• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum, kehidupan perekonomian merupakan salah satu unsur yang terpenting dalam kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan hanya melalui kegiatan perekonomian, suatu negara dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Kegiatan ekonomi ini kemudian diimplementasikan oleh suatu negara dalam wujud pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan, dengan tujuan utamanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ekonomi ini sendiri, oleh banyak negara, ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh aktivitas pembangunan.2

Permasalahan kemudian timbul karena di dalam dunia usaha dan bisnis, persaingan itu akan selalu ada. Secara terminologi, kata persaingan dapat diartikan bahwa ketika ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli dan ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang

Namun, dalam rangka mengembangkan kegiatan perekonomian, Negara tidak dapat bergerak sendiri. Negara membutuhkan keiikutsertaan dan keaktifan masyarakat dalam pasar yang kemudian diimplementasikan oleh masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis.

2

(2)

sama.3

Contoh klasik dari unfair competition ini adalah praktek monopoli yang telah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh Belanda melalui VOC.

Itu artinya, persaingan dilakukan oleh beberapa pelaku usaha yang sama – sama bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari setiap usahanya. Dengan adanya persaingan di antara beberapa pelaku usaha, sering mengakibatkan adanya suatu pelaku usaha yang melakukan kecurangan – kecurangan atau melakukan tindakan yang tidak fair untuk mengungguli pelaku usaha lainnya dalam memperoleh keuntungan. Akibatnya, maka akan ada pelaku usaha yang dirugikan dan bisa saja pelaku usaha tersebut tidak dapat lagi melakukan kegiatan usahanya jika terus – menerus dirugikan. Persaingan di antara para pelaku usaha yang terjadi secara curang (unfair competition), tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen, tetapi juga dapat merugikan negara.

4

Tidak hanya pada masa penjajahan, praktik monopoli juga masih banyak terjadi setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pada era orde baru misalnya, praktik-praktik monopoli dengan perilaku pengusaha yang anti persaingan berkembang pesat dan bahkan tidak mampu diatasi oleh pemerintah saat itu. Dapat diambil contoh misalnya monopsoni BPPC dalam pembelin cengkeh5, masuknya PT Timor sebagai industri otomotif nasional dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, dan beberapa contoh kasus monopoli lainnya.6

3

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 13. Hal ini telah

4 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Jakarta,Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 2.

5

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia: UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Ningrum Natasya Sirait I), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 6-7.

6

(3)

menumbuhkan korporasi besar dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli hampir disemua sector perekonomian Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa pengusaha yang mempunyai ikatan baik dengan penguasa. Namun di sisi lain, tidak ada instrumen hukum yang secara tegas dapat diterapkan untuk menghukum para pelaku praktik monopoli tersebut berakibat pada sulitnya penegakan hukum dibidang persaingan usaha karena tidak adanya aturan yang secara khusus mengatur tentang larangan praktik monopoli.

Monopoli ini kemudian mengakibatkan situasi perekonomian Indonesia menjadi kurang sehat dan seiring waktu, banyak kendala yang terjadi akibat kegiatan monopoli tersebut. Bahkan kegiatan monopoli tersebut kemudian menjadi salah satu faktor Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1998.7 Dihadapkan dengan situasi tersebut, Pemerintah kemudian sadar bahwa harus dibuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan permasalahan yang akan/sedang timbul khususnya dibidang persaingan usaha.8

Suatu Undang-Undang Antimonopoli atau Undang-Undang Persaingan Usaha merupakan kelengkapan hukum yang diperlukan dalam suatu Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah Undang-Undang yang mengatur persoalan Antimonopoli, yaitu Undang-Undang- Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

7

Munir Fuady, op.cit., hlm. 3.

8

(4)

perekonomian yang menganut mekanisme pasar.9 Disatu sisi Undang- Undang ini diperlukan untuk menjamin agar kebebasan bersaing dalam perekonomian dapat berlangsung tanpa hambatan, dan dilain pihak Undang- Undang ini juga berfungsi sebagai rambu-rambu untuk memagari agar tidak terjadi praktik-praktik ekonomi yang curang. Memilih ekonomi pasar tanpa melengkapi dengan pagar-pagar peraturan, sama saja dengan membiarkan ekonomi berjalan berdasarkan hukum siapa yang kuat boleh menghabiskan siapa yang lemah yang kemudian akhirnya akan mengakibatkan penghentian fungsi pasar.10

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kemudian berimbas pada pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang berwenang untuk mengimplementasikan Undang-Undang tersebut. Sebagai lembaga yang akan mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini, maka KPPU memiliki tugas dan kewenangan dalam melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan usaha serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait.

Oleh karena itulah, keberadaan Undang-Undang ini sangatlah krusial dan merupakan suatu keniscayaan.

11

9

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 57.

Kewenangan KPPU tidak terbatas hanya pada penindakan terhadap kegiatan monopoli saja tetapi juga terhadap seluruh perbuatan yang dilarang dalam UU Nomor 5 tahun

10

Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: Katalis Publishing Media Services, 2002), hlm. 6.

11

(5)

1999 misalnya Kartel, Predatory Pricing, Persekongkolan Tender (Tender Conspiracy), dll.

Salah satu kasus Persekongkolan Tender yang ditangani oleh KPPU dan telah diputus pada tahun 2011 adalah kasus Proyek Donggi– Senoro di Sulawesi Tengah yang melibatkan PT Pertamina (Persero), PT Medco Energi International, Tbk., PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan Mitsubishi Corporation dengan No Putusan 35/KPPU-I/2010. Indikasi awal adanya dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam Proyek Donggi Senoro ini sebenarnya muncul setelah adanya laporan dari PT LNG Energi Utama (PT LEU) yang kalah dalam proses beauty contest12

12

Erman Rajagukguk, “Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial R.I. Volume V, No.01, April 2012, hlm.1.

pembangunan PT Donggi Senoro LNG (PT DSL). PT LEU awalnya melaporkan bahwa telah terjadi persaingan usaha tidak sehat yaitu terkait dugaan pelanggaran Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Proyek Donggi Senoro dan juga pencurian rahasia perusahaan yang dilakukan oleh Mitsubishi Corporation setelah melakukan due diligence. PT LEU meminta KPPU untuk menyelidiki Gase Sale Agreement (GSA) yang telah ditandatangani oleh PT DSL dengan PT Pertamina EP sertakontrak GSA antara PT DSL dengan PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori karena dengan meneliti GSA tersebut, diharapkan KPPU dapat mempelajari perbandingan harga, baik harga jual gas maupun nilai proyek pada saat tender, dengan harga yang disepakati di dalam GSA sebagai bukti adanya tindakan merusak pesaing (predatory practices) dan penawaran pura-pura (artificial offering) dalam beauty

(6)

tercatat dengan Nomor 1038 mulai tanggal 29 Januari 2009 hingga 9 Juni 2009 dan telah menyelesaikan resume laporan akhirnya diputuskan bahwa laporan dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam proyek Donggi Senoro tersebut dihentikan karena tidak cukup bukti.

Setelah selang beberapa waktu kasus tersebut sempat dinyatakan dihentikan karena tidak cukup bukti, KPPU kemudian memutuskan untuk membuka kembali dengan melakukan monitoring terhadap kasus dugaan persaingan usaha tidak sehat tersebut. Setelah melakukan serangkaian kegiatan

(7)

Corporation membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).13 Putusan KPPU ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST setelah melalui mekanisme banding. 14

Putusan yang dikeluarkan oleh KPPU tersebut dinilai bermasalah dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. PT. Pertamina dan PT. Medco Energi Internasional menilai bahwa KPPU tidak bisa membedakan antara beauty contest

yang digunakan dalam proyek Donggi Senoro dan tender seperti yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut.15

13 Putusan KPPU No.35/KPPU-I/2010 tentang Proses Beauty contest Proyek Donggi

Senoro hlm. 244-245.

Meskipun kasus ini telah diputus pada tahun 2011 dan telah dibawa banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kaidah dan norma hukum yang telah diputus tersebut masi menjadi suatu polemik yang hangat di dalam dunia Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Pertimbangan KPPU dalam menilai bahwa proses/praktik beauty contest dalam memilih mitra usaha dapat disamakan dengan proses tender telah mengakibatkan kebingungan dan kerancuan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan pendapat antara para pakar Hukum Persaingan Usaha seperti Prof. Erman Rajagukguk, Dr. Susanti Adi Nugroho,dll dengan

14

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST hlm. 275.

