• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hans Kelsen dan Tata Hukum Konstitusi Ki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hans Kelsen dan Tata Hukum Konstitusi Ki"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Hans Kelsen dan Landasan Tata Hukum Konstitusi Kita

Oleh : Rian Adhivira Prabowo1

Hans Kelsen, tanpa perlu diragukan lagi adalah seorang salah satu sarjana hukum paling berpengaruh, termasuk dalam studi ilmu hukum di Indonesia. Hampir tidak mungkin rasanya membicarakan sistem hukum, beserta tarikan basis legitimasi sebagai dasar legalitasnya tanpa mengutip hierarki norma dari Hans Kelsen yang tersohor tersebut. Namun apa yang luput dari pembicaraan mengenai hierarki hukum tersebut adalah justru apa yang dikatakan oleh Hans Kelsen itu sendiri mengenai apa yang ia sebut sebagai “teori hukum” itu. Menurutnya, tugas dari teori hukum adalah terbatas untuk menggambarkan bagaimana hukum bekerja, dan bukan bagaimana hukum seharusnya bekerja. Dalam awal bukunya Pure Theory of Law Kelsen mengatakan:

As a theory, its exclusive purpose is to know and to describe its object. The theory attempts to answer the question what and how the law is, not how it ought to be. It is a science of law (jurisprudence), not legal politics.2

Jadi, apa yang hendak dilakukan Kelsen melalui teorisasi hukum murni-nya adaah untuk menunjukkan bagaimana hukum berlaku sebagaimana adanya. Pertanyaanya kemudian, apakah penggunaan teori tersebut menjadi sah adanya dalam hal studi hukum, terutama di Indonesia? Penggunaanya secara deduktif, untuk “menilai” sistem hukum yang ada di ruang dan waktu yang lain dengan demikian menjadi kurang tepat mengingat apa yang hendak dibidik oleh Kelsen sendiri adalah bagaimana adanya dan bukan bagaimana seharusnya. Bahkan lebih lanjut lagi, studi teori hukum yang berkutat mengenai “bagaimana seharusnya” adalah satu bentuk kesalahan berpikir dimana memperlakukan hukum selayaknya ideologi.3

Maka untuk menghindari kesalah-pahaman Kelsenian tersebut, tulisan ini tidak hendak memberikan justifikasi tentang bagaimana sistem hukum Indonesia menurut Hans Kelsen, atau menilai satu sistem hukum dengan menggunakan teori lain, karena apabila konsekuen dengan

1 Mahasiswa Kelas Fast-Track Angkatan II Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Supervisi oleh Dr. Retno Saraswati S.H., M.Hum.,. Saya banyak berhutang pada perdebatan AFHI 2012 di Unika Soegijapranata Semarang antara B. Arif Sidharta dan Donny Danardono. Pendapat Danardono dalam perdebatan tersebut banyak mempengaruhi saya dalam menyusun makalah ini.

2 Hans Kelsen. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange Ltd. New Jersey. 2005. Hlm 1. Untuk selanjutnya, seluruh garis bawah kutipan-kutipan yang lain dalam tulisan ini adalah penekanan dari penulis.

(2)

jalur berpikir Kelsenian, maka sistem norma tersebut seharusnya diabstrasikan dari sistem hukum yang berlaku, bukan dari teori hukum. Meski demikian, bukan berarti teori hukum tersebut sama sekali tidak berarti. Penggunaan logika berpikir dari teori tersebut tetap berarti, tentu sebagai pembanding bagaimana sistem hukum di Indonesia.

Tulisan ini berfokus pada teori Kelsen mengenai sistem hukum beserta validitas normanya dan bagaimana sistem hukum di Indonesia hari ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Indonesia. Meskipun Kelsen menolak apa yang disebutnya sebagai anasir non-hukum sebagai bagian dari teori hukum, namun tulisan ini hendak menunjukkan bahwa pada praktiknya, anasir non-hukum tersebut tetap bekerja dan masuk dalam praktik berhukum.4 Apa yang hendak dikatakan adalah bahwa terdapat hubungan antara norma hukum yang berlaku secara khusus dengan situasi-situasi khusus5 yang terjadi dalam rangka menjalankan hukum tersebut, hal ini juga diperlukan, sebagaimana diutarakan Kelsen didepan, untuk melihat bagaimana tata hukum itu tadi. Selain tulisan ini sekaligus hendak menunjukkan bahwa teori Kelsen tersebut tidaklah mencukupi dalam menjelaskan sistem tata hukum di Indonesia pertama dari tatanan yuridis formil mengenai bagaimana pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan yang kedua secara materiil dari bagaimana Pancasila disadari atau dihayati. Untuk itu, tulisan ini berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimana Pancasila sebagai norma dasar diatur dan dibaca dalam sistem hukum Indonesia ?

