BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Konsep Tentang Bantuan Hukum
1. Pengertian Bantuan Hukum Dan Teori akses pada keadilan (access to justice)
Adnan Buyung Nasution, memberikan pengertian tentang bantuan hukum sebagai
berikut:
“Bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural, akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana. Ia merupakan tin- dakan pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik ekonomi dan sosial yang sarat dengan penindasan.”1
Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa bantuan hukum tidak untuk menghindarkan
diri dari tujuan menata kembali masyarakat dari kepincangan struktural yang tajam dengan
menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources) dan sekaligus mengadakan
redistribusi kekuasaan untuk melaksanakan partisipasi dari bawah.
Hal penting yang harus diingat di sini adalah agar kepada rakyat miskin mayoritas yang
berada di pinggiran harus dikembalikan hak-hak dasar mereka akan sumber-sumber daya
politik, ekonomi, teknologi, informasi dan sebagainya agar mereka bisa menentukan
masyarakat bagaimana yang mereka kehendaki.2
Dengan mengutip pendapat dari K. Smith dan D.J.Keenan, Santoso Poedjosoebroto
berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai :
1
Frans Hendra Winarta, Op.cit., hlm. 22.
2
“bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa yang menjadi kuasa dari pada seorang yang berperkara) yang diberikan kepada orangyang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara.”3
Pendapat diatas dikutip untuk mendapatkan suatu gambaran umum mengenai bantuan
hukum, yang mungkin secara relatif terbatas ruang lingkupnya. Jaksa Agung Republik
Indonesia ternyata juga mempunyai pendapat yang lebih sempit lagi ruang lingkupnya,
oleh karena memberikan pengertian, sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasihat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan.”4
Pada waktu itu Kepala Kepolisian Republik Indonesia, memberikan batas pengertian
yang agak luas, sebagai berikut :
“Pemberian bantuan hukum sebagai pendidikan klinis, sebenarnya tidak hanya terbatas untuk jurusan-jurusan pidana dan perdata untuk akhirnya tampil di depan pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti jurusan tata negara, hukum administrasi pemerintahan, hukum internasional dan lain-lainnya yang memungkinkan memberikan bantuan hukum diluar pengadilan misalnya memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang tersangkut dalam soal-soal perumahan di kantor Perumahan (KPU); bantuan hukum kepada seseoarang dalam urusan kewarganegaraan di imigrasi atau departemen Kehakiman; bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut dalam urusan internasional di Departemen luar negeri; bahkan memberikan bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebainya.”5
Pengertian Bantuan Hukum yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16
tahun 2011 yaitu:
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum
secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Meskipun tidak didapat pengertian yang pasti mengenai apa yang dimaksud bantuan
hukum, namun secara umum menurut Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum arti bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi
Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada penerima Bantuan Hukum. Bantuan ini
memberikan jasa untuk :
- Memberikan nasehat hukum
- Bertindak sebagai pendamping dan pembela seorang yang dituduh atau didakwa
melakukan kejahatan dalam perkara pidana. Sebagai pembela atau penasehat hukum
harus memberikan pengarahan – pengarahan dan penjelasan – penjelasan tentang duduk persoalannya.6
Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dari setiap individu atau warga
negara, wajib diberikan oleh negara sebagai konsekuensi penetapannya sebagai negara
hukum (rechtsstaat). Penetapan sebagai negara hukum ini diikuti dengan pernyataan lain
bahwa setiap warga negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum (prinsip
equality before the law) yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Melalui prinsip ini, negara tidak boleh melakukan diskriminasi dengan alasan apapun kepada setiap orang
atau warga negara. Prinsip ini mudah dipelajari, didiskusikan atau dikaji secara akademis,
akan tetapi tidak mudah dalam praktiknya. Bahkan Amerika Serikat yang seringkali
dianggap sebagai negara yang paling menjunjung- tinggi hak asasi manusia, masih sering
melanggar prinsip ini.7
Melalui prinsip ini, seseorang berhak untuk diperlakukan sama, termasuk bagi rakyat
miskin yang sedang bermasalah dengan hukum. Jika orang kaya mampu membayar
seorang advokat untuk mendampinginya dalam proses peradilan,8 orang miskin pun
memiliki hak yang sama untuk didampingi oleh seorang advokat dalam kerangka bantuan
6
Diakses dari http://www.library.upnvj.ac.id, pada tanggal 10 Maret 2012.
7
Deborah L. Rhode, 2004, Access to Justice, Oxford University Press, New York, hlm. 3.
8
Baca mengenai pernyataan klasik dari Galanter mengenai orang-orang kaya yang mampu membayar mahal
hukum. Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kata
“dipelihara” tidak hanya diberi kebutuhan sandang dan pangan, akan tetapi juga akses
pada keadilan berupa pemberian bantuan hukum. Dengan kata lain, prinsip equality before
the law selain mengandung arti persamaan kedudukan di muka hukum, oleh Rhode diartikan pula sebagai persamaan akses terhadap sistem hukum dan keadilan.9
Hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat (access to legal counsel) adalah hak
asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua
orang. Oleh karena itu, tidak seorang pun dalam negara hukum yang boleh diabaikan
haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat. Pembelaan dilakukan tanpa
memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras,
etnis, keyakinan politik, strata sosial ekonomi, warna kulit dan gender.10
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebenarnya hanya merupakan salah satu dari
akses terhadap keadilan. Akses terhadap keadilan berarti “diperlakukan secara adil
berdasarkan hukum, dan apabila tidak diperlakukan adil maka seseorang tidak akan
mendapatkan “redress” yang layak. Konsep atas akses terhadap keadilan tidak hanya
berarti akses terhadap advokat atau pengadilan, namun juga berarti akses terhadap
Ombudsman, dan lembaga-lembaga “keadilan” yang lain.11 Mengatasi permasalahan akses terhadap keadilan harus dilakukan secara menyeluruh dengan tujuan mencapai keadilan
sosial dan tidak hanya membatasi diri pada akses terhadap pengadilan saja.12
9
Deborah L. Rhode, Op.cit., hlm. 5.
