• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAERAH KEPULAUAN SEBAGAI SATUAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIFAT KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAERAH KEPULAUAN SEBAGAI SATUAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIFAT KHUSUS"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kot an Y. St efanus

Fakult as Hukum dan Program Pascasarj ana Universit as Nusa Cendana – Kupang E-mail: kot anys@ymail. com

Abst r act

Some r egions (l ocal gover nment ) geogr api cal l y l i e in i sl ands ar ea whi ch get unj ust i ce t r eat ment compar ed wi t h ot her r egi ons. The pr obl em i s because of t he ser vi ce t o publ i c i s br oad and heavy i n some i sl ands, but do not get par t i cul ar t r eat ment f r om cent r al gover nment Sear ch f or and i nvest i gat ion about t he l aw basi s about ar chi pel ago ar ea expr esses t hat one of t he pr inci pl es of r egi onal gover nment under t aki ng accor di ng t o t he basi c const it ut ion of 1945 i s t hat gi ving space t o advance par t i cul ar r egi ons and speci f i cal l y (i ncl udi ng t o as r egi ons i n i sl ands). However , such pr i nci pl e has not been i mpl i cat ed br oadl y and cl ear l y i n t he r ul e Law Number 32 year s 2004.

Key wor ds: ar chi pel ago ar ea, l ocal gover nment , par t i cul ar r egi ons, Legit imacy.

Abst rak

Sej umlah daerah (pemerint ah daerah) yang berada dalam kawasan kepulauan kurang mendapat kan perlakuan yang adil dan selaras dengan daerah-daerah lainnya. Persoalan yang dihadapi adalah j angkauan pelayanan masyarakat yang demikian luas dan berat t ersebar pada sej umlah pulau, namun t idak mendapat kan perlakuan khusus dari pemerint ah (pusat ). UUD 1945 memuat prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerint ahan daerah, ant ara lain memungkinkan pengembangan daerah-daerah khusus dan ist imewa (t ermasuk daerah kepulauan), namun prinsip dimaksud belum dij abarkan secara t egas dan j elas dalam UU No. 32 Tahun 2004.

Kat a kunci: daerah kepulauan, pemerint ah daerah, daerah khusus, pengakuan.

Pendahuluan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ahan Daerah (selanj ut nya pe-nulis singkat menj adi UU No. 32 Tahun 2004) dan perubahannya masih mengandung sederet -an masalah dalam mengelola pemerint ah-an daerah, t erut ama relasi ant ara pemerint ah (pusat ) dengan pemerint ah daerah dan ant ara pemerint ah daerah. Demikian pula dalam im-plement asinya, t erdapat sej umlah ket impangan yang sering mengganggu dinamika pemerin-t ahan daerah.

Salah sat u wacana yang menguat bela-kangan ini adalah sej umlah daerah (pemerint ah daerah) yang secara geograf is berada dalam kawasan kepulauan mengapresiasikan kepen-t ingannya yang kurang mendapakepen-t kan perlakuan yang adil dan selaras dengan daerah-daerah lainnya. Persoalan yang dihadapi adalah ket

er-bat asan kewenangan pemerint ah daerah di wilayah laut , j angkauan pelayanan t erhadap masyarakat yang demikian luas dan berat t er-sebar pada sej umlah pulau, namun t idak men-dapat kan perlakuan khusus dari pemerint ah (pusat ) Kondisi ini menyebabkan pelayanan publik pada daerah-daerah dimaksud t idak da-pat dilaksanakan secara ef ekt if . Selain it u, dae-rah-daerah kepulauan dengan berbagai kekha-sannya membut uhkan penyelenggaraan peme-rint ahan daerah berdasarkan kekhasannya, na-mun belum mendapat kan pengakuan unt uk it u. Realit as j uga menunj ukkan wilayah Indo-nesia t erdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang disat ukan oleh hamparan laut yang luas, t erbent ang dari Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangas sampai ke Rot e.1

1 Masal ah pengel ol aan ruang l aut dapat meni mbul kan

(2)

bih j auh dikat akan M. Agus Sant oso bahwa wilayah Republik Indonesia begit u luas dengan bent uk pulau-pulau, namun demikian dapat dipersat ukan dengan bent uk Negara Kesat uan Republik Indonesia yang dilandasi secara kons-t ikons-t usional dalam Pasal 1 ayakons-t (1) UUD 1945.2 Konsekuensi dari negara Indonesia sebagai Ne-gara Kesat uan yang bercorak NeNe-gara Kepulau-an, seyogyanya berdampak pada legit imasi yuridis f ormal pada pengat uran lebih lanj ut t ent ang Daerah Ot onom yang berbasis kepulau-an, namun sampai saat ini belum diikut i dengan penj abaran lebih lanj ut di t ingkat pemerin-t ahan daerah.

Permasalahan daerah kepulauan j uga menj adi pent ing unt uk dicermat i dan bahas secara serius t erkait dengan sederet an realit as yang mencuat ,3 diant aranya adalah per t ama, secara sosiologis, ket uj uh Provinsi Kepulauan mempunyai perbedaan yang spesif ik dengan provinsi-provinsi lain, yait u karakt erist ik yang berbeda sehingga model pembangunannya ha-rus berbeda dengan model yang umum; mana-j emen administ rasi pemerint ahan haruslah ber-basis kepulauan; pelayanan masyarakat harus diarahkan ke pulau-pulau, karena masyarakat provinsi kepulauan hidup pada pulau-pulau yang t erisolir; rat a-rat a masyarakat pada pro-vinsi kepulauan t erlambat dalam pembangunan inf rast rukt ur; mempunyai pulau kecil t erluar yang membut uhkan pendekat an pr osper it y dan secur it y secara bersamaan.

kawasan. Hal i ni masih t erj adi di l aut Chi na Sel at an, t epat nya di Kepul auan Spart l y ant ara RRC, Mal aysia, Viet nam, Fil ipina dan Brunei. Begit upun di Kepul auan Sipadan dan Ligit an, ant ara Mal aysi a dan Indonesia dan persoal an per dagangan pasir ant ara Singapur a dan Indonesi a. Cont oh t er sebut dapat member ikan gambar an bahwa konf l ik pemil ikan ruang l aut dapat memi -cu ket egangan kawasan. Demiki an hal nya dengan wil a-yah l aut di Indonesia mest inya diat ur pengel ol aan dan pemanf aat annya secar a adil , sehingga t idak meni mbul -kan ket egangan dal am wil ayah Negar a Kesat uan Re-publ ik Indonesia. Lihat Rukmin Dahur i, “ Kerj asama Ke-l aut an DaKe-l am Menci pt akan St abiKe-l it as Kawasan” , Jur nal PASKAL, Vol . 1 No. 3, Okt ober 2002, Jakart a: Pusat Ka-j ian St rat egis Kepent i ngan Nasional , hl m. 5. 2 M. Agus Sant oso, “ Ot onomi Daer ah di Negar a Kesat uan

Republ ik Indonesia” , Jur nal Il mu Admi ni st r asi, Vol . 6 No. 4, Desember 2009, hl m. 391.

