh Stalin dan Polpot, maka itu adalah buah dari teori revolusioner semacam marxisme. Namun, perdebatan tentang ini juga belum selesai di intern kaum marxis itu sendiri. Perdebatannya adalah jika perjuangan kelas proletar hanya dimengerti sebagai alat, dengan nasionalisasi sebagai tujuan Jika disadarkan itu sebagai preskripsi, dengan menyerahkan kuasa pengelolaan pada birokrasi Negara. Itu tentu menjadi alamat kritik jelas dari John Stuart Mill dalam tulisannya yang berjudul On Liberty.. Kita akan mencoba untuk melihat itu dalam perspektif Marxist dengan mengutip apa yang diharapkan oleh marxisme dalam Manifesto Komunis :

Semua kelas terdahulu yang memperoleh kekuasaan, berusaha memperkuat kedudukan yang telah diperolehnya dengan menundukkan seluruh masyarakat kepada syarat-syarat kepemilikan mereka. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat, kecuali denganm enghapuskan cara kepemilikan mereka sendiri terlebih dahulu atas tenaga-tenaga produktif, dan dengan begitu menghapuskan juga segala cara kepemilikan terlebih dahulu lainnya. Mereka tidak mempunyai sesuatupun yang harus dilindungi dand ipertahankan, tugas mereka ialah menghancurkan segala perlindungan dan jaminan terdahulu atas milik perseorangan.

Marx percaya bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk produktif, manusia adalah makhluk yang untuk bertahan hidup bekerja mengolah alam. Produktivitas mereka adalah dengan cara yang sangat alamiah yang mereka gunakan untuk mengekspresikan dorongan kreativ dasar mereka. Selain itu, dorongan-dorongan ini diekspresikan secara bersama-sama

(4)

dengan manusia yang lain, dengan kata lain Marx juga mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat sosial, dengan saling bekerjasama untuk bertahan hidup. Manusia menurut Marx juga merupakan suatu ‘ansambel relasi-relasi sosial’ dengan sifat dasarnya yang dinamis, bukan sesuatu yang statis. Yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sosial dan historis. Sehingga untuk memahami sifat dasar manusia kita harus memahami sejarah sosial, karena dia dibentuk oleh kontradiksi-kontradiksi yang dialektis.

Di pembukan ‘communist manifesto’ Marx menegaskan bahwa sejarah manusia adalah sejarah penindasan, inilah yang kemudian menjadi salah satu kontradiksi dalam sejarah manusia menurutnya. Varian yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk lain adalah dengan konsepsi ‘species being’ yang konsepsi tentang potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakan kita dengan spesiaes yang lain. Karena bagi Marx yang penting adalah bagaimana sifat dasar tersebut dimodifikasi pada masing-masing tahapan sejarah. Namun, Louis Althuisser menerjemahkan ini sebagai ketidakyakinan adanya sifat dasar manusia, karena konsepsi tentang sifat dasar manusia adalah sesuatu yang konservatif. Menurutnya jika permasalahan-permasalahan manusia lebih diakibatkan oleh sifat dasar manusia, maka sebaiknya manusia membiasakan dirinya untuk mencoba mengubah sesuatu. Konsepsi Althuisser tersebut dibantah oleh pemikir Marxis lainnya, semisal Gasser (1983). Manurutnya kurang masuk akal untuk mengatakan bahwa manusia tidak memiliki sifat dasar. Kotak kapur saja harus memiliki bekas kapur untuk menandakan bahwa ianya adalah kotak kapur. Hal tersebut juga dipertegas oleh para pemikir marxis kekinian semisal Harvey ; “kecuali jika kita menentang ide, bagaimanapun berbahayanya, tentang sifat dasar manusia dan spesies kita sebagai manusia dan memperoleh pemahaman tentangnya, maka kita tidak bisa mengetahui dari apa kita teralienasi dan tersingkir atau apa makna emansipasi.