10
Frans Hendra Winarta, 2009, Pro Bono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Gramedia, Jakarta, hlm. 1-2.
11Adrian W. Bedner dan Val Jacqueline, “Sebuah Kerangka Analisis untuk Penelitian Empiris dalam Bidang
Akses terhadap Keadilan”, dalam Adrian W. Bedner (Ed.), 2012, Kajian Sosio Legal: Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Edisi I, Pustaka Larasan, Bali.
12Roderick A. MacDonald, “Access to Justice and Law Reform”,
Rankin membedakan akses terhadap keadilan sebagai konsepsi formal dan substantif.
Konsepsi formal merujuk akses terhadap keadilan sebagai “kemampuan setiap orang untuk mendapatkan akses yang layak dan efektif terhadap pengadilan serta tribunal yang
lain dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan jasa hukum dari profesional yang
berkualitas. Dalam artian ini akses terhadap keadilan lebih berfokus kepada kondisi yang
berkaitan dengan pengadilan, prosedur pengadilan, biaya perkara, serta ketersediaan
pengacara.13 Konsepsi substantif lebih berfokus kepada kemam- puan seorang untuk dapat
memperoleh keadilan substantif atau yang merujuk kepada hasil substantif dari keadilan
hukum. Konsep ini sebenarnya lebih menantang konsep akses terhadap keadilan agar juga
diartikan sebagai kemampuan setiap orang untuk dapat mengakses hukum.14
Akses keadilan dalam segi formal dan substantif bukan untuk diperdebatkan, akan
tetapi keduanya dapat saling melengkapi. Konsep substantif akan mencari akses tambahan
pada proses hukum formal dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif dengan
tujuan agar sistem hukum lebih responsif terhadap kebutuhan hukum negara.
Konsep akses terhadap keadilan di Indonesia, berfokus pada dua tujuan dasar dari
keberadaan sistem hukum, yaitu sistem hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang
dari berbagai kalangan; dan sistem hukum seharusnya dapat menghasilkan ketentuan atau
keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Ide
dasar yang hendak diutamakan dalam konsep ini adalah untuk mencapai keadilan sosial
(social justice) bagi warga negara dari semua kalangan. Dalam konteks keindonesiaan, akses terhadap keadilan diartikan sebagai keadaan dan proses di mana negara menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak
asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki
13Micah B. Rankin, “Access to Justice and the Institutional Limit of Independent Courts”, 30 Windsor Y.B.
Access Just 101, 2012, hlm. 101-138.
14William E. Conklin, “Whither Justice –The Common Problematic of Five Model of Access to Justice”, 19
kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar
tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal, didukung oleh mekanisme
keluhan publik yang baik dan responsif, agar dapat diperoleh manfaat yang optimal dan
memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri.15
Negara melalui alat perlengkapannya berupaya mewujudkan tanggung jawabnya dalam
pemenuhan akses terhadap keadilan bagi rakyat miskin. Sebagai sebuah upaya, hal
tersebut patut diapresiasi, meski dalam beberapa hal patut untuk dikritisi. Upaya untuk
mewujudkan access to justice ini dalam implementasinya meliputi tiga hal, yaitu: Pertama,
hak untuk memperoleh manfaat dan menggunakan institusi peradilan; Kedua, adanya
jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai
keadilan; dan Ketiga, adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses
masyarakat terhadap keadilan.16 Upaya telah dilakukan, akan tetapi apa yang tersurat
dalam dokumen seringkali berada di awang-awang, karena dalam dunia praktik, tak sedikit
rakyat miskin yang masih susah memperoleh akses memperoleh keadilan, sehingga
sampai sekarang istilah yang mengatakan bahwa pedang hukum lebih tajam ke bawah
(orang miskin, tidak mampu atau tak berpunya) masih terus hidup dalam benak
masyarakat.
2. Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia
Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi
dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih
dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang
tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya
Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum
15
Bappenas, 2009, Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Jakarta, hlm. 5.
16Wahyu Widiana, “Access to Justice for the Poor: The Badilag Experience”,
atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga
masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan
hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan
memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.17
Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula
tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia
sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada
tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.
Berdasarkan asas konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1,
perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia,
antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement
of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.18 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di
Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.19
Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163
Ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), yaitu:
1. Golongan Eropa.
Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan
Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan
Eropa yang diakui undang-undang.
2. Golongan Timur Asing.
17
Bambang Sunggonodan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi. CV. Mandar Maju: Bandung. Hal. 11.
18
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Cendana Press: Jakarta.Hal. 40.
19
Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan
termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.
3. Golongan Bumiputera.
Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan
adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak
bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam
semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah
daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga
berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia
Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, peradilan untuk orang-orang
Eropa dan Timur Asing yang dipersamakan dengan itu adalah Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan,
yang meliputi Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.
Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan
tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Peradilan Eropa dan Timur
Asing berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Kemudian bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun
acara pidananya.
Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan
pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa.
lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal
lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukummereka di negeri Belanda. Tidak
demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera, Pemerintah kolonial tidak
menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat dan mendapatkan bantuan
hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka
pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada
advokat atau pembela lain yang bersedia.20 Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui
bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum
dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak
berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah orang
Belanda.21
Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun
1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada
kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami
demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut
kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus
mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah
pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschooge school di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Tamatan sekolah hukum di
20
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan., Op. cit., Hal. 21.
21
Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan
Mr. Ali Sastroamidjoyo.22
Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian
bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal
setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena
seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada
tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.23
Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip
pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut:
“Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.
“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.”24
Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh
Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami
kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.
22Ibid
, Hal. 9.
23
Bambang Sunggonodan Aries Harianto.Op.cit., hlm. 14.
24
Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, menyatakan alasannya
sebagai berikut:
“Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.
“Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.25
Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk
mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoge school) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof.
Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang
melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak
mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun
1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana
pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina.
Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui olehProf. Sujono Hadibroto
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro
Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai
ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga
25
Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.26
Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau
perkumpulan bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang
ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar
tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di
Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di
Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di
daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Usaha
pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan
sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di
Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta
kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada
tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan
berdirinya suatu organisasiadvokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan
Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas
menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.
Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada
masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam
penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan
pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964
diselenggarakan Kongres I / Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo
yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada
26
tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia
(PERADIN).27
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal
ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada
tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.28
Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah
lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan,
Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah
juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala
sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan
Hukum di daerahnya.
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung
jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk
menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa
ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana,
perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan
konsultasi).
Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik
yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi,
serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu
mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila
tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan
hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan
27
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., Hal. 26 .
28
bantuanhukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan
penataran hukum (non-litigasi).29
Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan
pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum
dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya
independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik
atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain
sebagainya.30 Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum
yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta
hukum.31
Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak
bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI),
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat
(4) perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia
(PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal
organisasi advokat Indonesia.
29
T. Mulyalubis. 1986. Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural. LP3ES: Jakarta. Hal. 71
30
Abdurrahman, Op. cit., Hal. 52.
31
Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun
kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang
tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang
secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56
dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan
Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya
disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak
mampu secara ekonomis.32
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum
membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan
hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan
pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian
hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan
persamaan di muka hukum.
3. Jenis - Jenis Bantuan Hukum
32
Dalam artikel yang berjudul Legal Aid – Modern Themes and Variations, Cappelleti dan Gordley mengembangkan jenis bantuan hukum berikut ini :33
1. Bantuan hukum yuridis-individual: bantuan hukum merupakan hak yang
diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan
individual;
2. Bantuan hukum kesejahteraan: bantuan hukum merupakan hak akan
kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang
diberikan oleh welfare state.
Konsep tersebut berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh Schuyt,
Groenendijk, dan Sloot, yang membedakan 5 (lima) jenis bantuan hukum, antara lain:34
1. Bantuan hukum preventif: pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada
masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga
negara;
2. Bantuan hukum diagnostik: pemberian nasihat-nasihat hukum atau dikenal
dengan konsultasi hukum.
3. Bantuan hukum pengendalian konflik: mengatasi secara aktif masalah-masalah
hukum konkrit yang terjadi di masyarakat;
4. Bantuan hukum pembentukan hukum: untuk memancing yurisprudensi yang lebih
tegas, tepat, jelas, dan benar;
5. Bantuan hukum pembaruan hukum: untuk mengadakan pembaruan hukum, baik
melalui hakim maupun pembentuk undang-undang (dalam arti materil).
Kedua jenis konsep bantuan hukum tersebut berkembang sesuai kebutuhan dan tujuan
masyarakat.
33Mulyana W. Kusumah, “Arti Penting Bantuan Hukum Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W.
Kusumah, hlm. 59.
4. Prinsip – Prinsip Bantuan Hukum
Implementasi UU bantuan hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip yang secara
internasional telah diakui, yaitu; prinsip kepentingan keadilan, prinsip tidak mampu,
prinsip hak untuk memilih pengacara/pemberi bantuan hukum, prinsip negara memberikan
akses bantuan hukum di setiap pemeriksaan, dan prinsip hak bantuan hukum yang
efektif.35
a. Prinsip Kepentingan Keadilan
Prinsip ini secara jelas termaktub dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Prinsip ini banyak diadopsi dan dipraktikan diberbagai negara sebagai jalan utama bagi penguatan akses bagi masyarakat marjinal. Bahkan
secara jelas prinsip ini juga menjadi argumentasi dalam penjelasan Undang-Undang
No. 16 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum.
Kepentingan keadilan dalam kasus tertentu ditentukan oleh pemikiran yang serius
tentang tindak pidana yang dituduhkan kepada tersangka dan hukuman apa saja yang
akan diterimanya. Prinsip ini selalu membutuhkan penasihat untuk tersangka dalam
kasus dengan ancaman hukuman mati. Tersangka untuk kasus dengan ancaman
hukuman mati berhak memilih perwakilan hukumnya dalam setiap proses
pemeriksaan kasusnya. Tersangka dengan ancaman hukuman mati dapat
membandingkan antara perwakilan hukum pilihannya dengan yang ditunjuk oleh
pengadilan. Selain itu, narapidana mati berhak untuk menunjuk penasehat untuk
permohonan post-conviction judicial relief, permohonan grasi, keringanan hukuman, amnesti atau pengampunan. Dengan prinsip ini, bantuan hukum dapat diterapkan
terhadap kasuskasus mental disability seperti pengujian apakah penahanan tersangka/
35
terdakwa dapat dilanjutkan atau tidak (detention review). Dalam proses detention review tersangka atau terdakwa berhak untuk didampingi oleh advokat. Bantuan hukum dapat diterapkan untuk kasuskasus kejahatan ringan, ketika kepentingan
keadilan memungkinkan yaitu tersangka-terdakwa tidak bisa melakukan pembelaan
sendiri dan juga lebih kondisi ekonomi dari tersangka/terdakwa yang merupakan
unemployee serta karena kompleksitas kasus sehingga membutuhkan penasehat hukum yang berkualitas. Bantuan hukum dapat diterapkan terhadap kasus- kasus
terorisme dan akses terdapat bantuan hukum tidak boleh dihambat sejak saat
tersangka atau terdakwa ditahan. Bahkan ketika negara dalam keadilan darurat,
bantuan hukum tidak boleh ditangguhkan. Tersangka tidak dapat meniadakan
penasihat hukum atas dasar ia telah diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri
tetapi tidak menghendaki untuk membela dirinya.
b. Prinsip Tidak Mampu
Prinsip ‟tidak mampu‟ juga sudah menjadi pandangan umum dari prinsip
pemberian bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan kepada kelompok masyarakat
yang karena faktor ekonomi tidak dapat menyediakan advokat untuk membela
kepentingannya. Seorang terdakwa/tersangka harus tidak mampu secara financial
membayar advokat. Namum dalam hal „tidak mampu membayar‟ tidak dapat hanya
diartikan sebagai miskin tetapi juga dapat diartikan apakah seseorang dari
penghasilannya mampu menyisihkan dana untuk membayar jasa seorang pengacara.