15

(8)

KPPU dimana mereka menilai bahwa beauty contest tidak dapat disamakan dengan tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Eksistensi polemik ini kemudian kembali dipertegas dengan adanya perbedaan pendapat oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi dengan No Perkara. 305 K/Pdt.Sus/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon kasasi (PT. Pertamina) dan membatalkan Putusan KPPU dan Putusan PN Jakarta Pusat16

Oleh karena masih adanya polemik didalam menanggapi putusan KPPU mengenai beauty contest ini dan bahwa penulis merasa perkara ini khususnya dalam interpretasi pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 mengenai Persekongkolan Tender merupakan masalah yang krusial dan fundamental bukan hanya antara pihak PT. Pertamina et al dan KPPU namun juga untuk kejelasan bagi dunia usaha di Indonesia, maka penulis berpendapat bahwa masih perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam untuk memperjelas dan menjawab polemik yang timbul. Oleh karena itu, maka penelitian ini akan berusaha untuk mendefinitifkan dan mencari jawaban terhadap perdebatan antara apakah Beauty contest dalam rangka mencari partner usaha dapat dianggap sebagai tender atau tidak dalam semangat Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Selain itu juga diharapkan penelitian ini dapat memberikan sedikit gambaran dan titik terang dalam penyelesaian beda

(salinan putusan kasasi belum diturunkan oleh Mahkamah Agung sampai pada saat penelitian ini dimulai). Polemik mengenai “Beauty Contest” ini sepertinya masih belum dapat mencapai keputusan konkret dalam waktu dekat dikarenakan masih adanya upaya Peninjauan Kembali yang mungkin akan diambil oleh Pemerintah.

16

(9)

pendapat dalam perkara eksplorasi minyak dan gas di Donggi – Senoro antara PT. Pertamina, PT. Medco Energi Internasional dan Mitsubishi Corporation dengan pihak KPPU. Penulis berharap nantinya penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dan referensi karya ilmiah dalam menganalisis dan menyelesaikan perkara ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan 3 permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana Ruang Lingkup Praktek Tender dan Beauty Contest yang ada di Indonesia.

2. Bagaimana Perbedaan Pengertian “Beauty Contest” untuk memilih mitra usaha dengan pengertian persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

3. Bagaimana Pertimbangan Hukum KPPU dalam menafsirkan dan menerapkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 dalam memutus perkara No. 35/KPPU-I/2010 tentang praktek Beauty Contest proyek Donggi Senoro?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:

(10)

b. Untuk menjelaskan perbedaan proses beauty contest dalam memilih mitra usaha dengan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang No.5 Tahun 1999.

c. Untuk menganalisis secara ilmiah permasalahan hukum eksplorasi gas Blok Donggi Senoro dan menjawab permasalahan yang ada dalam pertimbangan KPPU dalam memutus perkara ini.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam bidang hukum persaingan usaha terutama berhubungan dengan persekongkolan tender. 2) Sebagai salah satu bahan kajian oleh kalangan akademisi dalam

mempelajari cakupan persekongkolan tender dalam kaitannya dengan praktik beauty contest untuk memilih mitra usaha

b. Secara Praktis

1) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dan KPPU dalam melakukan interpretasi dan penafsiran terhadap Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 tentang Persekongkolan Tender

(11)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM MEMUTUS PERKARA NO. 35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK BEAUTY

CONTEST SEBAGAI BENTUK PERSEKONGKOLAN TENDER” ini

merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya Tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.

Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Elizabeth Aritonang

NIM : 010200035

(12)

2. Nama : Agung Yuriandi

NIM : 030200058

Judul : Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam mengawasi Tender Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Sumatera Utara.

3. Nama : Corry Sinaga

NIM : 070200084

Judul : Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Tertutup dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU No.6/KPPU-L/2004.

4. Nama : Johannes Tare Pangaribuan

NIM : 070200235

Judul : Posisi Dominan yang Mengakibatkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 Tentang Carrefour).

(13)

dilakukan dengan judul “Pertimbangan Hukum KPPU dalam Memutus Perkara no.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender” ini secara khusus membahas mengenai perbedaan praktek beauty contest yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mencari mitra usaha dengan pengertian tender sebagaimana dimaksud UU No.5 Tahun 1999 serta analisis pertimbangan hukum KPPU dalam memutus perkara No.35/KPPU-I/2010 tentang proyek Blok Donggi Senoro. Sedangkan keempat skripsi diatas membahas mengenai UU No.5 Tahun 1999 secara umum, kewenangan KPPU dalam mengawasi pelaksanaan tender serta Studi Kasus Putusan KPPU yang sama sekali berbeda dengan judul penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Kata "monopoli" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "penjual tunggal" 17Black’s Law Dictionary mendefinisikan monopoli sebagai sebuah keistimewaan atau keuntungan yang melekat pada satu atau lebih orang atau perusahaan, yang terdiri dalam hak eksklusif (atau kekuasaan) untuk menjalankan suatu bisnis tertentu atau perdagangan, manufaktur tertentu, atau mengontrol penjualan pasokan seluruh komoditas tertentu.18

17

Munir Fuady, Op. cit., hlm. 4.