(5)

Dari pemahaman Marx tentang kerja dan sifat dasar manusia akan lahir berbagai kritikan dan teori sebagai pengejawantahan dari dialektika Marx. Karena kapitalisme adalah sebuah system yang terbentuk dari struktur yang menghalangi manusia dari sumber-sumber produksi untuk melakukan kerja. Beberapa konsepsi yang lahir sebagai antitesa dari marxisme adalah, alienasi, komoditas dan fetisisme komoditas-komoditas, dan eksploitasi. Alienasi dimaknai oleh Marx sehagi penyelewengan kapitalisme terhadap hubungan yang inheren antara kerja dan sifat dasar manusia. Alienasi terdiri dari empat unsure dasar. Pertama, para pekerja didalam masyarakat kapitalis teralienasi dati aktivitas-aktivitas produktif mereka. Kedua, tidak hanya teralienasi dari aktivitas produktif, pekerja juga teralienasi dari produk yang merupakan tujuan dari aktivitas-aktivitas produktif. Ketiga, para pekerja juga teralienasi dari sesame pekerja. Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari ‘potensi kemanusiaan’ mereka. Pandangan Marx tentang komoditas berakar pada orientasi materialismenya, dengan focus pada aktivitas-aktivitas produktif para actor. Pandangan Marx akan komoditas berakar pada nilai guna dan nilai tukar komoditas serta produksi nilai. Fetisime komoditas-komoditas Marx diterjemahkan oleh Georg Lukacs dalam konsep reifikasi, yang bisa diartikan dengan ‘thingification’. Penerjemahan Marx tentang eksploitasi dapat dilihat pada argumentasinya berikut, “ untuk mengubah uangnya menjadi capital…pemilik uang harus bertemu dipasar dengan buruh-buruh yang bebas, bebas dalam dua pengertian, disatu sisi sebagai seseorang yang bebas dia bisa mengatur tenaganya sebagai komoditasnya sendiri dan disisi yang lain sebagai seseorang yang tidak memiliki komoditas lain untuk dijual, dia kekurangan segala sesuatu yang penting untuk merealisasikan tenaganya”. Gambaran ini juga terlihat dalam konsepsi marx tentang nilai-surplus, yang dari nilai-surplus para kapitalis semakin mematangkan strukturnya. Materialism historis

(6)

ekonomi mengalami perubahan, keseluruhan superstruktur juga mengalami perubahan yang lebih kurang sama (Marx, 1859/1970 : 20-21)

Disebelah kanan, ada kelompok liberal yang dianggap sebagai kelompok yang menjunjung tinggi hak-hak kepemilikan. Pemikiran yang membela toleransi beragama, menganggap perang agama sebagai kebodohan. Liberalism menghargai perdagangan dan industry serta lebih mendukung bangkitnya kelas menengah daripada monarki dan aristokrasi6[6]. Secara implicit, kecendrungan liberalism awal mengarah ke demokrasi yang dikuatkan dengan hak-hak kepemilikan. Bagi Liberalisme, semua manusia dilahirkan sama, dan ketidakadilan yang mengikutinya adalah produk dari lingkungan. Karenanya liberalism bercorak optimistis, energy dan filosopis, kehadirannya untuk mengakhiri perselisihan politik dan ideologis dengan mengarahkan energy manusia pada kegiatan perdagangan dan sains. Liberalism awal bercirikan individualistic dalam perkara-perkara intelektual, juga dalam bidang ekonomi, tetapi tidak mementingkan diri sendiri secara emosional dan etis7[7].