Sehingga penting merumuskan standar dari kelompok yang berhak menerima bantuan
hukum.
c. Prinsip Hak untuk Memilih Pengacara/Pemberi Bantuan Hukum
Prinsip ini menentukan, negara harus menjamin bahwa tersangka/ terdakwa
advokat yang ditunjuk oleh pengadilan kepadanya. Selain itu negara harus menjamin
kompetensi advokat yang dapat memberikan bantuan hukum secara imparsial.
Kompetensi menjadi kunci utama, karena pembelaan tidak hanya bersifat formal
tetapi substansial, sehingga betul-betul membela dengan kesungguhan dan
porofesionalisme sebagaimana profesi penasehat hukum pada umumnya.
d. Prinsip Negara Memberikan Akses Bantuan Hukum di Setiap Pemeriksaan Negara harus menjamin bahwa akses atas bantuan hukum di setiap tingkat
pemeriksaan. Sistem pemeriksaan yang tertutup seperti kasus-kasus kejahatan
terhadap negara memungkinkan tidak adanya akses atas bantuan hukum. Di dalam
kondisi ini akses terhadap bantuan hukum harus tetap dijamin. Tersangka atau
terdakwa berhak untuk berkomunikasi dengan advokat, dan berhak atas akses ke
pengadilan untuk menggugat atas tindakan-tindakan kekerasan oleh petugas penjara
(ill-treatment). Prinsip ini akan dapat menghindari terjadinya abuse of power dalam penanganan perkara seperti penggunaan cara-cara kekerasan, ataupun bahkan
rekayasa kasus.
e. Prinsip Hak Bantuan Hukum yang Efektif
Saat pengadilan menyediakan bantuan hukum, maka pengacara yang ditunjuk
harus memenuhi kualifikasi untuk mewakili dan membela tersangka. Seorang
pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mewakili dan membela tersangka
harus mendapatkan pelatihan yang diperlukan dan mempunyai pengalaman atas
segala hal yang berhubungan dengan kasus tersebut. Walaupun bantuan hukum
disediakan oleh pengadilan, pengacara harus dibebaskan untuk melaksanakan
pekerjaannya sesuai dengan profesionalitasnya dan kemandirian sikap yang bebas dari
pengaruh negara atau pengadilan. Bagi bantuan hukum yang disediakan oleh
yang mewakili tersangka diperbolehkan menjalankan strategi pembelaan secara
profesional. Pengacara yang ditunjuk untuk membela tersangka harus diberikan
kompensasi yang sesuai agar dapat mendorongnya untuk memberikan perwakilan
yang efektif dan memadai.
B. Hasil Penelitian
1. Undang – Undang Yang Mengatur Bantuan Hukum
Peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum sebagai jaminan keadilan dalam
melindungi hak-hak masyarakat miskin atau tidak mampu di Indonesia saat ini adalah:
a. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Secara garis besar UUBH mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara
cuma- cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang didalamnya adalah orang atau
kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum Pemberi Bantuan Hukum
yang telah memenuhi syarat UUBH ini berhak merekrut Advokat, paralegal, Dosen,
dan mahasiswa Fakultas Hukum dalam melakukan pelayanan bantuan hukum yang
meliputi nonlitigasi dan litigasi Setelah UUBH diundangkan, Pemerintah melalui
Kemenkumham mengundangkan Permenkumham No 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
Verifikasi dan Akreditasi LBH atau Orkemas yang memberikan bantuan hukum
kepada orang atau kelompok orang miskin Hal ini dibuat sebagai pelaksana ketentuan
Pasal 7 ayat (4) UUBH Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 merupakan turunan
dari UUBH yang dibuat pemerintah guna keperluan pelaksanaan Pasal 15 ayat (5) dan
Pasal 18 UUBH, PP No 42 Tahun 2013 diundangkan pada 23 Mei 2013 Menteri
sebagai penyelenggara bantuan hukum dalam tahun yang sama mengeluarkan
Permenkumham No 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 42 Tahun
bertujuan untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 17, Pasal 23 ayat (4), Pasal 29 ayat (2),
dan Pasal 31 ayat (3) dari PP No 42 Tahun 2013 Hal menarik yang dibahas adalah
mengenai standarisasi bantuan hukum yang didalamnya mengatur standar bantuan
hukum litigasi dan nonlitigasi, standar pelaksanaan bantuan hukum, standar
pemberian bantuan hukum, dan standar pelaporan pengelolaan anggaran Pemberi
Bantuan Hukum.
Pada Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2011, yang dimaksud dengan orang miskin atau
kelompok orang miskin, yaitu yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan
mandiri seperti: hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan,
pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Bantuan hukum dalam Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman terdapat pada
Bab XI dalam Pasal 56 dan 57 Pasal 56 ayat (1) menjelaskan bahwa hak dari
seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara untuk mendapatkan bantuan hukum
dari Pemberi Bantuan Hukum, sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu negara
hukum yang menempatkan supremasi hukum diatas segalanya yang berfungsi
sebagai pelindung dan pengayom terhadap semua warga masyarakat disamping
adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia Selanjutnya Pasal 56
ayat (2) menjelaskan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang
tidak mampu Pasal 57 ayat (1) menjelaskan bahwa pada setiap pengadilan negeri
dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam
Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Contenant On Civil And Political
Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
c. Undang-Undang Republik Indonesia No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum
Kebutuhan hukum masyarakat dari sisi bantuan hukum sangat penting untuk
mencapai peradilan yang merdeka dan adil, maka dari itu Undang-Undang Peradilan
Umum pada Pasal 68B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak diperoleh oleh
siapa saja yang tersangkut perkara hukum, dan biaya perkara bagi pencari keadilan yang
tidak mampu ditanggung oleh negara Kemudian Pasal 68C menyebutkan pembentukan
Pos Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi siapa
saja yang tidak mampu yang sedang tersangkut perkara hukum sampai putusannya
inkrah.36
d. Undang-Undang Republik Indonesia No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Bantuan hukum dalam Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama termuat dalam Pasal 60B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak
diperoleh setiap orang yang tersangkut perkara hukum, bantuan hukum bagi pencari
keadilan yang tidak mampu biayanya ditanggung oleh negara dengan syarat
melampirkan bukti tidak mampu Selanjutnya dalam Pasal 60C yang menjelaskan Pos
Bantuan Hukum dibentuk di tiap pengadilan agama untuk pelayanan bantuan hukum
pada semua tingkat peradilan bagi pencari keadilan yang tidak mampu hingga
memperoleh putusan inkrah.