3 Badan Kerj asama Propi nsi Kepul auan, 2009, Naskah

Akademi k Undang Undang Daer ah Kepul auan, Jakart a, hl m. 7-8.

Kedua, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 t erkait dengan t uj uan Negara Kesat uan Repu-blik Indonesia ” . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh t umpah darah Indonesia dan unt uk memaj ukan kesej aht eraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut me-laksanakan ket ert iban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . ” .

Ket i ga, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25A Undang Undang Dasar 1945. Pe-ngat uran perat uran perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum posit if di Indonesia be-lum mencerminkan penj abaran dari pasal-pasal konst it usi di at as, t erut ama berkait an dengan prinsip Negara Kepulauan.

Keempat, t erdapat perbedaan paradigma pengalokasian anggaran Negara dalam UU No. 32 Tahun 2004 t ent ang Perimbangan Keuangan Ant ara Pemerint ah Pusat dan Pemerint ah Dae-rah. Ada pandangan yang mengabaikan f akt or luas wilayah perairan (laut an) sebagai sat u kesat uan wilayah, sehingga berdampak pada t erhambat nya proses pembangunan dan pela-yanan kepada masyarakat di daerah kepulauan. Oleh karena it u, unt uk menat a kehidupan ber-masyarakat di wilayah geograf is yang wilayah laut annya lebih besar dari darat an, secara po-lit is diperlukan adanya legit imasi hukum me-ngenai kesat uan wilayah dan perlakuan khusus pada daerah kepulauan.

(3)

Peme-rint ah, sehingga t idak t erkesan melakukan per-lakuan yang bersif at diskriminat if baik dalam penyelenggaraan pemerint ahan, pelaksanaan pembangunan maupun pelayanan kepada ma-syarakat .

Beranj ak dari pemikiran yang t elah pa-parkan, maka t ulisan ini berusaha menggali dan mencari landasan hukum4 t ent ang Daerah Ke-pulauan, sehingga dapat memberikan kont ribusi dalam proses revisi UU No. 32 Tahun 2004 yang sedang berlangsung dan pengat uran lebih lanj ut sat uan pemerint ahan daerah sebagai konse-kuensi dari pengakuan Negara Kesat uan Repu-blik Indonesia sebagai negara kepulauan. Be-berapa but ir pemikiran sengaj a dit awarkan unt uk melakukan revisi UU No. 32 Tahun 2004 dan pembent ukan Undang Undang Daerah Ke-pulauan, sehingga st at us dan posisi daerah-dae-rah kepulauan (Propinsi Maluku, Maluku Ut ara, NTT, NTB, Sulawesi Ut ara, Kepulauan Riau, dan Bangka Belit ung) akan mendapat kan legit imasi dan j ust if ikasi yang memadai5 dalam kont eks negara kesat uan Republik Indonesia.

Pembahasan

Karakt eristik dan Permasalahan Daerah Ke-pulauan

Daerah Kepulauan, secara umum, memi-liki karakt erist ik akuat ik t erest rial (wilayah laut lebih besar dari wilayah darat ), yang membeda-kannya dengan daerah-daerah t erest rial mau-pun t erest rial akuat ik. Dalam kont eks ini, ke-t uj uh Provinsi Kepulauan yang bergabung dalam Badan Kerj asama Provinsi Kepulauan t elah

4 Pada masa sekarang perundang-undangan merupakan

sarana at au wadah yang pal i ng banyak digunakan unt uk merumuskan kai dah at au norma hukum di banding dengan sumber hukum l ainnya karena perundang-undangan memil iki beber apa kel ebihan yait u l ebi h menj amin kepast ian perumusan, l ebih bersif at i nst ru-ment al dan ant isi pat if . Li hat Grace Juanit a, “ Pengaruh Kai dah Bukan Hukum Dal am Proses Pembent ukan Kai dah Hukum” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol . 25 No. 2, April 2007, Bandung: FH Unpar , hl m. 124.

5

Legit i masi l ebi h menekankan pengakuan empirik dar i publ ik, sedangkan j ust if ikasi l ebih menekankan aspek l egal it as. Bil amana kit a menel aah secara kr it i s masal ah l egit i masi dan l egal i t as, maka argument asi yang hendak di aj ukan adal ah l egal i t as sebaiknya disesuaikan dengan l egit i masi, sit uasi nor mat if hukum perl u mengakomo-dasi kenyat aan empiri s, dan ket ent uan UU hendaknya mempert i mbangkan f akt a pol it ik ber upa aspirasi r ak-yat .

negaskan bahwa karakt erist ik Provinsi Kepulau-an yKepulau-ang membedakKepulau-annya dengKepulau-an provinsi-pro-vinsi lain dapat t erlihat dari:6 Luas wilayah laut yang lebih besar dari wilayah darat an; Segi persebaran demograf is, penduduk wilayah ke-pulauan biasanya bersif at relat if sedikit dan penyebarannya t idak merat a; Segi sosial bu-daya, komunit as-komunit as di wilayah kepulau-an t ersegregasi dalam pemukimkepulau-an menurut t errit orial suat u pulau, sehingga lasim berimpli-kasi pada kuat nya rasa ket erikat an pada t anah (baca: pulau), pola hidup pada pulau-pulau kecil selaras dengan alam (lamban menerima perubahan); Segi ket ersedian sumber daya alam, relat if beragam; Segi sist im kehidupan, dit ent ukan oleh t ingkat isolasi geograf is dengan keunikan habit at (endemis) dan keanekaragam-an biot ik (biodiversit as); Segi sosial ekonomi, akt ivit as ekonomi, j enis dan deraj at dinamika ekonomi umumnya t erbat as dan berskala kecil, sert a belum didukung oleh j aringan dist ribusi dan pemasaran secara memadai; Segi lingkung-an, sumber daya lingkungan kecil, rent an t er-hadap perubahan (ent r ophy), rawan bencana alam (gelombang di permukaan laut , didomi-nasi oleh gelombang gravit asi yang dit imbulkan oleh angin; arus laut disebabkan oleh dua f ak-t or yakni angin musim dan pasang suruak-t ); 8) Dari segi biogeograf is, t erdapat pot ensi ke-anekaragaman hayat i darat dan perairan se-kit ar pulau-pulau (kecil); 9) Hampir semua Pro-vinsi Kepulauan berada pada wilayah/ kawasan Perbat asan Negara, yang memiliki pulau kecil t erluar.

