• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang telah dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakekatnya merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk mengatasi agar tidak terjadi situasi tersaebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.1

Konstitusi atau Undang Undang Dasar yang disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan perkataan lain, dalam konstitusi berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Adapun pembatasan kekuasaan tersebut terlihat dengan adanya tiga hal dalam setiap konstitusi, yaitu (a) Bahwa Konstitusi atau Undang Undang Dasar harus menjamin hak-hak manusia atau warga negara; (b) Konstitusi atau Undang Undang Dasar juga harus memuat suatu ketatanegaraan pada suatu negara yang bersifat mendasar; (c)

(2)

Konstitusi harus mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat mendasar.2

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi yang diberlakukan di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi yaitu; UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949); Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950); UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999); UUD 1945 ( 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) UUD 1945 dan Perubahan Pertama ( 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, dan Kedua ( 18 Agustus 2000 – 10 November 2001 ); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua dan Ketiga ( 10 November 2001 – 10 Agustus 2002); dan UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (10 Agustus 2002 – sekarang).3

Perubahan Pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999, kemudian Perubahan Kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan Perubahan Keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4 Salah satu gejala yang menandai perubahan tersebut

2 PadmoWahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1984, hal.4 3 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Prenada Media Group, 2010 hal. 15

(3)

adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara. Ada yang dihapuskan, dan sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru.5

Secara kronologis substansi pengaturan kelembagaan negara dalam perubahan UUD 1945 terdapat pada setiap masa perubahannya.

Perubahan pertama, UUD 1945 memuat pengendalian kekuasaan presiden dan tugas serta wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal pembentukan undang-undang.6

Perubahan kedua, UUD 1945 menata ulang keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisian lembaga negara.7

Perubahan ketiga, membahas ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan Presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan dan pemilihan secara langsung, pembentukan lembaga negara baru meliputi Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan (DPD), dan Komisi Yudisial (KY) serta pengaturan tambahan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan perubahan keempat, UUD 1945, meliputi keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua dan kemungkinan presiden/wakil presiden berhalangan tetap serta kewenangan presiden.8

Menurut Prof. Jimly Assidiqie ada beberapa lembaga-lembaga Negara Indonesia yang menjadi organ konstitusional dan subjek jabatan atau subjek hukum

5 Ibid., hal. 1-2

6 Titik Triwulan Tutik, posit., hal. 19. 7 Ibid.,

(4)

kelembagaan yang ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945 maupun undang-undang di luar UUD 1945 yaitu:9

1. Presiden

2. Wakil Presideen

3. Dewan Pertimbangan Presiden; 4. Kementerian Negara;

5. Menteri Luar Negeri; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Pertahanan; 8. Duta;

9. Pemerintahan Daerah Provinsi;

10.Gubernur/ Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi; 11.DPRD Provinsi;

12.Pemerintahan Daerah Kabupaten;

13.Bupati/ Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten; 14.DPRD Kabupaten;

15.Pemerintahan Daerah Kota;

16.Walikota/ Kepala Pemerintahan Daerah Kota; 17.DPRD Kota;

18.Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR); 19.Dewan Perwakilan Rakyat;

(5)

20.Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang undang;

21.Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang undang;

22.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 23.Mahkamah Agung (MA);

24.Mahkamah Konstitusi (MK); 25.Komisi Yudisial (KY);

26.Tentara Nasional Indonesia (TNI);

27.Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); 28.Angkatan Darat (AD);

29.Angkatan Laut (AL); 30.Angkatan Udara (AU);

31.Satuan Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa;

32.Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sebagainya;

33.Kesatuan masyarakat hukum adat.

(6)

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan yang dimaksudkan untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Hal ini tercantum dalam perubahan konstitusi, khususnya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:

“ Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”10

Fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai salah satu bentuk Judicial Control dalam kerangka sistem check and balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan 11yang pada hakikatnya mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions).

