• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluhan Pelayanan Rumah Sakit melalui Me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keluhan Pelayanan Rumah Sakit melalui Me"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Keluhan Pelayanan Rumah Sakit melalui Media Cetak atau Elektronik sebagai Hak Pasien menurut UU No. 44 Tahun 2009

oleh: Hwian Christianto

Abstrak

The declaration of UU. No. 44 tahun 2009, about hospital actually fulfilling the expectation for clear health-service regulation, including the patient’s right to the hospital service. Pasal 32 huruf r UU. No. 44, tahun 2009, particularly gives a protection to the patient for complaining into mass media and the electronic one. The existence of this complaining right is actually to protect the patient’s right, but on the other hand, it brings a threat to the hospital or its proper name. The regulating pasal 32 huruf r UU No. 44 tahun 2009 is actually doubted when pasal 60 huruf f UU. No. 44, tahun 2009 juncto.. pasal 29 UU No. 36 tahun 2009, for each health – service conflict, must be held a mediation. This thing has currently risen law issue which is interesting as far as complaining – right can be proposed by the patient and so is the role of mediation in solving the conflict.

Keywords: Hak Keluh, Nama Baik, Mediasi

Pendahuluan

Rumah sakit sebagai institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan memegang peranan penting dalam menjaga dan meningkatkan standar kualitas kesehatan. Peran penting ini tentu saja harus di imbangi dengan standar kualitas pelayanan rumah sakit sendiri ketika menerima permintaan pelayanan dari pasien. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah memberikan pengaturan secara khusus atas kewajiban pelayanan kesehatan rumah sakit yang baik. Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 menyebutkan 20 kewajiban yang harus dipernuhi oleh Rumah Sakit dalam kaitannya dengan peningkatan standar kualitas pelayanannya. Jika di satu sisi rumah sakit di berikan satu kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan di sisi lain terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pasien yang diatur dalam Pasal 31 UU No. 44 Tahun 2009. Hanya saja jika di perhatikan secara teliti, pasal 31

(2)

ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 memberikan pengaturan yang bersifat pasif bagi pasien. “Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.” Tidak ada pengaturan secara spesifik bentuk kewajiban apa sajakah yang dilakukan oleh pasien terhadap rumah sakit. Baru di dalam penjelasan Pasalm 31 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 di berikan penjabaran tentang kewajiban pasien ini meliputi mematuhi ketentuan yang berlaku dalam rumah sakit, memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima di rumah sakit, memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya pada tenaga kesehatan dan mematuhi kesepakatan dengan rumah sakit.

Tujuan dari pengaturan kewajiban dari masing-masing pihak, yaitu rumah sakit dan pasien tidak lain untuk menjamin agar pelayanan kesehatan dapat benar-benar berjalan dengan standar pelayanan yang baik. Hal yang menarik dari pengaturan hak dan kewajiban yang dimiliki pasien adalah hak keluh atas pelayanan rumah sakit di media massa (media elektronik dan media cetak). Hak ini diatur dalam Pasal 32 huruf r. UU No. 44 Tahun 2009 mengakui “setiap pasien memiliki hak untuk … mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan media elektronik sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”.

(3)

sakit. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun tidak mengenal hak pasien untuk melakukan hak keluh. Pasal 29 UU Kesehatan lebih mengutamakan mekanisme mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang utama apabila terjadi sengketa antara tenaga kesehatan dengan pasien.

Keberadaan hak keluh ini sendiri jika dilihat dari sisi perlindungan konsumen memang sangat baik karena memberikan jaminan atas kebebasan berbicara bagi konsumen hanya saja bagi pihak rumah sakit, keberadaan hak keluh ini bisa berdampak negatif. Misalnya saja, seorang pasien setelah mendapatkan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit berpendapat bahwa pelayaan kesehatannya tidak baik atau kurang memuaskan lalu menuliskan hal itu di media massa tanpa terlebih dahulu menyampaikan keluh kesahnya kepada pihak rumah sakit akan sangat merugikan nama baik rumah sakit. Pada hakekatnya, rumah sakit merupakan sebuah institusi yang mengutamakan nama baik (good will) sebagai jaminan atas pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu. Nama baik ini pastinya telah dijaga dan di upayakan sedemikian rupa sehingga tetap dikenal dan diakui oleh masyarakat atas kualitas pelayanan kesehatannya. Permasalahan timbul manakala usaha untuk menjaga nama baik Rumah Sakit ini berhadapan dengan hak pasien untuk menyampaikan keluhannya di media cetak/elektronik. Ketika hak pasien di sampaikan di media massa./elektronik tentang pelayanan rumah sakit yang menurutnya tidak memuaskan secara langsung akan berdampak kerugian imateriil bagi rumah sakit. Nama baik dan jaminan pelayanan rumah sakit menjadi kurang dipercaya oleh masyarakat oleh karena mendapatkan informasi bersifat negatif dari pasien.

Dari latar belakang di atas, dapat diajukan beberapa isu hukum yang bisa dibahas untuk memfokuskan pembahasan, yaitu:

(4)

2. Apakah ruang lingkup dan tujuan dari hak keluh itu?

3. Akibat hukum apakah yang ditimbulkan atas hak keluh dalam hubungannya dengan perlindungan nama baik rumah sakit?

Hak Keluh sebagai Hak Pasien yang Mendasar

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit merupakan satu produk hukum di bidang kesehatan yang memang telah lama dinanti-nantikan. Baik pasien maupun tenaga kesehatan membutuhkan pengaturan yang jelas dan tegas tentang pelayanan kesehatan yang dilakukan di sebuah institusi bernama rumah sakit. Lahirnya undang-undang ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dua Undang-undang-undang di bidang kesehatan yang terlebih dahulu ada, yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran. Secara khusus, UU No. 36 Tahun 2009 memberikan sebuah paradigma sehat yaitu paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif (Penjelasan Umum UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Paradigma ini sangat berbeda jika di bandingkan dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menekankan paradigma kuratif saja (pengobatan), masyarakat memandang masalah kesehatan sebagai hal yang bersifat pemborosan dan bukan sebagai hal yang pokok.

(5)

tidak terdapat 3 (tiga) macam hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, diantaranya:

1. Hak diri sendiri atas kesehatan;

2. Hak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat; 3. Hak memperoleh pelayanan kesehatan.

Cakupan hak asasi manusia di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditinjau melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, International Covenant, maupun ketentuan hukum nasional. Roberia dan Siti Maimunah menegaskan perlindungan tersebut:

Tabel 1. Hak-hak Bidang Kesehatan berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia1

No. Ragam Hak-Hak Bidang Kesehatan dalam DUHAM 1. Hak Hidup/kehidupan

8. Hak mendapatkan akses pelayanan umum yang sama

9. Hak Jaminan Sosial baik dari Nasional maupun Internasional

10. Hak memperoleh Tunjangan pelayanan kesehatan yang layak bagi pekerja dan keluarganya

11. Hak perlindungan sosial bagi ibu dan anak-anak

12. Hak memperoleh manfaat dari kemajuan Ilmu Pengetahuan

Tabel 2.Hak-hak Bidang Kesehatan berdasarkan International Covenant2

No. International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights (ICESCR)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

1. Hak Penentuan/keputusan sendiri Hak Penentuan/keputusan sendiri 2 Hak mendapatkan lingkungan

pekrjaan yang adil, aman, sehat dan nyaman

Hak Hidup/kehidupan

3 Hak jaminan sosial Hak Informed Consent

1Roberia dan Siti Maimunah, “Cakupan Hak Asasi Manusia bidang Kesehatan”, Jurnal

Hukum Kesehatan, Vo. 2 No.4 Tahun 2009, hlm. 69

(6)

4 Hak berkeluarga Hak kebebasan 8 Hak bebas dari kelaparan Hak kebebasan menerima informasi 9 Hak memperoleh derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya baik fisik maupun mental

Hak berkeluarga/perkawinan

10 Hak memperoleh menfaat dari

kemajuan ilmu pengetahuan Hak perlindungan anak

11 Hak mendapatkan akses pelayanan

umum yang sama

Ketentuan hukum nasional pun memberikan pengaturan yang spesifik tentang hak-hak di bidang kesehatan, yaitu:

Tabel 3. Hak di bidang kesehatan dalam UU No. 32 Tahun 2009

No. Macam Hak di Bidang Kesehatan Ketentuan Hukum 1. Hak atas kesehatan: 4. Hak untuk menentukan sendiri dan bertanggung

jawab pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya

Pasal 5 ayat (3)

5. Hak atas lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan

Pasal 6 6. Hak mendapatkan informasi dan edukasi tentang

kesehatan yang seimbang dan bertanggug jawab

Pasal 7 7. Hak atas informasi terkait data kesehatan dirinya

dan tindakan serta pengobatan yang sudah atau akan diterimanya

Pasal 8

(7)

menjalankan tugasnya. Mengingat Undang-Undang Praktek Kedokteran telah terlebih dahulu di berlakukan (UU No. 29 Tahun 2004) maka seyogyanya prinsip pemenuhan hak dibidang kesehatan disesuaikan dengan hak kesehatan di dalam Undang-undang Kesehatan 2009. Berikut ini hak di bidang kesehatan menurut UU No. 29 Tahun 2004:

Tabel 4. Hak-hak Bidang Kesehatan yang tercantum dalam UUPK3

No. Macam Hak Bidang Kesehatan Pasal

1 Hak pelayanan kedokteran yang bermutu sesuai standar pelayanan 44 2 Hak mendapatkan penjelasan secara lengkap sebelum dilakukan

hak memperoleh isi rekam medis 47,

52 Hak pemeliharaan dan penyimpanan rekam medis 47

Hak atas Rahasia Kedokteran 48

Hak kendali mutu dan biaya penyelenggaraan praktik kedokteran 49

hak audit medis 49

Hak rujukan 51

hak pertolongan darurat 51

Hak meminta pendapat dokter lain 52

Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan 52

Hak menolak tindakan medis 52

Hak perlindungan disiplin 55

Hak pengaduan 66

Hak perlindungan hukum 73-80

Sehubungan dengan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit setidaknya terdapat 2 (dua) macam hak atas kesehatan yang sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yaitu hak diri sendiri atas kesehatan dan hak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengaturan ini mempunyai implikasi bahwa setiap warga negara harus menyadari dan mengusahakan hak ini bukan hanya secara pasif tetapi aktif dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Boleh dikatakan paradigma sehat-lah yang dianut dalam UUD 1945. Setiap orang bertanggung jawab pula atas kesehatan dirinya

(8)

sedangkan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan tindakan yang diadakan atas persetujuan dari pasien.

(9)

kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyatakan ketidakpuasannya baik berupa pendapat, kesan, saran, atau pun kritik terhadap barang dan/atau jasa yang diberikan oleh pelaku usaha. Jika definisi ini diterapkan dalam bidang kesehatan maka pasien mempunyai hak keluh atas pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan dirinya.

Keberadaan hak keluh yang dimiliki pasien ini jika dilihat latar belakang pengaturannya mempunyai satu maksud agar pasien juga terlibat secara aktif dan bertanggung jawab atas kesehatannya. Di samping itu bagi rumah sakit merupakan kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien.

Ruang Lingkup dan Pengaturan Hak Keluh

Pemikiran mengenai hak yang dimiliki manusia di dalam sejarah pemikiran hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan manusia itu sendiri dalam menilai arti penting dari hak. Paton menyebutkan bahwa terdapat hak yang timbul dari hukum dan ada juga hak yang timbul dari norma yang lain.4 Ruang lingkup hak dapat dibedakan menjadi hak yang dilindungi berdasarkan hukum (legal rights) dan ada juga hak yang tidak berdasarkan hukum tetapi berdasarkan norma yang lain. Keberadaan dari hak disini sangat bergantung pada hukum yang mengaturnya sebagai hak yang dilindungi ataukah tidak. Peran legislator menjadi sangat krusial ketika menentukan hak mana yang akan diatur atau dilindungi oleh Undang-undang. Sudikno Mertokusumo juga memberikan definisi tentang hak sebagai “kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi”5. Pandangan berbeda di kemukakan oleh Peter Mahmud yang menyatakan

4 G.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, Fourth Editions, 1972). 5Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

(10)

”Secara kodrati kehidupan bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia. Berdasarkan pemikiran ini tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang melekat pada manusia secara kodrati dan karena adanya hak inilah diperlukan hukum untuk menjaga kelangsungan eksistensi hak dalam pola kehidupan bermasyarakat.”6

Hukum di tempatkan sebagai alat yang berfungsi untuk menjamin eksistensi dan pelaksananaan hak yang dimiliki manusia karena memang pada dasarnya demikianlah tujuan hukum. Hukum dalam kaitannya dengan hak memiliki hubungan yang erat tetapi berada dalam kapasitas yang berbeda. Hak sebagai hal esensi (isi) sedangkan hukum seperti wadah yang menjaganya. Peter Mahmud menegaskan hubungan ini dengan mengatakan ”hukum diciptakan karena adanya hak”7 dan bukan sebaliknya. Jika ditinjau dari sisi penggunaan istilah ’hak’ dan ’hukum’ sendiri digunakan istilah ’recht’ dalam bahasa Belanda yang dibedakan menjadi subjectief recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum8. Oleh karena itu hak terlebih dahulu ada daripada hukum dan keberadaan hukum untuk menjaga pelaksanaan hak, termasuk didalamnya hak keluh.

Pengaturan hak keluh sebagai salah satu hak (subjectief recht) juga terdapat dalam Undang-undang lain, seperti berikut ini:

Tabel 5. Hak Keluh dalam Ketentuan Hukum Positif

NO. KETENTUAN HUKUM MACAM HAK Majelis Kehormatan Disiplin

6 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

Cetakan Pertama, 2008), hlm. 166

7Ibid

(11)

Kedokteran Indonesia

Data di atas menunjukkan bahwa sebenarnya pengakuan akan pentingnya hak keluh sebagai hak harus dilindungi pelaksanaanya. Hak keluh pada hakekatnya merupakan kekuasaan seseorang untuk memberikan tanggapan ketidakpuasan atas tindakan (prestatie) yang dilakukan seseorang berdasarkan perjanjian sebelumnya. Dari beberapa diatas hanya Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur atau bahkan menyebutkan secara khusus mengenai hak keluh. Hak keluh di dalam pasal 4 huruf d UU No. 8 Tahun 1999 mengatur ”hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” pada

dasarnya sesuai dengan asas keseimbangan dan tujuan perlindungan konsumen. Pengaturan hukum atas hak pasien sebagai konsumen juga diakui oeh Masyarakat Uni Eropa melalui Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG yang menyebutkan lima hak dasar konsumen:

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn economische belangen);

2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen);

3. Hak mendapatkan ganti rugi (recht op schadevergoedig) 4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming) 5. Hak untuk didengar9

9Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian

(12)

Terkait dengan hak keluh maka dari kelima hak konsumen diatas, hak keluh dapat digolongkan kedalam hak untuk didengar. Sedangkan tentang hak untuk didengar, Ahmadi Miru menjelaskan ruang lingkupnya

“Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tidak memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk”10

Konsumen ditempatkan sebagai salah satu pihak yang berhak atas prestasi yang merupakan kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya. Perlu dipahami bahwa hubungan hukum disini merupakan perikatan atau perjanjian bisnis yang tunduk dalam hukum keperdataan. Hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat dan apabila salah satu pihak tidak melakukan seperti apa yang diperjanjikan maka telah melakukan wanprestatie. Secara argumentum a contrario, prestatie di Pasal 1234 BW maka diperoleh 3 bentuk wanprestatie yaitu tidak memberikan sesuatu seperti apa yang diperjanjikan, tidak berbuat sesuatu dan berbuat sesuatu yang tidak sesuai perjanjian. Jika dikaitkan dengan Pasal 4 huruf d UU No. 8 Tahun 1999 maka tindakan pelaku usaha yang tidak sesuai dengan perjanjian dapat dikategorikan dalam tindakan yang berbuat sesuatu tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Sebagai catatan terdapat kondisi tertentu yang terjadi bahwa pelaku usaha sudah selesai melakukan prestasi, baru kemudian konsumen mengajukan keluhannya. Misalnya dalam transaksi jual beli, keluhan pembeli (konsumen) dilakukan setelah proses jual beli selesai dilakukan, pembeli menikmati barang yang dibeli lalu mengajukan keluhan atas hal-hal yang tidak sesuai. Lalu apakah konsep hak keluh Pasal 4 huruf d UU Perlindungan Konsumen dapat disamakan dengan hak keluh sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf r UU

10 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: RajaGrafindo

(13)

Rumah Sakit? Hubungan hukum antara pasien dan dokter melalui Rumah sakit merupakan hubungan terapeutik yang bertujuan mencari/menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter11. Jika dilihat dari sudut pandang perjanjian, Veronica Komalawati menyebutnya sebagai perjanjian penyembuhan karena memiliki obyek khusus yaitu pelayana medis atau upaya penyembuhan12. Hubungan terepeutik ini didasarkan atas hubungan kepercayaan dan standar profesi seorang dokter dan pelayanan rumah sakit menyangkut kesehatannya atau bahkan nyawanya. Ciri-ciri ini memang mirip dengan hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang mendasarkan hubungannya berdasarkan kepercayaan (itikad baik) dan standardisasi produk. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar yaitu hubungan terapeutik lebih didasarkan atas standar profesi kedokteran dan hubungan kepercayaan pelayanan kesehatan (Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 512/MENKES/PER/IV 2007). Berangkat dari kesepakatan inilah dokter sebagai tenaga kesehatan memberikan pengabdian secara maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan. Jadi pada dasarnya hubungan pasien-dokter (tenaga kesehatan) merupakan hubungan terapeutik berdasarkan kepercayaan dan pengabdian demi peningkatan kualitas kesehatan pasien. Perbedaan inilah yang sangat membedakan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen dengan rumah sakit (dokter) dan pasien. Oleh karena itu hubungan antara dokter dan pasien tidak dapat dimasukkan ke dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen.

Pemahaman hubungan terapeutik sebagai perjanjian penyembuhan memang dapat dikaji ke dalam aspek perdata sebagaimana diatur dalam Buku III BW secara khusus Pasal 1601 BW yang mengatur tentang perjanjian kerja untuk melakukan

jasa-11Hermien Hadiati Koeswadji, Asas-asas dan Permasalahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Implementasinya, Citra Aditya Bhakti, Cet. I, Bandung, 1992, hlm. 19

12Veronica D. Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan,

(14)

jasa tertentu yang salah satu pihak bersedia. Meskipu demikian perjanjian tersebut baru dikatakan sah secara hukum ketika memenuhi semua unsur dalam Pasal 1320 BW. Terkait dengan hal ini Bambang S. Ariadi menjabarkan Perjanjian penyembuhan ini kedalam 4 (empat) syarat sah perjanjian, sebagai berikut13:

1. Sepakat dari pihak yang saling mengikatkan dirinya (Toesteming van degene die zich verbinden). Dalam hubungan terapeutik diketahui dari Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) sebagaimana diatur tata caranya dalam PERMENKES RI No. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid omene verbindtenis aan te gaan). Dalam hubungan terapeutik tampak dalam kategori usia dewasa yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin serta dalam keadaan sadar dan sehat mental

3. Mengenai suatu hal tertentu (eene kepaald onderwerp). Unsur ketiga ini terlihat jelas dalam obyek perjanjian penyembuhan yaitu upaya yang dilakukan oleh dokter untuk menyembuhkan pasiennya;

4. karena suatu kausa yang sah (eene geoorloofde orzaak). Dikaitkan dengan Pasal 1337 BW maka perjanjian yang tidak sah karena dilarang Undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian penyembuhan merupakan perjanjian yang pada dasarnya untuk menyembuhkan pasien sehingga tidak melanggar Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.

Kajian aspek perdata terhadap perjanjian penyembuhan (transaksi terapeutik) lebih menunjukkan adanya perikatan atau perjanjian terapeutik yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Seperti dijelaskan Niewenhuis tentang jenis-jenis perikatan maka jenis perikatan yang timbul antara pasien dan dokter disebut Inspanning Verbitenis14 yang menjanjikan upaya yang terbaik dalam penyembuhan penyakit pasien dan bukan hasil yang diperjanjikan.

13Bambang Sugeng Ariadi, “Suatu Tinjauan Hukum Keperdataan dalam Transaksi

Terapeutik”, Yuridika, No. 2 & 3 Tahun XII, Maret-Juni 1997, hlm. 70 -73

14J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan , Terjemahan Djasadin Saragih,

(15)

Hal inilah yang menjadi dasar pembeda dari perjanjian yang timbul antara pasien dan dokter dengan perjanjian perdata pada umumnya.

Diaturnya hak keluh dalam Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 sebenarnya menimbulkan kerancuan dalam menilai hubungan terapetik sebagai hubungan pelayanan kesehatan menjadi hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang hanya dinilai dari segi bisnis. Pengajuan hak keluh ini diberikan oleh pasien setelah menerima pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit. Waktu pengajuan hak keluh ini dapat diberikan selama pasien menerima pelayanan kesehatan maupun setelah pelayanan kesehatan selesai dilakukan yang didasarkan atas standar pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkan.

Standar pelayanan rumah sakit dalam peraturan hukum di bidang kesehatan lebih dikenal dengan ”Standar Prosedur Opersional” sebagaimana disebut Pasal 1 angka 10 PERMENKES No. 512/MENKES/PER/IV/2007:

”Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”

Sedangkan standar profesi sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 9 PERMENKES No. 512/MENKES/PER/IV/2007:

”Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.”

(16)

Jika dikaji lebih lanjut keberadaan hak keluh dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 justru merupakan standar tata kelola klinis Rumah Sakit yang baik. Pasal 36 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan setiap ”Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik” mengenai tata kelola klinis sendiri dalam bagian Penjelasan Pasal 36 dijabarkan sebagai berikut:

“Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah sakit. (garis bawah dari penulis, HC.)”

Kesimpulannya, hak keluh pasien merupakan hak yang harus diakui oleh Rumah Sakit untuk selanjutnya dikelola dengan profesional karena merupakan bagian penting dari tata kelola klinis yang memenuhi standar. Pasien dapat mengajukan atau menyampaikan keluhannya terkait kekurangan pelayanan yang didasarkan atas standar pelayanan yang ada secara langsung pada rumah sakit sebagai pemberi layanan kesehatan. Pengaturan berbeda terdapat dalam pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009, hak keluh tidak disampaikan kepada pemberi pelayanan tetapi secara tidak langsung kepada masyarakat luas melalui media cetak dan media elekronik. Hak pasien untuk menyampaikan keluhan atas pelayanan kesehatan rumah sakit melalui media cetak dan elektronik ini sangat baru dan tidak konsisten jika dikaitkan dengan semangat Undang-undang Rumah Sakit.

(17)

Penyampaian hak keluh melalui media massa jelas sangat merugikan nama baik Rumah sakit yang telah dibangun sejak lama. Memang secara khusus Rumah sakit diberikan hak untuk mengugat pihak yang menyebabkan kerugian baik secara materiil maupun imateriil (Pasal 30 huruf e UU No. 44 Tahun 2009) tetapi dampak kerugian atas keluhan yang merusak nama rumah sakit jelas tidak dapat dinilai dengan uang. Inkonsistensi pengaturan juga dapat dilihat dalam pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 yang mengharuskan penyelesaian sengketa melalui mediasi bukan dengan penyampaian keluhan media massa (pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto. Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009).

Hak keluh yang dimiliki pasien ini pada prakteknya sangat berpotensi untuk disalahgunakan. Seorang pasien yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan rumah sakit dapat secara langsung memberitakan hal ini di media massa tanpa harus meminta keterangan dari Rumah sakit. Bagi pihak Rumah Sakit pengaturan ini mempunyai dampak negatif terhadap nama baik yang dimilikinya karena hanya dalam waktu sekejap nama baik (good will) pelayanan rumah sakit langsung hancur. Sebenarnya UU No. 44 Tahun 2009 memberikan perlindungan hukum juga bagi Rumah sakit dalam hal terdapat keluhan pasien melalui Pasal 44 tentang hak jawab rumah sakit.

Akibat Hukum dari Hak Keluh Pasien

(18)

akibat hukum atas pelaksanan hak keluh ini, baik bagi pasien maupun rumah sakit. Bagi pasien yang menggunakan hak keluh dan menginformasikannya melalui media massa telah dianggap melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum (pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009). Ini berarti ketika pasien menginformasikan keluhannya melalui media massa maka pada saat itu juga ia sudah tidak mempunyai perlindungan hukum atas kerahasiaan informasi medis pada rumah sakit tersebut. Sedangkan bagi rumah sakit, adanya penginformasian hak keluh melalui media massa menjadi dasar kewenangan rumah sakit untuk membuka rahasia kedokteran yang dimiliki pasien sebagai hak jawab. Dengan demikian terdapat satu alasan lagi bagi rumah sakit (atau dalam hal ini dokter) untuk membuka rahasia medis seseorang (pasien) atas dasar penginformasian hak keluh melalui media massa (cetak dan elektronik). Mengenai hal “rahasia pekerjaan dokter” ini Soedarto memberikan ruang lingkup yang sangat luas dengan menyebutkan:

“Jadi Rahasia dokter tidak hanya meliputi apa yang diberitahukan atau yang dipercayakan kepadanya. Lazimnya termasuk rahasia pekerjaan dokter ialah: segala sesuatu yang diketahui oleh seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya dank arena keilmuannya sebagai dokter.”15

Dokter sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit tidak hanya bertanggungjawab sebatas apa yang disampaikan pasien kepadanya tetapi juga segala informasi terkait dengan sakit pasien dan ilmu kedokteran yang dikuasainya. Rahasia pekerjaan dokter atas pasien inilah yang harus dijaga secara penuh oleh dokter (rumah sakit) agar tidak tersebar secara luas. Pada dasarnya kewajiban ini merupakan tuntutan kepentingan masyarakat atas adanya kepercayaan penuh pada profesi dokter16. Jika dikaitkan dengan alasan tidak berlakunya perlindungan hak atas rahasia pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 maka

(19)

penyampaian hak keluh melalui media massa termasuk dalam perintah undang-undang. Sekaligus merupakan pembenar dari tindakan rumah sakit karena harus membuka rahasia kedokteran yang tidak dilarang dibuka berdasarkan Pasal 322 ayat (1) KUHP. Sianturi menegaskan subyek dari Pasal 322 ayat (1) KUHP bahwa

“…subyek dari delik ini hanyalah terbatas kepada yang mempunyai jabatan/pencaharian tersebut dan yang wajib merahasiakanya….Seseorang wajib menyimpan rahasia baik karena ditentukan di suatu perundangan maupun karena ia diinstruksikan untuk itu ataupun hal itu ternyata dari sifat jabatan atau pencahariannya”17

Pencaharian atau jabatan yang dimiliki oleh seseorang menjadi suatu syarat keharusan bagi seseorang untuk merahasiakan segala informasi yang diketahuinya, baik keilmuan atau informasi tentang seseorang yang dilayaninya. Oleh karena Pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 memberikan hak jawab bagi rumah sakit untuk membuka rahasia pasien yang menginformasikan keluhannya kepada media cetak/elektronik.

Tujuan perintah undang-undang ini sudah jelas untuk memberikan perlindungan hukum bagi rumah sakit atas tindakan yang merugikan kepentingannya (dalam hal ini nama baiknya). Perlu digaris bawah suatu akibat hukum yang cukup unik diatur dalam pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 bahwa pasien yang semula berkehendak untuk mengajukan keluhan tentang pelayanan rumah sakit secara tidak langsung harus menyetujui kerugian besar berupa kehilangan hak rahasia kedokterannya. Sedangkan disisi lain secara otomatis rumah sakit mendapatkan hak jawab dan alasan pembenar dari Pasal 44 ayat (3) UU No. 44 Tahun 2009 untuk membuka rahasia kedokteran dari pasien yang bersangkutan.

Pengaturan Pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009 tersebut jelas membawa konskuensi lebih lanjut bagi hubungan pasien dengan rumah sakit yang semula hanya

17S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM,

(20)

bersifat privasi menjadi bersifat publik. Jika semula ketidakpuasan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit berada dalam ruang lingkup hukum perdata bisa berubah ke dalam ruang lingkup hukum pidana manakala rumah sakit menuntut pasien karena dinilai melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik. Penyampaian hak keluh sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009 sebagai tindakan hukum pasien jelas membawa dampak bagi hubungan dokter dan pasien. Ketidakpuasan pasien yang dimanifestasikan dalam hak keluh tersebut apabila berlebihan akan memicu ketidakpercayaan dalam ikatan dokter-pasien sehingga dokter akan lebih defensif18 dalam melakukan pelayanan kesehatan.

Seperti terjadi pada Kasus Prita v. Rumah Sakit Omni Internasional19, Prita sebagai pasien setelah mendapatkan pelayanan kesehatan dari pihak Rumah sakit merasa tidak puas selanjutnya menyampaikan keluhannya melalui surat elektronik berupa email kepada 20 orang temannya yang mengungkapkan buruknya pelayanan kesehatan yang dialaminya selama dirawat di RS Omni Internasional dan ditangani dr. Hengky Gosal dan dr. Grace H. Yarlen. Penyampaian informasi ini dinilai pihak Rumah sakit sebagai pencemaran nama baik dan sangat merugikan rumah sakit. Rumah sakit pun mengajukan tuntutan atas perbuatan Prita denga Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan Primair melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dakwaan Subsidair melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada putusannya menyatakan bahwa Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

18Roberia dan Evie Flamboyan Minanda, “Implikasi Tuntutan Hukum Malpraktik yang

dilakukan Pasien terhadap Dokter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan Vol. 2 No. 4 Tahun 2009, hlm. 91

19Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:

(21)

sebagaimana didakwakan Penuntut Umum. Putusan tersebut diberikan dengan pertimbangan bahwa apa yang dilakukan Prita dengan menuliskan keluhannya kepada 20 temannya merupakan bentuk kritik atas pelayanan rumah sakit dan dua orang tenaga kesehatan bukan perbuatan pencemaran nama baik. Jika ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen, Hak untuk berkeluh kesah ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan adanya hak untuk didengar keluhannya oleh pelaku usaha. Ahmad Rifai menegaskan penyampaian informasi melalui email yang dilakukan Prita Mulyasari pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan dari hak konsumen dalam menyatakan pendapatnya apalagi dalam kasus ini Prita tidak mendapatkan akses dalam menyalurkan keluhannya ini pada RS Omni Internasional.20 Tapi perlu diingat dalam kasus ini Prita sebagai konsumen tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan keluhannya dan memperoleh hak akses informasi dari RS Omni Internasional. Baru setelah itu ia melakukan pengiriman informasi berisi keluhan melalui email kepada teman-temannya. Tindakan Prita ini pada dasarnya dapat dibenarkan secara prosedur karena Prita tidak langsung mengirimkan keluhannya kepada pihak ketiga. Perlu diperhatikan bahwa Pasal 310 ayat (3) KUHP sebenarnya memberikan pengecualian perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP sebagai tindakan untuk membela diri atau demi kepentingan umum. Seperti ditegaskan dalam H.R. 26 Nop. 1934, N.J. 1935, 211, W. 12854; 17 Jan 1938, 1938 No. 957, “Apabila publikasi itu adalah untuk kepentingan umum, maka si pelaku harus menyebutkannya secara cukup. Dengan menyalahkan seseorang dengan mempergunakan perkataan-perkataan yang bernada marah, tidaklah dapat kepentingan umum itu dikatakan dibela.”21 Sedangkan untuk menentukan ada atau tidaknya hal penghapus pidana ini dijelaskan “mengenai

20Ibid

21P.A.F. Lamintang & C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Cetakan II,

(22)

persoalan apakah si pelaku telah bertindak untuk kepentingan umum ataupun untuk membela diri hanya terpaksa, terletak pada pertimbangan Hakim dan tidak pada pengelihatan subjektip dari si pelaku.” (H.R. 11 Maret 1901, W. 7579; 31 Okt. 1898, W. 7196)22. Justru perbuatan rumah sakit tersebut menurut Sudiman Sidabukke merupakan penyimpangan hukum yang melanggar Ketentuan Pasal 28 UUD 1945, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1928, Pasal 2 UU Pers, Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Hak Asasi Manusia bahkan Pancasila dan UUD 194523 terkait pelanggaran hak asasi manusia.

Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 seolah memberikan kesempatan secara langsung kepada pasien untuk mengungkapkan keluhannya ke media cetak dan elektronik yang tentu saja akan menimbulkan dampak negatif dikemudian hari. Sekali lagi keberadaan pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 ini sangat tidak konsisten dengan semangat perlindungan hukum yang seimbang baik bagi pasien maupun rumah sakit. Pengaturan hak keluh dan mekanisme perlindungan hukum bagi rumah sakit atas hak keluh justru akan menciptakan permasalahan baru, terutama dalam hal kepastian hukum. Memang hak keluh pasien dilindungi pelaksanaannya oleh Undang-undang Rumah Sakit namun hal ini justru semakin tidak konsisten manakala atas penyampaian hak keluh ini pasien kehilangan hak kerahasiaannya. Padahal pelaksanaan hak keluh ini sangat dilindungi oleh Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009. Terlebih jika dikaitkan dengan Pasal 44 ayat (2) dan (3) UU No 44 Tahun 2009, hak keluh yang dimiliki pasien seolah dipandang bermuatan negatif bagi nama baik Rumah Sakit sehingga ketentuan hukum ini memberikan akibat hukum yang sangat merugikan bagi pasien. Hak keluh melalui media cetak/elektronik pada

22Ibid, hlm. 188

23Sudiman Sidabukke, “Penyimpangan Hukum Kasus Prita Mulyasari”, Jurnal Yustika, Vol.

(23)

dasarnya berisi pendapat, saran dan kritik atas pelayanan rumah sakit yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi kemajuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit harus bisa membuka diri terhadap keluhan yang disampaikan konsumen dan bersikap professional dalam menanggapi keluhan pasien. Bukan malah mengancam akan membuka hak pasien atas rahasia kesehatan yang dimilikinya. Jadi pengaturan pasal 44 ayat (2) dan (3) UU No. 44 Tahun 2009 sangat tidak konsisten dengan Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 yang menjamin hak keluh pasien dan standar operasional (tata kelola) rumah sakit yang baik seperti diatur dalam Pasal 36 UU No. 44 Tahun 2009.

Mekanisme Penyampaian Keluhan Pasien dan Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi

Setiap penyelesaian sengketa pada dasarnya harus dilakukan dengan efektif sehingga menghasilkan keserasian kepentingan. Soerjono Soekanto menegaskan prinsip ini dengan “keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan kesehatan.”24 Hak keluh pun harus dilakukan dengan baik menurut mekanisme yang sudah ditetapkan. Belajar dari kasus Prita v. Rumah Sakit Omni Internasional, hak keluh bagi pasien memang sangat diperlukan baik bagi perlindungan hak pasien atas pelayanan kesehatan yang sesuai standar maupun peningkatan tata kelola klinis Rumah sakit supaya lebih profesional. Mengingat hak keluh seperti diatur dalam Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 merupakan hak keluh yang sangat beresiko

(24)

menimbulkan kerugian maka pengaturan mekanisme yang jelas terhadap penggunaan hak ini mutlak dibutuhkan.

Berangkat dari pemahaman awal akan hakekat hubungan pasien dan dokter (rumah sakit) merupakan hubungan terapeutik yang bersifat privasi demi peningkatan kesehatan maka hubungan hukum yang lahir adalah hubungan keperdataan yang bersifat rahasia. Rumah sakit melalui dokter (tenaga kesehatan) harus memberikan informasi Standar pelayanan kesehatan Rumah Sakit terkait dengan pelayanan kesehatan yang akan diterimanya. Ketika terdapat ketidakpuasan atas pelayanan kesehatan yang diterima maka pasien tidak boleh serta merta melakukan protes ataupun pernyataan tidak puas (keluhan) pada rumah sakit tetapi pasien harus bertanya kepada tenaga kesehatan atau bagian informasi Rumah sakit. Apabila pasien masih tetap belum puas maka tahapan dilanjutkan pada mediasi seperti diatur dalam Pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto. Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009.

(25)

mekanisme inilah yang seharusnya diatur dalam Undang-undang Rumah Sakit sehingga tidak terjadi permasalahan lebih lanjut.

Bagan. Mekanisme Penyampaian Keluhan Pasien

Penutup

Hak keluh yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 menimbulkan permasalahan tersendiri di dalam hal penyelesaian sengketa pasien atas pelayanan kesehatan. Di satu sisi pasien mempunyai hak yang kuat untuk menginformasikan hal-hal yang tidak memuaskan terkait pelayanan kesehatan yang dimilikinya. Sedangkan disisi lain, pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009 justru memberikan penjelasan akibat hukum atas penginformasian hak keluh oleh pasien berupa hilangnya hak atas rahasia yang dimiliki oleh pasien. Kedua pengaturan ini jelas sangat tidak bersesuaian dengan perlindungan hak pasien sendiri dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Bagi rumah sakit, keberadaan hak keluh ini menimbulkan dampak negatif bagi nama baik yang dimiliki rumah sakit tidak hanya dalam waktu sementara tetapi jangka waktu yang sangat lama. Penyelesaian sengketa

(26)

yang timbul baik atas pengaduan atau masalah kerugian dari hubungan pasien dan dokter seharusnya diupayakan secara damai melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto. Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009. Oleh karena itu pemahaman akan mekanisme pengajuan pegaduan, keluhan hingga penyelesaian sengketa yang timbul sangat penting demi tercipta kepastian hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh pasien dan rumah sakit.

Daftar Pustaka

Badrulzaman,Meriam Darus, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian baku, dalam Hasil Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan BPHN. Jakarta: Bina Cipta, 1986

Koeswadji, Hermien Hadiati, Asas-asas dan Permasalahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Implementasinya, Citra Aditya Bhakti, Cet. I, Bandung, 1992

Komalawati, Veronica D., Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Pertama, 2008

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986

Miru, Ahmadi & Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004

Niewenhuis, J.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan , Terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, 1985

Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence Oxford: Clarendon Press, Fourth Editions, 1972

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumi, 1986

Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, 1983

Jurnal Hukum

Ariadi, Bambang Sugeng, “Suatu Tinjauan Hukum Keperdataan dalam Transaksi Terapeutik”, Yuridika, No. 2 & 3 Tahun XII, Maret-Juni 1997

Roberia dan Maimunah, Siti,. “Cakupan Hak Asasi Manusia bidang Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 2 No.4 Tahun 2009

(27)

Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 2 No. 4 Tahun 2009

Sidabukke, Sudiman, “Penyimpangan Hukum Kasus Prita Mulyasari”, Jurnal Yustika, Vol. 12, No.1, Surabaya, Juli 2009

Gambar

Tabel 2.Hak-hak Bidang Kesehatan berdasarkan International Covenant2
Tabel 3. Hak di bidang kesehatan dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tabel 4. Hak-hak Bidang Kesehatan yang tercantum dalam UUPK3
Tabel 5. Hak Keluh dalam Ketentuan Hukum Positif

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Rangga Handika Saputra, dkk yang berjudul Perbedaan hasil belajar siswa ditinjau dari motivasi belajar siswa dengan menggunakan

Ketika mendiskusikan bacaan, guru dan tenaga pendidik dapat mengajak siswa untuk membicarakan kekuatan cerita, menganalisis tokoh dan elemen lain dalam bacaan agar menumbuhkan

Kabupaten Manokwari merupakan kota yang memiliki Hutan Rawa terendah di Provinsi Papua Barat hal ini dikarenakan Kabupaten Manokwari telah mengalami perubahan tutupan

Semakin tinggi indeks sel plasma dalam tubuh penderita Multiple Mieloma yang diukur pada pemeriksaan khusus maka semakin buruk prognosisnya.. Sebaliknya jika

Banjarbaru dan Martapura Kab. Prakiraan cuaca dari BMKG Syamsudin Noor Banjarmasin untuk tanggal 28 Juli 2017 terlampir. Patroli darat NIHIL. Patroli udara ke wilayah

Tujuan dari penelitian adalah (1) untuk mengetahui fluktuasi perubahan bobot serasah lantai hutan selama proses dekomposisi dan kecepatan dekomposisi serasah lantai

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar glukosa darah yang tinggi dan lokasi lesi di hemisfer kiri berhubungan dengan beratnya tingkat defisit

Dari teknik ini peneliti akan memperoleh data-data yang berkaitan dengan penerapan permendiknas nomor 22 tahun 2006, baik itu berupa dokumentasi hasil