Materi Ke-4:
C. Isi kuliah :
Bagaimana UU Direncanakan?
Sebelum fungsi legislasi DPR dimulai, terlebih dulu ada proses perencanaan. Dalam proses perencanaan ini, DPR dan pemerintah
menyusun rencana dan skala prioritas
undang-undang yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini
diwadahi oleh suatu program yang bernama
Prolegnas
Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) UU PPP, yang
menyatakan: “Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional.” Namun
berbeda dengan Prolegnas periode lalu yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang, UU PPP tidak jelas mengatur dalam bentuk apa Prolegnas ini akan dituangkan. Sedangkan ketentuan tentang tata cara
penyusunan dan pengelolaan Prolegnas
Siapa Yang Merancang Sebuah RUU?
Secara formal, RUU dirancang oleh
presiden, DPR, dan DPD. Khusus untuk
DPD, perancangan dilakukan terbatas pada RUU yang dapat diusulkan oleh DPD, sesuai dengan UUD, yaitu RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
RUU dari Presiden
Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh
presiden, ada beberapa tahap yang
harus dilalui. Berdasarkan UU PP,
tahap ini terdiri dari: (i) tahap
persiapan, (ii) teknik penyusunan, dan
(iii) perumusan. Ketiga tahap tersebut
dapat dikemas menjadi suatu istilah
yang umum digunakan yaitu
Proses perancangan oleh pemerintah diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 188 tahun
1999 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang. Setelah berlakunya UU PPP diganti dengan PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG,
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH, DAN RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
Ada model yang hampir sama dalam setiap
pembentukan tim perancang undang-undang ini. Biasanya, ketuanya adalah menteri dari
departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat Direktur Jenderal), pejabat dari instansi lain yang terkait dengan substansi RUU, serta tokoh atau
akademisi yang dianggap memiliki keahlian di
bidang tersebut. Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti
kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus mengkonsultasikan
RUU dari DPR
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai
ilustrasi, RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sekarang menjadi UU No. 30 Tahun 2002) dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sekarang menjadi UU PPP)
Di samping itu, ada beberapa badan lain
yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang
akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I), yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU, dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi
memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri
penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerja sama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU, biasanya Baleg akan
meminta tiga universitas untuk melakukan
Baleg juga banyak mendapatkan naskah RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU
Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi
Sedangkan P3I yang memiliki 43 orang
peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna
mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam
memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu, P3I juga sering melakukan riset untuk membantu para
Pada tingkat fraksi, penyusunan
sebuah RUU dimulai dari adanya
amanat dari muktamar partai.
Kemudian fraksi tersebut membentuk
tim pakar yang merancang RUU
tersebut berdasarkan masukan
RUU dari DPD
Sebagai lembaga legislatif baru, DPD
sedang dalam masa untuk membangun
sistem perancangan dan pembahasan
RUU yang baik dan efektif. Di awal masa
jabatan ini, DPD banyak mengadopsi
sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk
merancang sebuah RUU mereka
Bedanya dengan DPR adalah saringan untuk menjadikan suatu usulan menjadi usulan
DPD. Sebab, berbeda dengan DPR, DPD tidak dapat secara langsung mengusulkan
sebuah RUU untuk dijadikan rancangan yang dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Wewenang pembentukan undang-undang
tetap hanya ada pada DPR. Saringan internal di DPD ada pada Sidang Paripurna DPD,
Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) atau Panitia Ad-Hoc. Sedangkan Usul
Pembentukan RUU dapat diajukan oleh
sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan, dan pokok-pokok pikiran, serta daftar nama, nama provinsi, dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU
Selanjutnya pimpinan PPUU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada Sidang Paripurna DPD
berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus
dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul
Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak, atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk
menerima atau menolak harus terlebih dulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi
Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan
RUU diterima dengan perbaikan, maka
DPD menugaskan PPUU untuk membahas
dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul
Pembentukan RUU tersebut.
Siapa Yang Mengusulkan
Undang-undang?
Pengusulan Oleh Presiden
RUU yang datang dari presiden
disampaikan kepada ketua DPR dengan
mengirimkan Surat Pengantar Presiden
(SPP). Bersama SPP tersebut dilampirkan
RUU yang akan diajukan dan naskah
akademis atau penjelasan pemerintah
tentang RUU tersebut, serta penunjukkan
menteri yang akan mewakili presiden
Pengusulan Oleh DPD
DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya. Apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.
Pengusulan Oleh DPR
Pengusulan oleh DPR dapat
dilakukan melalui beberapa pintu,
yaitu
1. Badan Legislasi
2. Komisi
3. Gabungan komisi
Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan
kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam Sidang Paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan
mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut
dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna akan memutuskan apakah RUU
tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai
RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada
Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa:
1. Persetujuan tanpa perubahan 2. Persetujuan dengan perubahan 3. Penolakan
Apabila usul RUU disetujui dengan
perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia
Apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUU yang diajukan berhubungan dengan
kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah
Bagaimana Proses Pembahasan
RUU?
Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan
DPD.
2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)
2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain