• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Risiko Labuh Jangkar Kapal Ter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penilaian Risiko Labuh Jangkar Kapal Ter"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Penilaian Risiko Labuh Jangkar Kapal Terhadap Kerusakan

Terumbu Karang Dengan Simulasi Monte Carlo

di Wilayah Kepulauan Raja Ampat – Papua Barat

Yasser Arafat1*, Raja Oloan Saut Gurning 2, Trika Pitana 3

Akademi Perikanan Sorong, Sorong, Indonesia1*

Email : yass30mp@gmail.com

Institut Teknologi Sepuluh Nopember,Surabaya, Indonesia2

Institut Teknologi Sepuluh Nopember,Surabaya, Indonesia 3

Abstrak

Penyebab rusaknya terumbu karang antara lain dari pelemparan jangkar kapal. Tahun 2012 sebanyak 40 buah kapal liveaboard beroperasi di Raja Ampat dengan 168 trip selama 3 tahun, rerata trip pertahun 5,26 per kapal. Aktifitas labuh jangkar sekitar sekali dalam sehari, apabila per trip menghabiskan tujuh hari dilokasi maka setiap kapal melakukan labuh jangkar sebanyak tujuh kali. Jumlah labuh jangkar per kapal liveaboard sebanyak 1178,3 kali dengan rerata 36,8 kali pertahun. Dari wawancara diketahui setiap trip jangkar yang tersangkut atau menimpa karang sebanyak 1 sampai 2 kali dengan demikian diketahui rerata jangkar menimpa karang per trip sebanyak 1,34 kali dan per tahunnya 16,9 kali. Pengelompokan kapal berdasarkan luas proyeksi jangkar menunjukkan kelompok kapal E memiliki persentese kerusakan karang 0,000301% atau 269,1 m2 pertahun, sedangkan kelompok A memiliki

persentese 0,000009% atau 8,22 m2 pertahun. Dari simulasi Monte Carlo dengan frekuensi 1000 iterasi, rerata

kerusakan pertahun adalah 0,000132 %. Kerusakan minimal -0,000233 % dan maksimal 0,000439 %. Dari matriks resiko terlihat kelompok kapal A, B, D, E, F, G berada pada level high risk, dikarenakan frekeansinya sering terjadi meskipun tingkat kerusakan tidak signifikan. Sedangkan kelompok kapal C pada level moderat, artinya frekuensi mungkin terjadi sekali dalam sebulan sampai setahun dengan konsekuensi tidak signifikan

.

Kata kunci :Raja Ampat, Terumbu Karang, Liveaboard, Labuh Jangkar, Frekuensi, Konsekuensi, Monte Carlo, Resiko

1. Pendahuluan

Keanekaragaman hayati laut tropis yang dimiliki kabupaten Raja Ampat diperkirakan yang terkaya di dunia pada saat ini. Berdasarkan hasil Rapid Asessment Program yang dilakukan oleh tim Conservation International (CI) disebutkan bahwa kabupaten Raja Ampat memiliki keanekaragaman 456 spesies jenis karang keras, 699 spesies moluska, dan 972 spesies ikan karang.

Dengan tingginya biodiversity tersebut, mengindikasikan bahwa aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan di kabupaten Raja Ampat akan bersentuhan langsung dengan keberadaan sumberdaya terumbu karang.

Selain itu, sumberdaya laut di kabupaten Raja Ampat yang potensial dan sudah dikembangkan adalah wisata bahari seperti penyelaman (diving), berenang/ snorkeling sehingga menjadi tujuan utama bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara dengan menggunakan kapal liveaboard. Pada tahun 2006, keberadaan kapal liveaboard di kabupaten Raja Ampat yang dicatat masih sangat sedikit, tetapi dalam kurun lima tahun terakhir jumlah kapal liveaboard yang beroperasi di kawasan ini mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2010 ada lebih dari 20 kapal liveaboard

yang beroperasi secara reguler atau permanen di Raja Ampat (Wilson, et.al, 2006, hal.32).