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 bahwa;

“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi

yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh

Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”12

Pengangkatan atau penetapan hakim konstitusi dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden, tetapi bukan berarti para hakim konstitusi

10 Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945

11 Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka PUB, Jakarta, 2007, hal.xi

(7)

berada di bawah Presiden, melainkan dipandang sebagai salah satu tugas Presiden dalam kapasitasnya selaku kepala negara.13

Secara konsepsional ada empat pokok pikiran yang menjadi landasan Mahkamah Konstitusi dalam kerangka amandemen UUD 1945, antara lain: Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi; Pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances; Pemurnian sistem Presidensial; dan Penguatan cita persatuan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.14

Jika kita melihat perkembangan sistem presidensial Indonesia yang dianut pada masa sebelum perubahan UUD 1945 terjadi pemusatan kekuasaan negara kepada satu lembaga yaitu Lembaga Kepresidenan dan Presiden tidak bertanggung jawab langsung kepada DPR. Pada masa ini pejabat-pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan kekuasaan presiden. Oleh karena hal tersebut, maka kekuasaan Presiden sebagai

kepala negara ‘tidak tak terbatas’ ditutupi oleh kekuasaan tertinggi negara yaitu di

tangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Namun sistem presidensial pada masa tersebut berdampak positif bagi kelangsungan kinerja pemerintahan karena Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan karena konflik dan pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari.

13 Ibid., hal.21

(8)

Sebelum Perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan merupakan salah satu lembaga negara yang dominan karena memiliki kekuasaan yang besar. Atas dasar

itulah Ni’matul Huda menyebutkan bahwa UUD 1945 biasa disebut executive heavy,

menurut istilah Soepomo : “concentration of power and responsibility upon the president”.15

Dalam sejarah perjalanan Lembaga Kepresidenan (presidential institution) sebagai penyelenggaraan negara Indonesia dimana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan negara Indonesia dimana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 telah menganut sistem presidensial. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan Presiden yang memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang Undang Dasar” artinya Presiden dalam menjalankan

roda pemerintahannya dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menterinya (kabinet).16

Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Walaupun demikian sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, Presiden dalam menggunakan kewenangannya

15 Ibid., hal.3

(9)

haruslah berjalan dengan baik dengan menjalin hubungan antar lembaga-lembaga yang lain termasuk juga lembaga pemerintahan yaitu Kejaksaan.17

Dalam sistem ketatanegaran Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tentang badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan ketentuan dasar tersebut, kejaksaan berfungsi sebagai aparat penegak hukum yang melaksanakan tugasnya dan mewujudkan supremasi hukum dalam suatu negara hukum (rechstaat).18

Dari latar belakang sistem ketatanegaraan Indonesia di atas, menimbulkan dampak terhadap hubungan antar lembaga yang tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 melalui permohonan yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dengan materi Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara ( yang pada masa itu diduduki oleh Hendarman Supandji S.H., CN,) seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau karena sakit jasmani dan rohani terus-menerus, namun demikian tentang

kapan “berakhir masa jabatannya” merupakan kondisi yang tidak menentu.19

17 Ibid., hal.2

18 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta, Gramedia, 2009, hal. 19

(10)

Hal itu menimbulkan perbedaan pendapat dengan para ahli, bahwa jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai Jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun.20

Ada juga yang berpendapat bahwa jika masa bakti Jaksa Agung yang dilantik bersamaan dengan Kabinet Indonesia Bersatu (periode 2004-2009, yang dikenal dengan KIB I) telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009 maka bersamaan berakhirnya masa pemerintahan (yang pada saat itu diduduki oleh Susilo BAmbang Yudhoyono sebagai Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla) telah berakhir pula masa jabatan Jaksa Agung.21

Berangkat dari perbedaan pendapat tersebut, kedudukan Kejaksaan sebagai non Departemen maka Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara sesuai dengan masa jabatan Presiden. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004.22

Sebagai rujukan, bahwa berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, yang telah membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009 pada tanggal 20 Oktober 2009, maka berakhir pula masa jabatan Hendarman Supandji selaku Jaksa Agung dengan

20 Ibid., hal. 19

(11)

kedudukan setingkat Menteri Negara berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007.23

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, penulis berpendapat bahwa studi Hubungan Jaksa Agung dan Presiden dalam Ketatanegaraan Indonesia menjadi perhatian para ahli hukum, khususnya hukum tata negara. Hal ini disebabkan Pejabat Negara setingkat menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang secara otomatis berakhir masa jabatannya sesuai dengan masa jabatan Presiden, namun belum ada undang undang yang mengatur hal tersebut.