Berdasarkan Perat uran Presiden Nomor 78 Tahun 2005, maka pulau-pulau kecil t erluar yang ada pada Provinsi Kepulauan dapat dirinci, Provinsi Kepulauan Riau 20 pulau, Provinsi Ma-luku 18 pulau, Provinsi Sulawesi Ut ara 12 pulau, Provinsi Nusa Tenggara Timur 5 pulau, Provinsi Nusa Tenggara Barat 1 pulau, Provinsi Maluku Ut ara 1 pulau dan Provinsi Kepulauan Bangka Belit ung 0 pulau. Luas wilayah laut pada Dae-rah Provinsi dengan karakt erist ik akuat ik t erest rial (kepulauan), apabila t idak didukung oleh at uran hukum mengenai kewenangan yang

6 Badan Kerj asama Propinsi kepul auan, op. ci t ., hl m.

(4)

dapat menyat ukan, maka akan menyebabkan t erj adinya ket impangan dalam pengat uran dan pemanf aat an sumberdaya alam di wilayah laut maupun ket impangan dalam penyelenggaraan pemerint ahan, pelaksanaan pembangunan mau-pun pelayanan kepada masyarakat pada daerah kepulauan yang berbeda dengan daerah lain.

Fenomena empirik yang t erlihat secara konkrit t erkait dengan karakt erist ik daerah ke-pulauan di at as adalah, t erbat asnya sarana dan prasarana pelayanan dasar; t erbat asnya ke-mampuan keuangan daerah; sarana dan prasa-rana t ranport asi laut dan udara yang sangat minim; biaya t ranport asi dalam rangka pela-yanan pemerint ahan yang sangat mahal; t er-bat asnya aksesibilit as masyarakat secara umum; masih adanya isolasi f isik dan sosial; adanya ket ergant ungan f iskal yang sangat t inggi kepada Pemerint ah; belum berkualit asnya ber-bagai layanan pemerint ahan baik layanan pub-lik maupun sipil; masih adanya disparit as eko-nomi ant ar daerah; rendahnya kualit as sumber-daya manusia.7

Ident if ikasi permasalahan berdasarkan Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 memperlihat kan sej umlah ket erbat asan yang memerlukan pena-nganan khusus pada Daerah Kepulauan, pe-ngendalian dan pengawasan perumusan peren-canaan dan pelaksanan pembangunan daerah; perencanaan pelaksanaan pemanf aat an t at a ruang; penyelenggaraan ket ert iban umum dan ket ent eraman masyarakat ; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang ke-sehat an; penyelenggaraan pendidikan dan alo-kasi sumberdaya manusia; penanggulangan ma-salah sosial lint as kabupat en/ kot a; pelayanan bidang ket enagakerj aan lint as kabupat en/ kot a; koordinasi dan f asilit asi pengembangan kope-rasi, usaha kecil dan menengah t ermasuk lint as kabupat en/ kot a; pengendalian lingkungan hi-dup; pelayanan pert anahan t ermasuk lint as kabupat en/ kot a; pelayanan kependudukan; minist rasi umum pemerint ahan; pelayanan ad-minist rasi penanaman modal t ermasuk lint as kabupat en/ kot a; pelayanan dasar lainnya.8

7 Ibi d.

8 Ibi d.

Luas Lingkup dan Sifat Pemerint ahan Daerah Menurut UUD 1945 (Amandemen)

Salah sat u aspek pent ing yang t urut di-ref ormasi adalah konst it usi Indonesia. Selama orde baru, UUD 1945 dikeramat kan dan diman-f aat kan secara licik oleh penguasa unt uk mem-pert ahankan dan melanggengkan kekuasaan. Ternyat a dengan t unt ut an ref ormasi unt uk mewuj udkan civi l societ y dan t ercipt anya good gover nance, maka dilakukan amandemen t erhadap UUD 1945. Pada Amandemen yang kedua, t elah dilakukan perubahan rumusan Pasal 18 UUD 1945 dengan rumusan t erdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B. Bilamana dicermat i pe-ngat uran dimaksud, maka dapat dipet ik bebe-rapa prinsip penyelenggaraan pemerint ahan daerah sebagai berikut .

(5)

hu-kum adat besert a hak-hak t radisionalnya sepanj ang masih hidup dan sesuai dengan pekerbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesat uan Republik Indonesia, yang diat ur dalam undang-undang.

Pert anyaan yang muncul kemudian ada-lah apakah sat uan-sat uan pemerint ahan daerah yang bersif at khusus dan ist imewa memiliki t ingkat an pemerint ahan yang sej aj ar dengan pemerint ahan Propinsi, Kabupat en dan Kot a at aukah t erlepas dari sat uan pemerint ahan yang ada? Apabila dicermat i prinsip pemerin-t ahan daerah pemerin-t erdiri dari dua pemerin-t ingkapemerin-t an, yaipemerin-t u pemerint ahan propinsi dan pemerint ahan kabpat en/ kot a, dihubungkan dengan prinsip sat u-an–sat uan pemerint ahan daerah yang bersif at khusus at au ist imewa diakui dan dihormat , sert a prinsip hubungan wewenang ant ara peme-rint ah pusat dan pemepeme-rint ahan daerah propinsi, kabupat en/ kot a memperhat ikan kekhususan dan keragaman daerah, maka dapat dideskrip-sikan st rukt ur pemerint ahan daerah berdasar-kan luas t ingkat an pemerint ahan daerah dan kekhususan at au keist imewaan pemerint ahan daerah sebagai berikut : pemerint ahan t ingkat propinsi yang khusus at au ist iwema; pemerin-t ahan pemerin-t ingkapemerin-t kabupapemerin-t en/ kopemerin-t a yang khusus at au ist imewa

Konst ruksi pemerint ahan daerah ini t idak diat ur lebih j auh dalam UUD 1945 (amande-men) dan semakin kabur ket ika st at us Penj elas-an UUD 1945 menj adi goyah sebagai akibat amandemen UUD 1945, maka perlu diat ur lebih lanj ut dalam Undang Undang Pemerint ahan Daerah, dengan memperj elas krit eria/ t olok ukur kekhususan at au keist imewaan pemerin-t ahan daerah dan bagaimana benpemerin-t uk perlakuan t erhadap kekhususan dan keist imewaan peme-rint ahan daerah dimaksud (wuj ud dari prinsip hubungan wewenang ant ara pemerint ah pusat dan pemerint ahan daerah propinsi, kabupat en, dan kot a memperhat ikan kekhususan dan ke-ragaman daerah). Oleh karenanya, salah sat u hal yang perlu dipert imbangkan dalam perubah-an UU No. 32 Tahun 2004 adalah memasukkperubah-an Propinsi dan Kabupat en Kepulauan sebagai salah sat u bent uk kekhususan pemerint ahan daerah dan memperj elas bent uk dan luas

per-lakuan pemerint ah t erhadap kekhususan dan keist imewaan pemerint ahan daerah dimaksud. Perlakuan pemerint ah t erhadap kekhusu-san dan keist imewaan pemerint ahan daerah di-perlukan sej alan dengan eksist ensi Indonesia sebagai Negara Kesat uan. Dalam Negara ke-sat uan, semua kekuasaan pemerint ahan ada di t angan pemerint ah (pusat ). Kekuasaan t erlet ak pada pemerint ah pusat dan t idak ada pada pe-merint ah daerah. Pepe-merint ah pusat mempunyai wewenang unt uk menyerahkan sebagian ke-kuasaannya kepada daerah berdasarkan hak ot onomi, t et api pada t ahap t erakhir kekuasaan t ert inggi t et ap di t angan pemerint ah pusat .

Pemikiran yang dipaparkan di at as hen-dak menegaskan bahwa prinsip yang dianut dalam Negara kesat uan ialah kewenangan pe-merint ah (pusat ) unt uk campur t angan yang lebih int ensif t erhadap persoalan-persoalan di daerah, t et api kewenangan dimaksud t erdapat dalam suat u pengat uran yang j elas dan t egas. Pada prinsipnya pemerint ah (pusat ) dapat men-campuri urusan apapun j uga sepanj ang me-ngenai kepent ingan umum. Dengan demikian dapat lah dikat akan bahwa ruang int ervensi pe-merint ah (pusat ) t erhadap pepe-merint ahan dae-rah (Propinsi dan Kabupat en/ Kot a) memiliki legit imasi dalam kont eks Indonesia sebagai negara kesat uan.

(6)

dan Kabupat en/ Kot a unt uk mengat ur kekhu-susan dan keist imewaannya, dengan t it ik berat kepada daerah t ert inggal, daerah t erpencil, daerah pesisir/ kepulauan, dan daerah yang beresiko t erhadap bencana.

Pemikiran mengenai pengakuan kekhu-susan daerah kepulauan (at au wacana lain t ent ang pengakuan daerah-daerah yang bersif at ist imewa) dimaksud sesungguhnya memiliki wacana akademik sebagaimana dikemukakan Charles D. Tarlt on yang diset ir Robert Endi Ja-weng.9 Dalam pandangan Tarlt on, model desen-t ralisasi desen-t eridendesen-t if ikasi dalam desendesen-t ralisasi simet ris dan desent ralisasi asimet ris. Model desent ralisasi simet ris/ biasa dit andai kesesuai-an (conf or mit y) dkesesuai-an keumumkesesuai-an (commonal i t y) dalam hubungan daerah dengan sist em polit ik nasional, pemerint ah pusat maupun ant ar daerah. Model desent ralisasi asimet ris dengan ciri sebaliknya, art inya suat u daerah khusus/ ist imewa memiliki pola hubungan berbeda dan t ak lazim t erj adi di daerah-daerah lain, ut ama-nya hal ihwal relasi dengan pusat , relasi dengan daerah sekit ar, dan pengat uran int ernal daerah it u sendiri.

Lebih lanj ut mengenai let ak kekhususan dan keist imewaan suat u daerah, Tarlt on me-nandaskan bahwa subyek ut amanya adalah soal kewenangan. Dasar pemberian dan isi kewe-nangan khusus/ ist imewa mempresent asikan alas an-alasan unik. Subyek kewenangan inilah yang nant inya menent ukan bangunan relasi daerah khusus/ ist imewa dengan pusat at au daerah lain maupun arah kebij akan int ernal dan t at a kelola pemerint ahannya.10 Dasar Alas-an memberlakukAlas-an desent ralisasi asimet ris pada sebagian Negara adalah bert olak dari pol i t i cal r eason sepert i respons at as kebera-gaman karakt er regional at au primordial, bah-kan ket egangan et nis (sepert i kasus Quebeck di Kanada); sebagian lain dilandasi ef f i ciency r easons, yakni bert uj uan unt uk penguat an

9 Robert Endi Jaweng, “ Anomal i Desent r al i sasi

Asime-t ris” , Suar a Pembar uan, Sel asa, 21 Desember 2010, hl m. 5.

10 Ibi d.

pasit as pemerint ah daerah dan administ rasi pemerint ahan.11

Berdasarkan uraian t ersebut di at as, ma-ka j elas bahwa pengakuan daerah kepulauan sebagai model pemerint ahan daerah yang bersif at khusus j uga memiliki ruj ukan akademik yait u sebagai wuj ud model desent ralisasi asi-met ris yang berlandaskan pada pol i t i cal r ea-sons (keberagaman karakt er regional) dan ef f i ciency r eason, yakni bert uj uan unt uk pe-nguat an kapasit as pemerint ah daerah. Oleh karenanya, pembent ukan daerah kepulauan sebagai daerah yang bersif at khusus di Negara kesat uan Republik Indonesia memiliki landasan konst it usional dan landasan akademik yang t ak perlu diragukan lagi.

Persoalan yang muncul berikut nya adalah dimanakah let ak kekhususan daerah kepulauan dimaksud?. Sebagaimana dikemukakan dalam ulasan sebelumnya bahwa let ak kekhususan daerah kepulauan adalah daerah kepulauan di berikan kewenangan luas t erhadap wilayah laut yang berada dalam wilayah administ rat if nya. Kekhususan dimaksud merupakan harapan daerah kepulauan karena selama ini (menurut Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004), daerah diberi-kan wewenang pengelolaan sumberdaya laut di wilayah laut paling j auh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pant ai ke arah laut lepas dan/ at au ke arah perairan kepulauan unt uk propinsi dan 1/ 3 (sepert iga) dari wilayah kewenangan propinsi unt uk kabupat en/ kot a.

Pengakuan ot onomi khusus bagi daerah kepulauan sesungguhnya bermaksud memberi-kan peluang bagi daerah-daerah kepulauan unt uk dapat mengembangkan dan mengelola semua pot ensi wilayah laut secara maksimal unt uk mendongkrak t ingkat kesej aht eraan ma-syarakat . Hasil penelit ian Yoseph M. Laynurak mengungkapkan bahwa kesej aht eraan masyara-kat (khususnya nelayan) dit ent ukan j uga oleh f act or pengelolaan pot ensi laut dan laut secara int ensif .12 Oleh karenanya, pemberian kewena-ngan kepada daerah-daerah kepulauan sebagai

11 Ibi d.

12 Yoseph M. Laynurak, “ Anal i si s Model Opt i mal isasi

(7)

wuj ud ot onomi khusus merupakan alt ernat ive unt uk memberikan kesempat an kepada Peme-rint ah daerah unt uk peningkat an kesej aht eraan rakyat . Kewenangan dimaksud dapat dij elaskan di bawah ini.

Per t ama, wilayah laut daerah kepulauan, mempunyai kewenangan yait u bat as daerah kepulauan di wilayah laut merupakan ruang pelaksanaan kewenangan daerah kepulauan da-lam rangka pengelolaan dan pemanf aat an sum-berdaya alam di laut ; bat as kewenangan daerah provinsi kepulauan di wilayah laut sej auh 12 (dua belas) mi laut diukur dari garis yang meng-hubungkan t it ik-t it ik t erluar dari pulau-pulau at au karang t erluar suat u daerah kepulauan ke arah laut lepas at au perairan kepulauan; apa-bila wilayah laut ant ara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat ) mil laut , kewenang-an unt uk mengelola dkewenang-an memkewenang-anf aat kkewenang-an sum-berdaya alam di wilayah laut dibagi sama j araknya at au diukur sesuai prinsip garis t engah dari wilayah ant ar dua provinsi t ersebut . Bat as kewenangan daerah kabupat en/ kot a kepulauan di wilayah laut sej auh maksimal 6 (enam) mil laut diukur dari garis yang menghubungkan t it ik-t it ik t erluar dari pulau dan/ at au karang t erluar dari daerah kabupat en/ kot a kepulauan, yang dit et apkan dalam Perat uran Daerah Pro-vinsi; Dalam wilayah kewenangan daerah kabu-pat en/ kot a kepulauan di laut , dakabu-pat dit et apkan wilayah kewenangan kesat uan masyarakat hukum adat yang t idak boleh kurang dari 1, 5 (sat u koma lima) mil laut diukur dari garis air rendah kearah laut lepas at au perairan kepu-lauan dan diat ur dalam Perat uran Daerah Kabu-pat en/ Kot a; Penet apan bat as kewenangan dae-rah di wilayah laut , t et ap menghormat i hak-hak penangkapan ikan yang secara t radisional t elah berlangsung.