Disamping istilah monopoli, di Amerika Serikat sering digunakan kata antitrust untuk pengertian yang sepadan dengan istilah "Antimonopoli" atau istilah "domination" yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan istilah "monopoli". Selain

18

(14)

itu, terdapat lagi istilah yang artinya mirip-mirip yaitu istilah "kekuatan pasar". Dalam praktik keempat istilah itu, yaitu istilah "monopoli" ," antitrust' , "kekuatan pasar", dan "dominasi" saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menguasai pasar, di mana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk substitusi potensial' dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.19

Monopoli dapat teriadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme dengan instrumen kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar paling hebat, dan paling kaya Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme monopoli juga teriadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik dan pemilikan faktor produksi secara kolektif segalanya doimonopoli negara dan diatur dari pusat.20

Kemunculan monopoli dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan cara, yaitu:21

19

Munir Fuady, Op. cit., hlm.4.

20

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 3-4.

21

(15)

a. Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, maka timbullah monopoly by law. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 membenarkan adanya monopoli jenis ini, dengan memberi monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Berhubung sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak karena sifatnya yang memberi pelayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan. Selain itu pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang;

b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok, timbullah monopoly by nature. Bentuk monopoli ini, dapat dilihat dengan tumbuhnya perusahaan- perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan terntentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat dimana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung dengan bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor dominan;

(16)

bergeser kearah yang diinginkan oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.22

Kemunculan Monopoli yang dapat menyebabkan distorsi pasar inilah yang kemudian perlu dicegah dan dihindari. Richard Posner dalam bukunya "Antitrust Law (An Economic Perspective)" mengemukakan ada 3 (tiga) alasan politis mengapa monopoli tidak dikehendaki, yaitu: pertama, monopoli mengalihkan kekayaan dari para konsumen kepada pemegang saham perusahaan-perusahaan yang monopolistic, yaitu suatu distribusi kekayaan yang berlangsung dari golongan yang kurang mampu kepada yang kaya. Kedua, monopoli atau secara lebih luas setiap kondisi (seperti concentration) yang memperkuat kerja sama di antara perusahaan-perusahaan yang bersaing, akan mempermudah dunia industri untuk melakukan manipulasi politis guna dapat memperoleh proteksi (dari pemerintah) berupa dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberi proteksi kepada mereka yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan meningkatkan keuntungan mereka di bidang industri yang bersangkutan. Perlindungan tersebut sering berbentuk hambatan terhadap kemudahan untuk memasuki pasar bagi perusahaan lain dan hambatan terhadap berlakunya Undang-Undang Anti Monopoli kepada mereka, yang lebih lanjut akan menimbulkan pembentukan kartel di dalam industri yang bersangkutan yang melalui cara itu akan lebih efektif bekerjanya daripada dilakukan melalui pembuatan perjanjian di antara perusahaan-perusahaan tersebut. Terakhir, berkaitan dengan keberatan atas

22

(17)

praktik monopoli bahwa kebijakan Antimonopoli yang bertujuan untuk meningkatkan economic efficiency dengan cara membatasi monopoli itu, adalah suatu kebijakan yang bertujuan untukmembatasi kebebasan bertindak dari perusahaan besar demi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan kecil.23

Namun, dalam konteks yuridis tidak semua bentuk kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehatlah yang dilarang yaitu pasar monopoli yang dapat menimbulkan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dimana tidak terjadi persaingan usaha yang sehat dan keadaan ini dapat merugikan konsumen karena tidak terdapat pesaing lainnya.24 Namun, selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, maka tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, meskipun monopoli itu sendiri nyata-nyata telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu). Di sini monopoli itu sendiri tidak dilarang karena yang dilarang adalah praktik monopoli yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.25

Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah:

"Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa

23

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. Pertama(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 85-86.

24

Ibid, hlm. 83.

25

(18)

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha."26

Istilah lain persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan curang (unfair

competition) atau praktik bisnis yang tidak jujur. Jadi, persaingan usaha tidak sehat itu adalah suatu persaingan usaha yang dilakukan oleh antar pelaku usaha secara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pelaku usaha di sini melakukan cara-cara persaingan usaha yang tidak jujur, melawan hukum, atau setidak-tidaknya perbuatan yang dilakukan pelaku usaha tersebut dapat menghambat persaingan usaha.