Maka penulis melakukan suatu penelitian, yang pada hakekatnya setiap permasalahan yang akan diteliti berkaitan dengan latar belakang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan?

3. Bagaimana dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 ?

(12)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui sejarah institusi Kejaksaan Republik Indonesia

b. Untuk mengetahui hubungan kelembagaan antara Mahkamah Konstitusi, Presiden dan Kejaksaan

c. Untuk mengetahui dampak implementasi kewenangan Presiden tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

(13)

b. Secara Praktis

Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum khususnya Hukum Tata Negara dan untuk sumbang pemikiran ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penempatan hukum tata negara sebagai unsure terpenting dalam sistem hukum Indonesia, dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law). Penulisan ini diharapkan mampu menggambarkan hubungan kelembagaan pemerintahan khususnya Presiden dan Jaksa Agung terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

D. Tinjauan Kepustakaan

Adapun definisi negara menurut para ahli adalah sebagai berikut; Menurut Aristoteles, Negara adalah persekutuan dari pada keluarga24 dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya; Menurut Jean Bodin, Negara adalah suatu persekutuan dari pada keluarga dan keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.25

Menurut Hugo de Groot, Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.26

24 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Refika Aditama, Jakarta. 2005, hal. 15

(14)

Menurut Bluntschil, Negara adalah suatu diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu.27

Menurut Hans Kelsen, Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.28

Menurut Prof. Sumantri, Negara adalah suatu organisasi kekuasaan oleh karenanya dalam setiap organisasi yang bernama Negara selalu kita jumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaannya.29

Menurut Leon Duguit, Negara adalah kekuasaan orang-orang yang kuat, yang memerintah orang-orang yang lemah dan kekuasaan orang-orang yang kuat tersebut diperoleh karena faktor-faktor publik.30

Menurut Herman Finer, Negara adalah organisasi kewilayahan yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan kepentingan perseorangan dari segenap kehidupan yang multidimensional untuk pengawasan pemerintahan dengan legalitas kekuasaan tertinggi (kedaulatan yang sah).31

Pemerintahan adalah suatu ilmu dan seni. Dikatakan sebagai seni karena berapa banyak pemimpin pemerintahan yang tanpa pendidikan pemerintahan mampu berperan serta dengan kharismatik menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan

27 Ibid.,

28 Ibid.,

29 J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1998, hal. 123 30 Ibid.,

(15)

dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan adalah karena memenuhi syarat-syaratnya yaitu dapat dipelajari dan diajarkan, memiliki objek, baik objek material maupun formal, universal sifatnya, sistematis secara spesifik (khas).32

Adapun ilmu pemerintahan menurut para ahli adalah sebagai berikut; Menurut D.G.A van Poelje “De bestuurskunde leert, hoe men de openbare dienst het beste

inricht en leidt”, maksudnya adalah ilmu pemerintahan mengajarkan bagaimana

dinas umum disusun dan dipimpin dengan sebaik-baiknya.33

Menurut U. Rosenthal “De bestuurwetenschap is de wetenschap die zich uitsluitend bezighoudt met de studie van interneen externe werking van de structuren

en prosessen”, maksudnya ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi

tentang penunjukkan cara kerja ke dalam dan keluar struktur dan proses pemerintahan umum.34

Menurut H.A. Briasc: “De bestuurwetenschap waaronder het verstaat de wetenschap die zich bezighoudt met de wijze waarop de openbare dienst is ingericht en functioneert, intern en naar buiten tegenover de burgers”, maksudnya ilmu pemerintahan dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan umum itu disusun dan difungsikan baik secara ke dalam maupun ke luar terhadap warganya. Maksudnya pemerintah dalam definisi terbaiknya