Kedua, Kewenangan Daerah Kepulauan di laut yang t erdiri dari daerah kepulauan diberi-kan kewenangan unt uk mengelola dan meman-f aat kan sumberdaya alam di wilayah laut , baik di bawah dasar dan at au di dasar laut dan at au perairan di at asnya; daerah Kepulauan men-dapat kan bagi hasil at as pengelolaan sumber-daya alam di laut , baik di bawah dasar dan at au di dasar laut dan at au perairan di at asnya

sesuai dengan perat uran perundang-undangan; Kewenangan daerah kepulauan unt uk melaku-kan pengelolaan dan pemanf aat an sumberdaya alam di laut meliput i: eksplorasi, eksploit asi, konservasi, pengelolaan dan pemanf aat an ke-kayaan laut ; pengat uran administ rat if ; peng-at uran t peng-at a ruang; penegakan hukum t erhadap perat uran yang dikeluarkan oleh daerah at au yang dilimpahkan kewenangannya oleh Peme-rint ah; ikut sert a dalam pemeliharaan keaman-an; dan ikut sert a dalam pert ahanan dan keamanan Negara; selain it u, Pemerint ah dan pemerint ahan daerah melakukan kadast erisasi wilayah laut unt uk mewuj udkan kepast ian hu-kum dalam pengelolaan dan pemanf aat an sumberdaya alam di laut .

Hubungan keuangan, pelayanan umum,

pemanfaat an sumber daya alam dan sumber daya lainnya ant ara pemerint ah pusat dan pemerint ah daerah

Prinsip penyelenggaraan pemerint ahan daerah lainnya yang dit arik dari pengat uran UUD 1945 (amandemen) adalah hubungan ke-uangan, pelayanan umum, pemanf aat an sum-ber daya alam dan sumsum-ber daya lainnya ant ara pemerint ah pusat dan pemerint ahan daerah diat ur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang Undang. Prinsip ini semes-t inya diwuj udkan dalam pengasemes-t uran Undang Undang Pemerint ahan Daerah, t erut ama ber-kait an dengan pengat uran hubungan Pemerin-t ah dan PemerinPemerin-t ah Daerah, namun j usPemerin-t ru pengat uran t ent ang hal t ersebut belum di-rumuskan secara j elas. UU No. 32 Tahun 2004 memberikan perhat ian dalam pengat uran t en-t ang hubungan kewenangan pemerinen-t ah (pusaen-t ) dengan pemerint ah daerah.

(8)

pembangunan yang diselenggarakan oleh peme-rint ah daerah; ket i ga, pembagian yang adil di ant ara daerah-daerah at as pengeluaran peme-rint ah, at au sekurang-kurangnya ada perkem-bangan yang memang diusahakan ke arah it u; keempat, suat u upaya perpaj akan (f i scal ef -f or t ) dalam memungut paj ak dan ret ribusi oleh pemerint ah daerah yang sesuai dengan pem-bagian yang adil at as beban keseluruhan dari pengeluaran pemerint ah dalam masyarakat .13

Berdasarkan pemahaman t ent ang kons-t ruksi hubungan pemerinkons-t ah dan pemerinkons-t ah daerah, maka hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanf aat an sumber daya alam dan sumber daya lainnya ant ara pemerint ah pusat dan pemerint ah daerah harus diat ur secara adil dan selaras. Pengat uran yang adil dan selaras t ent unya mempert imbangkan berbagai aspek t erkait , t ermasuk aspek kondisi geograf is dan realit as masyarakat yang hidup dalam sat u t at anan pemerint ahan daerah, namun berada di pulau-pulau yang t ersebar at au sering disebut sebagai daerah (propinsi at au kabupat en ke-pulauan). Penegasan ini harus mendapat per-hat ian khusus dalam pengat uran hubungan pe-merint ah dan pepe-merint ah daerah seiring de-ngan gagasan unt uk merevisi UU No. 32 Tahun 2004.

Berkait an dengan hubungan pemerint ah dan pemerint ah daerah dalam hal pemanf aat -an sumber daya alam d-an sumber daya lainnya, t ent unya meruj uk pada ket ent uan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yait u “ bumi air dan kekayaan alam yang t erkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat ” . Pengert ian dikuasai Ne-gara menurut pendapat Mahkamah Konst it usi bahwa t idak dapat diart ikan hanya sebat as hak unt uk mengat ur dan mengawasi, karena hal t ersebut dengan sendirinya melekat dalam f ungsi-f ungsi Negara t anpa harus menyebut secara khusus dalam UUD 1945, dan sekiranya pun t idak dicant umkan dalam konst it usi seba-gaimana lazim di banyak Negara yang menganut paham ekonomi liberal, sudah dengan

13 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemer i nt ahan

Dae-r ah, Kaj i an t ent ang Hubungan Keuangan Ant aDae-r a Pusat dan Daer ah, Yogyakart a: UII Press, hl m. 34.

nya Negara berhak mengat ur perekonomian. At as dasar it u, Mahkamah Konst it usi berpen-dapat bahwa penguasaan Negara diart ikan dari konsepsi kedaulat an rakyat Indonesia at as segala sumber kekayaan “ bumi dan air dan kekayaan alam yang t erkandung di dalamnya” , sebagai pemilikan publik oleh kolekt ivit as rak-yat at as sumber-sumber kekayaan, dan kemu-dian rakyat t ersebut secara kolekt ivit as dikons-t ruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandadikons-t e kepada Negara unt uk mengadakan kebij akan (bel ei d), t indakan pengurusan (best uur sdaad), pengat uran (r egelendaad), pengelolaan (bes-t uur sdaad) dengan kewenangannya un(bes-t uk me-ngeluarkan dan mencabut f asilit as ij in, lisensi, dan konsesi.14 Lebih lanj ut Abrar Saleng15 me-ngemukakan bahwa penggunaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan pendekat an bahwa sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan merupakan milik bersama (common pr o-per t y) bangsa-bangsa (nat ion) yang ada di Indonesia dan digunakan unt uk kesej aht eraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari sat u generasi ke generasi selanj ut nya (i nt er -gener at ion) secara berkelanj ut an (subst ai n-abl i l i t y).

Era ot onomi daerah t elah membawa pe-rubahan yang mendasar dalam sist em dan prak-t ik pengelolaan sumberdaya alam. Perubahan dimaksud t erlihat dalam kewenangan pemerin-t ah daerah yang besar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sej alan dengan it u, Kusnaka Adimihardj a menandaskan bahwa st rat egi pe-ngelolaan sumber daya alam yang bersif at mak-ro selama ini seyogyanya beralih ke model pengelolaan yang bersif at mikro dengan mem-pert imbangkan keragaman budaya masyara-kat .16 It u berart i, ruang pengelolaan sumber daya alam mest inya diberikan lebih besar kepada pemerint ah daerah karena pemerint ah

14

Maruarar Si ahaan, “ Rel evansi Penguasaan Negara at as Cabang Produksi St r at egi s Menurut UUD 1945” , Jur nal Konst i t usi, Vol . 4 No. 3, Sept ember 2007, Jakart a: MKRI, hl m. 21-22.

15 Abr ar Sal eng, “ Impl ement asi Bent uk Negar a Kesat uan

Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Al am Dan Kekayaan Negara Dar i Perspekt if Ot onomi Daerah” , Jur nal Hukum Yur i spr udensi a, Vol . 6 No. 1, Januari 2007, hl m. 52. 16 Kusnaka Adimihardj a, “ Kear if an Lokal kumuni t as Adat

(9)

daerah lebih menguasai realit as kehidupan masyarakat dan keragaman budaya di daerah-nya dan lebih t erbuka ruang unt uk pengelolaan sumber daya alam secara demokrat is.17 UU No. 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ahan Daerah menent ukan bahwa “ Daerah berwenang menge-lola sumberdaya nasional yang t ersedia di wilayahnya dan bert anggungj awab memelihara kelest arian lingkungan sesuai dengan perat uran perundang-undangan” (Pasal 17).18

Pemaknaan t erhadap hak penguasaan Ne-gara ini dapat j uga dit erapkan pada t ingkat daerah dalam Negara Kesat uan Republik Indo-nesia sepanj ang didelegasikan kepada daerah dengan pemberlakuan asas desent ralisasi. Oleh karenanya, dalam era ot onomi daerah yang an-t ara lain dian-t andai dengan an-t unan-t uan-t an unan-t uk pengakuan daerah kepulauan sebagai salah sat u bent uk ot onomi khusus, kewenangan pengelola-an sumberdaya laut dpengelola-an kepulaupengelola-an secara luas j uga merupakan sesuat u hal yang melekat dengan ot onomi khusus dimaksud.

Asas Penyelenggaraan Urusan Pemerint ahan Berdasarkan Asas ekst ernalit as

UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bah-wa pemerint ah daerah menyelenggarakan urus-an pemerint ahurus-an yurus-ang menj adi kewenurus-angurus-an- kewenangan-nya, kecuali urusan pemerint ahan yang oleh Undang Undang ini dit ent ukan menj adi urusan pemerint ah. Dengan ket ent uan t ersebut , peme-rint ah daerah kabupat en at au kot a t idak men-cakup kewenangan dalam seluruh bidang peme-rint ahan, t et api t erbat as pada urusan yang menj adi wewenangnya. Hal inilah yang menj adi f enomena adanya pengurangan kewenangan at au pengambilalihan kewenangan pemerint ah-an daerah kabupat en/ kot a yah-ang sebelumnya begit u luas. Dengan kat a lain, sekarang t idak

17

Kot an Y. St ef anus, “ Mengembangkan Demokrasi Dal am Era Ot onomi Daer ah” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 2 No. 2, Nopember 2009, Jakart a: MKRI, hl m. 19. Spir it ref or-masi yang t el ah bergul ir sepul uh t ahun l ebih bel um me-rasuki sendi-sendi syst em pol it ik dan bel um menegas-kan demokrasi sebagai prinsi p ket at anegaraan di Indo-nesi a.

18 Penj el asan Terhadap Pasal 17 Undang Undang Nomor 32

Tahun 2004, yang di maksud dengan sumberdaya nasio-nal adal am sumberdaya al am, sumber daya buat an dan sumber daya manusia.

berlaku lagi adanya ot onomi seluas-luasnya sebagaimana diat ur UU No. 22 Tahun 1999.

Pembagian urusan pemerint ahan t erdiri dari dua j enis urusan pemerint ahan, yait u: per t ama, urusan pemerint ahan yang merupa-kan wewenang sepenuhnya pemerint ah (pusat ); dan kedua, urusan pemerint ahan yang bersif at concurrent , yait u penanganannya dalam bagian at au bidang t ert ent u dapat dilaksanakan bersama ant ara pemerint ah (pusat ) dan pe-merint ah daerah. Dengan demikian, set iap urusan yang bersif at concurent senant iasa ada bagian urusan yang menj adi kewenangan peme-rint ah pusat dan ada bagian yang diserahkan kepada propinsi dan ada j uga urusan pemerin-t ahan yang diserahkan kepada kabupapemerin-t en/ kopemerin-t a.

Pembagian kewenangan yang concur r ent secara proporsional ant ara pemerint ah (pusat ), pemerint ah propinsi, dan pemerint ah kabupa-t en/ kokabupa-t a, diwuj udkan dengan menggunakan t iga krit eria, yait u ekst ernalit as, akunt abilit as, dan ef isiensi. Pelaksanaan krit eria t ersebut j uga harus memperhat ikan keserasian hubungan ant ar susunan pemerint ahan.

Kaj ian ini perlu dicermat i secara krit is mengenai krit eria ekst ernalit as. Krit eria eks-t ernalieks-t as adalah penyelenggaraan suaeks-t u urusan pemerint ahan yang dit ent ukan berdasarkan luas, besaran, dan j angkauan dampak yang t imbul akibat penyelenggaraan suat u urusan pemerint ahan (Penj elasan Terhadap Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004). It u berart i bahwa urus-an pemerint ahurus-an daerah t idak mut lak dilaksa-nakan oleh t ingkat an pemerint ahan t ert ent u saj a, t et api harus mempert imbangkan luas, j angkauan dan dampak yang dit imbulkan akibat penyelenggaraan suat u urusan pemerint ahan daerah.

(10)

j uga dapat menj adi t anggungj awab pemerin-t ah. Inpemerin-t ervensi pemerinpemerin-t ah pemerin-t erhadap penye-lenggaraan pemerint ahan di daerah-daerah kepulauan mest inya mendapat perhat ian khu-sus, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mencuat dan mempercepat pro-ses menuj u t erwuj udnya kesej aht eraan rakyat . Oleh karenanya, perlu penegasan pengat uran dalam perubahan UU No. 32 Tahun 2004 me-ngenai kewaj iban pemerint ah unt uk memf asili-t asi penyelenggaraan pemerinasili-t ahan di daerah-daerah kepulauan, namun j uga t et ap memberi-kan ruang unt uk pengembangan demokrasi lokal sesuai dengan karakt erist ik daerah kepulauan t ersebut .19 Hal ini pent ing karena menurut Hj . Ellydar Chaidir20 bahwa proses pembangunan hukum dapat dimulai dari penggalian nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara pemerint ah yang ber-wenang merumuskan kebij akan.