Sistem Hukum dan Validitasnya

Sistem Norma atau Sistem Hukum menurut Kelsen adalah sistem dari norma dinamis. Sistem hukum tidak valid karena dirinya sendiri, melainkan karena ada penjamin dari norma dasar dan sistem yang mengeluarkanya.6 Tanpa adanya tarikan dari norma dasar, maka norma aturan tersebut tidaklah dapat disebut sebagai norma hukum. Ini pula sesunggunya yang membedakan Kelsen dengan teori hukum alam. Menurut Kelsen, sementara hukum alam berangkat dari pengandaian yang baik dan universal, maka pada hukum positif aturan tersebut valid karena adanya aturan dasar yang merupakan acuan, atau semacam pengikat dari norma-norma yang ada.7

4 Pandangan ini diutarakan terutama oleh para penganut sosiologi hukum seperti Carol Smart. Feminism and The Power of Law. Routledge. New York & London. 1991 yang menyatakan bahwa pada kenyataanya, argumen hukum beserta legitimitasnya ternyata turut dipengaruhi oleh anasir lain yang mana dalam konteksnya adalah studi perempuan. Pendapat lain juga diutarakan oleh Werner Menski, Suteki, dsb.

5 Lihat misalnya dalam Paul Scholten. Struktur Ilmu Hukum. Tanpa Penerbit. Bandung. 2002 disini Scholten menyatakan mengenai masalah justifikasi, yang menjadi ciri utama dalam hukum sekaligus membedakanya dari ilmu lain. Masalah justifikasi ini kemudian menurut Scholten terdapat dalam putusan hakim yang tidak hanya menjalankan peraturan, namun juga membuat peraturan, apa yang disebutnya sebagai sistem terbuka dalam hukum.

(3)

Lalu apakah norma dasar itu? Norma dasar sebagaimana diutarakan sebelumnya adalah semacam pengikat, atau meminjam istilah Benedict Anderson, batas-batas dari satu komunitas tertentu yang terbentuk secara historis dimana merupakan rumusan definitif dari apa yang disebut “bangsa”.8Norma dasar tersebut kemudian mendelegasikan kekuatanya kepada norma dibawahnya, dalam satu tatanan norma hukum.9 Norma dasar tadi adalah norma yang tercipta dari momen pertama penciptaan hukum, bukan melalui firman tuhan seperti pada hukum alam, melainkan pada legislator pertama.10 Norma dasar tidak tercipta dari prosedur legal (karena barang tentu dia tidak atau belum ada), dan tidak seperti norma dibawahnya, norma dasar valid karena dianggap demikian adanya, ia ada mendahului hukum yang lain dan valid pada dirinya.11 Revolusi contohnya, merupakan momen penciptaan hukum dimana tatanan hukum yang lama dirubah dengan tatanan hukum yang baru. Hukum yang dipergunakan bisa saja merupakan warisan dari hukum yang lama, namun bagaimanapun revolusi berangkat dari tatanan hukum yang baru sehingga memiliki pengandaian yang berbeda pula terhadap asumsi norma dasarnya. Masalah tersbeut oleh Kelsen disebutnya sebagai masalah legitimasi.12

Satu norma hukum dinyatakan valid apabila ia berada dalam hirarki tatanan hukum yang sah. Hierarki tersebut oleh Kelsen ia jabarkan bahwa selain norma dasar, pertama-tama adalah konstitusi dalam artian yang material. Pada artian material ini konstitusi bukan hanya secarik kertas yang dapat dirubah secara konstitusional, melainkan juga merupakan produk sejarah meski berbeda dari norma dasar. Konstitusi tersebut mengatur kedudukan antar lembaga dan lain sebagainya yang kemudian berdasarkan konstitusi pula lembaga legislasi membuat peraturan yang lebih kongkrit dan begitu seterusnya. Berdasarkan hal ini pula maka sumber dari segala sumber hukum dengan demikian adalah norma dasar, konstitusi dibuat berdasarkan norma dasar, dan aturan dibawahnya bersumber dari konstitusi. Kelsen mengatakan:

[…] The basic norm is then the ‘source’ of law. But, in a wider sense, every legal norm is a ‘source’ of that norm, the creation of which it regulates, in determining the procedure of creation and the contents of the norm to be created. In this sense, any ‘superior’ legal norm is the ‘source’ of the ‘inferior’ legal norm. Thus, the constitution is the ‘source’ of statutes created on the basis of the constitution, a statute is the ‘source’ of the judicial

7 Ibid hlm 114

8 Benedict Anderson. Imagined Communities; Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Verso. London & New York. 2006

9 Op Cit. Hans Kelsen. General Theory of Law and State… hlm 116

10 Loc cit

11 Loc cit

(4)

decision based thereof, the judicial decision is the ‘source’ of the duty it imposes upon the party and so on.13

Maka aturan yang berada diatas, selain norma dasar tentunya, adalah terkandung didalamnya pertama, organ dan prosedur mengenai bagaimana peraturan dibawahnya dan kedua isi dari peraturan tersebut.14 Selanjutnya, bagaimana hukum berjalan adalah tugas dan wewenang dari lembaga peradilan. Dengan demikian hal ini menjelaskan pula apa yang disebut sebagai norma statis dan dinamis. Pengertian yang pertama adalah mengenai material, yaitu isi dari norma yang kandunganya dapat dilacak hingga pada norma dasarnya. Sementara pengertian yang kedua adalah norma yang semata-mata terbentuk secara formil dari norma yang lebih tinggi ke yang lebih rendah.15 Norma hukum, apabila ditilik dari validitasnya, karena terikat dalam tatanan secara formil, maka adalah norma yang dinamis.

Sebagai catatan, norma dasar yang menjadi semacam “jiwa” bagi aturan dibawahnya memiliki posisi yang terpisah dari aturan yang lain, bahkan konstitusi sekalipun. Kelsen mengatakan bahwa norma dasar berbeda dari konstitusi sekalipun, bahkan apabila tata hukum yang sah tersebut ternyata merupakan tata hukum yang tidak adil. Fungsi dari norma dasar tersebut menurut Kelsen adalah:

[…] is to found the objective validity of a positive legal order, that is, to interpret the subjective meaning of the acts of human beings by which the norms of an effective coercive order are created, as their objective meaning.16

Hal ini bagi Kelsen adalah sekaligus merupakan landasan epistemologi hukum sebagai sains, teori hukum murni, sebagaimana yang ia katakan adalah:

The science of law does not prescribe that one ought to obey the commands of the creator of the constitution. The science of law remains a merely cognitive discipline even in its epistemological statement that the basic norm is the condition under which the subjective meaning of the constitution-creating act, and the subjective meaning of the acts performed in accordance with the constitution, are interpreted as their objective meaning, as valid norms, even if the meaning of these acts is so interpreted by the legal science itself.17

Dari skema teoritik Kelsen diatas dapat disingkat menjadi beberapa poin; pertama, bahwa terdapat satu sumber hukum dari semua sumber hukum, yang merupakan satu norma yang disepakati secara umum dan luas sehingga mengandaikan kebenaran pada dirinya sendiri.

13 Ibid hlm 131

14 Ibid hlm 132

15 Op Cit Hans Kelsen. Pure Theory of Law… hlm 196

16 Ibid hlm 202

(5)

Kedua, sumber hukum tersebut telah benar pada dirinya dan menjadi semacam “ruh” bagi aturan dibawahnya dan ketiga, satu-satunya momen ketika landasan hukum tersebut goyah adalah pada saat revolusi dimana pada momen ini, asumsi basis dari kehidupan yang baru adalah berbeda sama sekali dengan yang lama.

Berangkat dari logika Kelsen tersebut, apa yang menjadi masalah disini; apabila satu norma dasar adalah semacam jiwa dari aturan hukum yang lain, lalu apakah ada semacam landasan hukum dari keberlakuan norma dasar tersebut? Apabila ada semacam jaminan dari landasan hukum tersebut dan apabila tidak ada bagaimana dapat norma-norma tersebut patut diketahui berasal dari sana, dan apabila tidak ada pula, layak-kah kemudian norma dasar tersebut menjadi bahan pertimbangan hukum? Permasalahan tersebut akan dibahas dalam sistem tata hukum di Indonesia. Apakah ada sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia, dan bagaimana ia, meminjam istilah Scholten, “disadari” pada tiap-tiap masa.

Untuk menjelaskan sumber dari segala sumber hukum tersebut, tak pelak lagi harus keluar dari kerangka berpikir “murni” dari Kelsen, karena sebagaimana diutarakan oleh Kelsen sendiri, bahwa momen penciptaan hukum adalah legal sekaligus tidak legal karena tercipta bukan melalui prosedur melainkan membenarkan dirinya sendiri melalui konteks kebersejarahan tertentu. Tata hukum di Indonesia sendiri mencantumkan secara eksplisit maupun implisit mengenai sumber dari segala sumber hukum tersebut. Namun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pencantuman pengaturan sumber dari segala sumber hukum tersebut juga bisa menjadi masalah, bagaimana kemurnian tersebut diartikan dalam sistem hukum beserta kebijakanya di Indonesia.

Sebagaimana dikatakan Kelsen, tulisan ini tidak akan menjawab mengenai bagaimana hukum seharusnya, melainkan menggambarkan bagaimana hukum disadari. Pada sisi yang lain, untuk menjawab permasalahan diatas tentu tidak mencukupi dengan pendekatan “normatif” sebagaimana dikatakan oleh Kelsen sehingga menilik studi-studi sejarah dan sosiologi hukum karena bagaimanapun, bagaimana norma dapat dipahami apabila bukan melalui pendekatan yang menurut Kelsen diluar dari hukum tersebut?

Dasar Validitas Sistem Hukum Indonesia

Sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, secara umum adalah Pancasila.18 Namun apa yang disebut sebagai sumber dari segala hukum juga roh yang menjiwai tata hukum Indonesia tersebut tidak hanya ada pada anggapan umum, namun juga diatur dalam beberapa peraturan. Dalam Pasal 2 UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan:

(6)

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

Hal tersebut ditegaskan dalam bagian penjelasan umum paragraf 2 yang menyatakan:

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dan Penjelasan Pasal 2 UU a quo yang menyatakan:

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e menyatakan :

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Pasal 17 menyatakan:

Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sementara, yang menjadi “inti” dari Undang-undang a quo sesungguhnya adalah hierarki perundangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2), yang menyatakan :

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

(7)

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Selain UU 12/2011, Posisi Pancasila sebagai sumber hukum tersebut meski tidak disebutkan secara jelas namun sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 2 UU 12/2011, termuat dalam bagian Pembukaan UUD 1945 pada Paragraf keempat yang menyatakan:

[…] yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipumpun oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedudukan dari Undang-Undang ini penting karena tata hukum yang berlaku beserta pembuatanya di Indonesia mengacu sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011. Apa yang menjadi masalah disini adalah bahwa Undang-Undang ini memiliki semacam “kekuatan” untuk mengatur dirinya sendiri, yaitu posisinya dan juga posisi peraturan yang lain dalam tata aturan hukum Indonesia. Sebagaimana tertera dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) tadi, juga Pasal 2 Undang-Undang a quo, maka posisi Pancasila itu sendiri berdiri terpisah dan semata menjadi ruh dari Konstitusi maupun Undang-Undang yang lain. Bahkan meskipun dalam bagian mengingatnya UU 12/2012 merujuk pada UUD 1945 dalam Pasal 20, 21, dan 22A, namun perujukan tersebut pada akhirnya hanya melegalkan dirinya sebagaimana kemudian diatur dalam Pasal 7. Undang-Undang inilah sesungguhnya, bersama dengan Pancasila dan UUD 1945, merupakan sumber validitas dari tata nilai hukum Indonesia.

Dua poin yang hendak diutarakan dari pemaparan diatas adalah : (1) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan (2) Pencantuman hierarki peraturan yang bersifat tautologis karena mengatur peraturan dan bahkan cita hukum yang lebih tinggi yaitu Konstitusi dan Pancasila. Keduanya merujuk pada satu pertanyaan lain, bila demikian maka apakah dasar validitas dari sistem hukum di Indonesia?

(8)

tatanan norma pengikat baru yang berarti adalah revolusi, dimana peraturan yang lama boleh berlaku namun tidak dengan norma dasar yang menjadi pengikatnya. Argumen Kelsen tersebut tidak dapat berlaku di Indonesia karena pada kenyataanya, perubahan terhadap norma dasar maupun bagian material dari konstitusi, yaitu Pembukaan dapat dirubah tanpa adanya revolusi yang bahkan dalam praktiknya perubahan terhadap norma dasar tersebut secara sosiologis sudah terjadi meski tidak disertai dengan perubahan secara gamblang. Kedua poin tersebut akan dijelaskan dibawah.

Norma Dasar dan bagian “Historis” UUD 1945 Hari Ini

Argumen dari bagian ini bertumpu pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasanya.

(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Pemusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat

(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Berdasarkan dari ketentuan Pasal 37 tersebut tampak bahwa apa yang bisa dirubah semata-mata adalah Pasal-Pasal dalam UUD 1945, sehingga tersirat bahwa bagian historisnya, yaitu Pembukaan yang mana didalamnya mengatur pula Pancasila sebagai cita hukum dalam paragraf keempatnya adalah tidak dapat dirubah. Namun benarkah ketentuan ini tidak dapat dirubah? Atau dalam pertanyaan Kelsenian, perlukan Revolusi dalam merubah bagian yang merupakan sisi yuridis keberlakuan Pancasila sebagai cita hukum? Jawabanya tentu adalah bisa, yaitu pertama-tama dengan melakukan perubahan terhadap Pasal 37 itu sendiri, sebagaimana diatur oleh Pasal tersebut.

(9)

wewenang kepada legislatif untuk membuat UU dan tata hukum, termasuk kedudukan UUD 1945 beserta Pancasila itu sendiri juga diatur dalam UU 12/2011 itu sendiri. Metode Kelsen, dengan menarik norma hingga ke sumber dasarnya melalui apa yang disebutnya sebagai norma dasar tersebut dalam sistem hukum Indonesia tidaklah vertikal lurus keatas, melainkan saling mengandaikan satu sama lain.

Kedua ragaan tersebut menunjukkan cara baca Kelsen pada kotak sebelah kiri yang menggambarkan penarikan validitas hukum, yaitu satu norma hukum dinyatakan valid apabila secara formil terletak dalam tata hukum yang muatan normanya dapat ditelusuri hingga norma dasar. Sementara pada kotak sebelah kanan menunjukkan bahwa pengaturan perihal norma dasar, yaitu Pancasila itu sendiri, yang diatur melalui peraturan yang berada dibawahnya yaitu tersirat dalam bagian Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 2 UU 12/2011 dimana ketentuan UUD 1945 itu sendiri juga diatur dalam peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU 12/2011 yang pada sisi yang lain dalam pembentukanya juga bersumber dari UUD 1945 yaitu Pasal 20, 21 dan 22A.

Kembali pada pertanyaan dapatkah posisi Konstitusi dan Pancasila dirubah kedudukanya? Apabila mengacu pada Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kemudian diatur dalam Undang-Undang 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 10 ayat (1) huruf a menyatakan:

Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(10)

undang-undang yang diajukan maupun apabila Mahkamah menilai pembentukan undang-undang-undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 24/2003.

Pemaparan tersebut menunjukkan kesalingterkaitan antara norma dasar, konstitusi dan UU 12/2011, dimana yang hendak diutarakan disini adalah bahwa ketiganya sesungguhnya merupakan sumber dari validitas tata hukum di Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara diatur secara tersirat dan tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 2 UU 12/2011, sementara posisi dari UUD 1945 itu sendiri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 dan keberadaan dari UU 12/2011 merupakan turunan terutama dari pasal 20, 21, dan 22 A UUD 1945. Perubahan pada bagian Pembukaan tersebut dapat dilakukan melalui Amandemen UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 untuk merubah ketentuan dari pasal 37 itu sendiri. Pada kesempatan lain, perubahan terhadap posisi Pancasila dapat dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap Pasal 2 UU 12/2011, dan perubahan dari posisi UUD 1945 itu sendiri dimungkinkan melalui pengujian Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yang apabila dilakukan maka UUD 1945 akan diuji berdasarkan UUD 1945. Inilah masalah dari pengaturan aturan yang lebih tinggi melalui peraturan yang lebih rendah sebagaimana terjadi dalam Pancasila, UUD 1945 dan UU 12/2011.