32 Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia Jakarta, Refika Aditama, 2005, hal.11

(16)

adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.35

Menurut C.F. Strong: “Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military poweror the control of armed forces, secondly legislative power or

the mean’s of making laws, thirdly financial power or the ability to extract sufficient

money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing

the law it makes on the state’s behalf.” Maksudnya adalah pemerintahan dalam arti

luas mempunyai kewenangan untuk memelihara keamanan dan kedamaian negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan financial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.36

Menurut R. Mac. Iver “Government is the organization of men under

authority…how men can be governed”, maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai

suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan bagaimana manusia itu

35 Ibid.,

(17)

bisa diperintah. Jadi bagi Mac Iver ilmu pemerintahan sebuah ilmu tentang bagaimana manusia-manusia dapat diperintah (a science of how men are governed).37

Menurut Wilson, Government in last analysis, is organized armed force, but two of a few men, of many men, or of a community prepared by organization to realize its own purpose with references to the common affairs or the community, artinya bahwa Pemerintah dalam akhir uraiannya adalah suatu pengorganisasian kekuaatan angkatan bersenjata, tetapi dua atau kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksud-maksud bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan keterangan bagi urusan-urusan umum kemasyarakatan.38

Menurut Apter, Government is the most generalized membership unit possessing (a) defined responsibilities for maintenance of the system of which it is a

part and (b) a practical monopoly of coercive power, bahwa Pemerintah itu merupakan satuan anggota yang paling umum yang memiliki (a) tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya, itulah bagian dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan.39

Menurut Merriam, tujuan pemerintah meliputi external security, internal order, justice, general welfare dan freedom, maksudnya bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menyeimbangkan pelaksanaan kepengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi

37 Ibid., hal. 14

(18)

pemerintahan (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat dengan pemerintahannya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar.40

Presiden dalam kamus bahasa Indonesia dipergunakan dalam dua arti yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdarager). Dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, dipergunakan istilah yang berbeda. Untuk lingkungan jabatan dipergunakan istilah presidency atau kalau sebagai ajektif presidential seperti presidential government. Sebagai pejabat digunakan istilah president. Untuk menghindari kerancuan pemakaian dua pengertian tersebut, penulisan skripsi ini mempergunakan istilah lembaga kepresidenan sebagai lingkungan jabatan dan presiden sebagai pejabat.41

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia jabatan kepala negara dan

kepala pemerintahannya hanyalah dijabat oleh satu orang yang sama yaitu Presiden. Di dalam suatu negara pada umumnya kepala negara adalah symbol dari suatu negara, sedangkan kepala pemerintahan yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republic, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi,

40 Inu Kencana Syafiie, op.cit. hal.14

(19)

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang

Undang Dasar”.42

Secara umum kewenangan Presiden berdasarkan UUD 1945 terbagi atas beberapa kewenangan seperti: (a) kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang undang dasar; (b) kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan; (c) kewenangan yang bersifat judicial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi masa hukuman, pengampunan ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait dengan kewenangan pengadilan; (d) kewenangan yang bersifat diplomatik yaitu kewenangan dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional yang lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang atau damai; (e) kewenangan bersifat administratif.43

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut44;

a. Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

b. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh Presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.

42 http://arwan black74.blogspot.com, terakhir diakses tanggal 14 Februari 2013 43 Ibid.,

(20)

c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.

d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti pada sistem parlementer. e. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan.

Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

f. Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.

Adapun kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial antara lain45;

A. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.

B. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.

C. Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.

D. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

(21)

Namun adapun kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial antara lain46; a. Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat

menciptakan kekuasaan mutlak.

b. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.

c. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.47 Selain istilah konstitusi

dikenal pula istilah “konstitusional” dan “konstitusionalisme”. Secara etimologis

antara ketiga kata tersebut ini maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang Undang Dasar, dsb), atau undang undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku sesorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpang dari konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional.48

46 Ibid.,

47Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Edisi Revisi, Rajawali Press, 2003, hal.7

(22)

K. C. Wheare menulis, bahwa istilah konstitusi yang dipakai untuk menyebut sekumpulan prinsip fundamental pemerintahan, baru dimulai digunakan ketika bangsa Amerika mendeklarasikan konstitusinya, pada tahun 1787.49

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa istilah konstitusi berasal dari kata kerja costituer (bahasa Perancis) yang berarti membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai pertama untuk menegakkan bangunan besar, yaitu negara.50

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa “Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (bhs. Inggris dan Perancis), constitution (bahasa Latin) atau Verfasung (Bahasa Belanda) memiliki perbedaan dari undang undang dasar atau Grundgesetz. Jika ada kesamaan, itu merupakan kekhilafan pandangan di negara-negara modern. Kekhilafan tersebut disebabkan oleh pengarus paham kodifikasi yang mengkehendaki setiap peraturan harus tertulis, demi mencapai

kesatuan hukum, kesadaran hukum dan kepastian hukum”.51

49 Wheare, K.C., Konstitusi Konstitusi Modern, Surabaya, Terj. Muhammad Hardani Penerbit Uereka, 2003, hal.4

50 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, Hal. 87

(23)

Sehubungan dengan istilah konstitusi tersebut para sarjana dan ilmuan Hukum Tata Negara terjadi perbedaan pendapat:

1. Kelompok yang mempersamakan konstitusi dengan UUD, antara lain;

G.J. Wolhaff berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara modern adalah berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi). Sementara itu Sri Sumantri menggunakan istilah konstitusi sama dengan UUD (grondwet) dan J.C.T. Simorangkir menganggap bahwa konstitusi adalah sama dengan UUD.

2. Kelompok yang membedakan konstitusi dengan UUD, antara lain;

van Apeldoorn, bahwa UUD adalah bagian tertulis dari konstitusi. Konstitusi

memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis; M Solly Lubis, ‘akhirnya

jika kita lukiskanpembagian konstitusi itu dalam suatu skema, maka terdapatlah skema sebagai konstitusi tertulis (UUD) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi)’; Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa setiap peraturan hukum, karena pentingnya harus ditulis dan kontitusi yang ditulis itu adalah UUD.52

Pengertian Kejaksaan menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961

Tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan pada Pasal 1 ayat 1 (1) ialah : “Kejaksaan

Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah Alat Negara Penegak

Hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum.”

Secara etimologi bahasa, Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu

“Adhyaksa”. Kata tersebut dari yang dapat diartikan dalam berbagai arti, seperti:

(24)

Superintendant atau superintendence (Mr. Susanto Kartoatmodjo, dalam Varia Perailan No.2 Tahun I) berfungi sebagai Pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana. Disamping itu juga bertugas sebagai Hakim dan demikian ia berada di bawah

perintah serta pengawasan Maha Patih (Dr. W.F. Stutterheim, “Het Hindoisme in de

Archipel”). Adhyaksa” sebagai opperechter-nya (Geireke dan Roorda, kamus Jawa

Belanda”, dikutip dari Susanto Kartoatmodjo).53

“Adhyaksa” sebagai “Rechter vab instuctie bijde Landraad”, yang kalau

dihubungkan dengan jabatan dalam dunia modern sekarang dapat disejajarkan dengan Hakim Komisaris (Dr. Th Pigeaud Kamus Jawa Modern — Belanda”, dikutip dari Mr. Susanto Kartoatmodjo).54

Dalam hal kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum.55

53 Djoko Prakoso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1987, hal 16.

54 Ibid.,

(25)

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.56

Penjelasan pasal tersebut menguraikan bahwa jabatan Jaksa sebagai jabatan fungsional, terkait dengan fungsi yang secara khusus dijalankan oleh Jaksa dalam bidang penuntutan sehingga memungkinkan organisasi Kejaksaan menjalankan tugas pokoknya.57

