• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN YANG TIDAK BERWAWASAN LINGKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBANGUNAN YANG TIDAK BERWAWASAN LINGKU"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN YANG TIDAK BERWAWASAN LINGKUNGAN dan PEREMBANGAN PEMBANGUNAN RTH KOTA

Oleh Fajar Putra Satria , Nim 09.24.011

Akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, luas RTH (Ruang Terbua Hijau) berbagai Kota di Indonesia semakin berkurang, jauh dari luas optimal yaitu 30% dari total luas kota. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan ini seperti telah menjadi sebuah trend kota-kota besar di Indonesia saat ini , yang selalu identik dengan gedung-gedung pencakar langit, fasilitas perumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau pusat pemberlanjaan, rumah sakit, tempat hiburan dsb. Dan semua itu dibangun demi kepentingan manusia itu sendiri. Tetapi disini kita tidak pernah berpikir tentang begitu pentingnya RTH itu bagi kelangsungan kehidupan manusia, kenapa ? , itu di karenakan keegoisan kita sendiri yang menganggap bahwa semua yang ada dimuka bumi ini dapat kita kuasai dan kita olah semaunya tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Secara umum, permasalahan ketidaktersiaannya RTH Kota disebabkan oleh :

1) Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan urgensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai ruang publik (common property) yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga saling melepas tanggungjawab;

2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin. RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cenderung lebih menjadi ‘masalah’ dibanding ‘manfaat’;

(2)

4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media tanah, air dan udara semakin meningkat dan menimbulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.

Pernyataan ‘hidup sehat itu mahal’ telah dibuktikan oleh para pakar kesehatan maupun para penderita penyakit. Hubungan antara pencemaran pada media lingkungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara tercemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan mentah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.

Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota, mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan sebagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar. Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu kriteria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya dapat hidup sehat pula.

Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebutuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa.

Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetis).

Referensi

Dokumen terkait

Ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air hujan semakin berkurang akibat perubahan tata guna lahan yang terjadi di kota Surakarta, Masalah tidak berhenti

Untuk mendukung infrastruktur hijau dalam manajemen air, Kota Surabaya memiliki ruang terbuka hijau (RTH) yang luasnya mencapai 7.290,53 ha atau sama dengan 21,79% dari

Geoteknik adalah salah satu dari cabang dari ilmu geologi yang erat hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kajian-kajian geoteknik

Luasan ruang terbuka hijau publik sebesar 7,12% dari luas wilayah Kota Bandar. Lampung diperkirakan akan terus berkurang seiring dengan meningkatnya

Target optimasi yang hendak dicapai yaitu mencari komposisi penggunaan lahan yang dapat dan mampu menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 % dari luas wilayah

Ruang Terbuka Hijau (RTH) selain berfungsi estetika, juga sebagai bagian dari ekosistem perkotaan (Soemarwoto, 2008). Punahnya RTH samadengan hilangnya kemanusiaan, karena

Menentukan kebutuhan luas RTH berdasarkan kebutuhan oksigen suatu kota dapat digunakan pendekatan metode Gerakis (1974) yang memperhitungkan kebutuhan ruang terbuka hijau dari

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penambahan luas ruang terbuka hijau publik secara signifikan sebesar 276,95 Ha dari penerapan cellular automata dalam pengembangan lahan RTH