Praktik bisnis yang tidak jujur dapat diartikan sebagai segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan iktikad baik, kejujuran di dalam berusaha. Perbuatan ini termasuk perbuatan melawan hukum. Karenanya praktik bisnis yang tidak jujur dilarangkarena dapat mematikan persaingan yang sebenarnya ataupun merugikan perusahaan pesaing secara tidak wajar/tidak sehat dan juga dapat merugikan konsumen. 27

Selain pelarangan kegiatan monopoli, berdasarkan laporan kerja United

Nation Conference on Trade and Development, legislasi Undang-Undang Monopoli di berbagai Negara mempunyai esensi yang sama yaitu melarang:28

26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka6.

27

Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 88.

28

(19)

a. Perjanjian Tertutup

Pelarangan terhadap perjanjian yang mengatur harga, menyamakan harga, mengatur pasar, syarat-syarat penjualan maupun tying contract. Contoh tying contract, misalnya penjualan susu dikaitkan dengan sikat gigi. Hal ini tidak adil bagi penjual susu yang tidak bisa mengikatkan diri pada penjualan produk susu.

b. Price Discrimination dan Price Fixing

Contoh price discrimination, seperti menjual produk dengan harga yang berbeda pada 2 (dua) orang. Contoh price fixing adalah pelaku usaha yang menetapkan harga jual kembali apabila barang tersebut dijual kembali oleh pembeli.

c. Pembagian pasar atau konsumen

Misalnya pembagian wilayah pada penjualan semen. Untuk daerah timur diberikan kepada Semen Tomasa dan wilayah Barat kepada Semen Padang.

d. Collusive tendering atau bid rigging

(20)

e. Boycott

Boycott adalah tidak membeli pada atau menjual kepada satu pelaku tertentu.29

f. Cartel

Dalam pasar oligopoli, sangat cenderung untuk dilakukan kartel. Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi.

g. Merger dan akuisisi

Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan yang me-merger mengambil/membeli semua assets dan liabilities perusahaan yang di-merger dengan begitu perusahaan yang me-merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang di-merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau oleh kelompok investor. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar.

h. Predatory behavior

Predatory behavior didasarkan pada rule of reason. Misalnya satu pabrik menjual murah dibawah produksi, apakah hal itu termasuk

predatory. Kalau memakai per se lllegal dipastikan bahwa perilaku

29

(21)

tersebut cenderung membunuh pelaku usaha lain. Akan tetapi apabila menggunakan rule of reason harus dicari alasan dibaliknya apakah memang mengakibatkan pelaku lain mati untuk kemudian diambil alih, atau memang karena pelaku tersebut sudah akan bangkrut, atau mempunyai stok barang-barang yang tidak laku (semacam cuci gudang). Hal ini sering terjadi di Jepang yang melakukan hal itu dengan alasan efisiensi.30

2. Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia.

Di Indonesia, pengaturan mengenai larangan anti monopoli diatur di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Munculnya Undang-Undang ini merupakan puncak dari berbagai upaya yang mengatur masalah persaingan antar pelaku usaha dan larangan melakukan praktik monopoli. Dalam sejarahnya upaya untuk membentuk hukum persaingan usaha telah dimulai sejak tahun 1970-an. Berbagai rancangan undang-undang dan naskah akademis telah dimunculkan, namun baru pada tahun 1998, sebagian karena desakan International Monetary Fund (IMF),

pembicaraan untuk membentuk undang-undang yang mengatur masalah persaingan usaha secara serius dilakukan.31

30

Ibid.

Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum

31

(22)

ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang Antimonopoli. Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut32

Terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan alasan untuk segera membuat UU Antimonopoli tersebut yaitu:

a. RUU tentang Antimonopoli tersebut merupakan RUU atas Usul Insiatif DPR pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang pada rezim Orde Baru berkuasa tidak pernah dipergunakan/difungsikan. Peran serta fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memperjuangkan hak-hak serta aspirasi rakyat selama itu terbelenggu oleh kekuasaan Orde Baru;

b. RUU tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha, usulan dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, karena adanya tekanan dari IMF, merupakan suatu hal yang sangan dinantikan oleh para pelaku usaha untuk lebih membangkitkan iklim bisnis dan usaha yang sehat dan etis;

c. Karakter iklim usaha yang dibina oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun sangat monopolistis, dekat dengan penguasa, sehingga terjadi monopoli kebenaran, monopoli kekuasaan, dan sebagainya. Mereka yang memperjuangkan kehadiran UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat dianggap telah melakukan perbuatan subversive oleh rezim Orde Baru.