Ditentukan Jaksa adalah pejabat fungsional dimaksudkan untuk memungkinkan terlaksananya tugas dan wewenang Kejaksaan dengan lebih baik dan untuk lebih mengembangkan profesionalisme Jaksa. Dengan adanya jabatan fungsional memungkinkan Jaksa berdasarkan prestasinya mencapai pangkat puncak. Dan sebaliknya Jaksa yang tidak cakap menjalankan tugas misalnya banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalan tugasnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf a Undang Undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991. Atau bila seorang Jaksa terus menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalan tugas/pekerjaannya maka menurut Pasal 13 huruf b UU No. 5 Tahun 1991, ia diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya.58

56 Ibid., hal. 39

(26)

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan Penulis, “HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN

PRESIDEN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA” yang diangkat menjadi

judul skripsi ini belum eprnah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan diulas oleh penulis karena sepengetahuan penulis, topic permasalahan ini semakin menghangat pembahasannya dalam amsyarakat.

Penulisan skripsi ini oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penuli sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat,. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasannya ke arah bagaimana hubungan kelembagaan Presiden dengan Kejaksaan. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penulisan

Metode dapat diartikan sebagai jalan kea tau suatu jalan/cara untuk mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan,metode dfapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu proses pelaksanaan

(27)

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normative. Dalam hal penelitian hukum normative, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi

penulis ini, yaitu “HUBUNGAN JAKSA AGUNG DAN PRESIDEN DALAM

KETATANEGARAAN INDONESIA” (Sudy Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 49/PUU-VIII/2010)”.

2. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaiakan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap Undang Undang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010). Sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut.

3. Alat Pengumpul Data

(28)

hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literature-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat negara khususnya Jaksa Agung.

Analisis deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat negara khususnya Jaksa Agung.

(29)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan ini maka diperlukan sistematika penulisan yang teratur, terbagi dalam bab/sub bab, serta berkaitan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN, yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Keaslian, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II : KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA, yang didalamnya meliputi tentang Sistem Pemerintahan Indonesia, Tugas dan Wewenang Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

BAB III : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA, yang didalamnya terurai tentang Sejarah Kejaksaan Indonesia, Susunan Organisasi Kejaksaan RI, Wewenang Jaksa Agung dan Syarat Menjadi Jaksa Agung.

(30)

Kekuasaan Negara dan Implementasi Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 49/PUU-VIII/2010.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan aplikasi media pembelajaran Bahasa Indonesia SD Kelas 2 Standar Kompetensi 4 yaitu aplikasi yang terdiri dari materi menulis yang dimulai dari kegiatan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: 1) kualitas proses pembelajaran dan 2) keterampilan menulis karangan eksposisi pada siswa kelas VII A SMP Negeri 2

dengan menggunakan analisis rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio profitabilitas dan rasio penilaian untuk periode tahun 2009 sampai tahun 2013... Jurnal

6) Ibu Rice Novita, S.Kom, M.Kom dan Ibu Zarnelly S.Kom, M.Sc selaku pembimbing akademik dan seluruh dosen beserta karyawan Fakultas Sains dan Teknologi, khususnya Program

Tesis yang berhasil dipertahankan penulis yaitu: (1) status hak atas nama domain dalam UU ITE adalah hak perseorangan yang berasal dari bidang hukum perikatan atas harta

Oleh karena itu pada penelitian ini akan mengangkat permasalahan mengenai banjir di Sungai Barabai dan upaya pengendalian banjir jangka panjang, yakni pada tahun 2015

a) Menentukan kriteria-kriteria yang digunakan dalam mempertimbangkan alternatif yang akan dipilih. b) Membangun perangkat lunak yang akan memetakan perhitungan Multi

Berdasarkan hasil uji statistik Regresi Logistik Ganda yang didasarkan pada tingkat kemaknaan D = 0,05 didapatkan p = 0,078 dimana p > D maka Ho diterima, jadi tidak