• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legal Opinion Intoleransi Meningkat Terh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Legal Opinion Intoleransi Meningkat Terh"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Jerico Mathias Nim : 8111416078 Makul : Hukum dan HAM Rombel : 02

Intoleransi Meningkat Terhadap Hak-Hak Atas Beragama Di Indonesia

Posisi Kasus

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyebutkan hasil survei 2016 menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk berpandangan dan berperilaku intoleran terus meningkat. Dari 1.520 responden yang

tersebar di Indonesia, 7,7 persen menyatakan bersedia berpartisipasi melibatkan kekerasan atas nama agama.

Kekerasan itu bisa berupa aksi sweeping, demonstrasi, menentang kelompok yang dinilai menodai agama, atau melakukan penyerangan rumah ibadah pemeluk agama lain. "Survei ini menggunakan multi-stage random sampling dengan perkiraan margin error 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen," sebut Yenny dalam Dialog Publik dan Workshop Desa Inklusi di Cirebon, Selasa, 9 Agustus 2016.

Angka prosentase memang relatif kecil, kata Yenny, namun jika dikonversikan dengan jumlah penduduk di Indonesia maka menunjukkan 19,55 juta penduduk cenderung intoleran. Dari data survei Wahid

Foundation, provinsi Jawa Barat memasuki urutan pertama kasus intoleransi di Indonesia.

"Ini memprihatinkan dari data yang kami sirvei dan kami himpun di kepolisian hampir 80 persen pelaku bom bunuh diri di Indonesia dari Jawa Barat," jelasnya. Kendati demikian, dia optimistis masyarakat Jawa Barat dengan kultur yang masih melekat mampu membangun kesadaran yang sama tentang paham keberagaman.

Dari kondisi tersebut, Yenny melihat masyarakat desa harus menjadi penegak kedaulatan bangsa. Dia mengajak kepala daerah dan kepala desa untuk menciptakan desa yang inklusif bagi pemikiran toleran dan teguh pada tradisi.

Menurutnya, jika desa tidak kuat menjadi penegak kedaulatan bangsa, banyak pertempuran yang akan berdampak besar terhadap dinamika di negara Indonesia. "Sebab, kepala daerah yang paling mengerti kondisi daerahnya hingga kepala desa dan kami hanya ingin mengajak membangun kesadaran bersama. Kearifan lokal menjadi inspirasi bukan bagi desanya tapi bagi nasional," ujar dia.1

Legal Opinion

Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada Bill Of

(2)

Rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang

memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat.

Suatu kenyataan sosiologis bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat multikultural yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan terus dipertahankan. Justru karena adanya pengakuan atas keberagaman inilah bangsa Indonesia terbentuk.2

Diketahui, bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di sampaing itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki

kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang

dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi

apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah -Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak yang melekat pada keberadaan manusia ini yang kemudian memunculkan konsep kebebasan.

Dapat dilihat terdapat kebebasan beragama yang tercantum dalam Pancasila dalam sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang bermakna menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya, tidak memaksa warga negara untuk beragama, dan menjamin berkembang dan tumbuh suburnya

kehidupan beragama.

Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang mengakui kekuatan “supra-human” di luar diri manusia. Dalam kehidupan

masyarakat, kekuatan itu sering disebut dengan menggunakan

penamaan: Tuhan, Allah, Sang Hyang Widi, Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, dan aneka sebutan lainnya.

Bentuk pengakuan masyarakat Indonesia kepada kekuatan “supra-human” itu mendapatkan pengakuan resmi oleh negara dalam konstitusi. Setidaknya terdapat dua bentuk pengakuan dalam Pembukaan Konstitusi

2 Muhatadin Dg. Mustafa, “Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama (Telaah Kritis dengan Pendekatan Teologis Normatif, Dialogis dan

(3)

Indonesia Undang-Undang Dasar, yaitu: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya

berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya.…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Terhadap kedua pengakuan resmi negara itu dapat dimaknai bahwa ikhtiar memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sekedar hasil perjuangan fisik kemanusiaan semata-mata, namun lebih dari itu kemerdekaan adalah “berkat” dan “rakhmat” dari “Allah Yang Maha Kuasa”. Demikian selanjutnya, dasar kehidupan bernegara di Indonesia dioperasionalkan di bawah bentuk negara “Republik” sebagai

implementasi pengakuan terhadap “kedaulatan rakyat” yang “berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.3

Sejak Indonesia merdeka dan pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkan UUD Tahun 1945 telah mengatur juga tentang jamin negara terhadap hak beragama sebagimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.Pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian ditetapkan sebagai undangundang dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang tersebut, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam,Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraph berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia.

Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas yaitu dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) (2), dan pasal 28 I ayat (1), serta pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, maka dalam tataran

Undang-Undang terdapat sejumlah ketentuan yang mengatur mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diantaranya dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

(4)

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain itu dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau

kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.4

Kebebasan bertuhan dan beragama di Indonesia ditegaskan dalam pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kedua ayat itu menyatakan bahwa, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati

nuraninya.” Jaminan ini diperkuat lagi oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan,”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal-pasal ini menjamin prinsip tidak ada paksaan (non-coersive) dalam agama dan keyakinan.

Di samping itu, dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama dan

berkeyakinan adalah bagian dari ”hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” (non-derogation rights). Status demikian bagi juga ditegaskan kembali pada Pasal 4 UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan

persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Di samping memberikan penghormatan (respect) dan pengakuan (recognition) terhadap hak warga negara (citizen’s right) akan

kebebasan beragama dan berkeyakinan, UU no. 39 juga menentukan kewajiban negara memberikan jaminan perlindungan (protect)

sebagaimana mestinya. Pasal 22 UU No. 39/1999 menyatakan: “(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” “(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

(5)

Negara juga telah menegaskan larangan diskriminasi

berdasarkan agama. Prinsip nondiskriminatif ini ditegaskan UUD 1945 ayat (2) Pasal 28I bahwa, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif”. Pengertian diskriminasi telah didefinisikan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan 11 kriteria, yang salah satunya adalah pembedaan manusia atas dasar agama. Sangat jelas bahwa UUD 1945 dan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberi jaminan bahwa memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap orang sebagai individu. Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk beragama dan berkepercayaan. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada yang berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk mempercayai dan mengimani suatu agama atau kepercayaan. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.

Bahkan, menurut pandangan yang lebih luas lagi, hak atas kebebasan beragama itu bagi setiap warga negara sebagai manusia, yang bukan berada dalam status sebagai pejabat negara, mencakup pula hak atas kebebasan untuk tidak bertuhan dan tidak tidak beragama. Mengapa harus dibedakan? Karena khusus bagi para penyelenggara negara, diharuskan menjadi contoh dan teladan dalam ketaatan kepada nilai-nilai keberagamaan dan kerpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana tertuang sebagai sila pertama Pancasila dan sebagai dasar negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, keharusan menjadi contoh seperti itu tidak ada bagi warga negara biasa. Termasuk warga negara asing yang

hendak mendapatkan status menjadi warga negara Indonesia, sama sekali tidak ditentukan adanya persyaratan bahwa calon warga negara itu harus bertuhan dan beragama lebih dulu. Karena itu, kebebasan

beragama itu bagi setiap warga negara biasa mencakup pula pengertian kebebasan untuk tidak percaya kepada Tuhan dan/atau agama apapun juga tersebut.

Pemberian status khusus kebebasan beragama dan

berkeyakinan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable right) ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2. Pengertian agama dan

(6)

agama apapun, seperti dalam paham ‘deisme’ (theism) yang dikenal dalam filsafat.

Karena itu, substansi Pasal 18 ICCPR membedakan antara

pengertian kebebasan beragama, berkeyakinan, atau berkepercayaan dengan pengertian kebebasan untuk menjalankan agama atau

kepercayaannya itu. Pembedaan ini dinilai penting untuk

membedakan di wilayah mana negara diperbolehkan untuk membatasi dan wilayah mana negara dilarang untuk melakukan pembatasan. Karena itu, dalam pandangan dan sikap Komnasham Tahun 20085, beberapa hal di bawah ini dipandang tidak dapat diintervensi, dipaksa, dan dipengaruhi dengan cara-cara manipulatif (seperti indoktrinasi,

brainwashing, dan penggunaan obat-obat terlarang, dan lain sebagainya), oleh negara atau pihak manapun juga, yaitu:

1. Memilih dan mengimani agama, keyakinan atau kepercayaan. 2. Memilih dan mengimani sekte atau madzhab tertentu dalam suatu

agama.

3. Memilih untuk taat pada (menjalankan) suatu ajaran agama atau tidak taat.

4. Menjalankan ibadat ritual di ruang privat.

5. Memikirkan, memahami, merenungi, menafsirkan dan mengembangkan pemikiran tentang agama.

Selain kelima hal yang dirumuskan oleh Komnasham tersebut di atas, agar lebih tegas, dapat pula ditambahkan rumusan pengertian sebagaimana sudah diuraikan di atas, yaitu bahwa setiap orang (i) berhak memilih untuk percaya atau tidak percaya kepada Tuhan dan (ii) berhak untuk memilih percaya atau tidak percaya kepada sesuatu ajaran agama. Kedua kebebasan yang terakhir ini dapat diatur dan dibatasi dengan undang-undang sebagaimana mestinya, sehingga bagi warga negara yang menduduki jabatan-jabatan sebagai petugas, aparat, atau pejabat penyelenggara negara, dapat diharuskan untuk hanya percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada sesuatu agama tertentu sesuai keyakinannya. Sedangkan hak-hak kebebasan beragama yang dapat diatur oleh negara secara relaitf sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menurut Komnasham

Republik Indonesia, adalah:

1. Menjalankan ibadat ritual di ruang publik;

2. Menjalankan ajaran agama non ibadat; ceramah agama, pertemuan agama, pendidikan agama, perayaan hari-hari besar, menyiarkan agama, dll.;

3. Mendirikan dan menggelola rumah ibadat;

4. Kebebasan menggunakan simbol-simbol agama; 5. Kebebasan mengangkat pemimpin agama;

6. Mendirikan dan mengelola sarana-sarana keagamaan lain seperti: sarana pendidikan, tempat pertemuan, pusat studi agama, dan lain-lain;

7. Membentuk dan menjalankan organisasi berbasis agama dengan jaminan status legal;

8. Mengelola pendidikan keagamaan;

(7)

9. Kebebasan menulis, mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran agama;

10. Memperoleh status keagamaan;

11. Memperoleh pendidikan dan pengajaran agama sesuai dengan agama orang tua/wali;

12. Memperoleh layanan menikah, bercerai, dan upacara kematian;

13. Memperoleh hak-hak kewarganegaraan tanpa didiskriminasi karena agama.

Namun demikian menjamin ruang bebas bagi setiap warga negara di luar penyelenggara negara untuk tidak bertuhan dan/atau beragama, bukan berarti bahwa negara menganggap hal itu sebagai sesuatu yang ideal dan di idealkan. Yang ideal tetaplah percaya kepada Tuhan YME dan beragama. Sebagai penyelenggara negara yang ideal menurut Pancasuka dan UUD 1945 adalah ber-Tuhan dan beragama. Karena itu, tugas dan peran pemerintahan serta para pemegang jabatan sebagai penyelenggara negara adalah untuk:

a. melayani, mendukung dan membantu warganegaranya, penduduk, dan semua orang yang ada dalam wilayah

kekuasaannya menjalankan ajaran agamanya melalui fasilitasi dan dukungan administrasi pemerintahan dalam rangka

pembentukan perilaku ideal dalam bermasyarakat, sehingga terbentuk pula perilaku ideal warga dalam bernegara;

b. menjaga kerukunan hidup bersama antar umat beragama dan antar kelompok internal umat bersama yang dapat atau

ternyata mengganggu ketertiban dan ketenteraman yang lebih luas, dalam rangka kerukunan hidup berbangsa dan bernegara; dan c. yang lebih pentingnya lagi menjadi contoh atau teladan bagi

masyarakat luas dalam berperilaku ideal sesuai tuntunan agama atau prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang diyakini

masingmasing untuk peningkatan peri-kehidupan bersama dalam wadah negara.

(8)

Daftar Putsaka

1. http://regional.liputan6.com/read/2573619/survei-jawa-barat-juara-kasus-intoleransi-di-indonesia diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 18.00 WIB

2. Dg. Mustafa Muhatadin. “Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama (Telaah Kritis dengan Pendekatan Teologis Normatif, Dialogis dan Konvergensif)”, Jurnal Hunafa, Vol. 3

3. Hasyim Asy’ari.”Politik Hukum Kebebasan Beragama di Indonesia”,

Pandecta, Semarang,Vol 6.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu motif batik yang menarik untuk di sorot adalah batik pekalongan karena memiliki ciri khas tersendiri dari segi motif dan warna.Serta kurangnya pengetahuan remaja

Sistem yang bekerja saat kebakaran terjadi dalam gedung yang terdiri dari sprinkler system yang dipasang pada dinding dan plafon, fire extinguiser yang dapat

Tahap 1 adalah penelitian mengenai pengaruh jenis inokulum terhadap produksi etanol hasil fermentasi hidrolisat kulit ari kedelai dan tahap 2 adalah aplikasi inokulum terbaik

Konsep keterjangkauan (aksesibilitas) Konsep keterjangkauan berkaitan dengan keadaan/kondisi permukaan bumi dan ketersediaan sarana serta prasarana angkutan atau komunikasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Bioavailabilitas intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang adalah benar karya

Fungsi dari inti sel adalah mengatur semua aktivitas Fungsi dari inti sel adalah mengatur semua aktivitas (kegiatan) sel, karena di dalam inti sel

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi ketika individu mengalami gangguan fungsi motorik atau kognitif yang mengakibatkan menurunnya kemanpuan dalam melakukan

The objectives of the research were: 1) This research was conducted in order to find how effective was the improvement of students‟ reading comprehansion when using SQ3R