LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SPINAL CORD INJURY
Oleh:
Tony Hady Purwanto, S.Kep. NIM 082311101074
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER 2014
1. Kasus
Spinal cord injury / cedera tulang belakang
2. Proses terjadinya masalah a. Pengertian
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008). Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
b. Etiologi
1) Kecelakaan lalu lintas 2) Olahraga
3) Luka tembak atau tikam
4) Kelainan tulang : mielitis, osteoporosis, tumor. 5) Klasifikasi
Cedera tulang - Stabil - non-stabil Cedera neurologis
- tanpa defisit neurologi - Disertai gejala neurologis
6) Mekanisme Cedera Medulla Spinalis Hiperfleksi
Hiperekstensi Kompresi\
c. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain: a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan
aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri
b. Cedera Torakal Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas T3 Aksilla
T5 Putting susu T6 Prosesus xifoid
T7, T8 Margin kostal bawah T10 Umbilikus
T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang dari bokong
L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel
d. Cedera Sakral Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis,
perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha
e. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan 1) Klasifikasi Frankel:
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+) Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
2) Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association) Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3 Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 Grade E : Motoris dan sensoris normal
d. Tanda gejala
1) Antara C1 sampai C5: Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
2) Antara C5 dan C6: Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7: Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4) Antara C7 dan C8: Paralisis kaki dan tangan
5) C8 sampai T1: Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6) Antara T11 dan T12: Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut. 7) T12 sampai L1: Paralisis di bawah lutut.
8) Cauda equine: Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1: Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
e. Penatalaksanaan Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X ditemui
spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89).
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk.
Test dignostik
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal: • Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
• Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
• Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’anterior atau posterior.
• Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
3. Pohon masalah
4. Asuhan keperawatan
Nyeri Faktor kecelakaan,
jatuh, cedera lain
Trauma tulang belakang
Fraktur vertebra
Gangguan pd spinal cord
Hilang fungsi motorik sensorik
Hilang fungsi motorik sensorik
Kontusio spinal cord Perdarahan Iskemik
Shock hemoragic Kematian Mual muntah Kelemahan otot pernafasan Risiko aspirasi Suplai oksigen menurun Mekanisme kompensasi Pola nafas tidak efektif Gangguan kontrol VU dan rektum Inkontinensia urin dan alvi Perubahan pola eliminasi Kerusakan syaraf ekstremitas Kelumpuhan Peningkatan bedrest Risiko kerusakan integritas kulit Hambatan mobilitas fisik Defisit perawatan diri Perfusi jaringan tidak efektif
Pengkajian
1. Riwayat Penyakit Sebelumnya Apakah klien pernah menderita : • Penyakit stroke
• Infeksi otak • DM
• Diare dan muntah yang berlebihan • Tumor otak • Intoksiaksi insektisida • Trauma kepala • Epilepsi dll. 2. Pemeriksaan Fisik • Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot pernafasan tambahan
• Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi. • Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala. • Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
• Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN). • Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan. • Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler. • Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.
• Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress ulcer, feses keras atau inkontinensia.
• Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia • Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM) • Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus • Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, enjakulasi, menstruasi tidak teratur. • Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan masyarakat.
Diagnosa Keperawatan
• Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal
• Kerusakan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuskular • Nyeri b.d. adanya cedera
• Gangguan eliminasi alvi /konstipasi b.d. gangguan neuromuskular
• Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
• Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan mobilitas.
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Aktivitas (NIC) 1 Pola napas tidak efektif
berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Do: sesak nafas, terdapat tarikan diafragma, sianosis, hasil GDA: PaO2 < 80, PaCo2 > 45, RR = 28 x/menit
Ds: pasien mengatakan kesulitan bernafas
Setelah dilakukan tindakan selama <24 jam, pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil: Menunjukkan jalan nafas yang paten
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
Airway management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Pasang mayo bila perlu
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
6. Monitor respirasi dan status O2 7. Monitor vital sign
2 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan, kerusakan muskuloskelettal dan neuromuskuler
Do: ada kontraktur, kekuatan otot (ROM menurun), cedera atau lesi pada servikal
Ds: pasien mengatakan tidak dapat melakukan pergerakan pada tangan dan kaki
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
Klien meningkat dalam aktivitas fisik Mengerti tujuan dari peningkatan
mobilitas
Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi
Activity Daily Living
1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 2. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 3. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi kebutuhan ADL
4. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan. 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
dan berikan bantuan jika diperlukan
6. Libatkan keluarga dan ajarkan cara memakaikan pakaian pada pasien
3 Nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan dan namanya imobilitas
Do: wajah pasien meringis, skala nyeri 4-6, luka atau lesi di tempat yang mengalami cedera Ds: pasien mengeluh nyeri pada
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu prnyebab nyeri, mampu menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mencari nyeri, mencari bantuan)
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
daerah yang cedera Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal Tidak mengalami gangguan tidur
dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
7. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 8. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali 4 Gangguan eliminasi alvi
/konstipasi berhubungan dengan gangguan neuromuskular
Do: jika dilakukan palpasi pada abdomen akan didapatkan tegang atau keras pada abdomen pasien,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, konstipasi pasien teratasi dengan kriteria hasil:
Pola BAB dalam batas normal Feses lunak
Cairan dan serat adekuat Aktivitas adekuat
Hidrasi adekuat
Manajemen Usus
1. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi
2. Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
3. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap eliminasi
Ds: pasien mengatakan tidak dapat atau sulit untuk BAB
menggunakan laxative dalam waktu yang lama
5 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan imobilitas
Do: adanya kemerahan, bernanah, kulit lembab, luka dekubitus
Ds: pasien mengatakan nyeri pada punggung
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Gangguan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan
Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan
Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Sensasi dan warna kulit normal
Pressure Management
1. Hindari kerutan padaa tempat tidur
2. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
3. Monitor kulit akan adanya kemerahan 4. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
derah yang tertekan
5. Monitor status nutrisi pasien
6. Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika merubah posisi pasien.
7. Jaga kebersihan alat tenun
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein, mineral dan vitamin
Daftar pustaka
Bruner & Suddarth, 2005, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG- Kedokteran, Jakarta.
Doenges, Moorhause & Geisher, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ECG- Kedokteran, Jakarta.
Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta.
Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-UI, Jakarta.