e. Undang-Undang Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
36
Bantuan hukum dalam peradilan tata usaha negara termuat dalam Undang-
Undang No 51 Tahun 2009 pada Pasal 57 yang menjelaskan hak untuk didampingi
dan diwakili oleh kuasa Kemudian mangacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1986
Pasal 60 menjelaskan bersengketa dengan cuma-cuma dengan syarat bukti tidak
mampu Selanjutnya Pasal 61 menjelaskan kewajiban pengadilan dalam menetapkan
permohonan berperkara secara cuma-Cuma.
f. Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Bantuan hukum cuma-cuma dalam Undang-Undang Advokat terdapat pada Pasal
1 ayat (9) yang menjelaskan pengertian bantuan hukum Bantuan Hukum adalah jasa
hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak
mampu Kemudian diatur pada Pasal 22 yang menjelaskan Advokat berkewajiban
memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
g. Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Bantuan hukum KUHAP diatur dalam Bab VI Pasal 54 yang menjelaskan
tersangka/ terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum untuk
kepentingan pembelaan Kemudian Pasal 56 menjelaskan tersangka atau terdakwa
yang diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi tidak
mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih wajib mendapat penasihat hukum
Bantuan hukum kepada tersangka diberikan atau dapat diminta sejak dalam
penangkapan atau penahanan pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat
penyidikan meupun pada tingkat pemeriksaan pengadilan Pada pemeriksaan tingkat
penyidik, maka tersangka didampingi oleh penasihat hukum, yang boleh hadir dalam
mendengarkan dan melihat pemeriksaan, yang diatur dalam Pasal 69 hingga Pasal 74
dan Pasal 115 ayat (1), dan Pasal 156 KUHAP.37
C. Analisis
Pada sub bahasan kali ini, penulis akan mambahas dan memberikan analisis serta
jawaban atas rumusan masalah yang menjadi perhatian pada penelitian ini. Adapun rumusan
masalah yang ditanyakan ataupun yang menjadi kasus ialah :
1. Bagaimana sistim bantuan hukum di indonesia. a. Pihak yang terlibat dalam bantuan hukum :
1) Pemerintah pusat
Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum
diselenggarakan oleh Menteri yang menyelenggaran urusan Pemerintahan di
Bidang hak asasi manusia, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam hal pemberian bantuan hukum sebagaiman tercantum dalam
Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum Tugas dan wewenang
Kementerian Hukum dan HAM RI dalam mengimplementasikan Undang-undang
tentang bantuan hukum adalah:
- Memiliki tugas menyusun dan menetapkan kebijkan penyelenggaraan Bantuan
Hukum;
- Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas
pemberian bantuan hukum;
- Menyusun rencana anggaran bantuan hukum;
- Mengelola anggaran bantuan hukum secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel;
37
- Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuan hukum kepada
dewan Perwakilan Rakyat pada setiap tahun anggaran.38
2) Pemerintah daerah
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara (termasuk
di daerah) adalah upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi
negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga
negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (acces to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Pemberian jaminan dan perlindungan tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan penyelenggaraan bantuan hukum
di daerah. Dasar pemikiran jaminan dan perlindungan acces to justice dan equality
before the law ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana disebutkan Pasal 1 Ayat (3) UUD
1945, dan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pengakuan, perlindungan
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk acces to justice dan equality before the law.
Konsep negara hukum sendiri menurut Dicey10 mengandung 3 (tiga) unsur
yaitu : “(1) Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang; (2) Persamaan di
muka hukum (equality before the law); dan (3) Supremasi aturan hukum”. Sedangkan menurut Immanuel Kant dan Julius F. Stahl11, negara hukum
mengandung 4 (empat) unsur, yaitu: “(1) Adanya pengakuan HAM; (2) Adanya
pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut; (3) Pemerintahan
berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan (4) Adanya peradilan tata usaha negara”.
38Umi Laili “peran kementerian hukum dan hak asasi manusia republik indonesia dalam mengimplementasikan
Adanya bantuan hukum di daerah, membuat korban dari kasus kriminalisasi
buruh (di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Jombang),
kasus sengketa lahan antara petani dan pengusaha di Wongsorejo Banyuwangi,
kasus pencemaran Sungai Surabaya oleh sebuah pabrik gula12, dapat terlindungi
hak dan kepentingan hukumnya dengan tersedianya pembela yang secara normatif
telah disediakan oleh Pemerintah Daerah dan korban tidak perlu untuk
mengeluarkan biaya karena sudah ditanggung oleh APBD. Sehingga aspek
persamaan di depan hukum dapat dirasakan oleh korban yang merupakan
masyarakat miskin. Kebijakan bantuan hukum ini oleh Pemerintah Daerah dapat di
konsep dengan baik dan benar dalam Rencana Aksi Daerah Hak Asasi Manusia
(RAD HAM). Karena kebijakan bantuan hukum dirancang dan disusun untuk
pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas akses keadilan dan hak
dipersamakan kedudukannya di depan hukum. Sehingga ada keselarasan antara
kebijakan bantuan hukum dan kebijakan terkait rencana aksi daerah hak asasi
manusia.39
3) Advokat
Hingga tahun 2013, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 45.000 advokat,
namun hanya 432 advokat yang tergabung di OBH. Padahal, Undang-undang
Advokat No. 18 tahun 2003, mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan
hukum cuma-cuma bagi pencari keadilan yang dianggap tidak mampu. Kewajiban
ini semakin diperjelas di dalam Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Di
dalam PP ini, seorag advokat dapat dikenakan sanksi teguran hingga pemberhentian
39
permanen dari profesinya apabila dia menolak permohonan bantuan hukum secara
cuma-cuma.
Untuk melengkapi peraturan pemerintah tersebut, Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) menerbitkan peraturan yang mewajibkan setiap advokat untuk
mengalokasikan 50 jam/tahun untuk melakukan bantuan hukum cuma-cuma.
Selain bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu,
peraturan Peradi tersebut juga mengakomodasi pemberian bantuan hukum kepada
kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus seperti perempuan, anak, buruh
migran, masyarakat adat dan korban pelanggaran hak asasi manusia.
Apabila peraturan ini diberlakukan dengan tegas kepada seluruh anggota
Peradi, maka akses bantuan hukum bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan
akan semakin menguat. Sayangnya, tidak ada informasi yang memadai tentang
seberapa efektifnya peraturan tersebut telah dijalankan dan berapa jumlah advokat
yang sudah melaksanakan kewajibannya memberikan 50 jam/tahun untuk
memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Berdasarkan keterangan dari Anggara
Suwahju dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pelaksanaan peraturan ini masih terkedala oleh persoalan kordinasi di antara pengurus dan anggota Peradi.
Selain itu, ada juga persoalan ketidakjelasan pembiayaan operasional bagi advokat
yang ingin memberikan jasa bantuan hukum, karena yang dikenakan biaya
cuma-cuma adalah jasa advokat, bukan biaya operasional dan administrasi.40
Dari permasalahan ini saran rekomendasinya ialah peradi harus memberikan
data yang akurat tentang jumlah anggotanya serta prosentase anggotanya yang
melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. pemerintah harus
40 Yasmin Purba, “Akses terhadap bantuan huku
m dan kendala-kendala di dalam pelaksanaanya”. dialog
membuat peraturan yang lebih tegas merinci jumlah waktu yang harus diberikan
oleh setiap advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
Menurut saya di dalam masalah ini terdapat kelemahannya yaitu bantuan
hukum – bantuan hukum yang ada sekarang ini dia bersifat sektoral dan belum ada satu lembaga yang mulus bantuan hukumnya maka dari itu perlu kebijakan dari
pemerintah untuk menintegrasi bantuan – bantuan hukum yang ada. 4) Organisasi Bantuan Hukum
a) Pengadilan
Salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan yang
mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya baik
dibidang hukum perdata maupun pidana (pasal 2 Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum).7 Sebagai pelayan hukum masyarakat pencari keadilan pada
umumnya mengenai berbagai perkara sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal
II Undang-Undang No. 49 Tahun 2009.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Pengadilan dalam menerima,
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama bagi rakyat
pencari keadilan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan secara Prodeo (Cuma-
Cuma). Perma ini merupakan tindak lanjut PP No 42 Tahun 2013 tentang
Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Bantuan
M.HH-03.HN.03.03 Tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum
Litigasi dan Non-Litigasi.
Dengan terbitnya Perma No. 1 Tahun 2014 ini, maka SEMA No 10 Tahun
2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan dinyatakan
tidak berlaku. Perma No. 1 Tahun 2014 akan mengikat keluar khususnya bagi
kalangan dunia advokat. Selain itu, tak tertutup kemungkinan akan ada nota
kesepahaman antara pengadilan dengan organisasi advokat atau Lembaga
Bantuan Hukum. Mahkamah Agung sendiri telah menyerahkan Perma No. 1
Tahun 2014 ini kepada Menkumham untuk disahkan dan dimuat dalam Berita
Negara dan sudah sah berlaku. Kemudian Mahkamah Agung akan
mensosialisasikan ke setiap pengadilan seluruh Indonesia di tiga lingkungan
pengadilan. Implementasi Perma ini akan ditindaklanjuti secara teknis melalui
masing-masing Direktur Jenderal Peradilan Umum, Direktur Jenderal Peradilan
Agama, dan Direktur Jenderal PTUN.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) ini sejatinya Pengadilan Negeri hanya menyediakan fasilitas
ruangan Posbakum bagi tiga Pemberi Bantuan Hukum atau organisasi advokat
yang terakreditasi. Sedangkan mengenai dana bantuan hukum penanganan
setiap kasus akan diajukan oleh Pengadilan melalui Kanwil Kemenkumham.
Namun demikian, bukan berarti fungsi fasilitator ini dapat diabaikan begitu saja,
mengingat Pos Bantuan Hukum ini bertempat di Pengadilan, maka patut
diperhatikan bahwa ada amanat khusus dari Penyelenggara Negara kepada
Pengadilan untuk dapat mensukseskan pelayanan hukum yang bebas beban
dengan kehadiran Posbakun dilingkungan Pengadilan akan dapat mengikis
stigma negatif dan menakutkan tentang Pengadilan bagi masyarakat umum.41
2. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Kedepannya Dan Bantuan Hukum Mana Yang Harus Diperbaiki.
a. Tantangan Kebijakan dan Implementasi Sistem Bantuan Hukum Nasional. Sistem bantuan hukum nasional dengan skema yang diatur di dalam UU No. 16
tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mulai diimplementasikan pada tahun 2013. Badan
Pembangunan Hukum Nasional (BPHN), kemudian ditunjuk sebagai penyelenggara
sistem bantuan hukum nasional yang meliputi kewenangan untuk : 1) mengawasi dan
memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum serta 2) melakukan verifikasi dan
akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk
memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum.42
1) Ketimpangan Akses Bantuan Hukum bagi Kelompok Rentan.
Berdasarkan UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum
hanya diberikan kepada “…setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.” Sebagai konsekuensi, untuk mendapatkan layanan bantuan hukum yang diberikan dengan skema UU tersebut,
maka pemohon bantuan hukum harus menunjukkan dokumen-dokumen yang
memvalidasi status miskin mereka, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu
(SKTM) atau dokumen-dokumen lainnya seperti “…Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin.”