Kapal – kapal liveaboard ini umumnya berbentuk kapal tradisional pinisi yang memuat 10 hingga 20 orang penumpang dengan lama satu tripnya antara 1 sampai 2 minggu. Di lokasi penyelaman ini, kapal liveaboard melakukan olah gerak untuk mendapatkan posisi yang tepat untuk dapat labuh jangkar. Kegiatan pariwisata yang tidak terkontrol seperti frekuensi buangan jangkar yang tinggi dapat menyebabkan ancaman besar bagi terumbu karang sehingga mengakibatkan penurunan nilai penutupan terumbu karang.

2. Metode yang diterapkan

(2)

Frekuensi labuh jangkar disimulasikan menggunakan simulasi Monte Carlo dengan iterasi sebanyak 1000 kali. Sedangkan penilaian resiko dengan pendekatan kualitatif menggunakan standar AS/NZS 4360:2004 Risk Management untuk menentukan tingkat resiko kerusakan karang sebagai akibat dari frekuensi labuh jangkar kapal dan kriteria kualitas tutupan karang hidup menurut Sukmara et.al. (2001, hal.30-31) sebagaimana terlihat pada Tabel 1. berikut :

Menurut Sukmara et.al.(2001), untuk 0-10% tutupan karang hidup adalah kategori 1 dengan kriteria sangat rendah, 11-30% karang hidup adalah kategori 2 dengan kriteria rendah. Dan seterusnya kategori 5 yaitu tutupan karang hidup 76-100% dengan kriterian sangat tinggi.

2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terbatas pada distrik Waigeo Selatan. Lokasi ini diambil karena dari 10 distrik yang ada di kabupaten Raja Ampat, distrik Waigeo Selatan memiliki spot penyelaman terbanyak dibanding distrik yang lain. Dalam peta potensi wisata yang dibuat oleh Coservation International tahun 2006 (Gambar 1.) teridentifikasi sebanyak 7 spot penyelaman yang sering di kunjungi oleh kapal-kapal pariwisata di Distrik Waigeo Selatan.

Gambar 1. Peta Spot Diving di Distrik Waigeo Selatan Tahun 2006

Dikarenakan kurangnya data mengenai luas area yang menjadi tujuan penyelaman (spot penyelaman), maka dilakukan perkiraan luas area dengan menggunakan google earth. Luas area spot-spot ini kemudian ditabulasi untuk mendapatkan luas keseluruhan area yang berpeluang menjadi area labuh jangkar seperti terlihat pada Tabel 2. Luas area 179,080,941 m2

ini bukan luasan sebenarnya tapi dalam penelitian ini diasumsikan agar dapat mengetahui luas area karang yang berpotensi rusak akibat labuh jangkar.

Tabel 2. Luas Area Operasi

2.2. Kapal Pariwisata (Liveaboard)

Menurut data yang diperoleh bahwa sebanyak 40 buah kapal mendapatkan ijin untuk beroperasi di Raja Ampat dan pada tahun 2012. Dari ke 40 kapal tersebut, 8 kapal tidak memiliki data yang lengkap sehingga hanya 32 kapal dengan data lengkap tersebut yang menjadi objek penelitian.

3. Perhitungan Frekuensi Labuh Jangkar

Untuk mengetahui frekuensi labuh jangkar kapal liveaboard maka diperlukan data trip kapal-kapal tersebut. Data trip ini bersumber dari data kedatangan turis asing maupun domestik yang tercatat di Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat. Data tersebut kemudian di rekapitulasi selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2010, 2011 dan 2012. Dari wawancara dengan beberapa sumber, diketahui bahwa satu trip perjalanan menghabiskan waktu sekitar 10 hari dengan 7 hari efektif di lokasi penyelaman. Dari perhitungan diketahui jumlah trip selama 3 tahun sebanyak 168 trip dengan rerata pertahun 5,26 labuh jangkar selama 3 tahun sebanyak 1178,3

kali, dengan rerata 36,8 kali pertahun/ kapal. Hasil wawancara dengan 5 orang responden crew dari masing-masing kapal bahwa jangkar yang tersangkut atau menimpa karang sebanyak 1 sampai 2 kali/ trip. Dengan demikian dapat diketahui rerata jangkar jatuh menimpa karang sebanyak 1,34 kali/ trip atau 16,9 kali/ tahun.

3.1. Perhitungan Luas Proyeksi Jangkar

Luas proyeksi jangkar digunakan sebagai acuan untuk mengetahui luas kerusakan karang yang akan ditimbulkan. Luas proyeksi jangkar diasumsikan sebagai luas bangun layang-layang, sedangkan rumus luas layang-layang adalah :

1 2

Tabel 1. Kategori Tutupan Karang

Kategori

5 76 – 100 Sangat tinggi

Sumber : Sukmara et.al. (2001)

Kode Spot Luas Area (m²) Distrik

(3)

Tinggi jangkar (AC) dan lebar lengan jangkar (BD) diperoleh dari pengukuran langsung dilapangan serta wawancara dengan crew kapal, sehingga luas proyeksi jangkar dari masing-masing kapal dapat dihitung.

3.2. Perhitungan Potensi Kerusakan Karang

Perhitungan potensi kerusakan karang akibat aktifitas labuh jangkar secara modeling menurut Creed and Filho (1999) dan Williams (1988) dalam Saphiera dan Hoffmann (2005) adalah 0,16 m2. Dalam penelitiannya, Creed and Filho

(1999, hal.289) tidak menggunakan jangkar yang sebenarnya melainkan mensimulasikannya dengan sebuah benda berukuran panjang 20 cm dan lebar 5 cm. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai 0,16 m2 adalah luas

kerusakan karang yang disebabkan oleh benda dengan luas proyeksi 50 cm2,maka untuk tiap 1

cm2 luas proyeksi jangkar luas kerusakannya kerusakan karang akibat aktifitas labuh jangkar, nilai kerusakan karang 0,0032 m2 dikalikan dengan luas proyeksi jangkar sebenarnya dari masing-masing kapal maka didapat rerata potensi kerusakan per drop adalah 44,5 m2.

3.3. Pengelompokan Kapal

Pengelompokan kapal berdasarkan luas proyeksi jangkar dilakukan untuk mengetahui dari kelompok kapal mana yang memiliki potensi resiko paling besar terhadap kerusakan karang. Sehingga terbentuk 7 kelompok kapal terdiri dari kelompok A (A = 4.000 cm2), kelompok B (A =

7.362,5 cm2), kelompok C (A = 8.000 cm2),

kelompok D (13.600 cm2), kelompok E (A =

15.300 cm2), kelompok F (A = 16.187,5 cm2) dan

kelompok G (A = 17.100 cm2).

Dari ke-7 kelompok ini kemudian dihitung rata-rata trip per tahun, rata-rata jangkar kena karang per trip, rata-rata jangkar kena karang per tahun, persentase rata-rata jangkar yang kena karang per trip dan rata-rata kerusakan per luas jangkar per drop. Dengan model yang digunakan Saphiera dan Hoffmann (2005) diketahui persentese kerusakan karang dari masing-masing kelompok kapal.

Gambar 2. Diagram Persentase Kerusakan Karang Akibat Labuh Jangkar per Tahun di Raja Ampat

Gambar 2. menunjukan kelompok kapal E memiliki persentase kerusakan terumbu karang akibat labuh jangkar terbesar yaitu 0,000301%

atau seluas 269,1m2/ tahun, sedangkan kelompok kapal A memiliki persentese terkecil yaitu

0,000009% atau seluas 8,22m2/ tahun.

4. Pembahasan Hasil

4.1. Aplikasi Metode Simulasi Monte Carlo

Simulasi Monte Carlo dengan RiskSim software dimaksudkan untuk melakukan forecasting tingkat kerusakan karang akibat labuh jangkar dengan percobaan apabila jangkar dijatuhkan sebanyak seribu kali dalam satu tahun.

Variabel yang harus ditentukan dalam simulasi ini adalah data rata-rata persentase kerusakan karang pertahun dan standar deviasinya kemudian menentukan angka random dari nilai tersebut , sebagaimana terlihat pada BD = Lebar lengan jangkar

A

=

1

Tabel 3. Data Input Simulasi Monte Carlo

Kelompok Kapal Kerusakan /tahun (%)

(4)

Dengan menggunakan program excel maka didapatkan nilai persentase rata-rata kerusakan pertahun dari ketujuh kelompok kapal adalah 0,000142 dengan standar deviasi sebesar 0,00011117 sedangkan angka randomnya adalah 0,000209. Setelah nilai input tersebut didapatkan maka, simulasi dapat dilakukan sehingga diperoleh nilai hasil forcasting yaitu rata-rata kerusakan karang dalam setahun adalah sekitar 0,000132% dengan standar deviasi 0,000115. Kerusakan minimal adalah -0,000233%. Quartile adalah jika distribusi dibagi menjadi 4 bagian, maka masing-masing distribusi dibagi menjadi 25 persen sebagaimana Tabel 4. berikut :

Quartile pertama 0,000058% adalah nilai kerusakan karang yang terjadi dari 25% labuh jangkar per 1000 kali labuh jangkar. Median atau Quartile kedua 0,000128% adalah nilai kerusakan karang yang terjadi dari 50% labuh jangkar per 1000 kali labuh jangkar. Quartile ketiga 0,000210% adalah nilai kerusakan karang yang terjadi dari 75% labuh jangkar per 1000 kali labuh jangkar dan nilai maksimal kerusakannya adalah 0,000439%.

Gambar 3. Diagram Persentase Kerusakan Karang Akibat Labuh Jangkar per Tahun di Raja Ampat

Hasil lain dari simulasi adalah Skewness atau ukuran simetri bentuk kurva, dimana pada distribusi normal nilainya adalah 0. Nilai Skewness negatif yang terlihat pada Tabel 3. adalah (-0,0256), mengindikasikan bahwa ekor dari kurva distribusi hasil simulasi Monte Carlo ini lebih condong ke arah kiri atau data cenderung berdistribusi normal sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 4. Grafik Histogram Frekuensi Labuh Jangkar dan Kerusakan Karang per Tahun di Raja Ampat

Grafik histogram (Gambar 4.) diatas menggambarkan probabilitas dari frekuensi labuh jangkar dan kerusakan/tahun hasil simulasi Monte Carlo. Disini terlihat bahwa kelompok kapal A dengan nilai kerusakan karang 0,000009% memiliki nilai probabilitas 63, kelompok kapal B dengan nilai kerusakan karang 0,000067% memiliki nilai probabilitas 68, kelompok kapal C dengan nilai kerusakan karang 0,000023% memiliki nilai probabilitas 47, kelompok kapal D dengan nilai kerusakan karang 0,000164% memiliki nilai probabilitas 80, kelompok kapal E dengan nilai kerusakan karang 0,000301% memiliki nilai probabilitas 35, kelompok kapal F dengan nilai kerusakan karang 0,000232% memiliki nilai probabilitas 69 dan kelompok kapal G dengan nilai kerusakan karang 0,000197% memiliki nilai probabilitas 77.

4.2. Frekuensi Jangkar Kena Karang

Pada Tabel 5., nilai frekuensi labuh jangkar 76 adalah rata-rata jumlah labuh jangkar untuk kelompok kapal A yang terdiri dari 4 (empat) buah kapal. Nilai frekuensi labuh jangkar 151 adalah rata-rata jumlah labuh jangkar untuk kelompok kapal B yang terdiri dari 2 (dua) buah kapal dan seterusnya. Nilai frekuensi labuh jangkar ini kemudian dikalikan dengan nilai probabiliti dari hasil simulasi sehingga dapat diketahui frekuensi jangkar yang kena karang.

Setelah diketahui frekuensi jangkar yang kena karang maka dapat ditentukan level frekuensi tersebut berdasarkan standar Australia (AS/NZS 3460 : 2004), sebagaimana terlihat pada Tabel 6. berikut :

Tabel 4. Hasil Simulasi Resiko Monte Carlo

Statistic Forecast Value

Tabel 5. Frekuensi Jangkar Kena Karang

(5)

Kelompok kapal A, B, D, E, F dan G memiliki frekuensi antara 4,78 sampai 73,9 kali, sehingga tergolong dalam level A standar Risk Management Australia (AS/NZS 3460 : 2004) yang mendefinisikan bahwa frekuensi terjadi lebih dari sekali per bulan atau dapat dikatakan sering terjadi dengan konsekuensi diperkirakan terjadi di sebagian besar keadaan. Sedangkan untuk kelompok kapal C berada pada level B karena memiliki frekuensi 1,22 kali, dimana menurut standar Australia (AS/NZS 3460 : 2004), frekuensi terjadi sekali setiap 1 bulan - 1 tahun atau mungkin terjadi dalam keadaan apapun.

4.3. Konsekuensi Kerusakan Karang

Pada pengelompokan kapal telah dihitung konsekuensi persentase kerusakan karang dari masing-masing kelompok kapal sehingga jika kelompok kapal yang melakukan aktifitas labuh jangkar menimbulkan kerusakan karang antara 0,000009% sampai 0,000301%. Sehingga jika dikurang dengan 100% maka tutupan karang hidup berkurang dikisaran 99.99%. Ini mengindikasikan kerusakan karang akibat labuh jangkar tergolong masih sangat rendah.

Dengan demikian konsekuensi kerusakan dapat dibuat kategorinya dengan menggunakan kriteria kualitas tutupan karang hidup menurut Sukmara et.al. (2001) yang mana kriteria ini telah dimodifikasi sehingga

menyesuaikan penelitian ini. Kemudian kriteria ini dikombinasikan dengan standar konsekuensi menurut standar Risk Management Australia (AS/NZS 3460 : 2004) seperti terlihat pada tabel berikut :

Untuk kategori kerusakan, pada Tabel 8. terlihat bahwa semua kelompok kapal berada pada rangking 1. Hal dikarenakan persentase kerusakan karang per tahun akibat labuh jangkar masih meninggalkan tutupan karang hidup sekitar 99,99%. Sebagaimana kriteria yang telah dibuat bahwa untuk kategori 1 yaitu tutupan karang hidup berkisar antara 76% – 100% dengan kriteria kerusakan karang sangat rendah. Sedangkan menurut standar Risk Management Australia (AS/NZS 3460 : 2004) berada pada tingkat kerusakan tidak signifikan dengan area yang terbatas.

4.4. Matriks Resiko

Setelah level frekuensi dan kategori konsekuensi ditentukan maka selanjutnya dapat ditentukan tingkat resiko berdasarkan risk matrix. Penentuan kategori resiko dari matriks ini selanjutnya dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan terumbu karang dan regulasi pengelolaan pariwisata. Risk matrix yang digunakan mengadopsi standar Risk Management Australia (AS/NZS 3460 : 2004) sebagaimana matriks resiko kelompok kapal pada Tabel 9. berikut :

Keterangan : Tabel 6. Levelisasi Frekuensi

Klp.

Kapal LabuhFrek. Prob. Frek.JangkarKena Karang Level

A 76 0.063 4.788 A

Tabel 7. Persentase Tutupan Karang Hidup

Klp.

Tabel 8. Kategori Kerusakan Karang

Klp.

Tabel 9. Matriks Resiko kelompok Kapal

Likelihood ofthe Consequence

MaximumReasonableConsequence

(1)

(6)

Dari Tabel 9. matriks resiko diatas terlihat bahwa untuk kelompok kapal A, B, D, E, F, G berada pada level high risk sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan tergambar pada Tabel 6. Hal ini dikarenakan frekuansinya sering terjadi meskipun konsekuensi tingkat kerusakan tidak signifikan. Sedangkan untuk kelompok kapal C berada pada level moderat, ini berarti frekuensi kelompok kapal C mungkin terjadi sekali dalam sebulan sampai setahun dengan konsekuensi tidak signifikan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan analisa dari data yang diperoleh maka dapat disimpulkan jumlah trip selama 3 tahun dari 32 buah kapal yang beroperasi di perairan Raja Ampat adalah 168 per tahun dengan rata-rata 5,26 trip per kapal. Jumlah labuh jangkar selama 3 tahun sebanyak 1178,3 kali dengan rata-rata 36,8 kali pertahun untuk setiap kapal.

Rata-rata jangkar jatuh menimpa karang per trip sebanyak 1,34 kali sedangkan per tahunnya sebanyak 16,9 kali. Dari 32 buah kapal teridentifikasi 7 macam luas proyeksi jangkar yang terdiri dari 4.000 cm2, 7.362,5 cm2, 8.000

cm2, 13.600 cm2, 15.300 cm2, 16.187,5 cm2 dan

17.100 cm2, sehingga dikelompokkan kedalam 7

kelompok kapal.

Dari hasil simulasi frekuensi menggunakan software RiskSim Monte Carlo dengan seribu kali percobaan jangkar dijatuhkan maka diketahui bahwa peran labuh jangkar kapal di wilayah perairan kepulauan Raja Ampat – Papua Barat umumnya berada pada resiko yang tinggi terhadap potensi kerusakan karang.

Matriks resiko menunjukkan kelompok kapal A, B, D, E, F memiliki resiko yang tinggi merusak karang karena terdiri dari 31 kapal dari 32 kapal yang diteliti, sehingga frekuensi jangkar yang dijatuhkan menjadi besar. Kelompok kapal C hanya terdiri dari 1 kapal dari 32 kapal yang diteliti sehingga memiliki resiko moderat dalam kerusakan karang saat labuh jangkar.

Dari hasil analisa dan simulasi tersebut maka diketahui resiko kerusakan karang akibat labuh jangkar kapal berada pada level high risk. Dengan demikian perlu dilakukan upaya mitigasi untuk mengantisipasi resiko yang mungkin akan terjadi apabila kondisi sesuai dengan simulasi. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan dapat berupa menetapkan regulasi pembatasan jumlah kapal dan trip pertahun sehingga frekuensi labuh jangkar dapat diperkecil. Selain itu mitigasi dengan menetapkan zona labuh jangkar dan memasang mooring buoy untuk kapal-kapal yang akan beraktifitas di area terumbu karang dapat mengantisipasi terjadinya jangkar terkena atau

tersangkut di karang sehingga karang dapat terhindar dari kerusakan.

Mengefektifkan fungsi pengawasan merupakan upaya mitigasi lain yang juga dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap kapal pariwisata agar dilengkapi dengan peralatan AIS (Automatic Information System) yaitu sistem pelacakan kapal jarak pendek, digunakan pada kapal dan stasiun pantai untuk mengidentifikasi dan melacak kapal dengan menggunakan pengiriman data elektronik dengan kapal lainnya dan stasiun pantai terdekat. Informasi seperti identifikasi posisi, tujuan, dan kecepatan dapat ditampilkan pada layar komputer atau ECDIS (Electronic Charts Display and Information System).

6. Penghargaan

Penelitian ini didukung oleh beasiswa dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan Perikanan – Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ucapan terima kasih disampaikan St.Pi., yang telah membantu dalam pengolahan data.

7. Pustaka

Australian/ New Zealand Standard., Appendix 4,

AS/NZS4360 : 2004, Risk

Management.

Creed, J.C., Filho, G.M.A., 1999. Disturbance and recovery of the macroflora of a seagrass (Halodule wrightii Ascherson) meadow in the Abrolhos Marine National Park, Brazil: an experimental evaluation of anchor damage., Elsevier., J. Exp. Mar. Biol. Ecol., page.289.

Saphiera. A. D., Hoffmann. T. C., 2005., Forecasting models to quantify three anthropogenic stresses on coral reefs from marine recreation: Anchor damage, diver contact and copper emission from antifouling paint. Elsevier. Marine Pollution Bulletin 51. Page 590–598.

Sukmara. A., Siahainenia. A.J., Rotinsulu. C., 2001., Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat Dengan Metoda Manta Tow., halaman 30-31. Wilson. J., Rotinsulu. C., Muljadi. A., Wen. W.,

(7)

Gambar

Tabel 2. Luas Area Operasi
Gambar 2. Diagram Persentase Kerusakan Karang Akibat
Gambar 4. Grafik Histogram Frekuensi Labuh Jangkar danKerusakan Karang per Tahun di Raja Ampat
Tabel 6. Levelisasi Frekuensi

Referensi

Dokumen terkait