Salah seorang pemikir yang masyhur sebagai pemikir liberal adalah John Locke. Salah satu cirri khasnya yang merembes keseluruh gerakan liberalism adalah kurangnya dogmatism. Ciri pemikiran ini jelas terlihat pada seluruh maksim system liberalism, seperti, laissez-faire, demokrasi dan preskripsi manusia rasional. Locke mengarahkan akal budi hanya dengan nilai instrumentalnya semata, artinya akal budi semata-mata menjadi alat dan diperalat untuk membangun manusia rasional semata. Pemikiran ini kemudian mulai dikritik oleh banyak teoritisi, salah satunya adalah Hokheimer. Pemikir teori kritis yang berakar dari marxisme. Horkheimer membangun akal budi obyektif, sebagai antitesa dari akal budi subyektif –nya Locke. Jika akal budi subyektif semata-mata dipakai sebagai ssarana atau alat untuk memperhitungkan segala sesuatu dan berasal dari hanya dan untuk kepentingan individu tertentu. Maka akal budi subyektif, adaalah akal budi yang tidak hanya berasal dari dan ada dalam diri individu. Sifatnya universal, meliputi seluruh manusia dalam hubungannya satu sama lainnya. Pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis adalah usaha manusia rasional8[8] 6[6]. Bertrand Russel,History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, edisi Bahasa Indonesia Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2007, p.783

7[7]. Ibid. p.786

(7)

Pembelaan para liberalis terhadap akal budi subyektif adalah bahwa manusia tidak akan kunjung matang jika terus diberi pilihan-pilihan diluar dirinya. Usaha-usaha tersebut juga tidak akan melahirkan sikap individualistic tapi justru akan membuat manusia menjadi otonom dan dewasa. Kaum liberal percaya bahwa setiap manusia punya kecendrungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki, dan melihat kepentingan yang ada disekelilingnya melalui kepentingannya sendiri. Dimanapun manusia berada dia akan terus begitu, dia tidak akan bisam melihat diluar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualism bukanlah sebuah paham. Ia adalah kenyataan9[9]

Dikutub yang berbeda, disebelah kiri ada marxisme, dan marxisme bukanlah sebuah dogma melainkan panduan aksi. Teori yang dianggap terus hidup dan berkembang. Marxisme bukanlah hanya telaah tekstual terhadap karya Karl Marx semata. Seperti apa yang ditulis Leon Trotsky bahwa pada pokoknya Marxisme adalah metode-metode analisis-bukan analisis akan teks-teks ssaja, melainkan terutama akan hubungan sosial10[10]. Walaupun memang tidak dapat dilepas bahwa marxisme adalah paham yang berakar dari pemikiran bahwa manusia adalah makhluk materi. Yang dalam sejarahnya berakar pada penindasan dan untuk mereduksinya harus ada teori yang melahirkan tindakan praxis. Bertolak belakang dengan liberalism yang individualism, marxisme hadir dengan basis kolektivitas. Karena menurut mereka, setiap individu berjuang untuk memperoleh materi sebanyak mungkin dan menutupi akses bagi kelompok rentan. Berbeda dengan kaum liberalis yang memandang bahwa system perekonomian adalah positive sum game. Dimana kerjasama adalah sesuatu yang penting dan itu akan terus saling menguntungkan, namun bagi kaum marxis perekonomian adalah zero sum game.

Namun, kritik dari marxisme berbeda dengan corak anti liberalism dari para pemikir kanan itu sendiri, seperti Maistre dan Schmitt. Kritik dari pemikir kanan adalah menampik era pencerahan itu sendiri. Para pemikir tersebut menolak tema pemikiran yang mengusung tema pembebasan manusia dan menjunjung tinggi kebebasan. Sedangkan Marxis menampik Liberalisme yang dianggap sebagai pemikiran pro-pemilik modal yang hadir untuk menyembunyikan dan melanggengkan eksploitasi atas kelas proletar. Dimana kebebasan individu yang menjadi tema inti dari liberalism, hanyalah kebebasan kaum borjuasi.liberalisme.

9[9]. Rizal Malaranggeng, Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008, p.29

(8)

Kedua paham ini merupakan anak kandung dari pencerahan, yang jadi titik tengkar keduanya adalah soal bagaimana ide-ide pencerahan direalisasikan.