32

(23)

Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya yaitu:

a. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjasama ekonomi pasar yang wajar. c. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi

persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.33

Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga menyatakan antara lain:

Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan

33

(24)

aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, Undangundang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian kelahiran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat meneiptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Pembentukan Undang-Undang Antimonopoli ini didasarkan pada asas-asas dan tujuan yang pada intinya untuk mengatur berjalannya kompetisi/persaingan usaha di Indonesia serta untuk memberikan “level playing

field” atau kesempatan yang sama bagi pelaku usaha untuk bersaing.34

34

Ningrum Natasya Sirait, Menata Ulang Kembali Persaingan Usaha di Indonesia dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, (Ningrum Natasya Sirait II), (Yogyakarta: Cicods FH UGM, 2009), hlm. 25.

(25)

1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.35

Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 adalah untuk:36

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada

35

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab II, Pasal 2

36

(26)

setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.37

3. Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

Undang-Undang Antimonopoli bertujuan untuk mengontrol tindakan pelaku usaha dari perbuatan melakukan praktik monopoli, di samping berusaha mempromosikan kompetisi yang sehat, jujur, dan terbuka. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 memuat hal-hal yang cukup luas. Hal ini telah dilihat dari materi undang-undang itu sendiri yang memuat mengenai pelanggaran terhadap persaingan usaha, termasuk perbuatan apa yang diatur bagi tindakan pelaku usaha, berikut dengan pengaturan mengenai sanksi.38

Perbuatan yang secara luas diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 adalah kartel (kombinasi keseluruhan pengontrolan produksi, penjualan dan harga, yang bertujuan untuk memonopoli atau membatasi kompetisi suatu industry atau komoditas); exclusive dealing (bentuk integrasi vertical dengan kontrak dimana pembeli setuju untuk membeli seluruh kebutuhan pasokan komoditas tertentu dari suatu penjual); merger/akuisisi perusahaan sejenis atau vertical; price fixing (kerjasama dengan perusahaan yang bersaing untuk

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat dianggap disusun secara singkat dan sederhana. Namun ditinjau dari isinya, Undang-Undang No.5 tahun 1999 ini sudah cukup memadai, terutama jika dilihat dari ide untuk mencegah dan menanggulangi tindakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

37

Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 15.

38

(27)

menetapkan harga pasar); oligopoli (hanya beberapa perusahaan yang menjual produk yang sama yang mengakibatkan komoditas terbatas, harga tinggi); monopsoni (pembeli tunggal, dan penjualan komoditas tersebut juga hanya dikuasai oleh sang pembeli tunggal); tying contract (perjanjian yang terjadi ketika penjual mewajibkan pembeli untuk membeli produk sampingan/tied product, apabila hendak membeli produk pokok/tying product; division of market allocation, yaitu perjanjian yang mengikat untuk membagi wilayah pasar diantara produsen atau penjual pokok sejenis dengan pertimbangan memaksimalkan keuntungan; dan boycotts, yaitu perbuatan mengajak orang lain untuk tidak berhubungan dengan pihak ketiga atau pihak lain.39

Setelah menelusuri Batang Tubuh Undang-Undang No.5 Tahun 1999, diketahui bahwa dalam undang-undang ini telah dimuat sejumlah norma hukum persaingan usaha. Undang-Undang ini akan menjadi dasar hukum bagi pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha di Indonesia. Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dikelompokkan ke dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian.

Secara umum, kerangka dan sistematika dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

39

(28)

Tabel 1.1 Sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999

Sumber: Usman hal 67

No Bab Perihal/Isi Pasal Jumlah Persentase (%)

1 I Ketentuan Umum 1 1 pasal 1,89

2 II Asas dan Tujuan 2-3 2 pasal 3,78

3 III Perjanjian yang Dilarang 4-16 13 pasal 24,52

4 IV Kegiatan yang Dilarang 17-24 8 pasal 15,09

5 V Posisi Dominan 25-29 5 pasal 9,43

6 VI Komisi Pengawas Persaingan Usaha

30-37 8 pasal 15,09

7 VII Tata Cara Penanganan Perkara

38-46 9 pasal 16,98

8 VIII Sanksi 47-49 3 pasal 5,66

9 IX Ketentuan Lain 50-51 2 pasal 3,78

10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal 1,89

(29)

