• Tidak ada hasil yang ditemukan

39_(Neuro)INFEKSI SUSUNAN SARAF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "39_(Neuro)INFEKSI SUSUNAN SARAF"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

INFEKSI SUSUNAN

SARAF

(2)

PENDAHULUAN

Definisi : invasi atau multiplikasi kuman

(mikro-organisme) di dalam susunan

saraf

Neuritis : radang pada saraf tepi

Meningitis : radang pada menings

(3)

KLASIFIKASI (

menurut jenis kuman

)

1. Infeksi viral

2. Infeksi bakteri

3. Infeksi spiroketa

4. Infeksi fungus

(4)
(5)

MENINGITIS VIRUS

Peradangan meningen → gejala

perangsangan meningen → sakit kepala, kaku

kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah

leukosit pada LCS.

Berdasarkan durasi dari gejalanya :

Meningitis akut → gejala klinis dalam jam -

beberapa hari

Meningitis kronik → onset dan durasi

berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.

Gejala klinik tumpang tindih karena etiologinya

(6)

Meningitis aseptik → menunjukkan respon

selular nonpiogenik disebabkan oleh agen

etiologi yang berbeda-beda.

Penderita menunjukkan gejala meningeal

akut, demam, pleositosis LCS yang

didominasi oleh limfosit.

Pemeriksaan laboratorium → penyebab

(7)

Meningitis viral → inflamasi leptomeningen

sebagai manifestasi dari infeksi SSP.

Istilah viral – agen penyebab

Meningitis → tidak terlibatnya parenkim

otak dan medula spinalis.

Namun, patogen virus → kombinasi

(8)

Perjalanan klinis biasanya terbatas →

pemulihan komplit pada 7-10 hari.

> 85% kasus ok enterovirus non polio →

karakteristik penyakit, manifestasi klinis, dan

epidemiologi → infeksi enteroviral.

Campak, polio, dan limfositik choriomeningitis

virus (LCMV) saat ini merupakan ancaman

untuk negara berkembang.

Polio tetap penyebab utama dari mielitis pada

(9)

Etiologi

Enteroviruses → > 85% kasus meningitis virus

→ Picornaviridae (“pico” untuk kecil, “rna” untuk

asam ribonukleat), dan termasuk echovirus,

coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan

sejumlah enterovirus. Enterovirus non polio

merupakan virus yang sering, sama dekat ya

dengan prevalensi rhinoviruses (flu)

Arboviruses → 5% kasus di Amerika Utara

Cacar ( Paramyxovirus ) → agen pertama dari

(10)

Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV,

dan herpes virus manusia 6 secara kolektif → ± 4%

kasus meningitis viral, dengan HSV-2 menjadi

penyerang terbanyak.

Lymphocytic choriomeningitis virus/ LCMV

(arenaviruses) → jarang → virus ditransmisikan melalui

kontak dengan tikus atau ekskresi mereka → resiko

tinggi pada pekerja laboratorium, pemilik binatang

peliharaan, atau orang yang hidup di area non higienis.

Adenovirus → penyebab jarang dari meningitis pada

(11)

Campak ( Morbili) → paling jarang → karakteristik

ruam makulopapular membantu diagnosis. → >> usia

muda di sekolah dan perkuliahan. → ancaman

kesehatan dunia dengan angka serangan tertinggi

dari infeksi yang ada → eradikasi campak

merupakan tujuan kesmas yang penting dari WHO.

Meningitis bakterial sebagai kemungkinan etiologi

(12)

Patofsiologi Meningitis

Viral

Patogen virus → SSP melalui 2 jalur

utama: hematogen atau neural.

Hematogen → jalur tersering dari viral

patogen yang diketahui.

Penetrasi neural tunjukkan penyebaran

sepanjang saraf dan biasanya terbatas

pada herpes virus (HSV-1, HSV-2, dan

varicella zoster virus B virus), dan

(13)

 Imun multiple cegah inokulasi virus dari penyebab infeksi

signifikan secara klinis, termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain barrier (BBB).

 Virus bereplikasi → sistem organ awal (ie, respiratory atau

gastrointestinal mucosa) → pembuluh darah.

 Viremia primer → virus ke organ retikuloendotelial (hati,

spleen dan nodus lymph) jika replikasinya timbul → pertahanan imunologis dan viremia sekunder →

bertanggung jawab dalam CNS.

 Replikasi viral cepat tampak berperan melawan pertahanan

(14)

Mekanisme penetrasi viral ke dalam CNS tidak

sepenuhnya dimengerti.

Virus dapat melewati BBB langsung pada level endotel

kapiler atau melalui defek natural (area posttrauma dan

tempat lain yang kurang BBB).

Respon inflamasi terlihat dalam bentuk pleocytosis;

PMN menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48

jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan

jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSF telah dikenali

sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga

(15)

Bukti menunjukkan bahwa beberapa

virus dapat mencapai akses ke CNS

dengan transport retrograde sepanjang

akar saraf.

Contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah

melalui akar saraf olfaktori atau

trigeminal, dengan virus dibawa oleh

(16)

Manifestasi Klinis

Riwayat Penyakit

Demam, sakit kepala, iritabilitas, nausea, muntah, kaku leher,

atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.

Nyeri kepala intensitas yang berat.

Gejala lain → muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul

pada lebih 50% pasien.

Demam → 76-100% pasien→ pola >> → demam subfebril

tahap prodromal →lebih tinggi saat terdapat tanda neurologis.

Beberapa virus → onset cepat dari gejala diatas, lainnya

(17)

Anamnesis hati-hati, termasuk evaluasi paparan

kontak kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas

outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,

riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar

terhadap tuberkulosis, sama halnya dengan

penggunaan medikasi, penggunaan obat

intravena, dan resiko penyebaran penyakit

menular seksual.

Penting → riwayat penggunaan antibiotik

(18)

Fisik

Beberapa virus bermanifestasi klinis unik yang membantu

pendekatan diagnostik yang terfokus.

Trias meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan

perubahan status mental

Pemeriksaan → tidak ada defisit neurologis fokal pada

kebanyakan kasus.

Demam lebih sering → 38ºC and 40ºC.

Kaku kuduk atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda

(19)

Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status

mental .

Nyeri kepala lebih sering dan berat.

Fotofobia relatif sering namun dapat ringan,

Fonofobia juga dapat timbul.

Kejang timbul pada keadaan demam, meski

keterlibatan dari parenkim otak (encephalitis) juga

dipertimbangkan,

Ensefalopati global dan defisit neurologis fokal

adalah jarang tetapi dapat timbul.

(20)

Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat

membantu dalam diagnosis →

Faringitis dan pleurodynia → enteroviralErupsi zoster pada VZV

Ruam makulopapular dari campak dan enterovirusErupsi vesicular oleh herpes simpleks

Herpangina pada infeksi coxsackie virus.

Infeksi Epstein Bar virus → faringitis, limfadenopatiCytomegalovirus, atau HLV sebagai agent penyebab. Parotitis dan orchitis → campak

(21)

Pemeriksaan Penunjang

Studi Laboratorium

Pemeriksaan hematologi dan kimia harus

dilakukan

Pemeriksaan CSF → penting dalam

pemeriksaan penyebab meningitis.

CT Scan → menyingkirkan lesi intrakranial

atau hidrosefalus obstruktif pra LP.

Kultur CSF → kriteria standar pada

(22)

karakteristik CSF untuk

diagnosis meningitis viral

Sel:

Pleocytosis → WBC 50 - >1000 x 10

9

/L →

predominan mononuklear tetapi PMN dapat

merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama;

hitung sel biasanya lalu didominasi limfosit pada

pola CSF klasik meningitis viral → membantu

membedakan meningitis bakterial dari viral →

hitung sel lebih tinggi dan predominan PMN

Protein:

sedikit meningkat, dapat bervariasi dari normal --

(23)
(24)

Studi Pencitraan

CT scan kontras →menyingkirkan patologi

intrakranial, evaluasi penambahan sepanjang mening

dan menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial,

empiema subdural, ataulesi lain.

Alternatif, dan jika tersedia, MRI otak dengan

gadolinium dapat dilakukan.

MRI dengan kontras → standar kriteria → visualisasi

(25)

Tes Lain

pasien yang kondisinya tidak membaik secara

klinis dalam 24-48 jam harus dilakukan rencana

kerja untuk mengetahui penyebab meningitis.

Jika curiga ensefalitis → MRI dengan kontras

dan visualisasi yang adekuat dari frontal basal

dan area temporal

EEG → curiga ensefalitis atau kejang subklinis

→ Periodic lateralized epileptiform discharges

(PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis

(26)

Prosedur

Pungsi Lumbal → penting untuk meningitis viral. Prosedur potensial lain → indikasi individu dan

keparahan penyakit → monitoring tekanan

intrakranial, biopsi otak, dan drainase ventricular atau shunting.

Penemuan Histologis

Leptomeningea → inflamasi dengan PMN dan

(27)

Diagnosis Banding

Acute Disseminated Encephalomyelitis

Aseptic Meningitis

Brucellosis

(28)

Penatalaksanaan

Perawatan Medis

Suportif : Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan medikasi nyeri atau

anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan,

Antimikroba awal untuk meningitis bakteri sementara

menunggu penyebabnya untuk bisa diidentifikasi.

Antibiotik IV diberikan lebih awal jika icuriga meningitis

bakterial

Gejala meningoensefalitis → asiklovir lebih awal untuk

mencegah encephalitis HSV. Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR jika tersedia.

Pasien kondisi yang tidak stabil → perawatan di ICU untuk

(29)

Medikasi

Simptomatik → antipiretik, analgetik dan anti

emetik

Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk

kemungkinan meningitis bakteri adalah penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan dalam konteks keadaan klinis.

Asiklovir → curiga HSV (lesi herpetik), dan

(30)

Enterovirus dan HSV → dapat → septic shock

viral pada BBL dan bayi → antibiotik spektrum

luas dan asiklovir harus diberikan secepatnya

SIADH → cairan dan keseimbangan elektrolit

(terutama natrium)

Restriksi cairan, diuretik, dan secara jarang

infus salin →atasi hiponatremia.

Pencegahan infeksi sekunder dari traktus

(31)

Pembedahan

Bukan indikasi

Pasien → komplikasi hidrosefalus, prosedur

pemisahan CSF, seperti ventriculoperitoneal (VP) atau LP shunting, dapat dilakukan. Ventriculostomy dengan system pengumpulan eksternal

diindikasikan pada kasus jarang dari hidrosefalus akut.

Biopsi mening atau parenkim →diagnosis definitif

infeksi viral .

Monitoring tekanan intrakranial, dibutuhkan untuk

(32)

ENSEFALITIS VIRAL

infeksi jaringan otak oleh berbagai

macam mikro-organisme

Diagnosis ditegakkan melalui

pemeriksaan mikroskopis jaringan otak.

Klinis → diagnosis berdasarkan

(33)

ETIOLOGI

I. Infeksi virus

A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia

1. Mumps → >> kadang-kadang bersifat ringan. 2. Campak → sekuele berat.

3. Kelompok virus entero→ semua umur, lebih berat pada neonatus. 4. Rubela → <<, sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital 5. Kelompok Virus Herpes

a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada neonatus menimbulkan kematian.

b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan. c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat pada CMV congenital

d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang

(34)

B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda

Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk

Caplak : epidemi musiman tergantung ekologi

vektor serangga.

C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.

Rabies : saliva mamalia jinak dan liar

Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera

(35)

II. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi

Penderita→ agen-agen infeksi atau salah

satu komponennya berperan sebagai

etiologi penyakit, tetapi agen-agen

infeksinya tidak dapat diisolasi secara utuh

in vitro dari susunan syaraf.

Diduga pada kelompok ini, kompleks

antigen-antibodi yang diperantarai oleh sel

dan komplemen → berperan penting

(36)

III. Penyakit-penyakit virus manusia yang

lambat.

Banyak bukti → berbagai virus yang didapatkan

pada awal masa kehidupan→ tidak harus

disertai penyakit akut, sedikit banyak ikut

berperan sebagian pada penyakit neurologis

kronis di kemudian hari :

- Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella - Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)

(37)

IV. Kelompok kompleks yang tidak diketahui

Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo,

dan lain-lain.

V. Infeksi-infeksi Non virus

Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus.

Infeksi karena virus langsung menyerang otak atau

reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau

(38)

MENURUT JENIS VIRUS

1. Ensefalitis virus sporadic

Virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes Zoster, mumps, limfogranuloma dan limphocytic

choriomeningitis yang ditularkan melalui gigitan tupai dan tikus.

2. Ensefalitis virus epidemic

Enterovirus seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus ECHO, serta golongan virus ARBO.

3. Ensefalitis pasca infeksi

(39)

1.

Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku

kuduk, stupor, koma, kejang dan

gejala-gejala kerusakan SSP.

2.

Pada pemeriksaan CSS terdapat

pleocytosis dan sedikit peningkatan protein

3.

Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen

post mortem (otak dan darah)

4.

Identifikasi serum antibodi dilakukan

(40)

DIAGNOSIS

a.

Anamnesis cermat kemungkinan adanya

infeksi akut atau kronis, keluhan, kemungkinan

adanya peningkatan TIK, gejala fokal serebral/

serebelar, riwayat pemaparan selama 2-3

minggu terakhir terhadap penyakit melalui

kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat

bepergian ke daerah endemik dan lain-lain

b.

Pemeriksaan fisik/neurologik, dikonfirmasi

dengan hasil anamnesis dan sebaliknya

(41)

c. Pemeriksaan laboratorium

Pungsi lumbal → singkirkan gangguan lain yang memberi respon terhadap pengobatan spesifik → ensefalitis virus → CSS jernih, jumlah lekosit berkisar 0- beberapa ribu/mm3

kubik, >> PMN. Protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55 mg% yang disebabkan oleh

toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif.  Penderita kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai

menghilangnya gejala-gejala neurologik

(42)

PENATALAKSANAAN

1.

Mengatasi kejang → Fenobarbital 5-8

mg/kgBB/24 jam. Jika sering → perlu

diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV,

dalam bentuk infus selama 3 menit.

2.

Memperbaiki homeostatis, dengan infus

cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S

(tergantung umur) dan pemberian oksigen.

3.

Mengurangi edema serebri →

(43)

1. Menurunkan TIK → manitol IV intravena dosis

1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk..

2. Pengobatan kausatif.

Sebelum menyingkirkan etiologi bakteri, tu abses otak

(ensefalitis bakterial)→ beri pengobatan antibiotik parenteral.

Pengobatan untuk ensefalitis infeksivirus herpes simplek

(44)

6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah

penderita sembuh

7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.

8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini

dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi

(45)

Ensefalitis Herpes

simpleks

Ensefalitis herpes simpleks → akut atau subakut.

Fase prodromal seperti influenza, diikuti dengan

gambaran khas ensefalitis. 40% datang dalam

keadaan koma atau semi-koma. Manifestasi

klinis juga dapat menyerupai meningitis aseptik

Manifestasi klinis tidak spesifik, karena itu

diperlukan ketrampilan klinis yang tinggi.

Umumnya dipertimbangkan EHS bila dijumpai

demam, kejang fokal, dan tanda neurologis

seperti hemiparesis dengan penurunan

(46)

Pemeriksaan laboratorium

 Gambaran darah tepi tidak spesifik

 Pemeriksaan CSS → sel meningklat (90%) berkisar

10-1000 sel/mm3. awalnya domina PMN, kemudian menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat

sampai 50-2000 mg/l dan glukosa dapat normal atau menurun

 EEG → PLEDs atau perlambatan fokal di area

temporal atau frontotemporal, sering EEG

(47)

CT kepala normal dalam tiga hari pertama

setelah timbulnya gejala neurologis, kemudian

lesi hipodens muncul di regio frontotemporal

T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi

hiperdens di regio temporal paling cepat dua

hari setelah munculnya gejala

PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus

herpes simpleks (VHS) dengan cepat. PCR

(48)

Ensefalitis Arbo-virus

 Arbovirus (“arthropod-borne virus”) → demam dan

adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut

tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk dimana virus itu “berbiak” menjadi penyebarannya

 Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus → perjalanan

penyakit yang bifasik. Pertama → seperti influensa berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik,

(49)

Ensefalitis Parainfeksiosa

 Ensefalitis timbul sebagai komplikasi penyakit virus

parotitis epidemika, mononukleosis infeksiosa, varisela dan herpes zooster dinamakan ensefalitis para-infeksiosa.

 Gejala-gejala meningitis, mielitis, neuritis kranialis,

radikulitis dan neuritis perifer dapat bergandeng dengan gambaran penyakit ensefalitis.

 Tidak jarang komplikasi utama → radikulitis jenis Guillain

Barre atau meilitis transversa sedang manifestasi ensefalitisnya sangat ringan dan tidak berarti.

 Untuk beberapa jenis ensefalitis para-infeksiosa,

(50)

Rabies

 Rabies → virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau binatang apapun yang mengandung virus rabies.  Setelah penetrasi kedalam sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui

serabut saraf perifer ke SSP. Sel-sel saraf (neuron) sangat peka terhadap virus tersebut.

Sekali neuron terkena infeksi virus rabies, proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. tahap viremia tidak perlu dilewati untuk memperluas

infeksi dan memperburuk keadaan.

Neuron-neuron di seluruh SSP medulla spinalis -korteks tidak akan luput dari daya destruksi virus rabies.

Masa inkubasi rabies → beberapa minggu - bulan.

(51)

 Gejala prodromalnya → lesu, letih , anoreksia, demam,

cepat marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit

anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat mengganggu

 48 jam → gejala-gejala hipereksitasi → gelisah, mengacau,

berhalusinasi, meronta-ronta, kejang opistotonus, dan hidrofobia → otot pernafasan dan larings spasme → sianotik dan apnoe. Angin juga mempunyai efek yang sama dengan air. Pada umumnya penderita meninggal karena status epileptikus.

 Masa penyakit dari mula timbulnya prodom sampai mati

(52)

Poliomyelitis anterior

akuta

 Poliomyelitis /polio → paralisis atau lumpuh yang

disebabkan oleh enterovirus.

 Poliovirus (PV) sangat infeksius, yang terutama

mempengaruhi anak-anak muda dan disebarkan melalui kontak langsung orang ke orang, dengan

lendir, dahak, feces, yang terinfeksi atau oleh kontak dengan makanan dan air yang terkontaminasi oleh feces dari individu lain yang terinfeksi.

 Virus bereplikasi dalam sistim pencernaan dimana ia

(53)

Kebanyakan tetap asimptomatik/gejala mirip flu ringan,

termasuk kelelahan, malaise, demam, sakit kepala, sakit

tenggorokan, dan muntah → berlangsung 48-72 jam

Individu terus melepas virus ke feces → reservoir untuk

infeksi-infeksi berikut.

± 2%-5% individu yang terinfeksi terus

mengembangkan gejala yang lebih serius

→pernapasan dan kelumpuhan.

Penyembuhan tidak ada; vaksinasi → mencegah

(54)

Disebabkan oleh poliovirus (virus RNA kecil)

yang menyebar melalui kontak dengan lendir

oral (mulut, hidung, dll).

Paling umum, virus melekat dan menginfeksi

sel-sel usus, bermultiplikasi dan dikeluarkan

dalam feces dari individu yang terinfeksi.