41
Isnandar S. Nasution “Peran Pengadilan dalam Bantuan Hukum Orang Miskin” jurnal hukum dan peadilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 : 171-188.
Meskipun kemiskinan adalah suatu kerentanan, namun kelompok miskin
bukanlah satu-satunya kelompok yang rentan di Indonesia. Kelompok-kelompok
seperti perempuan, anak, minoritas, penyandang disabilitas, ataupun masyarakat
adat juga mengalami kerentanan serupa di dalam masyarakat yang menimbulkan
banyak ketimpangan di dalam mengakses hak-hak asasi manusia mereka baik yang
berdimensi sipil dan politik maupun yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan membatasi hak atas bantuan hukum hanya kepada orang miskin, maka
kebijakan bantuan hukum nasional yang saat ini berlaku, semakin menutup akses
bagi kelompok-kelompok rentan, di luar kelompok miskin, terhadap keadilan.
Pembatasan ini juga sangat berdampak pada para OBH yang memprioritaskan
kasus-kasus yang berdimensi pelanggaran HAM, di mana para OBH tersebut
merasa sulit untuk menerapkan skema bantuan hukum yang diatur di dalam UU
Bantuan Hukum kedalam kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap individu atau
kelompok yang tidak cukup miskin untuk bisa mendapatkan SKTM.
Sebagai gambaran, lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH), yang berada di
bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), adalah
contoh dari OBH yang banyak menangani kasus pelanggaran HAM (struktural).
Kasus-kasus seperti diskiriminasi atau kekerasan terhadap kelompok minoritas,
perburuhan, penggusuran, penyiksaan, atau konflik sumber daya alam, adalah
tipikal kasus-kasus yang dilaporkan kepada kantor-kantor LBH-YLBHI di 15
wilayah di Indonesia.
2) Anggaran Minim dan Mekanisme Pencairan yang Rumit.
Alokasi pembiayaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk pemberi bantuan
hukum diatur di dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.
dan Non Litigasi. Berdasarkan Keputusan Menteri tersebut, maksimum biaya
litigasi untuk kasus pidana dan perdata adalah Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah),
sementara untuk kegiatan non litigasi seperti penyuluhan hukum, konsultasi
hukum, mediasi, negosiasi, dll, biayanya bervariasi mulai dari Rp. 140.000 (seratus
empat puluh ribu rupiah), hingga Rp. 3.740.000 (tiga juta tujuh ratus empat puluh
ribu rupiah).
Sebelumnya, di masa-masa penggodokan RUU Bantuan hukum di tahun
2009-2010, YLBHI pernah memberikan masukkan tentang skema biaya litigasi yang,
pada saat itu dianggap cukup memadai. Berdasarkan perhitungan YLBHI saat itu,
biaya yang dibutuhkan untuk melakukan satu siklus penuh litigasi perkara pidana,
mulai dari tingkat pertama hingga peninjauan kembali, dibutuhkan biaya sekitar
Rp. 55.198.000 (lima puluh lima juta seratus sembilan puluh delapan ribu rupiah)
per-kasus. Sementara biaya berperkara untuk kasus perdata satu siklus penuh,
membutuhkan biaya sekitar Rp. 39. 430.000 (tiga puluh sembilan juta empat ratus
tiga puluh ribu rupiah) per-kasus.
Jika dibandingkan dengan skema pembiayaan yang diestimasi oleh YLBHI,
tentu saja pembiayaan bantuan hukum yang dialokasikan oleh pemerintah saat ini
sangat jauh dari ideal. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh YLBHI pada tahun
2015, mayoritas OBH merasa alokasi yang dianggarkan pemerintah untuk
pembiayaan bantuan hukum tersebut sangatlah kurang.
3) Sosialisasi Sistem Bantuan Hukum Nasional yang Belum Maksimal.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk
mensosialisasikan tentang sistem bantuan hukum nasional yang diatur di dalam UU
Bantuan Hukum, namun masih dirasakan kurang. Survey YLBHI terhadap
setidak-tidaknya 44%% OBH merasa bahwa sosialisasi tentang hak atas bantuan hukum
yang diatur di dalam UU Bantuan Hukum masih sedikit, sementara 33.3% lainnya
merasa sosialisasi tersebut sangatlah sedikit.
Sosialisasi publik tentang UU Bantuan Hukum yang selama ini dilakukan
belum mampu untuk menngkatkan kesadaran masyarakat secara maksimal untuk
menggunakan jasa bantuan hukum untuk mengatasi permasalahan hukum yang
dihadapinya.Selain itu, banyak OBH yang merasa bahwa sosialisasi tentang UU
Bantuan hukum perlu juga diberikan kepada aparat penegak hukum, agar mereka
dapat memahami bantuan hukum sebagai hak dan tidak menekan para
tersangka/terdakwa untuk tidak menggunakan jasa pendamping hukum.
b. Ketersediaan dan Kualitas Bantuan Hukum.
Selain persoalan-persoalan yang terkait dengan kebijakan dan implementasi
bantuan hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah, sistem bantuan hukum
nasional juga menghadapi beberapa tantangan yang terkait dengan penyedia bantuan
hukum itu sendiri.
Persoalan-persoalan yang terkait dengan ketersediaan dan kapasitas pemberi
bantuan hukum, dalam hal ini OBH, tentu sangat berhubungan dengan tingkat kualitas
layanan bantuan hukum itu sendiri terhadap penerima manfaat bantuan hukum itu
sendiri, dalam hal ini masyarakat miskin.
Berikut ini adalah uraian beberapa persoalan yang terkait dengan ketersediaan
dan kualitas bantuan hukum di Indonesia.
