• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Institut Pertanian Bogor

SISTISERKOSIS DI INDONESIA

Latar belakang

Taeniasis/ sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Taeniasis merupakan siklozoonosis obligat dimana manusia harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya.

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pork measles, beberasan di daerah Bali, manis-manisan di daerah Tapanuli, dan banasom di daerah Toraja.

Kepentingan kesehatan masyarakat dari T. solium adalah bahwa manusia dapat terinfeksi oleh telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan tubuhnya, sedangkan kepentingan T. saginata adalah manusia dapat terinfeksi larva dan cacing dewasa dapat berkembang di usus manusia. Taeniasis/ sistiserkosis merupakan masalah yang penting di Indonesia yang disebabkan oleh tiga spesies cacing pita yaitu T. solium, T. saginata, and T. asiatica. Ketiga cacing pita ini pernah dilaporkan dari provinsi di Indonesia yang merupakan

(2)

daerah endemic taeniasis/ sistiserkosis yaitu Bali (T. solium dan T.saginata), Papua (T. solium), dan Sumatera utara (T. asiatica). Ketiga cacing ini memiliki iang definitif yaitu manusia dan inang perantara antara lain : untuk T. solium adalah babi, domba, kera, kucing, anjing dan unta; T. saginata adalah sapi dan kerbau; dan T. Asiatica pada hewan liar seperti anjing dan babi liar..

Taenia saginata atau Taenia asiatica merupakan parasit cacing pita yang dapat menyebabkan Taeniasis dimana cacing dewasa berada pada usus halus manusia. Taenia solium dapat menyebabkan dua gejala penyakit yaitu taeniasis dan sistiserkosis yang berupa tahap larva dari cacing ini dan berada pada jaringan tubuh. Manusia dapat terinfeksi oleh metacestoda (sistiserkus) dari T. saginata, T. asiatica, atau T. solium dengan memakan sapi atau babi yang dimasak dengan tidak matang. Sistiserkus yang termakan dapat berubah menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan.

Inang perantara mendapatkan infeksi dengan memakan telur atau segmen gravid dari cacing ini. Pada manusia, telur T. solium dimungkinkan termakan melalui makanan, sayuran, air yang sudah terkontaminasi. Sistiserkosis memiliki efek pada beberapa area tubuh, namun yang paling menonjol adalah pada bagian system saraf pusat yang dapat menyebabkan neurosistiserkosis dengan gejala epilepsy.

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas penyakit parasit zoonotik taeniasis dan sistiserkosis yang meliputi antara lain agen penyebab, cara penularan, gejala klinis, penyebaran di Indonesia, pengobatan, dan akan dibahas mengenai pencegahannya dan pengendaliannya.

Agen Penyebab

Taenia Saginata (Cacing Pita Daging Sapi)

Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000 segmen. Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex,

(3)

berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap segmen.

Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Telur masih infektif selama delapan minggu dan dapat bertahan hidup di lapangan rumput yang baik selama enam bulan. Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya. embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.

Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau.

Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung, namun penelitian dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke seluruh otot sapi coba. Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang menjadi T. saginata dalam ususnya.

Taenia solium (Cacing Pita Daging Babi)

Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m. Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen hingga 1000 segmen. Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil yaitu 1 mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin karena

(4)

ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000 telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis solium.

Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya dapat juga sebagai inang antaranya. Babi adalah hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging tampak ratusan Cysticercus cellulosae. Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi. Bahayanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai inang antara walaupun secara kebetulan.

Larva sistiserkus, semitransparan, berwarna keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi cairan dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke dalam (invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seseorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain.

Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit. Penularan dapat terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah (regurgitasi) pada penderita taeniasis.

(5)

Gejala Klinis

Sistiserkosis pada hewan tidak selalu meunjukkan gejala klinis yang nyata. Pada beberapa kasus,pada babi yang terinfeksi menunjukkan gejala hipersensitivitas pada hidung, paralisis pada lidah, dan konvulsi layaknya epilepsy, namun gejala saraf jarang sekali muncul karena masa hidup babi yang tidak panjang.

Penderita taeniasis pada manusia jarang menunjukkan gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor. Justru keluhan yang sangat mengganggu adalah dalam bentuk kejiwaan adalah keluarnya segmen gravid dari anus penderita yang menimbulkan kegelisahan. Gejala umum yang biasanya menyertai taeniasis adalah mual, sakit di ulu hati, perut mulas, diare bahkan

Gambar 1 Siklus hidup taenia manusia (cacing pita sapi dan cacing pita babi) (Sumber : CDC 2010)

(6)

kadang-kadang sembelit, nafsu makan berkurang hingga menurunkan berat badan, pening, muntah, nyeri otot, serta kejang-kejang) Pasien taeniasis tetap mengeluarkan segmen gravid selama 1-30 tahun.

Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sangat bergantung pada organ serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan. Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang belakang (Retnani 2004).

Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut disini sistiserkosis. Larva T. solium yang terdapat di dalam jaringan subkutan dan otot di bawahnya membentuk suatu benjolan yang disebut benjolan di bawah kulit atau subcutaneous nodule. Setelah beberapa tahun terjadi kalsifikasi (pengapuran) pada sistiserkus. Cysticercus cellulosae di dalam sistim saraf pusat seperti otak atau medulla spinalis jarang mengalami kalsifikasi. Larva di dalam sistim saraf pusat dapat menyebabkan serangan kejang seperti ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang ada gejala kelainan jiwa.

Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran pencernaan yang lebih ringan.

Gejala klinis oleh kista tergantung dari letak, jumlah, umur dan lokasi dari kista, namun kadang-kadang tidak menyebabkan gejala meskipun terdapat sejumlah besar kista pada organ tubuh penderita. Bila kista ditemukan pada jaringan subkutan nodul-nodul kista akan teraba pada palpasi. Tidak selalu mudah menemukan benjolan kista di dalam jaringan subkutan. Kista teraba sebagai jaringan lunak yang menonjol dengan batas-batas tidak tegas, karena letaknya agak dalam di dalam jaringan subkutan. Dapat pula kista ditemukan pada jaringan mata dan menyebabkan ocular cysticercosis.

(7)

Kista yang tetap hidup dan umumnya ditemukan pada cairan vitreus menyebabkan uveitis, palpebral conjunctivitis dan gangguan visus. Kista di dalam jaringan otak menyebabkan brain cysticercosis (neurocysticercosis) yang kadang-kadang menimbulkan kejang epilepsi yang di Papua disebut mati-mati ayam dengan keluhan sakit kepala dan muntah. Munculnya epilepsi berlangsung secara mendadak baik siang maupun malam hari, kemudian hilang dengan sendirinya.

Sejarah Penyebaran Penyakit dan Data Epidemiologis di Indonesia

Penyakit taeniasis/ sistiserkosis telah dikenal manusia sejak zaman prasejarah dan sejak tahun 1602 telah dikenal pembedaan antara Taenia saginata dan Taenia solium. Tetapi meskipun begitu, daur hidup kedua cacing ini baru diketahui pada abad ke-19.

Penyakit ini telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang lalu ketika antelope atau hewan ruminansia lainnya merupakan hewan buruan. Pada awalnya hyena dan kucing besar sebagai inang definifnya, sedangkan inang antaranya adalah ruminansia liar. Tentunya hal ini terjadi jauh sebelum domestikasi babi maupun babi yang disertai dengan perkembangan pertanian dan kehidupan manusia moderen.

Distribusi T. saginata dan T. solium hampir ke seluruh penjuru dunia dan diperkirakan terjadi seratus juta kasus penyakit setiap tahunnya. Kejadiannya pada umumnya berkaitan dengan masalah sosial-budaya-keagamaan masyarakat tertentu dalam hal mengonsumsi daging babi. Selain itu sanitasi lingkungan dan yang berhubungan dengan manajemen ternak dan cara pembuangan tinja manusia. Dari berbagai faktor tersebut terbukti bahwa penyebaran taeniasis/cysticercosis di Indonesia terdapat di daerah-daerah tertentu yang berhubungan dengan adat- istiadat penduduk setempat.

Kasus sistiserkosis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh LeCoultre di Bali pada tahun 1920 yang agennya adalah Cysticercus cellulosae. Secara historis, taeniasis karena T. saginata di Indonesia pernah dilaporkan di Jawa Timur pada tahun 1867 dan taeniasis karena T. solium pernah dilaporkan di Kalimantan Timur pada tahun 1940. Kasus taeniasis dan/atau sistiserkosis juga pernah dilaporkan di beberapa propinsi lainnya di Indonesia.

(8)

Propinsi Papua adalah salah satu propinsi di Indonesia yang terletak paling timur. Penyakit sistiserkosis di propinsi Papua ditemukan pertama kali di Kabupaten Paniai dan kemudian menyebar ke wilayah timur pegunungan Jayawijaya sampai ke Lembah Baliem dan kabupaten lain, termasuk Kabupaten Jayawijaya.

Berdasarkan penelitian di Indonesia, propinsi Papua (Irian Jaya) adalah daerah yang hiperendemis sistiserkosis. Prevalensi sistiserkosis pada manusia yang tinggal di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3%-66,7%. Prevalensi sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara 62,5% sampai 77,8%, sedangkan prevalensi taeniasis solium sebesar 15%

Studi epidemiologis taeniasis/ sistiserkosis juga pernah dilakukan pada lima wilayah di Papua (Jayawijaya, Merauke, Manokwari, Paniai, and Nabire) selama sepuluh tahun (1996-2005). Tingkat prevalensi taeniasis yang ditemukan sebesar 13,0% (19 dari 146 orang) di wilayah Jayawijaya, termasuk 15,9% (14/88) pada tahun 1999 dan 8,6% (5/58) pada tahun 2001. Diperkirakan pada penduduk berusia 18 tahun atau kurang, tingkat pendidikan yang rendah dan kebiasaan tidak pernah mencuci tangan sebelum makan merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kejadian sistiserkosis di Jayawijaya, Papua.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 – 2001 di wilayah Jayawijaya, Papua menunjukkan lima dari 58 penduduk lokal (8,6%) terinfeksi cacing dewasa T. solium. Sementara itu 44 dari 96 orang (45,8%), 50 dari 71 ekor babi (70,4%), dan 7 dari 64 ekor anjing (10,9%) menunjukkan positif sistiserkosis T. solium secara serologis.

Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Jumlah wilayah yang terkontaminasi di Papua telah meningkat dari dari satu wilayah (Paniai) pada tahun 1970 ke empat wilayah (Paniai, Jayawijaya, Manokwari dan Nabire) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena penduduk lokal di Papua yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain dengan membawa serta ternak babi mereka, sehingga penyakit ini muncul dan menyebar dari wilayah endemis ke wilayah lain.

(9)

Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu daerah endemis bagi taeniasis/sistiserkosis di Propinsi Nusa Tenggara Timur terkait dengan cukup tingginya tingkat konsumsi daging khususnya daging babi di Kabupaten Flores Timur serta peranan babi dalam transmisi taeniasis/sistiserkosis.

Survei pernah dilakukan untuk melihat sebaran taeniasis dan sistiserkosis manusia di empat desa pada empat kecamatan di Bali (Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) tahun 2002 – 2005 dan survei tersebut dilakukan pada 540 orang penduduk lokal daerah tersebut. Tingkat prevalensi ditemukan pada kisaran 1,1% di Badung tahun 2004 dan Karang Asem tahun 2006 sampai 27.5% di Gianyar tahun 2004.

Tingkat prevalensi taeniasis T. saginata meningkat tajam di Gianyar, termasuk data prevalensi tahun 2002 (25,6%) dan 2005 (23,8%) dibandingkan dengan survei yang pernah dilakukan sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan 1999 (1,3%). Keadaan ini dapat disebabkan oleh banyak penduduk lokal yang mengonsumsi daging mentah (daging lawar) dengan sangat minimnya kontrol kesehatan dan kelayakan daging dan makanan lawar tersebut. Faktor resiko dari taeniasis T. saginata antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, konsumsi daging lawar, dan asal dari daging lawar.

Survei pada tahun 2003 – 2006 telah dilakukan di Pulau Samosir Danau Toba, Sumatera Utara, untuk menilai tingkat prevalensi yang diambil dari 240 penduduk lokal. Sebanyak enam orang (2,5%) terinfeksi oleh T. saginata, dan data dari survei tahun 2003 memperlihatkan tingkat prevalensi 3.4% (2/58) dan 2.2% (4/182) di tahun 2005. Hal ini terjadi karena kebiasaan penduduk lokal yang mengonsumsi jeroan babi yang dimasak tidak matang.

Pengobatan

Sediaan yang sering digunakan untuk pengobatan taeniasis dengan hasil yang memuaskan adalah niklosamid dan diklorofen. Kedua obat ini merupakan obat pilihan karena dosis yang diperlukan kecil dan sedikitnya efek samping yang ditimbulkan. Sementara untuk sistiserkosis, penderita diberikan zat-zat anti konvulsan untuk mengurangi epilepsi. Tindakan pembedahan jika dapat dilakukan untuk menghilangkan sistiserkosis pada jaringan badan, terutama di daerah yang dapat teraba di luar/ di bawah kulit. Pengobatan sistiserkosis pada

(10)

ternak jarang dilakukan karena dinilai kurang ekonomis, disamping itu sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang cukup mahal.

Pencegahan dan Pengendalian

Sebagai siklozoonosis T. saginata dan T. solium akan terus berputar di alam bila hubungan antara inang definitif yaitu manusia dan inang antara yaitu hewan terus berlangsung. Pengendalian penyakit ini akan berhasil bila penularan diantara keduanya dapat dicegah.

Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit merupakan titik kritis dalam menentukan strategi pencegahan maupun pengendalian. Titik kritis tersebut adalah sumber infeksi, inang yang rentan, serta transmisi penyakit yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia maupun hewan penderita taeniasis/sistiserkosis menghasilkan telur/segmen gravid atau larva infektif serta segala sesuatu yang tercemar telur cacing merupakan sumber penularan potensial. Pemberian anticestoda bagi penderita adalah upaya pengendalian yang penting terutama pada manusia.

Peningkatan pemeriksaan kesehatan daging di rumah pemotongan hewan (RPH) oleh dokter hewan sangat diperlukan untuk pencegahan taeniasis manusia. Perlu dilakukan pemeriksaan kelenjar pertahanan seperti Ln. axillaris dan Ln. mandibularis serta tonsil dengan jalan menekan lidah ke bawah dan mengiris kedua sisi M. masseter untuk melihat kemungkinann adanya Cysticercus bovis. Pada kejadian sistiserkosis maka seluruh karkas ditolak untuk diedarkan karena karkas yang basah akibat kista. Selain itu penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama yang berisiko tinggi. Pemasakan daging yang dapat membunuh sistiserkus adalah pemanasan dengan suhu 50-600C atau pembekuan pada suhu -100C selama 10-14 hari.

Perbaikan tata laksana peternakan sapi maupun babi adalah satu hal yang harus dilakukan untuk pencegahan sistiserkosis pada ternak. Pada prinsipnya adalah mencegah kontak antara ternak/pakan ternak dengan tinja manusia penderita taeniasis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengolahan pakan paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis dimana babi yang diberi pakan

(11)

tanpa diolah (dimasak) terlebih dahulu mempunyai risiko 14 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan yang diberikan pakan yang telah diolah/ dimasak. Pada babi dengan kondisi kandang dan tempat pakan yang jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang rutin dibersihkan. Faktor sanitasi dan higiene personal juga mempengaruhi kejadian penyakit dimana peternakan yang memiliki sanitasi dan higiene personal buruk erat hubungannya dengan kebersihan lingkungan, sistem pembuangan sampah dan kebiasaan mencuci tangan maka babi yang dipeliharanya memiliki risiko 5,5 kali lebih besar untuk terkena sistiserkosis.

Dapat disarankan pula untuk melakukan penyuluhan kesehatan yang bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan diri seperti mencuci tangan sebelum makan dan mandi tiap hari dengan air bersih serta penggunaan kamar mandi. Penyuluhan tersebut selain dapat memutus mata rantai penularan sistiserkosis, juga akan mencegah penularan terhadap oral-transmitted diseases lain seperti cacingan, disentri, tifus, kolera dan hepatitis.

Penyuluhan tentang penyakit zoonotik khusus kepada masyarakat luas perlu dilakukan tanpa memandang strata latar belakang pendidikan, kebudayaan, maupun keyakinan beragama. Walaupun dalam berbagai perbedaan, masyarakat tidak akan lepas dari saling berinteraksi / bersosialisasi satu sama lain. Peningkatan kualitas dan kuantitas kerjasama dan koordinasi yang optimal diantara berbagai lembaga / instansi pemerintah yang berwenang dengan masyarakat terutama yang berisiko tinggi sangat membantu dalam keberhasilan pengendalian penyakit.

Kesimpulan

Taeniasis/ sistiserkosis merupakan penyakit siklozoonosis yang memiliki kepentingan kesehatan masyarakat dimana manusia dapat tertular penyakit ini. T. solium menyebabkan penyakit taeniasis dan sistiserkosis sementara T saginata menyebabkan penyakit taeniasis pada manusia. Di Indonesia, penyakit ini memiliki penyebaran di daerah Sumatera Utara, Bali, NTT, dan Papua terkait dengan kebudayaan dan kebersihan masyarakat setempat. Pengendalian dapat

(12)

dilakukan dengan cara pemberian anticestoda pada manusia, peningkatan pengawasan daging di RPH, memasak daging dengan matang, peningkatan higiene lingkungan dan personal, dan beternak secara intensif, serta melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat.

Daftar Pustaka

Acha NP dan Szyfres B .2003. Zoonoses and Communicable Deseases Common to Man and Animals. Volume ke-3, Parasitoses, USA : Washington DC

[CDC] Centers for Disease Control .2010.

http://www.dpd.gov/dpdx/HTML/Taeniasis.htm [24 Oktober 2010]

Purba W et al. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada Penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua Tahun 2002. Makara Kesehatan 7 no 2 : 56-65

Retnani EB .2004. Taeniasis dan Cysticercosis : Penyakit Zoonosis yang Kurang Dikenal oleh Masyarakat di Indonesia. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saleh USA .2010. Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis Pada Babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW, Latif H .2007. Higiene Pangan . Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Soejoedono RR .2004. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(13)

Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS .2005. Taeniasis/Sistiserkosis di antara Anggota Keluarga di Beberapa Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan 9 no 1 : 9-14

Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A .2005. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. J Parasitol Int 55 supl 1 : 161-165 Wandra et al. 2007. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. J Trop Med

Gambar

Gambar 1 Siklus hidup taenia manusia (cacing pita sapi dan cacing pita babi)  (Sumber : CDC  2010)

Referensi

Dokumen terkait

Abses septum pada pasien ini telah menimbulkan komplikasi perforasi septum dan telah dilakukan rekonstruksi septum dengan menggunakan graft dari kartilago konka

a) Directly reported satisfaction adalah pengukuran kepuasan pasien dengan menanyakan pernyataan-pernyataan kepada responden secara langsung mengenai tingkat kepuasan

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan sertifikasi tanah UKM di Desa Rajabasa Lama 1 dapat meningkatkan pendapatan

rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah,

berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil bahwa variabel komputer fear tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keahlian mahasiswa dalam menggunakan komputer serta

layanan informasi dituangkan pada Standar Pelayanan Informasi di lingkungan Pemerintah Kota Bontang, sesuai dengan SK Walikota Bontang Nomor 53 Tahun 2014 dan

Situs ini memberikan tutorial cara membuat blog dan panduan mudah belajar saya dengan judul cara agar artikel cepat terindex oleh google dengan alamat url namun di sini Anda