Indivualisme Vs.Komunalisme

Kapitalisme adalah praktek bejat, yang mengarah pada egoism ekstrem. Pada individualism, pada kebencian. Kapitalisme adalah penyebab invasi di Irak dan kudeta di Venezuela. Setelah menyaksikan dalam beberapa tahun terakhir, aku yakin bahwa jalan Kapitalisme, tidak mungkin menyelamatkan dunia. (Hugo Chaves)11[11]

Penggalan kalimat diatas adalah statement dari salah seorang tokoh sosialisme abad ini. Baginya, kapitalisme merupakan jalan menuju penghancuran oleh satu kelompok atas kelompok yang lain atas nama individualism. Namun, Bagi para penganut Individualism, sosialisme yang menjunjung komunalisme bermakna perbudakan, sebagai mana yang diutarakan pemikir abad ke 19 semacama de Tocqueville dan Lord Acton12[12]. Sosialisme telah mereduksi individualism menjadi sesuatu yang dihubungkan dengan egoism dan keserakahan, yang itu berpotensi menindas. Akan tetapi, secara objektif kita juga harus melihat bahwa ada perbedaan antara individualism dan egoism. Keduanya memang sama-sama mementingkan dirinya sendiri, akan tetapi dengan implikasi sosial yang berbeda. Dalam egoism orang mementingkan dirinya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Dalam individualism orang yang mementingkan diri sendiri memaksanya untuk ikut memperhatikan kepentingan orang lain. Pembelaan yang dilakukan oleh J.S Mill adalah bahwa orang bisa memperhatikan orang lain saat kebutuhan pribadinya telah terpenuhi.

Namun, bagi para pemikir individualism, makna sesungguhnya individualism adalah penghargaan terhadap manusia sebagai manusia dengan mengakui pandangan-pandangannya sebagai individu-individu. Mereka yang kemudian hadir dengan ide-ide kolektivitasnya seperti Marxisme, dianggap utopis oleh para liberalis. Salah satu kesalahan tersebesarnya kemudian adalah dengan menyamakan Marxisme atau paham revolusioner lainnya dengan fasisme. Hayek menganalogikan utopia ini dengan mengutip F.Hoelderlin ; Yang selalu membuat negara jadi neraka di bumi ini adalah manusia yang justru ingin mengubahnya jadi surga baginya.

Pemikir Yunani kuno semisal Plato dan Mandeville juga percaya bahwa pada hakikatnya manusia rakus, egoistis, selalu ingin mementingkan diri sendiri. Mandeville mennganggap sifat rakus manusia yang selalu lebih mementingkan diri sendiri memberikan dampak sosial-ekonomi 11[11]. No Volveran : The Venezuelan Revolution Now, <http://www.youtube.com/watch?v=Qfp-uJscUE4&feature=relmfu>, diakses tanggal 23 Juni 2012

(9)

negative bagi masyarakat. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan premis Smith yang mengganggap bahwa sifat individualistic ini akan membawa memicu pertumbuhan secara massif13[13]. Dalam doktrin ekonomi liberal, harmoni sosial justru bisa timbul dari konflik individu-individu. Menurut Smith, tindak-tanduk manusia pada umumnya didasarkan pada kepentingan diri sendiri (self-interest), bukan belas kasihan dan juga prikemanusian. Menurut Smith :

Bukan dari kebaikan hati situkang daging kita mengharapkan makan malam kita, melainkan kepentingan situkang daging sendiri14[14]

Asumsi yang paling dasar adalah bahwa manusia itu sepenuhnya mementingkan dirinya, hanya sibuk memenuhi keinginan-keinginan diri mereka. Kita tidak perlu membahas jenis-jenis hal yang mungkin diingini oleh individu-individu yang berbeda tersebut, cukup kalau kita hanya mengasumsikan adanya keinginan-keinginan terpencar secara acak diantara mereka dengan hasil bahwa sering mereka akan mengingini hal yang sama. Asumsi berikutnya adalah bahwa sumberdaya-sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia sangatlah terbatas, dan tidak mungkin memenuhi kebutuhan seluruh manusia15[15]. Implikasi dari asumsi ini adalah hubungan-hubungan kemanusiaan berlangsung dengan kompetitif, manusia yang satu akan melihat manusia sebagai penghalang untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya16[16]. Pada akhirnya dalam pola hubungan yang individualistic, manusia akan menyadari bahwa kekuatan dan kecurangan adalah sarana paling efektif untuk berurusan dengan sesame manusia. Hanya dengan cara itu dia dapat menghancurkan pesaingnya dan mencapai kepentingannya. Premis yang bertolak belakang dengan the friendly society Adam Smith.

Dalam pemikiran Smith, simpati adalah sifat yang inheren pada manusia dan merupakan kondrat. Menurutnya alam telah melengkapi manusia dengan prinsip yang membuatnya harus menaruh perhatian pada kemakmuran orang lain. Manusia merasa bahwa adalah kepentingannya

13[13] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p.30-31

14[14] “It is not from benevolence of the butcher that we expect our dinner, but from his regard of his own interest” (Adam Smith), Ibid, p.32

15[15] Peter Worsley (ed), Pengantar Sosiologi : Sebuah pembanding (Jilid 2), edisi bahasa Indonesia, Penerjemah Hartono Hadikusumo, Tiara Wacana Yogya, 1992, p. 226

(10)

untuk mengusahakan kebahagian bagi orang lain. Dengan gagasan simpati ini, Smith ingin menjelaskan bahwa sosialitas manusia memiliki dasar pada kodrat manusia sebagai makhluk organis dan makhluk yang berakal budi. Sebagai makhluk organis, ketertarikan manusia pada orang lain dan kehidupan bersama ditentukan oleh perasaan bahwa kebahagian orang lain harus mendapat perhatian, ini bukanlah perasaan semata, melainkan suatu prinsip rasional yang bersifat universal. Dengan gagasan simpati tersebut, Smith sebenarnya menghidupkan kembali gagasan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial. Semua manusia, menurut Smith, memiliki simpati atau perasaan tentang keadaan dan situasi orang lain. Seimpati tersebut terdapat pada manusia sebagai kondrat, bersifat hakiki; dan melekat pada kodrat manusia, sebuah naluri dasar untuk kebahagiaan orang lain disekitarnya17[17]. Dalam Moral Sentiment (1759), Smith menulis : meskipun manusia dianggap egois, jelas terdapat sejumlah prinsip dalam khuluknya, yang menjadikannya tertarik pada nasib baik orang lain, dan membuat kebahagiaan mereka menjadi hal penting baginya. Meskipun ia tidak mendapatkan apa-apa dari tindakannya, kecuali kebahagiaan hanya dengan melihatnya.

Namun individualism bukanlah ajaran murni dari Adam Smith. Jika ditelusuri, paham individualism sebelumnya berasal dari paham hedonism. Paham ini dirumuskan pertama kali oleh pemikir Yunani kuno Aristippus, dan disempurnakan oleh Epicurus. Menurut paham ini, tujuan hidup manusia didunia adalah mencari kenikmatan hidup yang sebesar-besarnya. Paham hedonism, juga menjadi cikal bakal dari lahirnya utilitarianisme, yang pertama sekali dikembangkan oleh Jeremy Betham (1748-1832) dan J.S Mill. Jika dalam hedonism orientasinya adalah individu-individu, dalam paham utilitarianisme berorientasi pada kebahagian yang sebesar-besarnya bagi masyarakat banyak (Summum bonum)18[18]. Betham tidak hanya berpandangan bahwa kebaikan adalah kebahagiaan pada umumnya, tetapi juga bahwa setiap individu senantiasa memburu apa yang menurut keyakinannya merupakan kebahagiaannya sendiri. Oleh sebab itu, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan public dan kepentingan pribadi. Menyesuaikan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat19[19].

17[17] Mikhael Dua, Filsafat Ekonomi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, p.36

18[18] Deliarnov,Op.Cit, p.38

(11)

Perbedaan sudut pandang ini kemudian melahirkan perbedaan dalam melihat pola distribusi ekonomi. Bagi Marxisme, pendistribusian kekayaan didasarkan pada prinsip “sama rata sama rasa” (ekualitas). Pandangan ini dianggap naïf oleh kelompok liberal, menurut pandangan liberal adalah hal yang lumrah jika tiap orang mendapatkan bagian yang berbeda-beda. Perbedaan tersebutlah yang menjadi pemicu tiap orang untuk berkembang maju20[20].

Demokrasi ; antara Subtansi dan Pasar

Salah satu bentuk perdebatan dan perbedaan mendasar dari kedua sudut pandang ini adalah cara melihat demokrasi. Dari sudut kanan kita akan mencoba untuk melihat pernyataan de Tocqueville ;

…demokrasi memperluas wilayah kebebasan individu [dia mengatakan hal ini di tahun 1848], sosialisme membatasinya. Demokrasi melekatkan semua nilai yang mungkin kepada setiap orang; sosialisme membuat semua orang sematamata sebagai alat yang dipekerjakan, hanya sebagai angka. Demokrasi dan sosialisme tidak memiliki kesamaan kecuali satu kata: kesetaraan. Tetapi perhatikan perbedaannya: sementara demokrasi memperjuangkan kesetaraan di dalam kebebasan, sosialisme mencari kesetaraan dalam kontrol dan perhambaan21[21].

Namun, hal itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan rujukan untuk memvonis bahwa sosialisme mencari control dan liberalism memenangkan kebaikan lewat demokrasi. Dalam praktiknya sebagaimana yang diuraikan Richard Robinson dalam pengantar The Neo-Liberal Revolution: Forgoing the Market State. Bahwa berharap aka nada perkawinan harmonis antara kapitalisme dan demokrasi adalah sebuah ilusi. Menurut Robinson,subtansi dari demokrasi bagi rejim tersebut adalah jaminan tegaknya hak individu dan kontrak ekonomi dengan tidak terlalu memusingkan apakah aturan demokrasi procedural diterapkan atau tidak. Harapannya adalah mampu menjaga pasar dari kegaduhan dan benturan politik. Epos kapitalisme global yang tengah dibangun saat ini tidak hanya sedang mencoba untuk menghasilkan gambaran ideal dari persandingan ideal antara demokrasi dan pasar bebas. Namun juga mencoba untuk memunculkan repetisi dari teori modernisasi politik Huntington di era perang dingin. Ini terlihat jelas dalam praktik Crony Capitalism. Alih-alih persandingan free market dan liberal democracy, proses hibridasi rejim politik memungkinkan persenyawaan antara pemerintahan otokratik dan pasar

20[20] Deliarnov, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, p. 25

(12)

bebas atau yang disebut oleh Kaniskha Jayasuriya dan Hewison (2004) sebagai tatanan liberalisme otoritarian22[22].

Melihat demokrasi dalam analisis Marx, juga tentu akan membawa kita pada perdebatan antara kelompok Open Marxism, yang dikenal dengan materialism dialektik dan Closed Marxism23[23] yang penganut materialism naturalistik24[24]. Inti perdebatan keduanya adalah pada peran ‘basis (ekonomi)’ dan ‘superstruktur (hukum, politik, ideology)’. Pembelahan ini juga didasarkan atas pembelahan hidup Marx atas dua periode. Marx muda yang humanis, yang terlihat dalam karya seperti Economic and Philosophic Manuscript of 1844 dan Marx tua yang Politis-sosiologis yang kentara terlihat dalam karya Capital. Dalam kata-kata George Lichtheim, ‘Marx Muda itulah Marx yang sejati, sementara Marx Tua adalah Marx yang lebih peduli pada kemajuan ilmu yang keberadaannya independen dari kehendak manusia25[25]. Hal tersebut bisa terlihat dari penerjemahan demokrasi oleh Lenin, dalam bukunya Negara dan Revolusi :