Landasan Hukum Daerah Khusus Kepulauan

Beranj ak dari paparan sebelumnya, maka dapat lah dit egaskan bahwa salah sat u wuj ud dari ot onomi khusus dalam Negara Kesat uan Republik Indonesia adalah Daerah Kepulauan. Eksist ensi Daerah Kepulauan dimaksud sesung-guhnya t elah memiliki beberapa landasan yuri-dis dalam sist em hukum Indonesia.21

Per t ama, UUD 1945. Ada sej umlah pasal dalam Undang Undang Dasar 1945 yang dapat dij adikan sebagai landasan yuridis Provinsi Ke-pulauan, yait u (1) Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945 bahwa, ” hubungan wewenang ant ara pemerin-t ah pusapemerin-t dan pemerinpemerin-t ah daerah provinsi, kabupat en, dan kot a, at au ant ara provinsi dan kabupat en dan kot a, diat ur dengan undang un-dang dengan memperhat ikan kekhususan dan

19

Juni Thamrin, “ Menci pt akan Ruang Bar u Bagi Demokr asi Part isipat if : Dinamika dan Tant angan” , Jur nal Anal i si s Sosi al , Vol . 9 No. 3, Desember 2004, hl m. 20. Part i si -pasi mendorong sel uruh masyar akat si pil unt uk mencipt akan sinerj i dan kemimencipt raan dengan pemerinmencipt ah. Parmencipt i si -pasi masyar akat sebenarnya membawa sert a pr insip hak asasi manusia unt uk mendapat kan kesempat an mel aku-kan ekspresi diri .

20 El l yadar Chai dir, “ Manaj emen Pembangunan Hukum di

Daer ah” , Jur nal Mahkamah, Vol . 19 No. 2, Okt ober 2007, hl m. 165.

21 H. M. Lai ca Marzuki , “ Membangun Undang Undang Yang

Ideal ” , Jur nal Legi sl asi Indonesi a, Vol . 4 No. 2, Juni 2007, Jakart a: Dirj en Hukum dan HAM, hl m. 4;

(11)

oleh negara dan dipergunakan unt uk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . ” Hal ini berart i, Negara diharuskan unt uk bersikap bij ak dalam mengat ur kekayaan alam yang ada sehingga semua masyarakat Indonesia, baik yang ber-domisili di wilayah darat an dan wilayah kep-ulauan harus memanf aat kannya secara opt imal unt uk peningkat an kesej aht eraan j asmani dan rohaninya; (6) Pasal 28A-28J Undang Undang Dasar 1945 mengat ur t ent ang Hak Asasi Manu-sia. Secara eksplisit , perj uangan unt uk meng-akomodasi Provinsi Kepulauan dalam Perubahan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ahan Daerah dan pembent ukan ran-cangan Undang Undang daerah Kepulauan ber-muara pada t erakomodasinya Hak Asasi Manu-sia sebagaimana t ermakt ub dalam Pasal 28C ayat (1) yang menent ukan bahwa: “ Set iap orang berhak mengembangkan diri melalui pe-menuhan kebut uhan dasarnya, berhak men-dapat kan pendidikan dan memperoleh manf aat dari ilmu penget ahuan dan t eknologi, seni dan budaya, demi meningkat kan kualit as hidupnya dan demi kesej aht eraan umat manusia” . Pada Ayat (2) menent ukan bahwa: “ Set iap orang ber-hak memaj ukan dirinya dalam memperj uangkan haknya secara kolekt if unt uk membangun masyarakat , bangsa, dan negaranya” . Sedang-kan pada Pasal 28H ayat (1) menent uSedang-kan bah-wa: “ Set iap orang berhak hidup sej aht era lahir dan bat in, bert empat t inggal, dan mendapat -kan lingkungan hidup yang baik dan sehat sert a berhak memperoleh pelayanan kesehat an; Ayat (3): Set iap orang berhak at as j aminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara ut uh sebagai manusia yang bermart abat . Kedua, Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 t ent ang Pengesahan Unit ed Nat ion Convent ion on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS) pada dasarnya harus mendapat perhat ian dalam pe-ngat uran pemerint ahan daerah t erkait dengan penet apan kewenangan daerah ot onom pada wilayah laut . Salah sat u yang diat ur dalam UN-CLOS 1982 adalah prinsip Negara Kepulauan (ar chi pel agi c st at es) dan perairan negara-ne-gara demikian yang diperj uangkan oleh Indo-nesia sej ak Deklarasi Dj uanda 1957.

Negara Kepulauan menurut UNCLOS ada-lah, “ suat u negara yang seluruhnya t erdiri dari sat u at au lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, ” (Pasal 46 ayat 1). Wuj ud suat u Negara Kepulauan dit ent ukan berdasar-kan penent uan garis pangkal lurus kepulauan (Ar chi pel agi c St r ai ght basel i ne) sebagaimana dit egaskan dalam Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982: “ Suat u Negara Kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan t it ik t erluar pulau-pulau dan karang kering t erluar kepulauan it u, de-ngan ket ent uan bahwa di dalam garis pangkal demikian t ermasuk pulau-pulau ut ama dan sua-t u daerah dimana perbandingan ansua-t ara daerah perairan dan daerah darat an, t ermasuk at ol, adalah ant ara sat u berbanding sat u dan sem-bilan berbanding sat u” .

(12)

dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut t erit orial diukur” .

Pasal 3-7 Konvensi PBB t ent ang Hukum Laut t anggal 10 Desember 1982 t ersebut di at as, j uga mengat ur t ent ang bat as laut t eri-t orial eri-t idak melebihi 12 mil laueri-t diukur dari garis pangkal. Maksud dengan garis pangkal biasa (normal) adalah garis pangkal yang dit arik pada pant ai pada wakt u air laut surut dengan mengikut i lekukan-lekukan pant ai. Namun de-mikian, dalam hal kepulauan yang t erlet ak pa-da at ol-at ol at au kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekit arnya, garis pangkal it u adalah garis pasang surut pada sisi karang ke arah laut sebagaimana yang dit unj ukkan oleh t anda yang j elas pada pet a-pet a yang secara resmi diakui oleh negara pant ai.