1) Jumlah OBH yang Sedikit dan Tidak Merata
Di dalam proses verifikasi pertama di tahun 2013, BPHN mulai melaksanakan
proses pendaftaran dan verifikasi terhadap organisasi-organisasi bantuan hukum
sejumlah 579 OBH yang mendaftar untuk diverifikasi oleh BPHN, namun dari
jumlah tersebut, hanya ada sekitar 310 OBH yang lolos proses verifikasi dengan
nilai akreditasi A sebanyak 10 OBH, nilai akreditasi B sebanyak 21 OBH dan nilai
akreditasi C sebanyak 279 OBH.Dari 310 OBH tersebut, ada sekitar 44% OBH
yang beroperasi di Jawa dan 26% di Sumatera, sementara 30% sisanya tersebar di
berbagai wilayah lainya.
Kemudian, di dalam proses verifikasi kedua untuk tahun anggaran 2016-2018,
jumlah pemberi bantuan hukum meningkat menjadi 405 OBH yang terverifikasi
dengan akreditasi A sebanyak 13 OBH, akreditasi B sebanyak 61 OBH dan
akreditasi C sebanyak 331 OBH.13
Berdasarkan data tahun 2014, hanya sekitar 127 (25%) kabupaten/kota di
seluruh propinsi Indonesia yang memiliki OBH, sementara ada sekitar 389 (75%)
kabupaten/kota di Indonesia tidak memiliki OBH sama sekali di wilayahnya. Hal
ini tentu sangat menghambat 14 aksesibilitas keadilan bagi masyarakat yang berada
di wilayah yang tidak terjangkau oleh OBH. Persoalan aksesibilitas ini akan
semakin buruk apabila melihat kondisi seperti di Papua, di mana hanya ada 2
kabupaten/ kota yang memiliki OBH, sementara wilayahnya sangat luas, sehingga
seringkali perjalanan dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya harus
ditempuh dengan pesawat. Persoalan aksesibilitas seperti ini akan menghilangkan
esensi dari penyelenggaraan bantuan hukum yang bersifat cuma-cuma, karena,
pada akhirnya, sebagian besar pencari keadilan tidak mampu mengakses bantuan
hukum karena tidak terjangkau secara geografis.
2) Rendahnya Ketersediaan Advokat Bantuan Hukum
Berdasarkan penelitian tentang kebutuhan keadilan masyarakat yang
berbasis di Belanda, setidak-tidaknya dapat disimpulkan bahwa 16% warga
masyarakat mengalami permasalahan hukum.15 Apabila prosentase tersebut
digunakan untuk mengukur kebutuhan keadilan bagi masyarakat miskin, maka dari
jumlah masyarakat miskin di Indonesia yang diperkirakan sekitar 28 juta jiwa,
setidaktidaknya ada sejumlah 4.480.000 warga miskin yang mengalami
permasalahan hukum, atau berpotensi membutuhkan bantuan hukum.
Sementara itu, di sisi yang lain, di tahun 2014, hanya ada sekitar 432 advokat
bantuan hukum yang terdaftar di BPHN. Apabila jumlah ketersediaan advokat
tersebut dibandingkan dengan kebutuhan bantuan hukum di kalangan masyarakat
miskin, maka perbandingannya adalah 1:10.370.
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Stephen P. Magee, seorang
profesor dari Universitas Texas, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa angka ideal
perbandingan antara jumlah pengacara dengan populasi penduduk sebuah negara
adalah 1:1100. Artinya, proporsi ketersediaan advokat bantuan hukum di Indonesia
hampir mencapai sepuluh kali lebih rendah dari jumlah optimum pengacara yang
seharusnya tersedia untuk melayani kebutuhan keadilan bagi masyarakat miskin
Indonesia.
3) Keberlanjutan Operasional OBH
Di tahun 2014, BPHN melakukan peninjauan ulang terhadap 310 OBH yang
telah diverifikasi sebelumnya dan menemukan bahwa hanya sekitar 270 OBH yang
masih aktif di tahun tersebut. Kemudian, di tahun 2014-2015, berdasarkan survey
yang dilakukan oleh YLBHI terhadap seluruh OBH yang terdaftar di BPHN, hanya
sekitar 75 OBH yang masih dapat dihubungi dan diduga masih aktif.
Jumlah OBH yang masih aktif memberikan layanan bantuan hukum saat ini
diserahkan oleh OBH kepada BPHN, maka di tahun 2014, hanya ada sekitar 194
OBH yang mengajukan permohonan reimbursement kepada BPHN, dan hanya 76
di antaranya yang memenuhi syarat pencarian reimbursement tersebut.
Sulitnya OBH memenuhi persyaratan administrasi pencairan dana layanan
bantuan hukum, khususnya yang terkait dengan dokumen keterangan miskin
(SKTM) yang harus dimiliki oleh klien bantuan hukum, serta dokumen yang
terkait dengan perkara seperti putusan pengadilan, membuat banyak OBH kesulitan
di dalam mendapatkan reimbursement atas biaya layanan bantuan hukum yang telah dikeluarkannya terlebih dahulu. Hambatan finansial seperti ini seringkali
membuat banyak OBH kewalahan di dalam memenuhi kebutuhan operasional
organisasi mereka dan berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup bagi OBH itu
sendiri, sehingga tidak sedikit yang terpaksa menonaktifkan lembaganya.
4) Kualitas Pemberian Bantuan Hukum.
Sepanjang tahun 2014-2015, UNDP Jakarta, melalui program Penguatan
Akses Keadilan di Indonesia (SAJI), mengembangkan sebuah perangkat
pemantauan dan evaluasi yang berfungsi untuk mengukur kualitas layanan bantuan
hukum oleh OBH kepada masyarakat pencari keadilan. Alat ini kemudian diuji
cobakan di beberapa wilayah yaitu, Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah,
Jakarta dan Banten.
Dari hasil pemantauan tersebut, meskipun sebagian besar klien OBH merasa
cukup atas layanan bantuan hukum yang diberikan oleh OBH, namun ditemukan
beberapa kelemahan layanan bantuan hukum yang patut menjadi perhatian,
kelemahan-kelemahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
- Keterbatasan sarana dan prasarana OBH yang tidak memadai, sehingga klien