…. Demokrasi berarti persamaan. Jelaslah, betapa besar arti perjuangan proletariat untuk persamaan dan semboyan persamaan, apabila tepat memahaminya dalam arti penghapusan kelas-kelas. Tetapi demokrasi hanya berarti persamaan formal. Dan segera setelah tercapainya persamaan bagi semua anggota masyarakat dalam hubungan dengan pemilikan atas alat-alat produksi, yaitu persamaan kerja dan persamaan upah, umat manusia tak terelakkan akan dihadapkan pada masalah supaya maju lebih lanjut, dari persamaan formal ke persamaan sesungguhnya, ke pelaksanaan ketentuan: "masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya"….

… Demokrasi adalah bentuk negara, salah satu variasinya. Karenanya, seperti setiap negara, ia adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi dan sistematis terhadap orang-orang. Ini di satu pihak, tetapi di pihak lain ia berarti pengakuan formal atas persamaan diantara warga negara, hak sama dari semua orang untuk menentukan susunan negara dan mengurusnya…

….Di sini "kuantitas berubah menjadi kualitas": tingkat demokratisme demikianitu berakibat ke luar dari kerangka masyarakat borjuis, permulaan pembangunan kembali masyarakat borjuis

22[22]. Airlangga Pribadi, Menuju Demokrasi Bermutu (Zonder Lamunan) tanggapan atas R.William Liddle, <http://indoprogress.com/2011/12/22/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/>,Diakses 26 Juni 2012

23[23]. Peter Burnham, “Class struggle, states and global circuits of capital”, dalam Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), Historical Materialism and Globalization, Routledge, London, 2002, p. 115

24[24]. Ibid. p.129

25[25]. Joseph Ferraro, Freedom and Determination in History According to Marx & Engels, Monthly Review Press, 1992, p. 45

(13)

secara sosialis. Jika sungguh-sungguh semua ambil bagian dalam pengurusan negara, maka kapitalisme tidak dapat bertahan lagi. Dan perkembangan kapitalisme, pada gilirannya, menciptakan premis-premis supaya sungguh-sungguh "semua" dapat ikut serta dalam pengurusan negara. Beberapa dari premis ini adalah termasuk setiap orang tahu huruf, sesuatu yang sudah dicapai di sejumlah negeri kapitalis yang paling maju, kemudian "pendidikan dan pendisiplinan" jutaan buruh oleh aparat yang maha besar, rumit dan disosialisasi yang terdiri dari pos, kereta api, pabrik besar, perdagangan besar, perbankan, dst., dst….26[26]

Selain, motif kepentingan pribadi, hukum alam kedua yang diperhatikan oleh Adam Smith adalah, a certain prospensity in human nature…to truck, barter, and exchange one thing for another…it is common to all men. Inilah yang kemudian mendorong Smith untuk mengeluarkan premis bahwa setiap individu haruslah diberi kebebasan untuk mengejar kepentingannya, termasuk melalui medium demokrasi. Setiap orang dibebaskan untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya. Premis ini berbeda dengan premis Plato, yang tidak percaya pada kebebasan dan demokrasi. Adalah absurd untuk memberikan kebebasan-kebebasan pada individu-individu, sebab orang-perorangan tidak tahu apa yang terbaik buat dirinya, apalagi untuk bangsa dan negaranya. Sebaliknya, Plato justru menginginkan setiap orang untuk mengikuti perintah dan mematuhi apa yang telah digariskan pemimpin27[27].

Bagi Marx, demokrasi yang berkiblat kepasar adalah media bagi para liberal untuk terus mengembangkan kapitalnya. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang self-destructive. Makin keras upaya yang dilakukan untuk memperoleh laba, maka akan semakin besar tekanan yang ditimbulkan termasuk pada sistem sosial.