Dengan demikian maka apa yang disebutkan oleh Kelsen, bahwa validitas norma dasar yang membenarkan dirinya sendiri dan hanya dapat hilang melalui revolusi tidaklah tepat dalam tata negara Indonesia dimana sumber dari segala sumber tersebut justru diatur oleh peraturan yang lebih rendah yang memiliki kesempatan untuk dilakukan pengujian terhadap dirinya sendiri dengan mengacu pada dirinya sendiri pula. Posisi ini membuat tarikan validitas dari norma dasar tadi tidaklah vertikal melainkan saling mengandaikan antara tiga aturan lain yang memiliki jenjang yang berbeda, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan UU 12/2011.

Pembacaan semacam ini dimungkinkan, perubahan cita hukum yang sekaligus merupakan norma dasar tersebut, yang berarti merupakan pergantian kedaulatan dalam praktiknya memang mungkin dapat dilakukan secara legal dan legitim. Untuk itu diperlukan ulasan yang berbeda dari sudut pandang Kelsen.

Adalah Carl Schmitt, juris dari Jerman pada masa pemerintahan Nazi. Menurut Schmitt, apa yang membedakan pemerintahan diktator dengan demokratis adalah persoalan prosedur, yang tentu mencakup legalitas dan legitimasi. Schmitt, yang menolak formalitas birokrasi politik parlemen Republik Weimar pada masa itu mengajukan satu model lain, yaitu pembuatan peraturan berdasarkan keputusan yang berarti memberi kewenangan yang lebih pada eksekutif.19 Meskipun demikian, menurut Schmitt perlu adanya jalan konstitusional untuk melakukan bypass dalam sistem parlemen yang tidak disukainya itu, dan itulah yang dilakukan oleh Nazi, yaitu dengan melakukan aktivasi keadaan bahaya negara sebagaimana diatur dalam Konstitusi

(11)

Weimar, terutama berdasarkan ketentuan Pasal 48 dan Pasal 76 Konstitusi Weimar.20 Secara garis besar, Schmitt menunjukkan bagaimana perubahan ketatanegaraan menuju presentasi langsung dapat diberlakukan secara konstitusional dan pemaparan Schmitt tersebut, yaitu melalui aktivasi situasi keadaan khusus.

Perubahan Cara Baca Pancasila ?

Schmitt menunjukkan bahwa perubahan terhadap konstitusi yang berangkat dari konstitusi itu sendiri adalah memungkinkan. Maka dari argumen tersebut terlihat bahwa norma dasar dalam praktiknya bukanlah semacam nilai abstrak pengikat satu kedaulatan, melainkan terletak dalam keputusan yang bersifat kongkrit dari individu yang mengatasnamakan kedaulatan pada dirinya, inilah titik tembak Schmitt terhadap Kelsen:

The hierarchical order that is legally valid in the state rests on the premise that authorizations and competences emanate from the uniform central point to the lowest point. The highest competence cannot be traceable to a person or to a sociopsychological power complex but only to the sovereign order in the unity of the system of norms.21

Patut dicatat disini bahwa tentu, secara ideal, apa yang dikatakan oleh Schmitt dengan pemberian wewenang yang besar pada eksekutif tersebut adalah sesuatu yang tidak sehat. Namun Schmitt – sebagaimana Machiavelli- rupanya memang tidak hendak memberikan gambaran ideal, melainkan memberikan analisa politik-riil dimana menurutnya birokrasi telah membelenggu otensitas tindakan. Pembubaran Parleman Weimar bagi Schmitt justru membuka presentasi langsung dari bawah. Argumen itu tidak sepenuhnya salah karena bagi rakyat Jerman yang kala itu tengah mengalami kekalahan pada perang dunia pertama dan kesulitan ekonomi, apa yang ditawarkan oleh optimisme Nazi adalah terlalu menggiurkan untuk ditolak. Hitler bagi Schmitt, adalah dia yang berhasil meneguhkan kedaulatan.22

Dalam sistem tata hukum di Indonesia, “perubahan” norma dasar secara konstitusional tersebut juga terjadi layaknya Jerman sebagaimana dicatat oleh Schmitt. “Perubahan” yang dimaksudkan disini bukanlah perubahan dalam artian yang terang seperti menggantikan Pancasila, melainkan perubahan “cara baca” Pancasila yang berlangsung dari masa transisi kekuasaan Pada masa Soekarno kepada Soeharto dan 32 tahun Orde Baru, atau meminjam istilah Benedict Anderson secara sinis menyebutnya sebagai “Orde Keropos”.23 Tentu, perbedaan cara baca tersebut tidak disebutkan secara terang, karena bagaimanapun apa yang disebut sebagai “Pancasila” itu sendiri

20 Ibid hlm 66

21 Carl Schmitt. Political Theology, Four Chaters on The Concept of Sovereignty. University of Chicago Press. Chicago & London. 2005. Hlm 19

22 Ibid hlm 1

(12)

secara politis masih diperlukan sebagai alat legitimasi, meski cara baca beserta implementasinya bisa sangat berbeda.

Sesungguhnya, terdapat banyak perubahan yang terjadi pada masa transisi kekuasaan Soekarno kepada Soeharto; Kesenian,24 Reforma Agraria dan industrialisasi,25 HAM dan Kebebasan Berpendapat,26 Intervensi Pengadilan27 dan lain sebagainya. Perubahan secara garis besar juga dapat ditemukan dalam karya Mahfud MD yang menjadi rujukan utama penstudi Politik Hukum di Indonesia yang membagi tipologi hukum berdasarkan beberapa parameter seperti Peraturan Pers, Pemilu, dan Agraria.28 Tulisan ini akan membidik secara lebih umum, yaitu pembacaan mengenai hilangnya elemen “kiri” dalam artikulasi Pancasila beserta pengejawantahanya. Masalah hilangnya perbincangan soal “kiri” ini penting karena hampir seluruh perubahan yang dijelaskan diawal paragraf ini bersumber daripadanya, setelah peristiwa 1965.29

Pancasila, untuk pertamakali muncul pada rapat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno. Soekarno, yang mendapatkan tugas dari Radjiman Wedyodiningrat untuk mencari yang disebut sebagai “Philosofische Grondlag” untuk Indonesia yang hendak dimerdekakan pada masa itu. Dalam pidato 1 Juni tersebut, tampak apa yang diupayakan oleh Soekarno adalah unsur “persatuan”, terutama ketika kelima sila yang dia hantarkan tersebut apabila hendak diperas menjadi satu sila, yaitu ekasila dengan asas Gotong-Royong. Sebenarnya, gagasan tersebut bukanlah gagasan yang baru dari Soekarno. Pada tahun 1926 Soekarno menulis Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dan mempertemukan pertautan atara ketiganya.30 Mengenai rasa persatuan ini kembali diutarakan pada sidang 1 Juni 1945 dimana Soekarno menekankan lagi pentingnya rasa “satu” sebagai batas-batas kedaulatan Indonesia yang hendak dimerdekakan. Dalam rapat itu, pidato 1 juni yang diucapkanya menghendaki adanya satu nationalestaat, negara kebangsaan yang “berbeda” dari negara barat meskipun banyak

24 Lihat dalam Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Marjin Kiri. Yogyakarta. 2013

25 Lihat Yusriadi. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Genta. Yogyakarta.

26Lihat Samuel Gutom. Mengadili Korban Praktek Pembenaran Terhadap kekerasan Negara. Elsam. Jakarta. 2003 lihat juga Binsar Gultom. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Kurang Efektif?. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009 lihat juga Robertus Robet. Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Kritis. Elsam. 2008

27 Lihat Sebastian Pompe. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Leip. Jakarta. 2012

28 Lihat Mohammad Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Press. Jakarta. 2012

29 Douglas Kammen & Katherine McGregor. Introduction: The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68 dalam Douglas Kammen & Katherine McGregor (ed). The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu. 2012. Hlm 11, 15 lihat juga John Roosa. The September 30th Movement: The Aporias of the Official Narratives dalam Ibid hlm 48-49

(13)

menggunakan ide-ide barat. Pada akhirnya, penggalian Soekarno sampai pada perumusan lima sila yang dikenal sebagai Pancasila, namun kelima sila tersebut, kata Soekarno, dapat dipersingkat menjadi tiga, atau Trisila yang dari ketiganya dapat diperas lagi menjadi satu sila saja, Ekasila, dengan prinsip Gotong Royong. Asas gotong royong ini, yang berarti juga adalah merupakan intisari dari sila-sila yang lain, adalah sekaligus perekat yang menunjukkan nilai fundamental Soekarno:

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia!- semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!

Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!

Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong adalah satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong Royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!31

Tidak berhenti sampai disitu, Soekarno juga kembali menerapkan persatuan dan mempertahankan keseimbangan politik diantaranya melalui jargon Nasakom; Nasionalisme, Agamis dan Komunisme yang berdiri berdampingan dengan kekuatan militer yang juga terfragmentasi. Pada intinya, apa yang Soekarno lakukan dengan menjaga keseimbangan kekuatan antar golongan, terutama muslim, komunis, maupun militer pada saat itu adalah juga dalam rangka mempertahankan “gotong-royong” sebagaimana yang diucapkanya pada tahun 1945. Soekarno menyadari betul kondisi perlunya merangkul masyarakat Indonesia yang memliki kecenderungan pada arah sosialis, dan pada sisi yang lain agamis. Karena itu pulalah dapat dipahami mengapa Soekarno memberikan fragmentasi antara mana “Islam” yang benar, dan mana “Komunis” yang benar, dimana keduanya, bagi Soekarno dan kepentingan persatuanya pada kala itu, adalah mereka yang setia pada persatuan dan “Revolusioner”. Dapat dipahami pula mengapa Soekarno mengatakan bahwa Masyumi, PSI, Murba maupun PKI 1948 adalah golongan keblinger; baik Islam Keblinger maupun Marxist Keblinger. Dengan jargon Politik Sebagai Panglima, Inilah Komunitas Politik Orde Lama.

(14)

Kemudian, kemanakah Indonesia ini hendak diarahkan? Mengacu pada Soekarno beserta kebijakan dan sikap politiknya, maka dapat dikatakan bahwa yang hendak dicapai, yang menjadi cita-cita bersama saat itu adalah Sosialisme Indonesia, karena konstelasi politik pada saat itu jelas terlihat bagaimana sikap Soekarno terhadap Imperialisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan lain sebagainya. Arah Soekarno mengenai sikapnya kearah kiri tersebut semakin terlihat terutama dalam berbagai kebijakanya.

Akan tetapi 1965 adalah senjakala dari Soekarno. Melalui peristiwa 1 Oktober yang disusul pembersihan besar-besaran seluruh elemen kiri dari kota hingga desa-desa, Soekarno praktis kehilangan kekuatan politiknya. Melemahnya kekuatan politik Soekarno menemukan puncaknya pada saat ditolaknya pidato pertanggungjawaban Presiden dihadapan MPRS. Upaya Soekarno untuk menegaskan bahwa supersemar adalah semata surat perintah pun menemui jalan buntu, karena surat tersebut pada akhirnya dilegitimasi oleh TAP MPR No.IX/MPRS/1966 dan TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 sebelum pada akhirnya pada tahun 1967 Soekarno dicopot dari Presiden dan Soeharto menjalankan pemerintahan sementara.

Selama masa pemerintahan Soeharto, terutama setelah Pemilihan umum tahun 1971 inilah, Pancasila dibaca dengan cara yang berbeda. Terutama melalui pembersihan seluruh elemen negara dari elemen kiri atau yang dianggap kiri, berdasarkan TAP MPRS No, XXV/1966. Apabila diperbandingkan, arah haluan politik yang berarti Gotong Royong tersebut, pembangunan yang berdiri diatas kaki sendiri, mengalami perbedaan pesat yaitu melalui masuknya modal-modal asing. Undang-Undang pertama yang diundangkan adalah UU No 1/1968 tentang Penanaman Modal Asing dimana Freeport menjadi perusahaan pertama yang meneken kontrak kerjasama. Puncaknya adalah demonstrasi Malari tahun 1974 yang menentang masuknya modal Jepang.32 Melalui masuknya modal-modal raksasa, segera, Sosialisme Indonesia menjadi gagasan yang usang.

Tidak hanya itu, Pancasila yang tadinya merupakan semacam “senjata” Soekarno dalam memberikan batas-batas komunitas politiknya yaitu Nekolim, berubah menjadi alat legitimasi penanaman modal. Hasil penelitian Yusriadi misalnya, menunjukkan bagaimana Pasal 6 UU 5/1960 yang mengatur perihal Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dibaca dengan cara yang samasekali lain. Pada masa Soekarno, UU 5/1960 adalah perangkat peraturan yang menitikberatkan pada Petani. Kondisi berubah ketika dibawah kepemimpinan Soeharto, Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah menjadi dasar legitimasi penggusuran lahan oleh negara yang bahkan dalam perangkat peraturan lain diatur pula ketentuan Pidananya.33 Untuk mengesahkan cara baca yang berbeda tersebut, tentu diperlukan semacam musuh bersama, dan jelas, yang menjadi musuh bersama adalah segenap golongan kiri yang dibantai dan dibuang tanpa

32 Peristiwa Malari ini dapat dilihat dalam Widiarsi Agustina et al. Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru. Tempo Publishing. 2014

(15)

pengadilan.34 Tapi tidak hanya kaum kiri, batasan komunitas politk mencakup pula kaum Islam. Contoh kasus yang cukup mencolok yang menunjukkan adanya pergeseran cita hukum dari Komunitas Politik ala Orde Lama dengan Komunitas Politik ala Orde Baru adalah kasus sengketa Waduk Kedung Ombo dan kasus Tanjung Priok 1984.

Peristiwa Tanjung Priok 1984 diawali dari penahanan empat orang pengurus masjid di daerah Tanjung Priok, karena diduga dalam ceramah yang mereka lakukan menyinggung atau bertentangan dengan asas tunggal. Dari penangkapan tersebut warga merespon dengan melakukan pengepungan, menuntut agar kawan mereka dibebaskan. Sebagai jawaban, warga justru balik dikepung dengan senjata berat dan penembakan yang membabi buta menewaskan antara 28-700 orang dan puluhan orang lainya luka-luka.35

Sengketa Wadung Kedung Ombo bermula dari rencana pembangunan waduk. Pada umumnya pembangunan tersebu disetujui warga, namun tidak dengan ganti rugi yang dibayarkan yang dinilai terlalu kecil dan ditetapkan secara sepihak. Meski sempat dimenangkan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai oleh Asikin Kusuma Atmaja, namun upaya pengajuan ganti rugi tersebut dibatalkan pada tingkat PK. Diluar upaya hukum, warga yang mengajukan protes mendapatkan tekanan terutama dari pihak tentara. Soeharto, bahkan menyatakan bahwa para petani yang melakukan protes adalah mantan anggota PKI.36

Kedua kasus tersebut menawarkan cara baca Pancasila yang lain. Apabila pada masa orde lama golongan Islam dan golongan Kiri yang masuk dalam komunitas politik adalah golongan yang revolusioner, maka pada masa Orde Baru Islam yang betul adalah Islam yang sejalan dengan pembangunan, sementara golongan kiri dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Komunitas Politk Orde Baru dengan Pembangunan Sebagai Panglima dimana tafsir politik menjadi tafsir tunggal. Pada masa ini pula, mengambil dari Sebastian Pompe, dapat dikatakan bahwa kekuasaan eksekutif memiliki kekuatan paling besar meski secara de jure MPR adalah lembaga tertinggi. Hal ini sekali lagi adalah karena kekuatan politik Golkar dan Soeharto yang secara de facto memiliki kekuasaan melebihi legislatif maupun yudikatif.37 Bentuk penegasan lain dari cara baca tunggal ini berlaku secara efektif atas nama ketertiban sosial yang dilakukan mulai dari pembungkaman lawan politik; kematian perdata penanda tangan Petisi-50 misalnya, juga

34 Op Cit Robertus Robet. Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Kritis… hlm 40

35 Wahyu Wagiman. Final Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok: Gagal Melakukan Penuntutan yang Efektif. Elsam. Jakarta. Hlm 3

36 Op Cit Sebastian Pompe. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung… hlm 217-222

(16)

pembunuhan dari unit kemasyarakatan terkecil; melalui aksi penembakan misterius atau Petrus. Dengan slogan Pembangunan Sebagai Panglima, inilah Komunitas Politik Orde Baru.

Lantas Apa Dasar Konstitusi Kita ?

Dari pembacaan tersebut, apa yang hendak ditembak dalam tulisan ini adalah mengenai bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dicurigai. Menurut Kelsen, norma dasar adalah norma yang betul pada dirinya dan merupakan sumber dari validasi norma. Kelsen juga menyatakan bahwa melalui revolusi, norma dasar yang merupakan modus hidup bermasyarakat ini berhadapan dengan cara hidup baru yang berarti norma baru. Analisa deskriptif mengenai bagaimana susunan konstitusi Indonesia hari ini maupun kondisi riil secara historis-sosiologis sebagaimana pemaparan diatas menunjukkan, bahwa argumen Kelsen tersebut tidaklah mencukupi setidaknya dengan dua alasan.

Alasan pertama adalah tarikan validasi norma dalam tata hukum di Indonesia secara formil justru diatur dalam aturan yang lebih rendah dan dengan demikian saling mengandaikan relasi antar satu sama lain. Alasan kedua di Indonesia, revolusi sosial yang terjadi pada tahun 1965 yang ditandai dengan pemenjaraan 1,7 juta orang dan pembunuhan 3 juta golongan kiri tidak secara gamblang merubah norma dasar negara. Sebaliknya, norma dasar yang tadinya menjadi pijakan berdiri termasuk golongan kiri, islam, nasionalis, dan lain sebagainya berbalik menjadi legitimasi dalam menyingkirkan mereka tersebut untuk diringkas dalam “Taman Mini Indonesia Indah”, dalam tafsir tunggal Orde Baru. Semuanya dilakukan tidak dengan merubah norma dasar atau Pancasila itu tadi, melainkan dengan mengganti cara baca.

Konsekuensinya, maka Pancasila itu tadi pada kenyataanya bukanlah sesuatu barang jadi yang bersifat Illahiah macam kekal dan abadi, melainkan terikat pada -meminjam istilah Danardono-kisah. Pancasila dan bagaimana dirinya diterapkan semata-mata adalah produk sejarah, yang dapat berubah baik secara formil maupun muatan materiilnya. Tulisan ini menunjukkan bahwa landasan keduanya sesungguhnya tidaklah kokoh, atau setidaknya, tidaklah sekuat sebagaimana yang digambarkan oleh penstudi Hukum dan Pancasila pada umumnya.38 Terutama dari penjelasan kedua mengencai cara baca, tulisan ini juga menunjukkan bahwa titik bidik dari studi atas nilai-nilai dalam Pancasila sesungguhnya bukan mengenai nilai-nilai yang ada pada dirinya tersebut, melainkan bagaimana nilai terseut mewujud, muncul, dan berlaku sebagai roh yang terdapat dalam peraturan maupun kebijakan yang lain. Dengan kata lain, Pancasila haruslah dibaca sebagai suatu kisah, yaitu kisah mengenai bagaimana dan dalam situasi apa batas-batas komunitas diberlakukan alih-alih sebagai semacam sesuatu yang telah benar pada dirinya sendiri. Apabila norma dasar tersebut dapat dirubah secara konstitusional baik materiil maupun formilnya, lantas, apakah masih ada dan relevankah kiranya semacam “norma dasar” bagi landasan konstitusi kita?

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suaatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuamgkan perikehidupan warga dan masyarakat

Al Aahad adalah bacaan yang shohih sanadnya namun tidak sesuai dengan Rasm „Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal sebagaimana bacaan yang telah masyhur

sudah terasa agak remah sejak hari ke-25. Sangat berbeda dengan kompos P3, kompos kontrol yang dibuat dengan campuran 1 Kg daun jati kering dengan air sumur ini

Kebijakan program GERBANGKU di Kabupaten Merauke yang merupakan wilayah terpencil, tertinggal, khusus, perbatasan telah menjadi salah satu fokus dan program prioritas dalam

Nilai ini memberikan pengertian bahwa keterkaitan antara Komunikasi interpersonal dengan kinerja pegawai rekam medik cukup dan positif, artinya makin baik komunikasi

TIMBAL: Pemajaan yang berkepanjangan terhadap uap atau asap pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan keracunan timbal sistematis.. Gejala

DALAM JABATAN KUOTA 2013 LPTK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA.. TANDA TANGAN

Menurut petikan yang  bertarikh 16 Mei 2010, Tun Hamdan telaha menyatakan Laporan Razak sejumlah 20 cadangan  penting di mana laporan tersebut mengutamakan bahasa Melayu