Di samping itu, Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dilengkapi pula dengan:

1. Penjelasan Umum;

2. Penjelasan Pasal Demi Pasal.

Dalam Penjelasan Umum atas Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:

“Secara umum, materi materi Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas:

1. Perjanjian yang dilarang; 2. Kegiatan yang dilarang 3. Posisi dominan

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha 5. Penegakan hukum

6. Ketentuan lain-lain.”

Selanjutnya, apabila diteluri lebih seksama isi Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tersebut, maka materi kandungan yang diatur meliputi hal-hal sebagai berikut:40

a. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya. Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian monopoli, praktik monopoli,

40

(30)

pemusatan kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku usaha, persaingan usaha tidak sehat,perjanjian, persekongkolan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar, harga pasar, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Pengadilan Negeri;

b. Perumusan kerangka politik Antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pernbentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3;

c. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pengusaha. Pasal 4-16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut, yaitu perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, oligopsoni, imegrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri;

d. Perumusan macam kegiatan yang dillarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persengkonglan;

e. Perumusan macam posisi dominan yang dilarang dilakukan oleh pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persengkonglan;

(31)

g. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Kornisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 38 sarnpai dengan Pasal 46 memuat perumusan penerimaan laporan, pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan, serta putusan komisi, kekuatan putusan komisi, dan upaya hukum terhadap putusan kornisi;

h. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu tindal administrative, pidana pokok, dan pidana tambahan;

i. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang g dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara;

(32)

Dari kerangka dan sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999, sebagaimana diterangkan di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pasar yang telah diatur oleh hukum persaingan usaha meliputi:41

a. perjanjian yang dilarang; b. kegiatan yang dilarang;

c. penyalahgunaan posisi dominan; d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

e. Tata cara penanganan perkara persaingan usaha; f. Sanksi-sanksi;

g. Perkecualian-perkecualian.

Adapun hal-hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, meliputi:

a. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri atas :

1) Oligopoli;

2) Penetapan harga (price fixing); 3) Diskriminasi harga;

4) Penetapan harga dibawah harga pasar; 5) Penjualan kembali dengan harga terendah; 6) Pembagian wilayah(market division); 7) Pemboikotan (boycott);

41

(33)

8) Kartel (cartel);

9) Trust (trust agreement); 10)Oligopsoni;

11)Intergrasi vertikal;

12)Perjanjian tertutup (exclusive dealing); 13)Perjanjian dengan luar negeri.

b. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri atas :

a. Monopoli; b. Monopsoni; c. Penguasaan pasar;

1) Predatory pricing;

2) Price war and price comptetition ;

3) Penetapan biaya produksi dengan curang; d. Persekongkolan (conspiracy):

1) persekongkolan tender;

2) persekongkolan rahasia perusahaan;

3) persekongkolan untuk menghambat perdagangan (entry barriers). c. Posisi dominan di pasar, terdiri dari :

1) mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing;

2) membatasi pasar dan pengembangan teknologi;

(34)

4) jabatan rangkap secara bersamaan; 5) pemilikan saham;

6) penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha atau saham.

Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat dan yang akan menjadi inti/fokus penelitian ini sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah persengkongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Pasal 22 UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(35)

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Untuk mengawasi pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999 dibentuk suatu komisi dimana pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.42

KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999. Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain.

Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

43

Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan KPPU. Menurut Bagir Manan, KPPU adalah salah satu instrumen meski tidak dikatakan sebagai salah satu bentuk Dispute Resolution. Hal ini diartikan bahwa perselisihan-perselisihan bisnis yang berkaitan dengan persaingan atau monopoli kalau dapat tidak perlu masuk ke pengadilan, tetapi cukup diselesaikan oleh KPPU saja.44

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI, Pasal 34.

Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang

43

Hermansyah, Op. cit., hlm. 73.

44

(36)

berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in kracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap keputusan PN tersebut.45

Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ)46 yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi judicial).47

Kepailitan Dan Wawasan hukum Bisnis Lainnya”, Cet. Pertama (Jakarta: Pusat Kajian Hukum, 2003), hlm. Xviii.

Artinya, meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administrative

45

Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 311.

46

L. Budi Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007, hlm. 2.

47

(37)

karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.48

KPPU dalam menjalankan kegiatannya mempunyai tugas untuk :49

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku

usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha.

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No.5/1999

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.

48

Ningrum Natasya Sirait II, Op. cit., hlm. 30.

49

(38)

Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, KPPU mempunyai kewenangan untuk:50

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU No.5/1999.

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU No.5/1999.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6 tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.

50

(39)

h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No.5/1999.

i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku

usaha yang melanggar ketentuan UU No.5/1999.

(40)

ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.51

5. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai: ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.52

Konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.53

51

Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 315-316.

52

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 133.

53

(41)

b. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha54

c. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.55

d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.56 e. Tender adalah tawaran mengajukan harga terbaik untuk membeli atau

mendapatkan barang/jasa, atau menyediakan barang/jasa, atau melaksanakan suatu pekerjaan.57

f. Persekongkolan tender merupakan upaya untuk mengatur dan menentukan pemenang tender. Persekongkolan menjadi bentuk negatif dari kerja sama antara peserta tender dengan penyelenggara tender.

g. Beauty Contest adalah proses pemilihan mitra kerja, sehingga pihak penyelenggara dari proses ini dapat mencari dan menunjuk mitra kerja

54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 6.

55

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 8.

56

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 18.

57

(42)

yang dinilai memiliki pengalaman dan permodalan sesuai kriteria dalam menjalankan proyek secara bersama-sama.58

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.59 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.60

1. Sifat atau Jenis Penelitian

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian hukum yang bersifat normatif dan yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.61 Penelitian hukum normatif ini sendiri mencakup:62

a. penelitian terhadap asas-asas hukum, b. penelitian terhadap sistematika hukum, c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum, d. penelitian sejarah hukum, dan

e. penelitian perbandingan hukum.

58 Erman Rajagukguk, Op. cit., hlm. 6. 59

Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 3.

60

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Nomartif, Ed. Revisi (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 26.

61

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

62

(43)

Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder,63 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan internasional dalam bidang persaingan usaha, jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif ialah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.64 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.65

2. Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.66 Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:67

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional

63 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua

(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.

64

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.

65

Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 10.

66

Bambang Waluyo, Op. cit., hlm. 13-14

67

(44)

yang mengikat (terutama yang berkaitan dengan persaingan usaha di Indonesia) serta putusan-putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. Selain itu, bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, terutama dari bidang ekonomi dan persaingan usaha.

3. Teknik Pengumpulan Data

(45)

4. Analisis Data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini meliputi: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM KEBERADAAN PRAKTEK TENDER DAN

BEAUTY CONTEST DI INDONESIA.

(46)

BAB III PERBEDAAN PENGERTIAN BEAUTY CONTEST DALAM MEMILIH MITRA USAHA DENGAN PERSEKONGKOLAN TENDER SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM UU NO.5 TAHUN 1999.

Bab ini menguraikan tentang ruang lingkup pengertian tender dan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 serta akan dibahas juga mengenai bentuk-bentuk umum persekongkolan tender dan dampak yang diakibatkan oleh persekongkolan tender. Selain itu akan dibahas juga mengenai apakah “Beauty Contest” untuk memilih mitra usaha kemudian dapat disamakan atau diinterpretasikan sebagai tender berdasarkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 melalui tinjauan secara yuridis formil.

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM MEMUTUS

PERKARA NO.35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK

BEAUTY CONTEST PROYEK DONGGI SENORO

(47)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi aktivitas antioksidan tertinggi ditemukan pada bekatul yang difermentasi oleh Rhizopus oryzae dengan daya hambat radikal sebesar 93,41% dari konsentrasi ekstrak

30 Perilaku kerja sebagai mana dimaksud, meliputi aspek :Orientasi pelayanan adalah sikap dan perilaku kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang

Pada torque converter , aliran ATF yang mengalir dari pump impeller ke turbine runner dan melewati stator vane dan kembali ke pump impeller merupakan proses

DISERTASI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP..... ADLN Perpustakaan

Dalam penelitian ini diuji mekanisme kerja dari kombinasi ekstrak air daun salam dan herba sambiloto dalam menurunkan kadar gula darah, dengan fokus mekanisme

Dengan demikian, KLHS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang semata-mata ditujukan pada komponen-komponen KRP, tapi yang lebih

[r]

dan mereka membela dan menolong golongan tertentu karena dasar kezaliman dan ia terbunuh, maka matinya termasuk mati jahiliyah. Dari sini sudah jelas bahwasannya ‘