i MAKALAH KRITIS II
TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SHOK SPINAL
Oleh :
Kelompok 4 Keperawatan Kritis
Habib Muhammad 131011009
Ayu Dyah Lestari 131011019
Seliyuzika Angelani 131011027 Ria Ines Nurfirstya P 131011034 Aby Nugrah Septanto 131011047
Nurul Hidayati 131011052
Nina Rizka Rohmawati 131011059 Desy Mega Dyanivita 131011070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga sebuah karya tulis berjudul “Trauma Spinal Shock dan Trauma Spinal ” ini dapat terselesaikan.
Dalam menyusun karya tulis ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami. Oleh karena itu, terselesaikannya karya tulis ini karena adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati disampaikan ucapan terima kasih kepada fasilitator kelompok kami. Terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Dalam penyusunannya, disadari bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis masih sangat terbatas, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya tulis berikutnya.
Semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat untuk kita semua.
Surabaya, 27 Maret 2014
iii DAFTAR ISI
Cover ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iii
BAB I Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Instrumen ... 2
1.2.1 Instrumen Umum ... 2
1.2.2 Instrumen Khusus ... 2
BAB II Tinjauan Pustaka ... 3
2.1 Trauma Spinal ... 3
2.1.1 Definisi ... 3
2.1.2 Etioligi ... 3
2.1.3 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi ... 5
2.1.4 Patofisiologi ... 11 2.1.5 WOC (terlampir) ... 13 2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik ... 13 2.1.7 Penatalaksanaan ... 17 2.1.8 Komplikasi ... 17 2.1.9 Prognosis ... 18
2.2 Asuhan Keperawatan Trauma Spinal ... 18
2.2.1Contoh Kasus ... 18 2.2.2 Pengkajian ... 19 2.2.3 Analisis Data ... 21 2.2.4 Diagnosis ... 23 2.2.5 Intervensi ... 23 2.3 Spinal Shock ... 28
2.3.1 Definisi Spinal Shock ... 28
2.3.2 Etiologi ... 28 2.3.3 Manifestasi Klinis ... 28 2.3.4 Patofisiologi ... 29 2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ... 31 2.3.6 WOC (terlamir) ... 37 2.3.7 Penatalaksanaan ... 37 2.3.8 Komplikasi ... 38
2.4 Asuhan Keperawatan Spinal Shock ... 38
2.4.1 Pengkajian ... 38
2.4.2 Rencana Keperawatan ... 43
BAB III Penutup ... 50
3.1 kesimpulan ... 50
1 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma Spinal merupakan kasus kerusakan / trauma yang terjadi pada tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada medulla spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan tindakan yang segera. Penanganan secara cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindari kecacatan. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai tulang belakang serta jaringan-jaringan yang melekat seperti ligamen, diskus, dan sumsum tulang belakang (Muttaqin, 2008).
Sedangkan syok spinal merupakan kondisi yang terjadi segera atau dalam beberapa jam setelah cidera medula spinalis yang ditandai dengan hilangnya fungsi motorik, sensorik, refleks dan autonomik dibawah level cedera, yang mengakibatkan paralisis flaksid.
Prevalensi terjadinya trauma spinal berkisar 8.000 – 10.000 di Amerika setiap tahunnya. Fakta yang mengiringi prevalensi kasus yakni usia rata-rata korban 25 tahun, dan rasio korban pria dan wanita yakni 4 : 1, dan menghabiskan biaya hingga US$ 4 Milyar per tahun (Oman dkk, 2008). Jenis-jenis trauma yang sering terjadi adalah kompresi, hiperfleksi, hiperekstensi atau rotasi tulang belakang (Rachman, 2009).
Terjadinya trauma medula spinal dapat disebabkan kompresi, fleksi, rotasi maupun hiperekstensi sehingga terjadi transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Kerusakan saraf merupakan hal yang paling ditakutkan dari trauma spinal karena banyak organ-organ penting tubuh dipersarafi dari medula spinalis. Ancaman yang dapat muncul yakni gangguan ventilasi, infeksi saluran kemih, konstipasi hingga terjadinya shock spinal
Penanganan pada kasus trauma spinal bersifat segera dan kritis. Semua korban kecelakaan motor, menyelam, olahraga, jatuh yang dicurigai terdapat jejas pada tulang belakang, harus dicurigai terkena trauma spinal hingga diketahui secara jelas diagnosisnya. Penanganan yang segera meliputi penilaian segera, immobilisasi, ekstrikasi, stabilisasi, pencegahan cedera lebih lanjut dan transportasi ke pelayanan medis terdekat (Smeltzer, 2010).
2 1.2 Instrumen
1.2.1 Instrumen Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Kritis mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma spinal dan syok spinal secara komperhensif.
1.2.2 Instrumen Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi trauma spinal dan syok spinal. 2. Mengetahui dan memahami etiologi trauma spinal dan syok spinal. 3. Mengetahui dan memahami patofisiologi trauma spinal dan syok spinal. 4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis trauma spinal dan syok spinal. 5. Mengetahui dan memahami komplikasi dari trauma spinal dan syok spinal. 6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik trauma spinal dan syok
spinal.
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari trauma spinal dan syok spinal. 8. Mengetahui dan memahami WOC dari trauma spinal dan syok spinal.
3 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Spinal 2.1.1 Definisi
Trauma Spinal (Spinal Cord Injury) adalah kerusakan / trauma yang terjadi pada tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada medulla spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan tindakan yang segera. Penanganan secara cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindari kecacatan. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai tulang belakang serta jaringan-jaringan yang melekat seperti ligamen, diskus, dan sumsum tulang belakang (Muttaqin, 2008).
Dampak dari trauma dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang meluas, menimbulkan berbagai masalah pada individu, berdampak pula pada kehidupan keluarganya serta masyarakat. Beban yang sangat besar ada pada aspek sumber daya untuk memenuhi kebutuhan bagi pasien yang mengalami kelumpuhan (McQUillan, 2009).
2.1.2 Etiologi
Penyebab yang sering mendasari terjadinya trauma spinal adalah kecelakaan sepeda motor dengan persentase 35% kasus trauma. Penyebab nomor dua terbanyak yakni dikarenakan kasus kekerasan sebanyak 30%, jatuh sebanyak 19%, dan cedera yang diakibatkan olahraga sebesar 8%. Berdasarkan penyebab-penyebab yang telah dijelaskan, resiko terjadinya trauma spinal pada pria empat kali lebih banyak dibanding wanita (Brunner & Suddarth, 2010). Faktor resiko terjadinya trauma spinal selain gender, dipengaruhi oleh usia serta penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang. Segmen yang sering terkena pada kejadian trauma spinal berada pada Cervical 5,6,7, Thoraxal 12, dan Lumbal 1 karena pada segmen-segmen tersebut mempunyai jangkauan pergerakan yang luas, sehingga jika terjadi trauma maka dapat terjadi kerusakan yang parah.
Mekanisme terjadinya trauma medula spinalis tergantung dari mekanika trauma yang mendasari, dapat dibagi menjadi berikut:
1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang sehingga kepala membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus mungkin dapat
4 rusak atau arkus saraf munkgin mengalami fraktur. Sifat dari trauma ini adalah stabil karena ligamen posterior tidak mengalami kerusakan.
2. Fleksi
Mekanisme terjadinya trauma fleksi akibat fleksi serta disertai kompresi pada vertebra. Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk sehingga dapat merusak ligamen posterior. Stabilitas fraktur ditentukan dari derajat kerusakan ligamen posterior.
3. Kompresi
Kompresi dapat terjadi jika kekuatan vertikal mengenai segmen lurus pada segmen servikal atau lumbal. Nukleus pulposus akan mematahkan lempeng vertebra, jika kekuatan cukup besar dapat mendorong bahan diskus ke dalam badan vertebra sehingga menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Sifat dari cedera ini adalah stabli karena kerusakan ligamen posterior minimal. Fragme n tulang dapat terdorong ke belakang kanal spinalis sehingga kerusakan neurologis sering terjadi.
4. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior
Kombinasi trauma jenis fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat mengganggu stabilitas segmen vertebra pertengahan disamping kompleks posterior. Akibatnya yakni fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser kedalam kanal spinalis. Sifat dari trauma ini yakni tidak stabil dengan resiko progresi tinggi dibangingkan dengan fraktur kompresi murni.
5. Rotasi-fleksi
Jenis ini merupakan trauma yang paling berbahaya. Ligamen dan kapsul sendi dapat teregang sampai batas kekuatannya hingga robek dan terjadi fraktur pada permukaan sendi hingga terpotongnya bagian atas dari satu vertebra. Mekanisme ini mengakibatkan pergeseran/dislokasi ke depan vertebra, dengan atau tanpa diikuti dengan kerusakan tulang. Sifat dari trauma ini tidak stabil dan terdapat banyak resiko kerusakan neurologis.
6. Translasi horizontal
Pada jenis ini kolumna vertebralis teriris dan segmen vertebra tergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Sifat trauma yakni tidak stabil serta sering terjadi kerusakan syaraf.
5 2.1.3 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Manifestasi yang muncul pada kasus trauma spinal tergantung dari tipe dan level dari trauma. Jika penderita masih sadar, korban biasanya mengeluhkan nyeri akut pada bagian punggung atau leher. Keparahan dari trauma tersebut dapat dilihat dari luasnya cedera pada tulang belakang dan juga berdampak pada kerusakan saraf tulang belakang yang menempel pada spinal.
Kerusakan yang melintang memberikan gambaran berupa kehilangan fungsi motorik dan sensorik disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsangan dari pusat. Gejala ini muncul selama satu hingga enam minggu dan dapat lebih lama (Jong & Sjamsuhidajat, 2005). Lesi pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua yakni lesi inkomplet dan komplet. Lesi inkomplet terbagi menurut area trauma spinal; central, lateral, anterior atau perifer. Sedangkan lesi komplet dapat menyebabkan paraplegi (kelumpuhan bagian bawah tubuh) atau quadriplegi (kelumpuhan ke empat ekstremitas)
6 Manifestasi Klinis sesuai lokasi trauma :
Tabel 1: Klasifikasi dan Manifestasi Trauma Spinal Berdasarkan Lokasi (Smeltzer et al, 2010)
7 Tabel 2: Manifestasi Trauma berdasarkan segmen tulang
Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1-C4 Fleksi, ekstensi, rotasi,
dan eksorotasi leher
Mm. koli profundi (M. sternokleidomastoideus, M. trapezius)
Saraf servikalis C1-C4
Pengangkatan dada atas, inspirasi
Mm. skaleni C3-C5
Inspirasi Diafragma
Saraf frenikus C3-C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi lengan,
Menurunkan bahu ke dorsoventral
M. pektoralis mayor dan minor
Saraf torakalis anterior C5-T1
Fiksasi skapula selama mengangkat lengan
M. seratus anterior
Saraf torakalis longus C5-C7
Elevasi dan aduksi skapula ke arah kolumna spinalis
M. levator skapula, Mm. rhomboidei
Saraf skapularis dorsal C4-C5
Mengangkat dan eksorotasi lengan, Eksorotasi lengan pada sendi bahu M. supraspinatus, M. infraspinatus Saraf supraskapularis C4-C6 C4-C6
Endorotasi sendi bahu; aduksi dari ventral ke dorsal; menurunkan lengan yang terangkat M. latissimus dorsi, M. teres major, M. subskapularis
Saraf torakalis dorsal C5-C8
(dari daerah dorsal pleksus)
Abduksi lengan ke garis horizontal, Eksorotasi lengan M. deltoideus M. teres minor Saraf aksilaris C5-C6 C4-C5 Fleksi lengan atas dan
bawah dan supinasi
M. biseps brakhii,
Saraf muskulokutaneus C5-C6
8 lengan bawah,
Elevasi dan aduksi lengan,
Fleksi lengan bawah
M. korakobrakhialis, M. brakhialis
C5-C7 C5-C6 Fleksi dan deviasi radial
tangan,
Pronasi lengan bawah, Fleksi tangan,
Fleksi jari II-V pada falangs tengah,
Fleksi falangs distal ibu jari tangan,
Fleksi falangs distal jari II dan III tangan,
M. fleksor karpi radialis M. pronator teres M. palmaris longus M. fleksor digitorum superfisialis
M. fleksor polisis longus M. fleksor digitorum profundus (radial) Saraf medianus C5-C6 C5-C6 C7-T1 C7-T1 C6-C8 C7-T1 Abduksi metakarpal I,
Fleksi falangs proksimal ibu jari tangan,
Oposisi metakarpal I
M. abduktor polisis brevis M. fleksor polisis brevis M. oponens polisis brevis
C7-T1 C7-T1 C6-C7 Fleksi falangs proksimal
dan ekstensi sendi lain, Fleksi falangs proksimal dan ekstensi sendi lain
Mm. lumbrikalis Jari II dan III tangan
Jari IV dan V tangan
Saraf medianus C8-T1 Saraf ulnaris C8-T1 Fleksi dan pembengkokan ke arah ulnar jari tangan,
Fleksi falangs proksimal jari tangan IV dan V, Aduksi metakarpal I, Abduksi jari tangan V, Oposisi jari tangan V,
Fleksi jari V pada sendi metakarpofalangeal, Pembengkokan falangs proksimal, meregangkan jari tangan III, IV, dan V pada sendi tangan dan
M. fleksor karpi ulnaris
M. fleksor digitorum profundus (ulnar) M. aduktor polisis M. abduktus digiti V M. oponens digiti V
M. fleksor digiti brevis V Mm. interosei palmaris dan dorsalis
Mm. lumbrikalis III dan IV
Saraf ulnaris C7-T1 C7-T1 C8-T1 C8-T1 C7-T1 Saraf ulnaris C7-T1 C8-T1
9 distal seperti juga
gerakan membuka dan menutup jari-jari Ekstensi siku, Fleksi siku, Ekstensi siku dan abduksi radial tangan, Ekstensi falangs proksimal jari II-IV, Ekstensi falangs proksimal jari V, Ekstensi dan deviasi ke arah ulnar dari tangan, Supinasi lengan bawah, Abduksi metakarpal I: ekstensi radial dari tangan,
Ekstensi ibu jari tangan pada falangs proksimal, Ekstensi falangs distal ibu jari,
Ekstensi falangs proksimal jari II
M. biseps brakhii dan M. ankoneus
M. brakhioradialis
M. ekstensor karpi radialis M. ekstensor digitorum M. ekstensor digiti V M. ekstensor karpi ulnaris M. supinator
M. abduktor polisis longus M. ekstensor polisis brevis M. ekstensor polisis longus M. ekstensor indisis proprius Saraf radialis C6-C8 C5-C6 C6-C8 C6-C8 C6-C8 C6-C8 C5-C7 C6-C7 C7-C8 C7-C8 C6-C8
Elevasi iga; ekspirasi; kompresi abdomen; anterofleksi dan laterofleksi tubuh. Mm. toracis dan abdominalis N. toracis T1-L1
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi pinggul,
Fleksi dan endorotasi tungkai bawah,
Ekstensi tungkai bawah pada tungkai lutut
M. iliopsoas M. sartorius M. quadriseps femoris Saraf femoralis L1-L3 L2-L3 L2-L4 Aduksi paha
Aduksi dan eksorotasi
M. pektineus M. aduktor longus M. aduktor brevis M. aduktor magnus M. grasilis M. obturator eksternus Saraf obturatorius L2-L3 L2-L3 L2-L4 L3-L4 L2-L4 L3-L4
10 paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi paha,
Fleksi tungkai atas pada pinggul; abduksi dan endorotasi,
Eksorotasi paha dan abduksi
M. gluteus medius dan minimus
M. tensor fasia lata M. piriformis
Saraf glutealis superior L4-S1
L4-L5 L5-S1
Ekstensi paha pada pinggul, Eksorotasi paha M. gluteus maksimus M. obturator internus Mm. gemeli M. quadratus
Saraf glutealis inferior L4-S2
L5-S1 L4-S1 Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris
M. semitendinosus M. semimembranosus Saraf skiatikus L4-S2 L4-S1 L4-S1 Dorsifleksi dan supinasi
kaki,
Ekstensi kaki dan jari-jari kaki,
Ekstensi jari kaki II-V, Ekstensi ibu jari kaki Ekstensi ibu jari kaki
M. tibialis anterior M. ekstensor digitorum longus
M. ekstensor digitorum brevis
M. ekstensor halusis longus M. ekstensor halusis brevis
Saraf peronealis profunda L4-L5 L4-S1 L4-S1 L4-S1 L4-S1 Pengangkatan dan pronasi bagian luar kaki
Mm. peronei
Saraf peronealis superfisialis L5-S1 Fleksi plantar dan kaki
dalam supinasi, Supinasi dan fleksi plantar dari kaki
M. gastroknemius M. triseps surae M. soleus M. tibialis posterior Saraf tibialis L5-S2 L4-L5 Fleksi falangs distal jari
kaki II-V (plantar fleksi kaki dalam supinasi), Fleksi falangs distal ibu jari kaki,
Fleksi jari kaki II-V pada falangs tengah,
M. fleksor digitorum longus
M. fleksor halusis longus M. fleksor digitorum brevis Mm. plantaris pedis
L5-S2
L5-S2 S1-S3 S1-S3
11 Melebarkan, menutup,
dan fleksi falangs proksimal jari-jari kaki Menutup sfingter kandung kemih dan rectum
Otot-otot perinealis dan sfingter
Saraf pudendalis S2-S4
Selain klasifikasi yang dijelaskan sebelumnya, ASIA (The American Spinal Injury Association) bekerjasama dengan IMSOP (International Medical Society of Paraplegia) memberikan standar klasifikasi yang lain, berdasarkan pada derajat fungsi sensorik dan motorik menggunakan penilaian Frankel (1970). Klasifikasi yang digunakan yakni:
Tabel 2. ASIA Imapirment Scale
Grade / Frankle Deskripsi
A Lengkap: Tidak terdapat fungsi motorik dan sensorik di bawah level defisit neurologi
B Tidak lengkap: Fungsi sensorik namun bukan motorik dibawah tingkat neurologis dan menjalar hingga segmen S4-5
C Tidak lengkap : Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat neurologis dan mayoritas otot penting dibawah tingkat neurologis memiliki nilai kurang dari 3
D Tidak lengkap : Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat neurologis dan mayoritas otot-otot penting memiliki nilai lebih dari 3
E Normal : Fungsi motorik dan sensorik normal
2.1.4 Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,
12 yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan
13 parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis. Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas (large stab)
Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak terganggu, tetapi selaput darah-otak masih utuh. Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari penumbra menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.
2.1.5 WOC (Terlampir)
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Setiap klien dengan trauma tulang belakang harus mendapat pemeriksaan secara lengkap. Anamnesis yang baik mengenai jenis trauma, apakah dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, atau olahraga. Diperhatikan adanya tanda-tanda trauma dan aberasi kepala bagian depan yang mungkin disebabkan karena trauma hiperekstensi.
Pemeriksaan tulang belakang dilakukan secara hari-hati dengan memeriksa mulai dari vertebra servikal sampai vertebra lumbal dengan meraba bagian-bagian vertebra, ligamen, serta jaringan lunak lainnya.
Pemeriksaan neurologis lengkap juga diperlukan. Pada setiap trauma tulang belakang harus dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap trauma yang mungkin menyertainya seperti trauma pada kepala, thorak, rongga perut serta panggul. Pemeriksaan diagnostik mencakup kegiatan sebagai berikut :
1. Foto Polos Vertebra : merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.
14 2. CT-Scan Vetebra : pemeriksaan ini dapat memperbaiki jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang.
3. MRI Vertebra : MRImengidentifikasi kerusakan syaraf dan adanya edema dan juga kompresi.
4. Analisa Gas Darah : menunjukkan efektifitas pertukaran gas dan ventilasi.
2.1.7. Penatalaksanaan
1) Diagnosis
Apabila medula spinalis tiba-tiba mengalami kerusakan, maka akan ada 3 kelainan yang muncul, yaitu :
1. Semua pergerakan volunter di bawah lesi hilang secara mendadak dan bersifat permanen, sedangkan refleks fisiologis bisa menghilang atau meningkat.
2. Sensasi sensorik dibawah lesi juga menghilang. 3. Terjadi gangguan fungsi otonom.
Cedera medula spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih tanda-tanda klinis dibawah ini:
1. Nyeri menjalar.
2. Kelumpuhan/hilangnya pergerakan. 3. Hilangnya sensasi rasa.
4. Hilangnya kemampuan peristaltik usus
5. Spasme otot atau bangkitan refleks yang meningkat. Perubahan fungsi seksual.
2) Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi disalah satu tulang) untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral. 2. Operasi lebih awalan sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau
15 3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direabduksi, dan fraktur non-union.
4. Terapi steroid, nomipidin, atau dopamin untuk perbaiki aliran darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30mg/kg berat badan diikuti 5,4 mg/kg berat badan/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik, motorik, dan penting untuk melacak difisit yang progrosif atau asenden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungis ventilasi, dan melacak keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, frraktur proses tranversus, spinosus, dan lainnya. Tindakan simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
8. Cedera tak stabil diserti defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain :
1). Traksi memakai sepir (tang) metal yang dipasangkan pada tengkorak. Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1.
2). Manipulasi dengan anastesi umum. 3). Reabduksi terbuka melalui operasi. b. Metode imobilisasi antara lain :
1). Ranjang khusus, rangka, atau seluruh plester.
2). Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang sudah direabduksi.
3). Plester paris dan splin eksternal lain. 4). Operasi.
9. Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis disebabkan oleh :
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vaskular.
16 b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti
spondiliosis servikal.
c. Frakmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama kali diperiksa :
1). Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat di konservatif.
2). Cedera di daerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan diberi metil prednisolon.
3). Pemeriksaan penunjang MRI.
4). Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
5). Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi tengkorak, dan metil prednisolon.
6). Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
7). Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi kedaan memburuk maka lakukan mielografi.
8). Cedera tulang tak stabil.
9). Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan paraplegia.
10). Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.
11). Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang sama. 3) Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medulla spinalis lanjut dan mengobservasi gejalan penurunan neurologik. Pasien diresusitasi bila perlu, dan stabilitas oksigenasi dan kardiovaskuler dipertahankan.
Primary Survey:
a. Airway
Menilai airway sewaktu mempertahankan posisi tulang leher membuat airway definitif apabila diperlukan.
b. Breathing
Menilai dan memberikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila diperlukan.
17 Bila terdapat hipotensi, harus dibedakan antara syok hipovolemik (penurunan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, ekstremitas yang dingin) dari syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut jantung, ekstremitas hangat).
Penggantian cairan untuk menanggulangi hipovolemia. d. Disability
Pemeriksaan neurologik singkat. Tentukan tingkat kesadaran dan menilai pupil. Tentukan AVPU atau lebih baik dengan GCS. Kenali paralysis/paresis.
Secondary Survey :
1. Pemeriksaan Motoris
Menentukan level kuadriplegia dan menentukan level paraplegia. 2. Pemeriksaan sensoris
Menentukan level sensasi terutama dengan melakukan level dermatom. 3. Pemeriksaan neurologis
Memperoleh anamnesis AMPLE, identifikasi adanya nyeri (lokasi,ada/tidak)
Level fungsi motoris dan sensasi harus dinilai ulang secara berkala dan secara berhati-hati dan tidak lupa didokumentasikan, karena tidak terlepas kemungkinan terjadi perubahan level.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan yaitu antara lain : 1. Neurogenic shock 2. Hipoksia 3. Gangguan paru-paru 4. Instabilitas spinal 5. Orthostatic hipotensi 6. Illeus paralitik. 7. ISK
8. Batu saluran kemih 9. Kontraktur
10. Dekubitus
11. Inkontinensia bladder 12. Konstipasi
18 2.1.9 Prognosis
Pasien dengan cedera medula sinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.
2.2 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis
2.2.1 Contoh Kasus
Tn C 46 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Kepala penderita terbentur pembatas jalan, leher terdongak ke belakang (hiperfleksi-hiperekstensi), dan terjatuh dari sepeda motor. Pada saat kejadian penderita tidak sadar < 5 menit. Segera setelah sadar, penderita merasakan nyeri yang menjalar pada ke empat anggota geraknya seperti tersetrum. Penderita sama sekali tidak dapat menggerakkan keempat anggota geraknya atau quadriplegi. Rasa kesemutan dan baal dirasakan di keempat anggota gerak dan mulai dari dada ke bawah. Penderita hanya sedikit merasakan rabaan dan cubitan di kedua lengan, namun tidak dapat merasakan rabaan maupun cubitan di kedua tangannya. Penderita mengalami gangguan pernafasan yaitu napas pendek dan menggunakan otot pernafasan sternocleidomastoideus. Dari hasil pemeriksaan didapatkan TTV nadi 60x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg, RR 23x/menit, suhu 380C, dan akral hangat kemerahan. Hasil CT scan menunjukkan bahwa letak trauma pada servikal, serabut saraf perifer tidak terkena, sehingga fungsi dari organ yang dipersarafi oleh segmen thoracal, lumbal dan sacral tetap normal. Tn C terdiagnosis trauma spinal cord syndrome.
2.2.2 Pengkajian Primary Survey
1. Airway (jalan napas) + Control servikal = Bebaskan jalan napas = kontrol servikal. Saat dilakukan jaw thrust ada hembusan napas yang keluar melalui hidung.
2. Breathing (pernapasan) + control ventilasi
Diberikan oksigen 2lpm untuk memberikan oksigen yang adekuat. 3. Circulation + control perdarahan
a. Tidak ada perdarahan eksternal, warna kulit kemerahan, suhu 380C, nadi 60x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg, RR 23x/menit
b. Terdapat tanda-tanda syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut jantung, ekstremitas hangat)
19 4. Disabillity (kesadaran)
a. Klien sadar, GCS 4,5, 1 b. adanya quadriplegi
5. Exposure (cek semua bagian tubuh)
a. Dilakukan pemasangan Folley catheter. Sebelum dilakukan pemasangan, periksa kontraindikasinya :
1. Perdarahan di orifisium uretra eksterna 2. Hematom scrotum
3. Pada saat rectal touche, prostat melayang
Evaluasi urin: urin pertama dibuang, selanjutnya baru dihitung. b. Dilakukan pemasangan nasogastric tube
c. Memeriksa Vital Signs Secondary Survey
1. Pengkajian a. Identitas
Nama : Tn. C
Umur : 46 Tahun
Jenis kelamin : Pria
Pendidikan : SLTA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga negara : Indonesia Status perkawinan : Sudah Kawin Alamat : Jl. Kartini No. 35 Tgl masuk RS : 20 Maret 2014 Tgl pengkajian : 20 Maret 2014 Nomor register : 96185300
Dignosa medis : Trauma spinal cord syndrome b. Riwayat Penyakit
1. Keluhan utama: nyeri yang menjalar pada ke empat anggota geraknya dan tidak dapat menggerakkan keempat anggota geraknya
2. Riwayat penyakit sekarang
Korban mengalami kecelakaan lalu lintas. Kepala penderita terbentur pembatas jalan, leher terdongak ke belakang (hiperfleksi-hiperekstensi), dan
20 terjatuh dari sepeda motor. Pada saat kejadian penderita tidak sadar < 5 menit. Segera setelah sadar, penderita merasakan nyeri yang menjalar pada ke empat anggota geraknya seperti tersetrum. Penderita sama sekali tidak dapat menggerakkan keempat anggota geraknya atau quadriplegi. Rasa kesemutan dan baal dirasakan di keempat anggota gerak dan mulai dari dada ke bawah. Penderita hanya sedikit merasakan rabaan dan cubitan di kedua lengan, namun tidak dapat merasakan rabaan maupun cubitan di kedua tangannya.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami hal seperti ini. Pasien tidak pernah menderita penyakit parah dan belum pernah dirawat dirumah sakit. c. Pemeriksaan fisik Keadaan umum 1. GCS : 4, 5, 1 2. TD : 90 / 60 mmHg 3. S : 38° C 4. Nadi : 60 x / menit 5. RR : 23 x / menit
B1 : Napas pendek, menggunakan otot-otot pernafasan sternocleidomastoideus. B2 : Bradikardia, hipotensi,
B3 : Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan, adanya quadriplegi. Rasa kesemutan dan baal dirasakan di keempat anggota gerak dan mulai dari dada ke bawah. Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan. Akral hangat kemerahan dan suhu tubuh 38° C
B4: Tidak ada bising usus B5: Retensi urine
B6 : Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM), rasa kesemutan dan baal dirasakan di keempat anggota gerak dan mulai dari dada ke bawah. d. Pemeriksaan penunjang
Hasil CT scan menunjukkan bahwa letak trauma pada servikal, serabut saraf perifer tidak terkena, sehingga fungsi dari organ yang dipersarafi oleh segmen thoracal, lumbal dan sacral tetap normal.
21 2.2.3 Analisa data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : - DO : a. Napas pendek b. Menggunakan otot pernafasan sternocleidomastoideus c. RR: 23 x/menit Trauma ↓ cedera hiperekstensi ↓
lesi pada medulla spinalis atau whiplash
↓
mengenai C1-C4 ↓
pola napas tidak efektif
Pola napas tidak efektif
DS : Pasien mengatakan nyeri yang menjalar pada ke empat anggota geraknya seperti kesetrum
DO:
Wajah pasien tampak kesakitan
Trauma ↓
cedera hiperekstensi ↓
lesi pada medulla spinalis atau whiplash
↓
saraf spinalis tertarik ↓ jejas ↓ nyeri Nyeri DS : - DO: a. TD 90/60 mmHg b. Nadi 60 x/menit
c. Akral hangat kemerahan d. Quadriplegi
Trauma ↓
cedera hiperekstensi ↓
lesi pada medulla spinalis atau whiplash
↓
hilangnya tonus vasomotor ↓
22 Hipotensi, vasokonstriksi perifer ↓ syok neurogenik DS : - DO : a. Quadriplegi
b. Atropi otot, kontraktur c. Menurunnya gerak sendi
(ROM)
Trauma ↓
cedera hiperekstensi ↓
lesi pada medulla spinalis atau whiplash
↓
kehilangan fungsi motorik ↓
kerusakan mobilitas fisik
Kerusakan mobilitas fisik
DS : - DO :
a. Immobilisasi
b. Menurunnya gerak sendi (ROM)
Trauma ↓
cedera hiperekstensi ↓
lesi pada medulla spinalis atau whiplash
↓
kehilangan fungsi motorik ↓
kerusakan mobilitas fisik ↓
immobilisasi ↓
resiko kerusakan integritas kulit
Resiko kerusakan integritas kulit
23 2.2.4 Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif bd kerusakan persarafan C1-C4 2. Nyeri bd trauma medulla spinalis
3. PK: Syok neurogenik
4. Kerusakan mobilitas fisik bd kerusakan neuromuskuler
5. Kerusakan integritas kulit bd ketidakadekuatan sirkulasi immobilisasi
2.2.5 Intervensi
1. Pola napas tidak efektif bd kerusakan persyarafan
Tujuan: Kemampuan oksigenasi meningkat setelah dilakukan intervensi 1x24 jam Kriteria Hasil:Menunjukan pola napas efektif dengan frekuensi 18-20x/menit, tidak
ada sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi Rasional
Lakukan penghisapan bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekresi
Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, meningkatkan distribusi udara, dan mengurangi resiko infeksi pernafasan Jaga patensi fungsi pernafasan dengan
menginstruksi pasien untuk melakukan nafas dalam
Trauma pada C1 dan C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernafasan secara menyeluruh, trauma C4 dan C5 mengakibatkan hilangnya fungsi pernafasan yang bervariasi tergantung pada tekanan saraf frenikus dan fungsi diafragma
Auskultasi suara nafas Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi/atelektasis/pneumoni (komplikasi yang sering terjadi) Observasi warna kulit, adanya sianosis,
keabu-abuan
Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan evaluasi dan intervensi medis dengan segera
24 Berikan oksigen dengan cara yang tepat
seperti dengan kanul oksigen, masker, intubasi
Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi pernapasan dan banyaknya fungsi otot pernapasan yang sembuh setelah fase syok spinal
2. Nyeri bd trauma medulla spinalis
Tujuannya: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang /terkontrol.
Kriteria Hasil; Nyeri hilang / terkontrol, Wajah tampak tenang, rileks, Istirahat / tidur terpenuhi.
Intervensi Rasional
Monitor adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri
Pasien biasanya melaporkan nyeri ditas tingkat cedera misalnya dada, punggung atau kemungkinan sakit kepala
Berikan tindakan kenyamanan, misalnya relaksasi perubahan posisi, kompres hangat/dingin
Tindakan alternative mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosional, selain menurunkan kebutuhan obat/efek tak diinginkan pada fungsi pernapasan Berikan obat sesuai indikasi : relaxan
otot misalnya dantern (dantrium)
Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat
3. PK Syok neurogenik
Intervensi Rasional
Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
Melancarkan peredaran darah ke otak.
25 memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker
hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Aliran kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Kerusakan mobilitas fisik bd kerusakan neuromuskuler
Tujuan: Dalam 2 x 24 jam pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal meski dengan bantuan
Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi-posisi fungsi dibuktikan oleh tidak adnya kontraktur footdrop. Meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit atau kompensasi
Karakteristik : 0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi Rasional
Monitor secara teratur fungsi motorik Mengevaluasi keadaan secara khusus karena pada beberapa lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi
Pertahankan sendi 90 derajat terhadap papan kaki
26 Lakukan log rolling. Membantu ROM secara pasif
Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Mengetahui adanya hipotensi ortostatik
Monitor rasa nyeri, kemerahan, bengkak, ketegangan otot jari
Banyak sekali pasien dengan trauma saraf servikal mengalami pembentukan thrombus karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi dan kelumpuhan flaksid
Konsultasi dengan ahli terapi fisik Membantu dalam merencanakan dan melaksanakan latihan secara individual dan mengidentifikasi alat-alat. Bantu untuk memoertahankan fungsi mobilisasi dan kemandirian pasien
5. Resiko kerusakan integritas kulit bd ketidakadekuatan sirkulasi immobilisasi Tujuan: Dalam 5 x 24 jam pasien dapat mencapai penyembuhan luka
Kriteria Hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi pada bekas luka.
Intervensi Rasional
Lakukan pengkajian neurologik setiap 4 jam.
Mengevaluasi keadaan secara khusus
Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan sirkulasi perifer
Gunakan alat ortopedi, colar, handsplit. Menjaga kestabilan dari kolomna vertebra dan membantu proses penyembuhan
Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
Banyak sekali pasien dengan trauma saraf servikal mengalami pembentukan thrombus karena gamgguan sirkulasi
27 perifer, imobilisasi dan kelumpuhan flaksid
Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latiahan dan penggunaan alat seperti splints
Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.
2.3 Syok Spinal
2.3.1 Definisi Syok Spinal
Syok spinal adalah kondisi yang terjadi segera atau dalam beberapa jam setelah cidera medula spinalis dan disebabkan oleh penghentian mendadakan implus dari pusat otak yang lebih tinggi. Kondisi ini ditandai dengan hilangnya fungsi motorik, sensorik, refleks dan autonomik dibawah level cedera, yang mengakibatkan paralisis flaksid. Hilangnya fungsi usus dan kandung kemih juga terjadi. Selain itu, kemampuan tubuh untuk mengendalikan suhu (poikilotermia) menjadi hilang dan suhu pasien cenderung menyesuaikan dengan suhu lingkungan eksternal. Tidak ada pengobatan untuk syok spinal (Morton., et al, 2012).
Jika cedera medula spinalis menghasilkan transeksi inkomplet, supresi fungsi dibawah level cedera bersifat temporer, berlangsung beberapa hari, sampai minggu atau bulanan. Durasi syok spinal bervariasi, bergantung pada keparahan cedera dan adanya komplikasi lain. Kembalinya aktivitas refleks perianal menandakan akhir periode syok spinal. Refleks yang berhubungan dengan area yang melingkupi korda yang cedera akan pulih terakhir. Otot skleletal menjadi spatik dan terjadi peningkatan tonus otot serta gerakan fleksor yang berlebih (Morton., et al, 2012).
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer (Moor, 2013).
2.3.2 Etiologi
Neurogenik shock disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu non-traumatic dan traumatic. Neurogenic shock karena traumatic disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, olahraga, luka tembak atau tikam, dll. Sedangkan neurogenic shock karena non-traumatic disebabkan karena kelainan tulang: mielitis, osteoporosis, tumor. Neurogenik yang
28 menganggu saraf serebrospinal. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif (Linda D. Urden, 2008).
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab lainnya
2.3.3 Manifestasi Klinis
Spinal shock menyebabkan hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
2.3.4 Patofisiologi
Syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal, misalnya jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karena itu kondisi yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong, 2000).
29 Kecelakaan jalan raya, jatuh dari ketinggian, trauma tulang belakang dan cedera olahraga dapat mengakibatkan fraktur pada servikal dan lumbal. Sehingga menyebabkan memar, kontusio, kerusakan, dan laserasi, pada sumsum tulang belakang. Hal tersebut menyebabkan pelepasan mediator kimia, nyeri hebat, syok spinal, gangguan sistem saraf otonom dibawah cedera, hipotensi dan bradikardi. Gangguan neurologis pada korda spinalis menyebabkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik. Sehingga terjadi kerusakan saraf ekstremitas, kelumpuhan, cacat, penurunan aktivitas dan peningkatan bedrest. Hilangnya fungsi motorik dan sensorik juga menyebabkan blok saraf parasimpatis, kelemahan saraf pernafasan, Suplay oksigen ke seluruh tubuh menurun, hipoksia, sesak nafas. Dan dapat pula menyebabkan gangguan fungsi rectum dan vesika urinaria, Inkontinensia Alvi dan urine.
Cedera tulang belakang dapat dipertahankan melalui mekanisme yang berbeda, dengan 3 kelainan umum berikut yang menyebabkan kerusakan jaringan:
1. Penghancuran dari trauma langsung. 2. Kompresi oleh fragmen tulang, hematoma
3. Iskemia dari kerusakan atau pelampiasan pada arteri spinalis. 4. Edema bisa terjadi setelah salah satu jenis kerusakan.
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang disarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap bebas.
30 1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.
2. Berikan oksigen dengan masker atau kantung nafas (selfinvlating) 3. Menilai jalan nafas
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain : a. Suara berkumur
b. Suara nafas abnormal (stridor, dsb) c. Pasien gelisah karena hipoksia
d. Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks e. Sianosis
Jika ada obstruksi maka lakukan :
a. Jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah) b. Suction / hisap (jika alat tersedia)
c. Guedel airway / nasopharyngeal airway
d. Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral e. Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan Indikasi tindakan ini adalah :
a. Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
b. Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar c. Apnea
d. Hipoksia
e. Trauma kepala berat f. Trauma dada
31 Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat, dengan cara :
1. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK) Adakah hal-hal berikut :
- Sianosis
- Luka tembus dada - Flail chest
- Sucking wounds
- Gerakan otot nafas tambahan 2. Palpasi / raba (FEEL)
- Pergeseran letak trakhea - Patah tulang iga
- Emfisema kulit
- Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks 3. Auskultasi / dengar (LISTEN)
- Suara nafas, detak jantung, bising usus - Suara nafas menurun pada pneumotoraks - Suara nafas tambahan / abnormal
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan : 1. Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks) 2. Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada 3. Pernafasan buatan
4. Berikan oksigen jika ada
5. Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai. Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis : hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok neurogenik ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa disertai takikardia atau vasokonstriksi.
32 Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
1. Hentikan perdarahan eksternal
2. Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G) 3. Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale.
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U Cara ini cukup jelas dan cepat. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin ada. Pemeriksaan korban trauma tulang belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).
a. Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling”
b. Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan kepala.
c. Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral. Jangan memindahkan / membawa pasien dengan dugaan trauma tulang leher pada posisi duduk atau tengkurap. Pastikan pasien dalam kondisi stabil sebelum transportasi.
d. Bila terdapat trauma tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan sumsum tulang belakang, periksalah :
• Apakah ada nyeri tekan.
• Deformitas dan tanda “step-off” posterior • Pembengkakan
e. Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah : • Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)
• Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani) • Hipotensi dengan bradikardia.
Jika tersedia alat sinar X maka foto tulang leher dilakukan pada posisi AP dan posisi lateral yang menampakkan sendi atlas-axis dan tujuh ruas tulang leher. Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen
33 tulang belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita.
Selanjutnya survei sekunder yang hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi primary survey. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama :
Pemeriksaan kepala
• Kelainan kulit kepala dan bola mata
• Telinga bagian luar dan membrana timpani • Cedera jaringan lunak periorbital
Pemeriksaan leher • Luka tembus leher • Emfisema subkutan • Deviasi trachea
• Vena leher yang mengembang Pemeriksaan neurologis
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS) • Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik • Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
Pemeriksaan dada
• Clavicula dan semua tulang iga • Suara napas dan jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia) Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
• Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
• Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada trauma wajah
34 • Periksa dubur (rectal toucher)
• Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus Pelvis dan ekstremitas
• Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan apapun karena memperberat perdarahan)
• Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma • Cari luka, memar dan cedera lain
Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :
• Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak) • Pelvis dan tulang panjang
• Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit neurologis fokal. Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif. Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg). 2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
a. Dopamin Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
35 b. Norepinefrin Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
c. Epinefrin Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik d. Dobutamin Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya
cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer. Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan (Aru, 2006).
Sedangkan menurut Corwin (2009), tatalaksana syok neurogenik / spinal adalah sebagai berikut :
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
36 6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan melibatkan anggota keluarga
2.3.6 WOC (Terlampir)
2.3.7 Komplikasi
1) Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris. Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).
2) Hipotermia. 3) Dekubitus
4) Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
5) Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi :
atelektasis sekunder
menurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan pneumonia
kelelahan otot 2.3.8 Komplikasi
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5%. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50%.
37 2.4 Asuhan Keperawatan Shock Spinal
2.4.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Klien bernama Tn. S, umur 35 tahun dan sudah menikah, klien beragama islam, bersuku melayu, pendidikan terakhir klien hanya tamatan SD saaat ini klien bekerja sebagai seorang penambang emas, klien berasal dari desa nanga menarin, mentebah kapuas hulu, pada tanggal 06 Juni 2012 klien masuk RSDS. Klien di rawat di ruang Bedah Umum Pria (C) dengan diagnose medis Fraktur Lumbal 4-5. Saat bekerja klien tertimpa runtuhan tanah dengan posisi jongkok, dan beberapa saat setelah itu pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya klien saat itu lemahsehingga klien langsung dibawa ke rumah sakit
2) Riwayat Kesehatan Klien a. Kesehatan Masa Lalu
Klien mengatakan ia belum pernah masuk Rumah Sakit, klien hanya menderita sakit seperti flu dan batuk saja dan hanya membeli obat di warung.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang 1) Alasan Masuk Rumah Sakit
Dua puluh hari sebelum masuk rumah sakit RSDS Pontianak klien mengalami kecelakaan di tempat kerjanya. Saat bekerja klien tertimpa runtuhan tanah dengan posisi jongkok, dan beberapa saat setelah itu pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya klien saat itu lemahsehingga klien langsung dibawa ke rumah sakit putusibau dan mendapat perawatan, karena fasilitas yang belum memadai di rumah sakit putusibaupada tanggal 06 Juni 2012 klien dirujuk kerumah sakit RSDS pontianak dalam keadaan sadar penuh ,nyeri pada daerah punggung, tampak jejas pada punggung bagian lumbalis dan klien mengatakan bagian kaki terasa dingin.
2) Keluhan Waktu Didata
Pada waktu didata tanggal 06 Juni 2012 klien mengatakan nyeri pada saat klien: bergerak & diam, dengan kualitas nyeri terasa ditusuk-tusuk, klien mengatakan bagian belakangnya (lumbalis) terasa nyeri dengan skala 4-6 (sedang), dan nyeri nya terjadi secara terus menerus sehingga membuat klien sulit untuk tidur. Klien juga mengatakan hanya terbaring, aktivitasnya dibantu perawat dan keluarga, sudah 2 hari belum mandi dikarenakan keluarga klien tidak berani untuk menggerakan klien.
38 3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan didalam keluarganya tidak terdapat penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes melitus, atau asma serta tidak ada pula yang menderita penyakit menular seperti hepatitis, tbc, dan lain-lain.
4) Data Biologis a. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : Klien makan 3x/ hari dengan menu bervariasi seperti nasi, sayur mayur dan lauk pauk. Klien tidak ada pantangan dan alergi terhadap makanan. Saat sakit :Klien makan 3 kali sehari dengan menu makanan yang disediakan oleh
pihak rumah sakit, klien hanya mampu menghabiskan setengah porsimakanan yang disajikan.
b. Pola Minum
Sebelum sakit :Klien minum air putih ± 1000 – 1500 cc / hari. Kadang-kadang klien minum teh manis atau kopi.
Saat sakit :Klien minum ± 7- 8 gelas /hari Klien minum 1000-1500cc/hari air putih. c. Pola Eleminasi
Sebelum sakit :Klien BAK 3-5 kali atau ±1200cc sehari dengan urin kuning jernih tanpa keluhan. Klien BAB 1-2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna kuning dan tanpa keluhan.
Saat sakit :Klien terpasang kateter, dan dalam 1 hari ada sekitar 1000cc urine yang keluar. Klien BAB 1-2x sehari dengan konsistensi padat tetapi klien tidak bisa mengontrol pola BAB nya sehingga klien tidsak bisa merasakan adanya feses yang keluar,klien mengatakan klien juga tidak bisa menyadari pada saat BAB dan tidak bisa merasakan pada saat tinjanya keluar.
d. Pola istirahat Tidur
Sebelum sakit :Klien tidur + 7-8 jam/hari dengan penerangan yang cukup, menggunakan bantal, selimut pada malam hari dan jarang tidur pada siang hari.
Saat sakit :Klien tidak bisa tidur, klien tidur malam hanya 2-3 jam dan tidak pernah tidur siang.