Penutup

Tentu apa yang telah dikomparasikan diatas adalah bahagian kecil dari perbedaan kiblat Liberalis dan Marxis. Namun, tentuadalah kemustahilan untuk berdialektika dengan bebas nilai, bahwa nilai-nilai tidak dapat dipisahkan dari cara memaknai realitas sosial. Penulis mencoba berdiri pada apa yang dikatakan Mitroff (1974), bahwa selalu ada kecendrungan nilai dan keberpihakan antara sipenulis dan nilai-nilai serta bagaimana mereka mengaplikasikan.

Daftar Pustaka

Airlangga Pribadi, Menuju Demokrasi Bermutu (Zonder Lamunan) tanggapan atas R.William Liddle, <http://indoprogress.com/2011/12/22/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/>,Diakses 26 Juni 2012

Bertrand Russel,History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, edisi Bahasa Indonesia Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2007

26

(14)

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Deliarnov, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006

Francis Wheen, Marx’s Das Capital : A Biography, edisi bahasa Indonesia Das Kapital : Kisah Sebuah Buku yang Mengubah Dunia, diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, PT. Wahana Aksi Kritika, 2012

Joseph Ferraro, Freedom and Determination in History According to Marx & Engels, Monthly Review Press, 1992

John Molyneux, What is the Real Marxist Tradition?

Karl. R. Popper, The Open Society and Its Enemies, edisi Bahasa Indonesia, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2008

Lawrence W.Reed, Pengantar Aku, Pensil Silsilah Keluarga Sebuah Pensil, Sebagaimana Dikisahkan Kepada Leonard Read, Friedrich-Naumann-Stiftung, Freedom Institute dan Liberal Society Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, edisi Bahasa Indonesia Etika Protestan dan

Spirit Kapitalisme, diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

Mikhael Dua, Filsafat Ekonomi, Kanisius, Yogyakarta, 2008

No Volveran : The Venezuelan Revolution Now, < http://www.youtube.com/watch?v=Qfp-uJscUE4&feature=relmfu>, diakses tanggal 23 Juni 2012

Peter Worsley (ed), Pengantar Sosiologi : Sebuah pembanding (Jilid 2), edisi bahasa Indonesia, Penerjemah Hartono Hadikusumo, Tiara Wacana Yogya, 1992

Peter Burnham, “Class struggle, states and global circuits of capital”, dalam Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), Historical Materialism and Globalization, Routledge, London, 2002

Rizal Malaranggeng, Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008

Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Penerbit Gramedia, 1983

The Servile State, 1913, edisi ketiga, 1927,

Referensi

Dokumen terkait

Menu yang ditawarkan di “La Café” sendiri adalah macam kue dan beberapa makanan berat asli khas Indonesia tetapi akan dimodifikasi dengan rasa unik dengan cita rasa yang tinggi yang

Predictors: (Constant), LOYALITAS_PELANGGAN, KEPUASAN_PELANGGAN Tabel 4.29 Uji Multikolinearitas Correlations LOYALITAS PELANGGAN KEPUASAN PELANGGAN. LOYALITAS_PELANGGAN

Perusahaan Penerbangan/ Pelayaran LN (KMK 417/KMK.04/1996)  ); penghasilan  ); penghasilan neto sebesar 6% dari peredaran bruto dan pajak yang wajib dilunasi sebesar  neto

[r]

8) Ibid.. 10) Sedangkan Peter Mahmud Marzuki memperkuat pendapat ini dengan menguraikan ciri-ciri ketentuan yang bersifat memaksa. 11) Ciri pertama, biasanya

1) ASI adalah makanan alamiah yang disediakan untuk bayi anda. Dengan komposisi nutrisi yang sesuai untuk perkembangan bayi sehat. 2) ASI mudah dicerna oleh bayi..

Penelitian pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Yudaningrum (2014) yang berjudul “Keefektifan Strategi POINT dalam Pembelajaran Membaca

Pada pasien ISK yang terinfeksi bakteri gram negatif  Escherichia coli dengan kelainan fungsi ginjal adalah dengan mencari antibiotik yang tidak dimetabolisme di