2% dari kasus-kasus, virus menyebar dari sistim

percernaan ke sistim syaraf dan menyebabkan

penyakit kelumpuhan.

(55)

Gejala tergantung luas infeksi → Tanda-tanda

polio yang melumpuhkan (paralytic) dan polio yang

tidak melumpuhkan (non-paralytic).

Pada polio non-paralytic yang bertanggung jawab

untuk kebanyakan individu-individu yang terinfeksi

dengan polio → pasien tetap asimptomatik atau

mengembangkan gejala-gejala seperti flu yang

ringan, termasuk kelelahan, malaise, demam, sakit

kepala, sakit tenggorokan, dan muntah.

Gejala mungkin hanya bertahan 48-72 jam , bisa

(56)

 Paralytic polio terjadi pada kira-kira 2% dari orang-orang yang terinfeksi dengan virus polio dan lebih serius. Gejala-gejala terjadi sebagai akibat dari sistim syaraf dan infeksi dan peradangan sumsum tulang belakang (spinal cord). Gejala-gejala dapat termasuk:

sensasi yang abnormal,kesulitan bernapas,

kesulitan menelanretensi urin,sembelit,

mengeluarkan air liur (ileran),sakit kepala,

turun naik suasana hati,

(57)

± 5%-10% dari polio paralitik meninggal

akibat gagal napas → perlu evaluasi dan

perawatan medis yang tepat. Sebelum

era vaksinasi dan penggunaan dari

ventilator-ventilator modern,

pasien-pasien akan ditempatkan dalam "iron

(58)

DIAGNOSIS

Diagnosis → klinis.

Riwayat paparan dan tidak ada vaksinasi

sebelumnya adalah petunjuk awal.

Sering LP → DD polio dari penyakit lain yang

awalnya mempunyai gejala-gejala yang serupa

(contohnya, meningitis).

Setelah itu, pembiakan-pembiakan virus

(59)

Infeksi “Slow Virus”

 Beberapa penyakit yang hingga kini dianggap

sebagai penyakit degeneratif akibat faktor yang

belum diketahui, telah diselidiki sehubungan dengan infeksi “slow virus”.

 Penyakit demensia Jakob-Creutzfeldt → dulu →

penyakit degeneratif yang mempunyai sifat familial, terbukti disebabkan oleh infeksi “slow virus” ialah

kuru. Penyakit ini dijumpai pada beberapa penduduk di Nugini.

 Sebelum itu pada binatang sudahditemukan infeksi

(60)

INFEKSI BAKTERI

PADA SUSUNAN

(61)

Meningitis Bakterial Akut

Meningitis bakterial → infeksi purulen

ruang subarakhnoid.

Biasanya akut, fulminan, khas dengan

demam, nyeri kepala, mual, muntah,

dan kaku nukhal.

Koma → 5-10 % kasus dan berakibat

prognosis yang buruk.

Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus,

(62)

 Meningitis bakterial tanpa terapi selalu fatal. CSS secara klasik

memperlihatkan leukositosis PMN, peninggian protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS → organisme penyebab pada 75 % kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap mikroba.

Penurunan kesadaran→ dengan edema papil atau defisit neurologis fokal→ CT scan pra LP untuk singkirkan lesi massa atau hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi

 Pemeriksaan fisik → pemeriksaan teliti daerah inflamasi berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis.

(63)

Penelitian binatang → etiologi primer meningitis

bakterial →leptomeningeal bakteri melalui darah yang

berkoloni dimukosa naso-faring.

Patogen meningeal → >> bakteri berkapsul. Setelah

membentuk koloni dinasofaring, bakteri berkapsul

melintas epitel dan membuat jalan ke aliran darah.

Kapsul menghambat fagositosis oleh neutrofil, jadi

patogen meningeal memperlihatkan kemampuan

mempertahankan bakteremia transien.

Mekanisme → bakteri dalam darah mencapai

(64)

 Sumber lain →perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walau kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotik yang efektif terhadap otitis atau sinusitis.

<< → Jarang → inokulasi langsung cedera penetrating.

Tindakan → tergantung sumber primer, usia pasien, organism

penyebab, dan sensitifitas antibiotik→ infeksi CSS maupun sumber primer.

 Meningitis sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung otorinal → > organisme yg berkembang di nasofaring.

 Meningitis setelah cedera otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS→ >> S.pneumoniae.

(65)

 Penisilin G dan ampisilin → bermanfaat sama pada kebanyakan

infeksi S.pneumoniae dan N.meningitidis.

 H.influenzae yang membentuk beta-laktamase→ ampisilin dan

kloramfenikol sebagai terapi empiris.

 Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat dan

sekarang dipakai sebagai terapi terpilih pada neonatus dan anak-anak.

 Sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua→ tidak lagi dianjurkan

untuk infeksi SSP karena lambatnya sterilisasi CSS serta

dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau penisilin G.

(66)

Pilihan lain→ trimetoprim sulfa-metoksazol. Meningitis S. aureus → nafsilin atau oksasilin,

Vankomisin dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi → empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen

meningeal utama, dan 21 hari untuk infeksi basil gram negatif

Meningitis basiler gram negative mengalami revolusi dengan adanya

sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara

intratekal → 78-94 % tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim terbukti bermanfaat.

Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum

(67)

Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen anti

inflamatori → memperkecil akibat meningitis bakterial.

Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason pada

bayi dan anak-anak dengan meningitis bakterial

memperlihatkan bahwa sekuele neurologis jangka

panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan

pendengaran, menurun pada pemberian deksametason

0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi,

dan tidak memperberat efek eradikasi infeksi.

Penggunaan deksametason dianjurkan pada pasien

(68)

Meningitis Tuberkulosa

Meningitis → subakut atau kronis

dengan angka kematian dan kecacatan

yang cukup tinggi.

Menurut pengamatan, meningitis

tuberkulosis merupakan 38,5% dari

seluruh penderita dengan infeksi

(69)

Manifestasi klinis

panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah

muntah, kejang dan pemeriksaan

neurologik menunjukkan adanya kaku

tengkuk, kelumpuhan saraf kranial

(70)

DIAGNOSIS

Berdasarkan :

1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku

tengkuk, tanda Kernig dan Brudzinski. 2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :

peningkatan sel darah putih terutama limfosit peningkatan kadar protein

penurunan kadar glukosa

3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :

ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan

pembiakan CSS

kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis

(71)

Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :

Stadium I : kesadaran penderita baik disertai

rangsangan selaput otak tanpa tanda

neurologik fokal atau tanda hidrosefalus.

Stadium II : didapatkan kebingungan

dengan atau tanpa disertai tanda neurologis

fokal misalnya kelumpuhan otot mata bagian

luar atau adanya hemiparesis.

Stadium III : penderita dengan stupor atau

(72)

Pengobatan

Beberapa kombinasi obat pernah diberikan

untuk menanggulangi penyakit ini namun

pada dasarnya obat tersebut harus dapat

menembus barrier darah otak, berada

dalam CSS dengan kadar yang cukup

efektif dan aktivitas anti tuberkulosis tinggi,

resistensi dan kerja samping obat yang

(73)

DI RS Soetomo :

Streptomisin 20 - 30 mg/kg/hari selama 2 minggu

→ 3 kali/minggu hingga klinis dan laboratorium baik (perlu waktu kira-kira 6 minggu).

INH 20 - 25 mg/kg/hari pada anak anak atau 400

mg/hari pada dewasa selama 18 bulan.

Etambutol 25 mg/kg/hari sampai sel cairan

serebrospinal normal, kemudian diturunkan 15 mg/kg/hari selama 18 bulan.

Rifampisin 15 mg/kg/hari selama 6 - 8 minggu.

(74)

Abses Serebri

Infeksi purulen berbatas tegas dalam parenkhima

otak.

Sel inflamatori akut tampak pada pusat material yang

nekrotik, dikelilingi zona serebritis.

Maturasi → neovaskularisasi periferal dan lambat laun

terbentuk cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan

makrofag, berakhir sebagai kapsul berbentuk tegas.

Sistem imun baik →proses infiltrasi bakterial - abses

berkapsul → 2 minggu.

Daerah terlemah kapsul →daerah yang kurang

(75)

GEJALA KLINIK

Gejala berhubungan dengan efek massa→

nyeri kepala, defisit neurologis fokal, dan

gangguan mental sering tampak.

Demam ± 50 % → mungkin tidak ada atau

sedikit bukti infeksi sistemik.

Kejang → 25-60 % pasien.

Edema otak, efek massa, dan pergeseran

garis tengah umum terjadi → karenanya LP

kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis

(76)

 Umumnya → sekunder terhadap infeksi ditempat lain →

bakteriologi sering menunjukkan sumber primer.

 >> Perluasan intrakranial langsung dari sinus paranasal atau

infeksi telinga

 Lesi soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis

frontoetmoid, di lobus temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis.

 Abses otak multipel → penyebaran hematogen dari sumber jauh

(77)

Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak

penetrating → penyebab lain dari abses.

Pembentukan abses jarang → perjalanan

meningitis bakterial, namun → faktor predisposisi

pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya

berkaitan dengan meningitis Sitrobakter atau

Proteus neonatal.

Abses otak >> pada pasien dengan immunitas

yang terganggu sekunder atas penggunaan

(78)

>> Streptokokus, Stafilokokus, dan Bakteroides,

dengan organisme multipel pada 10-20 %

kasus.

Terapi antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan

sumber infeksi yang sudah dikenal, namun

beratnya penyakit serta sering terjadinya infeksi

yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya

antibiotik jangkauan luas atas gram positif, gram

negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris

(79)

CT scan → akurasi tinggi dalam

melacak abses otak→ deteksi yang dini

dan lokalisasi yang akurat

CT scan → penurunan angka kematian

(80)

 Tujuan terapi → memastikan mikroba yang

bertanggung-jawab serta sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera, dan mengurangi edema otak.

Pemberian kortikosteroid kontroversial.

Selama serebritis dan tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup.

 Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi maupun eksisi disertai

(81)

 Operasi juga akan menunjukan organisme penyebab pada

60-80 % kasus, memungkinkan biakan dapat dilakukan

dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob.

Dianjurkan tidak memberikan antibiotik prabedah bila

operasi dapat dilakukan segera karena kultur steril bisa terjadi.

 Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka

(82)

Abses Epidural Kranial

Infeksi intrakranial terbatas di ruang

epidural adalah komplikasi yang jarang

dari kontaminasi jaringan epi dural baik

traumatika atau operatif.

>> akibat perluasan osteomielitis

berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang

meluas secara transdural. Tindakannya

(83)

 >> Abses epidural tulang belakang dan biasanya

perlu bedah gawat darurat.

 Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal,

dan progresi yang cepat dari defisit neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam

beberapa hari sejak gejala awal.

 >> perluasan lokal dari osteomielitis tulang belakang

dan jarang melalui penyebaran hematogen dari

infeksi jauh. CSS memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan.

 Mielogram atau MRI menampilkan perluasan massa

(84)

Organisme penyebab tersering adalah S.

aureus dan terkadangStreptococcus sp. Basil

gram negatif sering diisolasi dari pecandu

obat intravena. Mycobacterium tuberculosis

merupakan penyebab berupa laminektomi

segera serta drainasi abses diikuti terapi

antibiotika spesifik jangka panjang.

Pemulihan fungsi neurologi langsung

(85)

Abses Subdural Kranial

 Empiema subdural → infeksi purulen ruang subdural →

perluasan langsung via mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi sinusitis paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda.

 Jarang hematogen dari infeksi jauh, dan kontaminasi

langsung dari trauma pernah dilaporkan.

 Diagnosis didasarkan pada temuan klinis dan

radiografis.

 Nyeri kepala, demam, dan meningismus merupakan

(86)

CT scan dan MRI memperlihatkan pengumpulan

subdural; namun massa mungkin isodens pada CT

scan→ kontras.

Pencitraan berguna → mendiagnosis infeksi sinus

atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada

penderita yang diduga memiliki massa intracranial

mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini

hingga CT scan memastikan tidak adanya efek

massa intrakranial.

Analisis CSS → jarang diagnostik → bisa

(87)

 Sumber otorinologis →streptokoki, stafilokoki dan koki

anaerob.

 >> kelainan sinus paranasal

 Ruang subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas

konveksitas otak serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian.

 Penyebaran infratentorial → 3-10 % infeksi → selalu

sekunder dari perluasan otitis.

 Akumulasi pus → massa intrakranial. Reaksi inflamasi

hebat memacu pembengkakan dan edema otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering

(88)

Empiema subdural sekunder terhadap

meningitis → bilateral dan kurang fulminan

dibanding yang sekunder terhadap infeksi

otorinologis.

H.influenza adalah organisme utama; namun

empiema S.pneumonia juga sering

dilaporkan.

Hidrosefalus komunikating bisa terjadi

(89)

 Antibiotika sistemik dan drainasi bedah → mortalitas 25

% → outcome buruk sangat tergantung pada tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organism patogenik.

 Bannister → anjurkan kraniotomi primer dengan bukaan

luas, eksplorasi subdural agresif, dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak.

 Laporan mutakhir memperlihatkan pengurangan

(90)

 Drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.

 Antikonvulsan profilaktik→ insidens kejang tinggi

 Keberhasilan tindakan nonbedah → terapi antibiotik saja

pada pasien dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas pada CT scan.

 Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya

timbul dari ekstensi transdural lokal dari osteomielitis

(91)

Efusi Subdural

Transudat yang tertimbun dibawah dura → efusi

subdural.

Komplikasi dari meningitis terutama meningitis

H.Influenza.

Dicurigai apabila demam dan kaku kuduk sudah

mereda tetapi kesadaran dan keadaan umum yang

belum membaik.

Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat terangsang

(92)

Trombofebitis Kranial

Tromboflebitis → komplikasi osteomielitis tulang

tengkorak, mastoiditis, sinusitis, abses subdural

ataupun infeksi pada daerah wajah yang menggunakan

sistem venous intrakranial untuk darah baliknya.

Tromboflebitis sinus kavernosus→ Infeksi primernya →

sinusitis frontalis/sfenoiditis/ etmoiditis. Infeksi sinus

tranversus atau vena jugularis dapat juga menjalar ke

sinus kavernosus melalui sinus petrosus.

Kemungkinan lain → emboli sepsis dari bisul di dahi,

(93)

 Infeksi sinus kavernosus cepat membentuk thrombus →

menyumbat aliran darah balik→ gejala timbul pada salah satu sisi, tetapi kemudian secara bilateral.

Pada tahap penyebaran kuman → demam, sakit kepala, muntah dan mual.

Obstruksi vena oftalmika (hantarkan darah ke sinus

kavernosus) →edema diruang orbita serta kelopak mata → ptosis, kemosis dan eksoftalmus dapat terlihat. Gerakan bola mata keseluruh jurusa terbatas karena edema orbital juga.  Nervus 3, 4, dan 6 mengalami gangguan akibat distensi

dinding sinus kavernosus→ . Pada tahap ini retina

(94)

Sebelum gejala-gejala sinus kavernosus

timbul secara lengkap pada salah satu

orbita, pada sisi lain sudah berkembang

juga manifestasi thrombosis sinus

kavernosus yang tunggal.

Terapi antibiotika → penyakit dapat

(95)

Abses Epidural Spinal

 Duramater tulang belakang terpisah dari arkus vertebra

oleh jaringan ikat longgar → seolah menyediakan ruang untuk kuman membentuk abses→ manifestasi abses

epidural spinalis mencerminkan efek proses desak ruang dari sisi posterior.

 Faktor etiologi dan presipitasi → DM dan infeksi

Staphylococcus aureus berupa bisul di kulit atau

osteomyelitis pada korpus, lamina atau pedikel tulang belakang.

 >> bagian torakal.

 Kronik→ spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit

(96)

 Tergantung lokasi abses epidural → paraplegi dengan

defisit sensorik terjadi berangsur-angsur.

 Kompresi MS didahului nyeri tulang belakang → nyeri

radikuler→paraplegia dengan gangguan perasaan getar, gerak, dan posisi sebagai gejala dininya.

 Pemeriksaan penunjang → untuk diagnosis meliputi

kultur darah dan MRI medulla spinalis.

 Bila MRI tidak memungkinkan maka bisa dilakukan

CT myelography.

 Lumbal punksi kontraindikasi → pasien dengan

(97)

Penatalaksanaan

 Terapi medis → antibiotik adekuat sedini mungkin. Durasi

dari pengobatan ini biasanya mencapai 3-4 minggu. Karena agen yang biasa menginfeksi ialah S.aureus, maka terapi yang diberikan ialah dari golongan penicillin, cephalosporin, atau vancomycin. Contoh → Ceftriaxone ,Nafcillin ,

Cefazolin, Vancomycin .

 Terapi bedah → dekompresi tulang belakang dan drainase

abses → indikasi → peningkatan defisit neurologik, rasa sakit bertambah dan demam yang menetap, serta

leukositosis.

 Keberhasilan terapi → kombinasi antara aspirasi abses dan

(98)

Komplikasi yang biasa terjadi pada

cedera spinal meliputi disfungsi kandung

kemih, dekubitus, hipertensi supine ,

sepsis berulang, dll.

Prognosis → tergantung pada onset dan

(99)

Abses Subdural Spinal

Abses ini jarang dijumpai. Bila ada,

gejala-gejalanya juga sukar dibedakan

dari abses epidural spinal.

Biasanya penderita diabetes mellitus

(100)

TETANUS

Tetanus → toksemia akut oleh neurotoksin yang

dihasilkan Clostridium tetani → spasme otot yang

periodik dan berat.

Akut dan paralitik spastik disebabkan tetanospasmin

(neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani).

Disebut juga dengan "

Seven day Disease

".

1890 → ditemukan toksin seperti strichnine → dikenal

dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah

anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan

mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan

(101)

 Tetanospasmin : toksin → menyebabkan

spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara

menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi

karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari

toksin oleh cerebral ganglioside.

d. Gangguan dari SSO : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,

(102)

 Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, →

mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.

 Kegagalan mekanisme inhibisi yang normal→

meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter → trismus → ok otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.

 Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan

(103)

Ada dua hipotesis tentang cara

bekerjanya toksin, yaitu:

1.

Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf

motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa

kekornu anterior susunan syaraf pusat

2.

Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik,

masuk kedalam sirkulasi darah arteri

(104)

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf

perifer secara ascending bermigrasi secara

sentripetal atau secara retrograde→ CNS.

Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari

sarung parineural.

Teori terbaru → toksin juga menyebar

secara luas melalui darah (hematogen) dan

jaringan/sistem lymphatic.

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih

(105)

Karakteristik

Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan

menetap selama 5 -7 hari.

Setelah 10 hari kejang mulai berkurang → 2 minggu

kejang mulai hilang.

Biasanya didahului dengan ketegangaan otot

terutama pada rahang dari leher.

Kemudian kesukaran membuka mulut ( trismus,

lockjaw ) karena spasme otot masetter.

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus ,

(106)

Risus sardonikus karena spasme otot muka

dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut

tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.

Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku

dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi,

lengan kaku dengan mengepal, biasanya

kesadaran tetap baik.

Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat

(107)

Selama eksotosin masih diproduksi terapi

untuk memberantas manifestasi tetanus

tidak bermanfaat → eksisi tempat

klostridium tetani masuk kedalam tubuh

harus dilakukan, supaya kuman ikut

(108)

Lepra

 Lepra (penyakit Hansen) : infeksi menahun yang terutama

ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata.

 Penyebab → bakteri Mycobacterium leprae.

 Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti. Jika

seorang penderita lepra berat dan tidak diobati bersin→ bakteri menyebar ke udara. Sekitar 50% penderita

kemungkinan tertular → berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi.

 Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo,

(109)

± 95% orang yang terpapar bakteri lepra tidak

menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil

melawan infeksi.

Bisa ringan (lepra tuberkuloid) atau berat (lepra

lepromatosa).

> 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi oleh kuman

ini. >> di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan

Samudra Pasifik.

Dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai

(110)

 Bakteri berkembangbiak sangat lambat → gejala baru

muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).

 Gejala dan tanda yang muncul tergantung kepada respon

kekebalan penderita.

 Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang,

komplikasi yang mungkin terjadi dan kebutuhan akan antibiotik.

 Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1

atau beberapa daerah putih yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah

(111)

 Pada lepra lepromatosa → benjolan kecil /ruam menonjol yang

lebih besar dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan bulu mata.

 Lepra borderline : tidak stabil dan memiliki gambaran kedua

bentuk lepra→ jika membaik → menyerupai lepra tuberkuloid; jika memburuk → menyerupai lepra lepromatosa.

 Selama perjalanan penyakit → bisa terjadi reaksi kekebalan

tertentu→ berupa demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.

 Pengobatan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa

(112)

Mycobacterium leprae → satu-satunya bakteri

yang menginfeksi saraf tepi dan hampir semua

komplikasinya merupakan akibat langsung dari

masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.

Bakteri tidak menyerang otak dan medulla spinalis.

Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri,

panas dan dingin menurun.

Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan

(113)

 Penderita memiliki luka di telapak kakinya.

Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa

menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata menyebabkan kebutaan.

 Penderita lepra lepromatosa → menjadi impoten dan

mandul → dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

 Serabut saraf autonom ikut terkena → manifestasi

lepra saraf tepi berupa neuritis, terutama neuritis

(114)

BOTULISME

 Botulism → jarang terjadi, racun yang mengancam

nyawa disebabkan dihasilkan oleh bakteri clostridium botulinum → neurotoksin.

 Racun botulism, biasanya dikonsumsi dalam makanan,

bisa melemahkan/melumpuhkan otot → menghambat pelepasan pada neurotransmitter acetycholine

 Pada dosis yang sangat kecil, racun bisa digunakan untuk

menghilangkan kejang otot dan untuk mengurangi kerutan

 Botulism bisa mulai dengan mulut kering, penglihatan

(115)

Dokter meneliti contoh darah, kotoran,

atau jaringan luka, dan mungkin

dilakukan EMG.

Penyiapan dan penyimpanan makanan

dengan hati-hati membantu mencegah

botulism.

Antitoksin digunakan untuk mencegah

(116)

 Bakteri clostridium botulinum membentuk spora→ hidup di

bagian yang tidak aktif untuk beberapa tahun, dan mereka sangat bersifat melawan terhadap kerusakan.

 Saat kelembaban dan bahan bergizi ada dan oksigen tidak

ada (seperti pada usus atau botol atau kaleng bersegel), spora mulai bertumbuh dan menghasilkan racun.

Beberapa racun dihasilkan oleh clostridium botulinum tidak dihancurkan oleh enzim pelindung usus.

 Clostridium botulinum banyak di lingkungan sekitar, dan

spora bisa ditransportasikan oleh udara.

 >> botulism dihasilkan dari pencernaan atau penghisapan

(117)

Foodborne botulism → jika makanan terkontaminasi racun dimakan.Sumber >> makanan kaleng rumahan (tu yang berisi asam rendah),

seperti asparagus, kacang hijau, bit, dan jagung. Sumber lainnya termasuk irisan bawang putih dalam minyak, lada cabe rawit, tomat,

kentang bakar dibungkus kertas perak yang tengah dibiarkan pada suhu ruangan terlalu lama, ikan kaleng rumahan dan fermentasi. Meskipun begitu, sekitar 10% penguraian terjadi dari makan makanan cepat saji, sangat sering terjadi, sayuran, ikan, buah-buahan, dan rempah-rempah (seperti salsa). Jarang terjadi, daging, produk susu, daging babi, unggas, dan makanan lain yang menyebabkan botulism.

 Luka botulism → clostr. botulinum mengkontaminasi luka atau masuk ke

(118)

Botulism bayi → bayi yang makan makanan

mengandung spora pada bakteri dibanding racun →

spora berkembang dalam usus bayi, menghasilkan

racun

Penyebab kebanyakan kasus tidak diketahui,

beberapa kasus dihubungkan dengan pencernaan

pada madu. Botulism bayi terjadi >> usia < 6 bulan.

Gejala → terjadi tiba-tiba (18-36 jam setelah racun

memasuki tubuh), bisa mulai lebih cepat selama 4

jam atau selambat-lambatnya 8 hari setelah

(119)

 Gejala lain → mulut kering, penglihatan ganda, kelopak

mata layu, dan ketidakmampuan untuk fokus pada benda di sekitarnya. Pupil pada mata tidak mengkerut dengan normal ketika terkena sinar selama pemeriksaan mata.

 Gejala awal → mual, muntah, kram perut, dan diare. Orang

yang memiliki luka botulism tidak mengalami gejala-gejala pencernaan apapun.

 Kerusakan syaraf → mempengaruhi kekuatan otot → Nada

otot pada wajah kemungkinan hilang, berbicara dan

(120)

Infeksi Spiroketa

pada Susunan

(121)

Leptospirosis

 Penyakit manusia dan hewan disebabkan kuman

Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.

 Penularan → melalui air minum yang terkontaminasi

dengan kencing host leptospira seperti tikus, kelinci, marmot. Penularan antar manusia tidak pernah terjadi karena leptospira tidak dapat hidup dalam urine manusia yang keasamannya rendah.

 Kuman masuk → ke traktus digestivus → pembuluh darah

(122)

 Gejala dini → demam, sakit kepala parah, nyeri otot,

muntah dan mata merah → menyerupai flu → menyulitkan diagnosa.

 Gejala penyerta → myalgia, konjunctivitis perikorneal,

uveitis, hemorhagi, meningitis leptospirosis (paling sering ± 50%), hemorhagi serebri.

 Meningitis leptospirosis menyerupai meningitis serosa /

meningitis aseptic.

 Weil disease → gagal ginjal, ikterus dan perdarahan kulit

dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak atau

(123)

Siflis

 Sifilis : penyakit menular seksual disebabkan oleh Treponema

pallidum.

 Bakteri →masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir

(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam → bakteri sampai ke kelenjar getah bening

terdekat, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.

 Bisa menginfeksi janin → cacat bawaan.

Kekebalan tidak ada dan bisa terinfeksi kembali.

 Gejala mulai timbul dalam waktu 1-13 minggu setelah terinfeksi;

rata-rata 3-4 minggu.

 Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang

(124)

Infeksi oleh Treponema pallidum

berkembang melalui 4 tahapan:

1. Fase Primer.

 Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri pada tempat yang

terinfeksi; >> pada penis, vulva atau vagina. Bisa juga di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya.

Biasanya hanya 1 ulkus, kadang terbentuk beberapa ulkus.

 Awal → daerah penonjolan kecil → segera menjadi ulkus (luka

terbuka), tanpa nyeri. Luka tidak berdarah, jika digaruk

mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya akan membesar, tanpa disertai nyeri.

 Luka hanya sedikit gejala → seringkali tidak dihiraukan,

(125)

2. Fase Sekunder.

Dimulai dengan ruam kulit muncul dalam 6-12 minggu setelah

terinfeksi → berlangsung sebentar /beberapa bulan →

menghilang → beberapa minggu/ bulan muncul ruam yang baru.

 Luka di mulut. ± 50% → pembesaran kelenjar getah bening

seluruh tubuh dan sekitar 10% peradangan mata→ tidak menimbulkan gejala, kadang pembengkakan saraf mata → penglihatan kabur. ±10% penderita → peradangan tulang dan sendi disertai nyeri. Peradangan ginjal → bocornya protein ke urine. Peradangan hati → ikterus. << → mengalami

(126)

Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir

serta daerah kulit yang lembab → terbentuk

daerah yang menonjol (kondiloma lata) →

sangat infeksius dan bisa kembali mendatar

serta berubah menjadi pink kusam atau

abu-abu.

Rambut mengalami kerontokan dengan pola

tertentu→ di kepala tampak gambaran seperti

digigit ngengat.

Gejala lain→ malaise, kehilangan nafsu makan,

(127)

3. Fase Laten.

 Berlangsung bertahun-tahun/berpuluh-puluh

tahun/sepanjang hidup penderita.

 Awal fase laten → luka yang infeksius kembali muncul .

dan bila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua itu tidak dikenal → infeksi terus berjalan → SSP akan mengalami invasi kuman tersebut → kuman tersebar secara difus di korteks serebri dan bagian SSP lainnya.

 Gambaran penyakit → organic brain syndrome.

(128)

4. Fase Tersier.

Penderita tidak lagi menularkan penyakitnya.

Gejala bervariasi ringan-sangat parah. Gejala ini

terbagi menjadi 3 kelompok utama :

Sifilis tersier jinak → saat ini jarang ditemukan. Benjolan

disebut gumma muncul di berbagai organ; tumbuh

perlahan, sembuh bertahap dan meninggalkan jaringan parut. Benjolan ini bisa ditemukan di hampir semua

(129)

 Mengenai otak → sakit kepala, pusing, konsentrasi yang

buruk, kelelahan dan kurang tenaga, sulit tidur, kaku kuduk, pandangan kabur, kelainan mental, kejang, papiledema,

kelainan pupil, gangguan berbicara (afasia) dan kelumpuhan anggota gerak pada separuh badan.

 Jika menyerang otak dan medulla spinalis → kesulitan

mengunyah, menelan dan berbicara; kelemahan dan atrofi otot bahu dan lengan; kelumpuhan disertai kejang otot

(paralisa spastis); ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih dan peradangan sebagian dari medulla spinalis →

(130)

Neurosifilis paretik.

Berawal secara bertahap sebagai perubahan

perilaku pada usia 40-50 tahun → demensia → kejang, kesulitan dalam berbicara, kelumpuhan separuh badan yang bersifat sementara, mudah tersinggung, kesulitan dalam berkonsentrasi,

kehilangan ingatan, sakit kepala, sulit tidur, lelah, letargi, kemunduran dalam kebersihan diri dan kebiasaan berpakaian, perubahan suasana hati, lemah dan kurang tenaga, depresi, khayalan akan kebesaran dan penurunan persepsi.

(131)

Neurosifilis tabetik = tabes dorsalis.

 Penyakit medulla spinalis progresif, timbul bertahap.

Gejala awal → nyeri menusuk sangat hebat pada tungkai yang

hilang-timbul secara tidak teratur. Penderita berjalan dengan goyah, terutama dalam keadaan gelap dan berjalan dengan kedua tungkai yang terpisah jauh, kadang sambil mengentakkan kakinya.

Pengendalian kandung kemih hilang → ISK. Bisa terjadi impotensi. Bibir, lidah, tangan dan seluruh tubuh penderita gemetaran. Tulisan tangannya miring dan tidak terbaca. Kejang disertai nyeri di

berbagai bagian tubuh, terutama lambung → muntah. Kejang yang sama juga terjadi pada rektum, kandung kemih dan pita suara.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari proyek akhir ini adalah membuat suatu aplikasi yang dapat memonitor aplikasi yang sedang dijalankan mahasiswa sewaktu praktikum berlangsung serta mengetahui

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil uji statistik mann whitney mean rank pengetahuan pelaksanaan senam kaki pada pasien DM tipe 2 pada kelompok eksprimen

mind mapping efektif untuk meningkatkan konsentrasi belajar siswa.Saran yang dapat diberikan hendaknya guru bimbingan dan konseling dapat melaksanakan layanan penguasaan

Pembuatan akun congkak dengan tujuan agar remaja pada komunitas tidak hanya mempu bermain dan membuat inovasi permainan congkak , akan tetapi dapat menyebarkan

Kajian yang berkaitan dengan gender dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa dalam Islam, hanya ketaqwaanlah yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain, memang

Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini

Peranan bahan organik tidak hanya berperan dalam penyediaan hara tanaman saja, namun yang jauh lebih penting terhadap perbaikan sifat fisik, biologi dan sifat kimia tanah

Peningkatan prestasi belajar siswa dapat dilihat dari perolehan nilai LKS dan evaluasi.Pada kelas eksperimen LKS yang diberikan adalah LKS komik, sedangkan pada