Garis pangkal lurus dapat dipakai sesuai dengan keadaan-keadaan yang diuraikan dalam Pasal 7 (bandingkan dengan Pasal 4 dari Kon-vensi 1958), yang sebegit u j auh merupakan per-wuj udan prinsip-prinsip yang diakui dalam Angl o-Nor wegi an Fi sher ies Case. Garis-garis demikian yang menghubungkan “ t it ik-t it ik yang t epat ” dapat dit arik unt uk “ t empat -t empat ” di mana garis pant ai menj orok ke dalam dan menikung ke dalam at au apabila t erdapat suat u deret an pulau sepanj ang pant ai di dekat nya. Dalam Konvensi Hukum Laut di Jenewa t ahun 1958, t ernyat a Garis Pangkal Lurus ini dikukuh-kan sebagai salah sat u Garis Pangkal yang dapat dit erapkan dalam pengukuran lebar laut t eri-t orial, di samping ini garis pangkal normal. Hal ini dimuat dalam Pasal 4-5 Konvensi t ent ang Laut Terit orial dan Zona Tambahan. Dengan isi dan j iwa yang sama sepert i Konvensi Jenewa 1958 t ersebut , dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Garis Pangkal Lurus inipun j uga masih t et ap diakui sebagai salah sat u Garis Pangkal dalam pengukuran lebar Laut Terit orial (Pasal 7).

Konvensi Hukum Laut 1982 menerapkan “ prinsip pembedaan” dalam menent ukan lebar laut t erit orial suat u negara sebagaimana di-maksudkan di at as, melalui penerapan ket iga cara penarikan garis pangkal unt uk menent ukan lebar laut t erit orial, sehingga dapat mencer-minkan adanya keadilan dalam masyarakat

int ernasional. Bagi negara-negara dengan ka-rakt erist ik kont inent al dipergunakan garis pang-kal biasa (nor mal basel i ne) unt uk mengukur lebar laut t erit orial, bagi negara-negara kon-t inenkon-t al dengan karakkon-t eriskon-t ik kon-t eluk yang lebar at au t erdapat pulau-pulau di depan pant ainya dipergunakan garis pangkal lurus (st r ai ght base-l i ne) unt uk mengukur base-lebar base-laut t erit oriabase-lnya, sedangkan bagi negara-negara dengan karak-t eriskarak-t ik kepulauan dapakarak-t dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan (ar chi pel agi c st r ai ght basel i ne) unt uk mengukur lebar laut t erit orial.

Ket i ga, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 pa-da pa-dasarnya merupakan produk hukum yang menggant ikan Undang-undang Nomor 4/ Prp/ 1060 mengenai Perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 j uga menganut prinsip pembedaan sebagaimana dalam UNCLOS 1982 yang t elah menj adi Hukum Nasional Indonesai berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.

Penut up Simpulan

(13)

Rekomendasi

Berkait an dengan upaya memperkuat st a-t us dan posisi daerah-daerah kepulauan, pe-nulis merekomendasikan agar dalam merevisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu mempert egas dan memperj elas pengat uran t ent ang daerah khu-sus dan daerah ist imewa dengan memasukkan daerah kepulauan sebagai salah sat u wuj ud pemerint ahan daerah dimaksud sert a mengat ur hubungan pemerint ah dengan pemerint ah dae-rah secara khusus dalam hal int ervensi t er-hadap daerah-daerah khusus dan ist imewa di-maksud. Selain it u, revisi UU No. 32 Tahun 2004 j uga harus mempert egas kewaj iban pemerint ah unt uk memf asilit asi penyelenggaraan pemerin-t ahan di daerah-daerah kepulauan.

Daft ar Pust aka

Adimihardj a, Kusnaka. “ Kearif an Lokal Komuni-t as AdaKomuni-t Mengelola Sumber Agraria” . Jur -nal A-nal i sis Sosi al. Vol. 6 No. 2. Juli 2001;

Badan Kerj asama Propinsi Kepulauan. 2009. Naskah Akademi k Undang Undang Daer ah Kepul auan. Jakart a: Badan Kerj asama Propinsi Kepulauan;

Chaidir, Ellyadar. “ Manaj emen Pembangunan Hukum di Daerah” . Jur nal Mahkamah. Vol. 19 No. 2. Okt ober 2007;

Dahuri, Rukmin. “ Kerj asama Kelaut an Dalam Mencipt akan St abilit as Kawasan” . Jur nal PASKAL. Vol. 1 No. 3. Okt ober 2002. Ja-kart a: Pusat Kaj ian St rat egis Kepent ingan Nasional;

Fauzan, Muhammad. 2006. Hukum Pemer i n-t ahan Daer ah, Kaj i an n-t enn-t ang Hubungan Keuangan Ant ar a Pusat dan Daer ah.

Yogyakart a: UII Press;

Juanit a, Grace. “ Pengaruh Kaidah Bukan Hu-kum Dalam Proses Pembent ukan Kaidah Hukum” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a. Vol. 25 No. 2. April 2007. Bandung: FH Unpar;

Jaweng, Robert Endi. “ Anomali Desent ralisasi Asimet ris” . Suar a Pembar uan. Selasa, 21 Desember 2010;

Laynurak, Yoseph M. “ Analisis Model Opt imali-sasi Sumber Daya Pant ai Terhadap Kese-j aht eraan Nelayan di Kabupat en Belu – NTT” , Fl obamor a Vol. No. 01. Tahun 2009. NTT: Jurnal Lit bang NTT;

Marzuki, H. M. Laica. “ Membangun Undang-Undang Yang Ideal” . Jur nal Legi sl asi In-donesi a. Vol. 4 No. 2. Juni 2007. Dirj en Hukum dan HAM;

Saleng, Abrar. “ Implement asi Bent uk Negara Kesat uan Dalam Dalam Pengelolaan Sum-ber Daya Alam Dan Kekayaan Negara Dari Perspekt if Ot onomi Daerah” . Jur nal Hukum Yur i spr udensi a. Vol. 6 No. 1 Ja-nuari 2007;

Sant oso, M Agus. “ Ot onomi Daerah di Negara Kesat uan Republik Indonesia” , Jur nal Il -mu Admini st r asi . Vol. VI No. 4. Desember 2009;

Siahaan, Maruarar. “ Relevansi Penguasaan Ne-gara at as Cabang Produksi St rat egis Me-nurut UUD 1945” . Jur nal Konst i t usi, Vol. 4 No. 3. Sept ember 2007. Jakart a: MKRI;

St ef anus, Kot an Y. “ Mengembangkan Demokrasi Dalam Era Ot onomi Daerah” . Jur nal Konst i t usi . Vol. 2 No. 2. Nopember 2009. Jakart a: MKRI;

Referensi

Dokumen terkait

An Empirical Study of Operating Cash Flow Usefulness in Predicting Saving and Loan Financial Distress.. Advances in Accounting: Volume 17,

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan mengajar guru melalui model scramble pembelajaran IPS materi perkembangan teknologi produksi, komunikasi,

Hasil lain dari penelitian ini adalah umpan balik anggaran dan kesulitan tujuan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja aparat pemerintah daerah. Kata kunci : Kinerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh likuiditas, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, komisaris independen dan pertumbuhan laba terhadap

Pada hari ini Jum’at Tanggal Dua Puluh Sembilan Juli Tahun 2016 (29/07/2016) Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan Barang/ Jasa Konstruksi Bidang Bina Marga

[r]

Gizka Puji Alivia (1000652 ) “Pengaruh Kompetensi Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Non Fisik terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Imigrasi Klas I Bandung ”,

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun