• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAY"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Arditya Wicaksono

Abstrak

Pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia terkendala regulasi yang tidak sinkron dan konsisten. Administrasi pengelolaannya terkendala lembaga yang beragam sehingga tidak efisien. Tulisan ini merupakan kajian hukum empiris dimana banyak fakta lapangan yang saling berbenturan sehingga kedepan perlu integrasi lembaga sebagaimana perbandingan di Negara lain dan kajian konflik norma untuk mengurai persoalan sumber daya alam yang lebih tepat.

Kata Kunci : Tanah, Sumber Daya Alam, Inkonsisten Aturan Abstract

Land Management and natural resources in Indonesia is burdened regulation that is is not synchronized and consistency. administration of Its the management is burdened by immeasurable institute so that inefficient. This article is empirical law study where many field facts that is is each other impinges so that to the fore need to integrate institute as comparison in other Negara and norm conflict study to decompose problem of natural resources which more accurate.

Keyword : land, Natural resources, disharmony law

Latar Belakang

Tanah merupakan sumber daya alam (SDA) yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata1; oleh karena itu sudah sewajarnya mengelola tanah untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, tanah merupakan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber daya alam secara eksplisit disebutkan dalam Pasal di atas. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria2.

Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia

1 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan MK, (http://www.jurnalhukum.blogspot.com), tanggal 22 September 2012).

(2)

yang susunan masyarakat dan perekonomiannya bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan. Dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah dan dengan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri, kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar, martabat sosialnya akan meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan rakyat sebagai warga negara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum; dan negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin.

Joyowinoto menebutkan di BPN dan instansi pemerintah lainna terkait pertanahan terdapat 538 produk hukum duabelas diantaranya berupa undang-undang dari semua itu tidak ada ang taat asas keadilan sosial, kedua antara undang-undang yang terkait dengan pertanahan tersebut saling overlap, dan tidak harmonis. Kondisi inilah ang disebut dengan Jungle of Regulation3

Berkaca pada pandangan tersebut hendaknya sinergitas aturan mutlak diperlukan sebab bagaimanapun pengelolaan Negara pasti memerlukan sumber daya yang melimpah dimana tanah merupakan salah satu potensi sayang dalam pengelolaan tanah di Indonesia seluas 190 juta hektar4 tidak lah mampu optimal apabila kita masih terkotak-kotak dan tanpa koordinasi. Sayang sampai sekarang produk hukum yang ada tidak memasukkan UUPA sebagai pandangan untuk sinergi justru investasi Negara ang ada sekarang justru membuat kita tidak bisa bergerak sejalan dan padu serasi akibat undang-undang sektoral yang bertentangan satu sama lain.

Budi Mulyanto5 dalam orasinya pengukuhan guru besarnya mengurai bahwa posisi tanah sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan belum sepenuhnya dipahami khalayak, termasuk para mahasiswa. Pemahaman yang diajarkan di ilmu tanah selama ini hanya aspek teknis semata, tapi kurang dari sisi pembahasan aspek-aspek lainnya. Dimensi tanah itu bukan hanya fisik, tetapi beragam dimensi kehidupan semuanya berhubungan dengan tanah. Untuk itu menurutnya perlu pemahaman ilmu tanah.

Lebih lanjut Budi Mulyanto menyebutkan Peningkatan jumlah penduduk di bumi ini menyebabkan peningkatan tekanan pada tanah. Kehidupan di permukaan bumi tidak saja membutuhkan pangan dan energi, tetapi juga memerlukan tapak untuk bermukim serta infrastruktur bagi kegiatannya. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan kelangkaan tanah (land scarcity) yang makin hari semakin nyata oleh karena luas bumi ini relatif tetap. Kondisi ini menyebabkan intensitas dan frekuensi permasalahan yang berhubungan dengan tanah makin meningkat seperti masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan penguasaan dan penggunaan tanah, kerusakan lingkungan, kelangkaan pangan dan energi, serta sengketa dan konflik pertanahan6.

3Joyowinoto, Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru Besar Universitas Indonesia. 2010. Jakarta. Hal 20-21

4 Rencana Strategis BPN 2010-2014

5 Orasi Guru Besar Prof. Budi Mulanto Pengembangan Ilmu Tanah Untuk Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat’2010

(3)

Mengingat hubungan antara tanah dengan kehidupan adalah multi facet maka pengembangan Lembaga Pertanahan perlu diarahkan pada pengembangan perspektif bersifat multi-dimensi dan holistik sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan. Pengembangan lembaga pertanahan yang demikian sangat diperlukan untuk penataan kembali hubungan antara tanah dengan kehidupan, terutama penataan penguasaan dan penggunaan tanah untuk menguatkan Reforma Agraria dalam upaya mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Bertitik tolak pada persoalan diatas maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah

1. Apakah undang-undang pengelolaan Sumber daya alam telah sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum?

Pembahasan

TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan: “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawara- tan Rakyat Republik Indonesia”.

Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep "hak menguasai negara" dan "sebesar-besamya kemakmuran rakyat", yang dalam operasionalisasinya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik (UUPA, undang-undang kehutanan, undang-undang pertambangan dan lain-lain)7. Ketidaksinkronan antara berbagai undang-undang yang mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam, walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas, namun karena egoisme sektoral yang begitu tinggi, masing-masing sektor merasa paling berkompeten mengatur tentang sumber daya alam. Walaupun disadari bahwa segenap unsur sumber daya agraria/sumber daya alam merupakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masing-masing sektor hanya mengatur fungsi tertentu dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten antara satu dan lainnya makin diperparah oleh inkonsistensi antara peraturan dan implementasinya. Unifikasi hukum yang diupayakan melalui berbagai peraturan perundang-undangan ternyata tidak mampu mengakomodasi keaneka- ragaman hukum yang masih berlaku di masyarakat.

Pertanahan merupakan subsistem dari sumber daya agraria dan sumber daya alam. Diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungan subsistemnya maupun dalam kaitan hubungannya dengan manusia/ masyarakat dan negara; namun demikian, disisi lain peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan belum terpadu bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah8. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a, menetapkan pengkajian ulang terhadap semua peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas.

7 Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Kompas,

Jakarta, 2008. Hal 90

(4)

Pemenuhan pemberian perlindungan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan sasaran yang akan dicapai dengan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaannya; dan peraturan yang ada dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam9. Disamping itu kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur secara substansial tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. (dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (disinkronisasi secara horisontal).

Menurut Fuller, ada 8 (delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan "delapan prinsip legalitas" yaitu:

a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer;

b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak; c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;

d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat;

e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah,

h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat10.

Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten; keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu: supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini, tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih menekankan pada power based baik melalui people-power, pengerahan masa dan sebagainya dari pada menggunakan rights-based yang menekankan pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk untuk kepentingan masyarakat.Eksistensi hukum dimaksudkan untuk menciptakan keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memberi jaminan kepastian hukum. Penegakan Hukum yang Belum Dapat Dilaksanakan Secara Konsekuen Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu11:

a. hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja; b. penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; c. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

9 Irawan Soerodjo, , 2003 Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya. hlm. 40. 10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 78.

(5)

Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa dari faktor perangkat pemerintah terlihat kurang tegas dalam mengurai benang kusut pengelolaan sumber daya alam baik itu tanah, hutan dan tambang sehingga semakin larut dan justru semakin membuat kekayaan alam menjadi sumber kesejahteraan masyarakat akan tetapi kekayaan milik sebagian kecil orang untuk di eksploitasi

Disharmoni Arah Kebijakan Pemerintah

Anekdot ganti pemerintahan ganti kebijakan sebetulnya bukan masalah sebab era nya memang terjadi seperti itu yang muncul kepermukaan adalah apabila Negara ini dijalankan dengan melanggar konstitusi dimana prinsip-prinsip Negara hukum, dan inkonsistensi dalam menjalankan peraturan perundang-undangan membuat persoalan SDA semakin terpuruk. alam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengenai aturan-aturan atau norma-norma tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma-norma tersebut. Norma-norma atau aturan-aturan tersebut berkembang menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sistem hukum nasional menganut asas, nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum,yang selaras dan serasi dengan perasaan keadilan (sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee), serta selaras dan serasi dengan anggapan dan pandangan masyarakat mengenai keadilan12. Harmonisasi atau keselarasan dalam hukum di mulai dari konsep hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem di definisikan sebagai seperangkat unsur yang menempati relasi yang ketat satu sama lain dan relasi dengan lingkungannya. Sehingga, sebagai sistem, hukum seperti bagian dalam satu undang-undang maupun keseluruhan peraturan perundang-undang-undang-undangan merupakan satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu "terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan". Saat ini masih ditemukan disharmoni dalam kebijakan pertanahan, yaitu:

1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang terkait.

2. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi Pemerintah (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan lain lain).

3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi. 4. Perbedaan Kebijakan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

5. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.

Merujuk uraian di atas, harmonisasi kebijakan Pengelolaan SDA agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang dan perbedaan mekanisme penyelesaian

Sebagai gambaran belum jelasnya pengelolaan sumber daya alam adalah data yang diperoleh dari kementerian kehutanan menunjuk luas kawasan hutan adalah 136.94 juta herkat atau 69 persen wilayah Indonesia. Tentunya UU Kehutanan ini merupakan yang sangat merugikan masyarakat adat dan petani. Sementara proses lanjutan setelah penunjukan (penetapan tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan secara serius oleh pemerintah.

(6)

Sampai kini, 121, 74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata batas. Dengan demikian, dapat diambil benang merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama ini dan dipakai oleh pemerintah mengusir rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal, ada masalah besar disana, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, terdapat sekitar 19,000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

Luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin hutan tanaman rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementar, luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan HPH. Implikasinya adalah meluasnya konflik yang terjadi dikawasan hutan. Sementara itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu ( dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif perkebunan ini terus dilangengkan. Bahkan belakangan semakin masif sejak dekade terahir ketika komuditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses lahan mereka dan akibatnya menimbulkan konflik agraria yang juga semakin masif.

Menurut data BPN hingga 2012 kasus agraria telah mencapai 8.000 kasus, sementara laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik). Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960%), 36 kaus di sektor kehutanan (22%), dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir (1%).

Banyak peraturan BPN tidak dapat berlaku di kawasan hutan dan beberapa bidang kementerian lain. Kurang tunduknya UU pengelolaan sumber daya alam yang ada dengan UUPA. Beberapa faktor yang menyebabkan peraturan pertanahan tidak bisa mengatur tanah secara optimal dimana seyogyanya jika pengacu soal tanah seluruh peraturan hukum yang berlaku mengacu pada UUPA bukan mengesampingkannya sehingga kepentingan masyarakat kurang diperhatikan.13 Dis-harmoni hukum yang terjadi di provinsi Kalimantan Tengah dimana

(7)

BPN masih mengakui adanya alas hak yang dimiliki masyarakat sebelum berlakunya UUPA, dan tanah ulayat, sementara itu Kementerian kehutanan membuat TGHK, dan pemerintah Provinsi membuat peraturan daaerah tentang tata ruang membuat BPN tidak bisa melakukan layanan kepada masyarakat dan kondisi ini berdampak pada tidak berlakunya hukum tanah nasional di Provinsi Kalimantan Tengah.

Ruang lingkup pengaturan UUPA sejatinya meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Komposisi/struktur UUPA memuat 67 Pasal: 58 Pasal + 9 Pasal ketentuan konversi terdiri dari:

a. Pasal-Pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok: 10 Pasal. b. Pasal-Pasal yang mengatur tentang tanah: 53 Pasal.

c. Pasal-Pasal yang mengatur di luar a dan b: 4 Pasal

Degradasi UUPA karena disejajarkan dengan UU Sektoral. Penerbitan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral didorong oleh semangat pragmatis, yakni untuk mengakomodasi investasi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi “pembangunanisme”. Falsafah, tujuan dan prinsip-prinsip dari UUPA tidak di-akomodasi dalam UU Sektoral. Pada saat penerbitan UUPA, masalah berkenaan dengan sumberdaya agraria selain tanah belum merupakan hal yang strategis; masalah berkenaan dengan penanaman modal dan konflik penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya agraria belum diantisipasi.14

Dis-Harmoni Atau Inkonsistensi Antar UU Sektoral15

Tabel 1.2 Gambaran Dis-Harmoni antar UU Sektoral

Orientasi Eksploitasi atau konservasi

Kebepihakan Pro-rakyat atau pro kapital

Pengelolaan dan implementasinya Sentralistik/desentralistik, sikap terhadap pluralisme hukum.

Implementasinya: sektoral, koordinasi, orientasi produksi

Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

Gender, pengakuan Masyarakat Hukum Adat [MHA], penyelesaian sengketa

Pengaturan good governance Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas

Hubungan orang dengan sumber

daya alam Hak atau izin

Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jelas bahwa Perda Nomor 8 Tahun 2003 dapat dijadikan acuan penentuan kawasan hutan. Tumpang tindih dan ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan kawasan hutan mempersulit masyarakat mengurus kepemilikan tanah.

14 Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, presentasi untuk RDPU dengan KOMISI II DPR RI jakarta, 12 oktober 2011, hal 1-13

(8)

Hubungan Negara dengan sumber

daya alam Menguasai Mutlak

Undang-Undang Sektoral yang diterbitkan pada awal tahun 70-an tidak konsisten, bahkan saling bertentangan menyangkut isu/substansi tertentu dampak ketidakkonsistenan UU sektoral adalah: 1. Kelangkaan dan kemunduran kualitas dan kuantitas SDA; 2. Ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA; 3. Timbulnya berbagai konflik dan sengketa dalam penguasaan/pemilikan, dan pemanfaatan SDA. (antar sektor, antara sektor dengan Masyarakat Hukum Adat, antara investor dengan Masyarakat Hukum Adat, antar investor terkait hak/izin pemanfaatan SDA.

Belajar Pengelolaan di Negara Lain Republik Rakyat Cina

China mereformasi hukum-hukum tanah tergabung dalam Sumber Daya Alam memberikan perubahan substantif pelajaran yang mungkin berguna bagi negara lain untuk mencoba menanggapi dengan cara yang konstruktif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi ekonomi dan sosial dan kelangkaan tanah. pendekatan yang dipilih oleh China didasarkan pada pola bertahap dan agak pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal.

Penekanan pada eksperimentasi dan percontohan yang kemudian dapat dimodifikasi dan ditingkatkan atau dibuang tergantung pada hasil yang dicapai. pemberian tanggung jawab kepada pemerintah daerah dengan cara ini telah memberikan tidak hanya menggunakan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan spesifik lokasi tetapi juga memberikan dasar untuk bergerak maju dengan penerapan yang jauh lebih cepat daripada mencoba mengembangkan sebuah "ideal" hukum yang tidak sinkron dengan realitas tanah. China pernah mencoba untuk mendesentralisasikan administrasi tanah tanpa mekanisme yang memadai akuntabilitas dan kontrol dapat meningkatkan daya diskresioner elit lokal, bukan penguatan hak atas tanah.

To be responsible for the planning ,administration, protection and rational utilization of such natural resources as land , mineral and marine resources in the People's Republic of China. Major functions and responsibilities assigned to the Ministry of Land and Resources. To compile and implement the national comprehensive planning for land and re-sources, overall plan for land use and other specific plans; to participate in the examination and verification of urban overall plans submitted to the State Council to organize the survey and evaluation of mineral and marine resources16;

Bukti dari China, seperti dalam kasus pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan pemerintah lokal untuk sewenang-wenang mengambil tanah, menggambarkan bahwa desentralisasi tidak sama dengan tidak adanya aturan pusat yang dikenakan, bahkan itu adalah sebaliknya. Bukti menunjukkan bahwa memiliki aturan yang jelas, tegas dan menegakkannya sangat diperlukan17

Pengelolaan Tanah di Amerika Serikat

(9)

Kewenangan pertanahan di Amerika Serikat berada pada sebuah lembaga bernama The Bureau of Land Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat yang mengelola tanah publik Amerika, dengan total nilai sekitar 253 juta hektar (1.020.000 km2), atau seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat. BLM juga mengelola 700 juta hektar (2.800.000 km2) mineral bawah permukaan yang mendasari pemerintah federal, negara bagian, dan tanah pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan hampir 2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi lebih dari 21.000 hektar (85 km2) per karyawan. anggaran badan tersebut adalah US $ 960.000.000 untuk tahun 2010 ($ 3,79 per hektar permukaan, $ 9,38 per hektar).

Misi BLM adalah untuk mempertahankan kesehatan, keragaman dan produktivitas tanah publik untuk penggunaan dan kenikmatan generasi sekarang dan mendatang. BLM menjalankan aturan perundangan pertanahan Amerika Serikat yang termaktub dalam The Federal Land Policy and Management (FLPMA), yang merupakan hukum federal yang mengatur cara di mana tanah publik yang dikelola oleh BLM dikelola. Hukum disahkan pada tahun 1976

Kongres mengakui nilai dari tanah publik, menyatakan bahwa tanah ini akan tetap dalam kepemilikan umum. National Forest Service, National Park Service, BLM, yang membatasi penggunaan. " FLPMA membahas topik seperti perencanaan penggunaan lahan, pembebasan lahan, biaya dan pembayaran, administrasi tanah federal, manajemen jangkauan, dan hak pakai di atas tanah federal. FLPMA memiliki tujuan tertentu dan jangka waktu di mana untuk mencapai tujuan tersebut, memberikan kewenangan yang lebih dan menghilangkan ketidakpastian seputar peran BLM dalam penunjukan padang gurun dan manajemen. FLPMA berkaitan khusus untuk hutan ditemukan di bawah pos manajemen yg telah ditunjuk. Di sini, BLM juga diberikan kekuasaan untuk menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk melakukannya. BLM adalah untuk melakukan studi, mengelompokkan daerah sebagai 'daerah hutan studi. " Daerah ini bukan area hutan resmi tetapi, untuk semua maksud dan tujuan, diperlakukan seperti itu sampai adopsi formal sebagai hutan oleh Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar padang gurun BLM saat ini termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan Nasional sebagai hasil dari review padang gurun diamanatkan oleh FLPMA. Mereka diperintahkan untuk melaksanakan kebijakan dari FLPMA adalah karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan pedoman secara tegas dinyatakan dalam tindakan itu sendiri. Selanjutnya FLPMA yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah diperluas untuk mencakup sumber daya alam seperti minyak di Tanah Federal.18

Berdasarkan acuan pengelolaan tanah di negara maju sebagaimana uraian diatas dapat diambil sebuah benang merah pengelolaan tanah sebaiknya:

1. kelembagaan yang ada hendaknya universal tidak spasial/ sektoral sebab urgensi dari sebidang tanah dapat melahirkan kekayaan negara misalkan hutan, tambang, pengelolaan ruang.

2. Dinegara maju pengelolaan tanah dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuatan hukum dalam sebuah undang-undang yang meletakkan semua sumber daya alam dan potensinya menjadi sebuah satu kesatuan yang holistik.

Simpulan

17 Dihimpun http://www.mlr.gov.cn/mlrenglish/laws/200710/t20071011_656321.htm yang menyatakan visi misi Ministry of Land and Resources Republik Rakyat China diakses 12 Oktober 2012

(10)

Untuk mengelola Sumber Daya Alam di Indonesia yang peraturannya mengalami jungle of law hendaknya pemerintah mengambil langkah

1. Pemerintah beserta pemerhati sumber daya alam mengkaji kembali undang- undang sektoral yang berbenturan dan tidak sesuai dengan falsafah NKRI didahului dengan mengkaji konflik norma yang ada

2. Makna Negara menguasai hendaknya benar-benar di kategorikan Negara kerakyatan berdaulat untuk pengelolaan bukan segelintir perusahaan dengan mengatas namakan investasi dengan dalih pembangunan yang merugikan masyarakat lokal

3. Perlu pengkajian kembali struktur kelembagaan pengelola SDA jika perlu unifikasi hendaknya kita belajar ke cina dan amerika mereka mengelola bukan lagi sektoral tetapi sudah satu lembaga yang terintegrasi.

Daftar Referensi

Irawan Soerodjo, 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya Joyowinoto, 2010. Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru Besar

Universitas Indonesia. Jakarta

Koeswahyono, Muchsin Imam dan Soimin, 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama,

Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Kompas, Jakarta

Murad, Rusmadi, 1991 Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,

Soerjono Soekanto, 1993 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta

Makalah & Dokumen

Budi Mulanto. 2010Pengembangan Ilmu Tanah Untuk Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat’ Orasi Guru Besar IPB

Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, presentasi untuk RDPU dengan KOMISI II DPR RI jakarta, 12 oktober 2011, hal 1-13

Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan MK, (http://www.jurnalhukum.blogspot.com), tanggal 22 September 2012). Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional 2010-2014

Internet

http://www.blm.gov/wo/st/en.html diakses tanggal 12 Oktober 2012

Gambar

Tabel 1.2 Gambaran Dis-Harmoni antar UU Sektoral

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik gambut hidrofobik ditunjukkan dengan penurunan gugus-gugus pembawa sifat hidrofilik (  OH,  COOH) dan kenaikan jumlah

Pertumbuhan kalus optimal pada minggu ke-3 untuk semua perlakuan, sedangkan memasuki minggu ke-4 eksplan yang muncul kalus mengalami penurunan dan ada yang

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

Dan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan, dimana reklamasi yang sangat mungkin akan merusak kehidupan di bawah perairan laut dapat menjadikan kawasan

Seperti  diketahui  bahwa  tujuan  pengemasan    informasi  yang

Pengukuran kualitas layanan dengan SERVQUAL seharusnya diikuti dengan pengaplikasian QFD untuk memperjelas action plan yang harus dilakukan untuk menutup gap

Apabila yang tersedia data hujan harian, untuk mendapatkan kedalaman hujan jam-jaman dari hujan rancangan dapat menggunakan model distribusi hujan, seperti distribusi

Mengadministrasikan secara sistematis proses administrasi pelayanan purna jual, pelayanan Kantor Cabang Penjualan dan administrasi klaim kepada pemegang polis asuransi