• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Pertemuan dalam rangka. Awareness Raising. Penanganan Perubahan Iklim. Penanganan. Bidang Kehutanan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Pertemuan dalam rangka. Awareness Raising. Penanganan Perubahan Iklim. Penanganan. Bidang Kehutanan di Indonesia"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding

Pertemuan dalam rangka

Awareness Raising

Penanganan Perubahan Iklim

Penanganan

Bidang Kehutanan di Indonesia

Penanganan

Bidang Kehutanan di Indonesia

Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan

CENTRE FOR STANDARDIZATION AND ENVIRONMENT

(Standardization, Environment, and Climate Change)

PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN

(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)

Gedung Manggala Wanabakti

Jalan Gatot Subroto Blok VII Lt 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433 E-mail: pustanling@dephut.go.id; pustanling@yahoo.com

(2)
(3)

Prosiding

Pertemuan dalam rangka

Awareness Raising

Penanganan Perubahan Iklim

Penanganan

Perubahan

Iklim

Bidang Kehutanan di Indonesia

Review Status

Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan

(4)

PROSIDING

PERTEMUAN DALAM RANGKA AWARENESS RAISING PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM

“Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” Penyusun:

Tim Bidang Perubahan Iklim Pusat Standardisasi dan Lingkungan 1. Novia Widyaningtyas, S.Hut, M.Sc

2. Ir. Andi Andriadi, MM 3. Radian Bagiyono, S.Hut., M.For 4. Haryo Pambudi, S.Hut, M.Sc 5. Dinik Indrihastuti, S.Hut 6. Windyo Laksono, S.Hut 7. Erna Rosita, S.Hut Editor:

Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak Prosiding ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:

Pusat Standardisasi dan Lingkungan (2012). Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness

Rais-ing Penanganan Perubahan Iklim. Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang

Kehuta-nan di Indonesia.

Design Sampul dan Lay-out: Bintoro, S.Kom

ISBN:

Diterbitkan oleh:

Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kementerian Kehutanan Jl. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt. 8 Jakarta, 10270, Indonesia.

Telp/Fax: +62-21-5733433 Email: pustanling@yahoo.com pustanling@dephut.go.id

(5)

Kata Pengantar

Tahun 2012 merupakan tahun yang krusial terhadap proses negosiasi penanganan perubahan iklim, bukan hanya karena pada tahun 2012 akan berakhirnya kesepakatan Kyoto Protocol akan tetapi juga pada tahun tersebut akan berakhir masa tugas beberapa perangkat UNFCCC seperti AWG-LCA maupun AWG-KP, dimana isu-isu kehutanan biasanya dinegosiasikan di dalam kedua perangkat tersebut. Pada sidang UNFCCC di Bonn bulan Mei 2012 juga mulai dibahas program kerja Ad-hoc Working Group on Durban Platform (ADP) yang nantinya akan mewadahi proses negosiasi isu-isu kehutanan dan REDD+. Hal tersebut tentu saja harus diantisipasi dan dipersiapkan oleh Indonesia terkait dengan subtansi dan strategi negosiasi serta melihat keterkaitan dengan agenda Rio+20 maupun proses-proses lainnya, yang akan dibawa dalam pertemuan COP 18 di Doha pada akhir tahun 2012.

Dalam rangka mempersiapkan substansi dan merumuskan strategi negosiasi tersebut, tahun 2012 juga merupakan momentum yang baik bagi Indonesia untuk mereview progres yang telah dicapai Indonesia dalam mempersiapkan implementasi REDD+. Beberapa aspek yang perlu direview adalah terkait dengan kesiapan perangkat untuk implementasi REDD+, terutama : (1) penyusunan Strategi Nasional (Stranas), (2) penentuan REL/RL, (3) pembangunan National Forest Monitoring System (NFMS) sebagai perangkat monitoring REDD+, dan (4) penyusunan Sistem Informasi Implementasi Safeguards (SIS) REDD+.

Pertemuan multi pihak (stakeholder) ini merupakan salah satu sarana untuk meng-update status dari proses negosiasi di tingkat internasional serta kesiapan Indonesia terkait dengan implementasi REDD+. Dari hasil pertemuan ini diharapkan para pihak meningkat pemahamannya sehingga dapat merumuskan dengan tepat substansi apa yang akan diperjuangkan melalui proses negosiasi internasional dan strategi apa yang perlu dipersiapkan Indonesia dalam negosiasi tersebut.

(6)

Atas terselenggaranya pertemuan serta tersusunnya prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya.

Semoga prosiding ini bermanfaat.

Jakarta, Juni 2012

Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan,

Dr.Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc.

(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Singkatan ... vii

1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Tujuan ...2

1.3 Hasil yang Diharapkan ...3

1.4 Peserta ...3

1.5 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan ...3

1.6 Format/Pengorganisasian Pertemuan ...3

2. Penyelenggaraan Pertemuan ... 5

2.1 Agenda ...5

2.2 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan ...6 2.3 Catatan Penyelenggaraan ...11 2.3.1 Sesi I ...11 2.3.2 Sesi II ...29 2.3.3 Penutupan ...43 2.4 Kesimpulan ...43 Lampiran ... 45

(8)
(9)

Daftar Singkatan

A/R-CDM : Afforestation/Reforestation – Clean Development Mechanism

ADP : Ad-hoc Working Group on the Durban Platform AGB : Above Ground Biomass

AOSIS : Alliance of Small Island States

APHI : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

AWG DPEA : Ad-hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions

AWG-KP : Ad-hoc Working Group on the Kyoto Protocol

AWG-LCA : Ad-hoc Working Group on the Long Term Cooperative Actions

BACI : Before – After Control – Intervention

Bakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAU : Business as Usual

BUR : Biennial Update Report CGE : Consultative Group of Experts

CIFOR : Center for International Forestry Research

CMP : Conference of the Parties Serving as the Meeting of the Parties

COP : Conference of the Parties DA : Demonstration Activities

DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim FAO : Food and Agricultural Organization FCPF : Forest Carbon Partnership Facility FE : Faktor Emisi

Forclime : Forest and Climate Change

FPIC : Free, Prior, and Informed Consent GRK : Gas Rumah Kaca

HOB : Heart of Borneo

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

IAFCP : Indonesia Australia Forest Carbon Partnership ICA : International Consultation and Analysis INCAS : Indonesia National Carbon Accounting System

(10)

IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change JTT : Jatah Tebang Tahunan

K/L : Kementerian/Lembaga

KLH : Kementerian Lingkungan Hidup KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

LULUCF : Land Use, Land Use Change, and Forestry MRV : Monitoring, Reporting, and Verification NAMAs : Nationally Appropriate Mitigation Actions NC : National Communication

NFI : National Forest Inventory

NFMS : National Forest Monitoring System NGO : Non Governmental Organization

NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

PRISAI : Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia PSP : Permanent Sample Plot

QELROs : Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives RAD-GRK : Rencana Aksi Daerah – Gas Rumah Kaca

RAN-GRK : Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah Kaca

REDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation

REL/RL : Reference Emission Level/ Reference Level

SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SIGN : Sistem Informasi GRK Nasional

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah SNI : Standar Nasional Indonesia STRADA : Strategi Daerah

TSP : Temporary Sample Plot

UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change UN-REDD+ : United Nations – Reducing Emission from Deforestation

and Forest Degradation UPT : Unit Pelaksana Teknis

(11)

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Isu perubahan iklim merupakan masalah global, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. UNFCCC merupakan forum internasional untuk membahas berbagai permasalahan di seputar isu tersebut. Dalam pertemuan internasional selama dekade terakhir, kehutanan menjadi sektor yang termasuk agenda penting. Hal ini karena dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sumber emisi GRK yang dapat meningkatkan pemanasan global maupun sebagai penyerap GRK di atmosfer sehingga berkontribusi dalam upaya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dimaksud. Dengan peran tersebut, hutan dapat berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu aktivitas mitigasi di sektor kehutanan yang saat ini merupakan agenda utama baik pada proses negosiasi UNFCCC maupun di dalam negeri yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks) atau dikenal dengan REDD+. Karena nilai penting hutan ini pula, REDD+ masuk dalam Bali Action Plan pada COP-13 tahun 2007. Lebih lanjut, pada tahun 2009 pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 26 – 41 % emisi GRK dari tingkat BAU pada tahun 2020, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK, yang mempertegas peran yang diharapkan dari sektor kehutanan yang besar dalam upaya penanganan perubahan iklim di Indonesia, khususnya dalam penurunan emisi GRK (di mana sektor kehutanan memperoleh alokasi target penurunan emisi sebesar 0,672 Gton CO2e (26%) sampai 1.039 Gton CO2e (41%) dari BAU tahun 2020.

(12)

Pada bulan Mei 2012 telah diselenggarakan sidang UNFCCC di Bonn, dimana isu kehutanan masuk dalam agenda SBSTA dan AWG-LCA, dimana REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Pasca perundingan di Bonn ini menjadi momentum yang tepat untuk me-review status penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan di Indonesia. Di satu sisi, perlu diikuti perkembangan negosiasi di tingkat internasional, untuk mengetahui implikasinya serta memperoleh “arah” penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Di sisi lain, perlu ditinjau bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ di Indonesia hingga saat ini, bagaimana status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ di lapangan selama ini.

Sehubungan dengan itu, Kementerian kehutanan cq. Pusat Standardisasi dan Lingkungan menyelenggarakan pertemuan dalam rangka awareness raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia”. Pertemuan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada para stakeholder terkait penanganan perubahan iklim di Indonesia, mengenai perkembangan negosiasi internasional yang terjadi saat ini, sekaligus me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan, guna memperoleh masukan untuk perbaikan/ pemyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia.

1.2 Tujuan

1. Menginformasikan dan mengkomunikasikan kepada stakeholders perkembangan negosiasi UNFCCC, dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia;

2. Me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia;

3. Memperoleh masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia

(13)

1.3 Hasil yang Diharapkan

1. Terkomunikasikannya perkembangan negosiasi UNFCCC, dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia;

2. Ter-update-nya status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia;

3. Diperolehnya masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia.

1.4 Peserta

Pertemuan diikuti 102 orang yang merupakan perwakilan dari Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, NGOs dan organisasi terkait, akademisi, lembaga penelitian, swasta, dan mitra internasional serta pelaku REDD+ di lapangan.

1.5 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan

Workshop diselenggarakan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, selama 1 (satu) hari, pada hari Kamis tanggal 14 Juni 2012.

1.6 Format/Pengorganisasian Pertemuan

Pertemuan diselenggarakan dengan format acara sebagai berikut : 1. Pertemuan dibuka dengan sambutan dan arahan Sekretaris Jenderal

Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan),

2. Sesi ke-1 (pagi) merupakan sesi presentasi dan diskusi (panel) yang menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait perkembangan negosiasi internasional dan aspek teknis nasional, yaitu :

a. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn (Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc - Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kemenhut)

(14)

b. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR /Biennial Update Report (Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca – Kementerian Lingkungan Hidup)

c. Progress Pengembangan National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting REDD+ Indonesia (Ir. Iman Santosa, M.Sc - Kepala Sub Direktorat PSDH – Ditjen Planologi, Kemenhut)

Selanjutnya sesi ini dilanjutkan presentasi dan diskusi dengan paparan “Lessons learned from the first Generation of REDD+ Activities” oleh Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso (CIFOR)

3. Sesi ke-2 (siang) menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa kita tarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ (pilot / DA) di lapangan, yaitu :

a. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Bp. Solichin Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime)

b. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Ir. Nahardi, M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah), c. Road to Doha and Beyond : apa yang harus disiapkan Indonesia?

oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, selaku ‘Focal Point’ UNFCCC).

(15)

Penyelenggaraan

Pertemuan

2.1 Agenda

Waktu Kegiatan Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator

08.00 – 09.00 Registrasi dan morning coffee Panitia

PEMBUKAAN

09.00 – 09.10 Pembukaan MC

09.10 – 09.35 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian

Kehutanan

SESI I Moderator :

Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc (Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kemenhut) 09.40 – 10.00 REDD+ dan LULUCF : Update

dari Sidang di Bonn

Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kemenhut) 10.00 – 10.20 Progress Penyiapan Perangkat

MRV NAMAs dan BUR /

Biennial Update Report

Ir. Dida Migfar Ridha, MS (Kepala Bidang Inventarisasi Gas

Rumah Kaca – Kementerian

Lingkungan Hidup) 10.20 – 10.40 Progress Pengembangan

National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting

REDD+ Indonesia

Ir. Iman Santosa, M.Sc

(Kepala Sub Direktorat PSDH – Ditjen Planologi, Kemenhut)

10.40 – 11.20 Diskusi

11.20 – 11.40 Overview Kegiatan Lapangan REDD+ Indonesia

Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso – CIFOR

11.40 – 12.00 Diskusi 12.00 – 13.00 Ishoma

SESI II Moderator :

Dr. Ir. Tonny R. Suhartono, M.Sc (Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional Wil. II, Kemenhut)

(16)

Waktu Kegiatan Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator

13.00 – 13.20 Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ

Bp. Solichin Manuri

(Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime)

13.20 – 13.40 Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD Sulawesi Tengah

Ir. Nahardi, M.M

(Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah)

13.40 – 14.10 Diskusi

14.10 – 14.40 Presentasi kunci :

“Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?”

Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim)

14.40 – 15.15 Diskusi

15.15 – 15.30 Coffee Break

15.30 – 15.45 Penutupan Kepala Pusat Standardisasi dan

Lingkungan

2.2 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal

Kementerian Kehutanan

Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, yang disampaikan oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan)

Assalamu’alaikum warrahmatullahiwabarakatuh, Yang saya hormati :

• Bapak Prof. Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim dan selaku utusan khusus Presiden RI bidang Perubahan Iklim. • Saudara-Saudara Perwakilan Kementerian Koordinator, serta

Kementerian dan Lembaga terkait dalam penanganan perubahan iklim,

• Saudara-Saudara pejabat dan staf Kementerian Kehutanan, • Para mitra dan peserta pertemuan yang berbahagia,

Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada hari ini kita dapat

(17)

berkumpul disini dalam rangka mengikuti Pertemuan dakam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” Hadirin yang saya hormati,

Isu perubahan iklim merupakan masalah global yang dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. Pada dekade terakhir ini, isu kehutanan menjadi agenda penting dalam forum UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Hal ini sangat beralasan mengingat hutan dalam konteks perubahan iklim berperan sebagai sumber emisi sekaligus penyerap dan penyimpan GRK. Dengan demikian hutan dapat berkontribusi sebagai sumber daya alam yang mampu penjadi penyeimbang konsentrasi GRK di atmosfer bumi.

Hadirin yang saya hormati,

Indonesia memiliki komitmen yang serius untuk menurunkan emisi GRK di tingkat nasional, dengan sendirinya isu kehutanan, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi isu penting dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, terlebih karena ± 70 % dari luas negara adalah kawasan hutan yang tentunya akan sangat mempengaruhi kebijakan sektor lain terutama sektor berbasis lahan. Sejak COP-13 UNFCCC di Bali, tahun 2007, isu tentang kehutanan dalam perubahan iklim secara tegas dimasukan dalam format kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks). Sejalan dengan amanah Bali Action Plan, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 – 41 % dari tingkat Business as Usual (BAU) pada tahun 2020. Komitmen ini telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dalam Peraturan Presiden ini, target yang diberikan kepada sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK adalah mencapai + 87 % dari kontribusi nasional. Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya sangat penting bagi sektor kehutanan untuk

(18)

menentukan strategi perencanaan dan pelaksanaan penurunan emisi GRK, termasuk penentuan posisi antara REDD+ dengan RAN GRK - NAMAs.

Hadirin yang saya hormati,

Pada tanggal 14 s/d 25 Mei 2012 yang lalu, di Bonn, Jerman telah dilaksanakan perundingan beberapa Badan Bawahan UNFCCC dan isu kehutanan termasuk REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Hasil perundingan di Bonn ini sangatlah penting bagi Indonesia dalam rangka menentukan sikap dan langkah tindak lanjut Indonesia dibawah Durban Platform for Enhance Action (DPEA) yang akan dibahas pada perundingan UNFCCC berikutnya di Doha, Qatar pada akhir November 2012.

Hadirin yang terhormat,

Perkembangan negosiasi di tingkat internasional dalam perubahan iklim dan khususnya REDD+ bagi sektor kehutanan sangat penting untuk terus diikuti. Tujuannya antara lain agar arah dan implikasi penerapan REDD+ di tingkat nasional dapat terus menerus disesuaikan dengan perubahan kondisi internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan dan kedaulatan negara dan sebaliknya agar pengalaman di tingkat lokal/nasional dapat dieksternalisasikan ke dalam negoisasi global.

Lebih lanjut, REDD+ juga merupakan komitmen strategi mitigasi perubahan iklim yang sarat dengan aspek-aspek teknis perencanaan dan implementasi pencapaian penyerapan emisi CO2 dan peningkatan stok karbon di berbagai level implementasi, mulai dari tingkat tapak/ unit manajemen, kabupaten, provinsi dan tingkat nasional.

Oleh karena itu, sangatkah perlu bagi Indonesa, khususnya Kementerian Kehutanan untuk terus menerus memonitor dan me-review bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ Indonesia untuk sektor kehutanaan hingga saat ini, dan bagaimana status perkembangan kegiatan inisiatif REDD+ tahap readiness dan transition, serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ yang selama ini sudah dilaksanakan di lapangan.

(19)

Hadirin yang terhormat,

Berdasarkan hal-hal yang saya uraikan dimuka, maka dalam pelaksanaan pertemuan ini saya ingin menyampaikan hal-hal penting sebagai berikut: 1. Marilah kita bersama-sama menyimak apa yang akan disampaikan

oleh Bapak Profesor Rachmat Witoelar mengenai apa yang akan kita hadapi pada perundingan UNFCCC di Doha pada akhir November 2012 dan strategi apa yang harus kita siapkan pada perundingan tersebut.

2. Pada pertemuan ini kita harus mampu mengumpulkan dan menggali lebih dalam masukan dan saran para stakeholder dalam rangka mengevaluasi penanganan isu perubahan iklim di bidang kehutanan khususnya dalam menindaklanjuti persiapan pembangunan perangkat implementasi REDD+ yang terdiri dari :

a. Penyusunan Strategi Nasional (Stranas) atau Rencana Aksi REDD+

b. Penetapan dan penghitungan Reference Emission Level (REL) dan atau Reference Level di tingkat nasional dan sub nasional.

c. Implementasi mandat REDD+ dalam menyusun National Forest Monitoring System (NFMS). Berdasarkan nomenklatur dan aspek teknisnya, tentunya penyusunan dan implementasi NFMS ini seharusnya berada dibawah koordinasi Kementerian Kehutanan. d. Perkembangan penyusunan dan penetapan Sistem Informasi

tentang pelaksanaan Safeguard (SIS REDD+) sebagaimana yang diamanatkan pada COP-16 di Cancun, Mexico.

3. Kita juga harus mampu menarik pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan (atau proyek) REDD+ di tingkat lapangan ataupun ditingkat sub nasional dan nasional untuk kepentingan penyusunan dan penetapan pedoman Monitoring, Reporting, and Verifying (MRV) dalam menghitung serapan, emisi karbon dan penambahan stok karbon dari pelaksanaan kegiatan REDD+ di tingkat tapak dan sub nasional yang harus konsisten dengan pendekatan yang dipakai di tingkat nasional.

(20)

Hadirin yang saya hormati,

Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan dan pesankan pada pembukaan Pertemuan Komunikasi Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” ini. Apa yang nanti dirumuskan dalam pertemuan ini harus betul-betul dapat menjadi masukan yang berharga dalam menentukan langkah dan strategi tindak lanjut bagi Kementerian Kehutanan dalam memenuhi target sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK baik melalui mekanisme RAN-GRK, NAMAs maupun mekanisme REDD+, dengan tetap mendasarkan pada kebijakan pembangunan nasional pro growth (pertumbuhan ekonomi), pro poor/pro job (peningkatan aspek kesejahteraan sosial) dan pro green (kelestarian lingkungan).

Saya, atas nama Kementerian Kehutanan, menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Rachmat Witoelar atas kesediaan beliau untuk menjadi narasumber utama pada pertemuan ini. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrohmannirrohim, pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan topik Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” dengan ini saya nyatakan resmi dibuka.

Wabillahitaufiqwalhidayah

Wassalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh. Jakarta, 14 Juni 2012

Sekretaris Jenderal,

(21)

2.3 Catatan Penyelenggaraan

Pengantar dari Moderator (Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc – Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan)

Fenomena perubahan iklim telah menimbulkan dampak yang membahayakan bagi kehidupan di bumi. Perubahan iklim terjadi karena kegiatan manusia di masa lalu, namun hal itu dapat diatasi melalui respon kebijakan yang dilakukan secara segera. Namun demikian, dalam prakteknya di lapangan pemerintah sering menempatkan kebijakan perubahan iklim dan pembangunan secara terpisah. Oleh karena itu sering terjadi masalah bahwa kegiatan penanganan perubahan iklim tidak sejalan dengan pembangunan sehingga terkadang menimbulkan sebuah paradoks. Maka sebaiknya agenda pembangunan yang ada dapat diintegrasikan ke dalam aksi-aksi penanganan perubahan iklim.

Hari ini akan dibahas update dari Sidang UNFCCC di Bonn tahun 2012. Pasca sidang Bonn ini merupakan momentum tepat bagi kita untuk me-review status penanganan perubahan iklim di Indonesia. Ibu Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For,Sc. yang selalu mengikuti negosiasi perubahan iklim, akan memberikan paparan tentang perkembangan negosiasi perubahan iklim di tingkat internasional. Hal ini penting karena bermanfaat untuk mengetahui implikasinya serta arah penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Selain itu diperlukan sebuah paparan tentang aspek teknis REDD+, maka Bapak Ir. Dida Migfar Ridha, M.S. dari Kementerian Lingkungan Hidup akan memberikan penjelasan mengenai progress penyiapan MRV NAMAs dan BUR. Kemudian akan disampaikan progress pengembangan National Forest Monitoring System (NFMS) untuk monitoring dan reporting REDD+ Indonesia oleh Bapak Ir. Iman Santosa, M.Sc dari Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan.

(22)

2.3.1 Sesi I

2.3.1.1 Presentasi I

1. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn

Oleh : Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kemenhut).

Presentasi dimulai dengan bagaimana arrangement sidang pasca Durban, posisi kehutanan dalam agenda sidang di Bonn, seberapa jauh Indonesia mencapai progress di Bonn untuk REDD+ dan perubahan yang terjadi di LULUCF, setting serta fokus negosiasi, link ke Rio+20. Pada dokumen draft the Future We Want untuk Rio+20 tercantum bahwa akan terdapat beberapa isu yang memiliki interkoneksi antara yang diperjuangkan di Rio+20 dan proses-proses lainnya.

Persidangan ADP dimulai sejak sidang di Bonn 14 Mei 2012. Target ADP adalah menghasilkan protokol atau dokumen legally binding lainnya di tahun 2015. Isu-isu yang sebelumnya biasa dinegosiasikan di bawah AWG-LCA banyak yang sudah dialihkan ke SBI lalu yang biasa berada di bawah AWG-KP banyak dialihkan ke SBSTA termasuk isu LULUCF. Isu kehutanan dalam hal ini REDD+ dan LULUCF dinegosiasikan di bawah SBSTA, sedangkan negosiasi REDD+ masih berada di bawah AWG-LCA sampai dengan COP di Doha.

Dari sisi pelaksanaan mandat COP Durban dan Cancun, progress untuk aspek teknis cukup signifikan. SBSTA-36 di Bonn sudah menyelesaikan beberapa isu kritikal menyangkut NFMS dan MRV, dan mencapai kesepakatan terkait elemen-elemen apa yang akan dibawa ke negosiasi di Doha untuk diadopsi sebagai keputusan COP-18. Selain itu SBSTA juga mendiskusikan tentang bagaimana menangani drivers of deforestation and forest degradation di nasional dan internasional serta guidance lebih lanjut mengenai forest REL. Dengan kondisi demikian, kemungkinan isu-isu tersebut akan dapat terselesaikan pada negosiasi di Doha.

(23)

Aspek teknis yang akan diselesaikan di Doha tersebut dalam hal implementasinya tidak terlepas dari dukungan finansial, alih teknologi, serta capacity building yang perlu diberikan oleh negara maju. Persoalannya sekarang adalah negosiasi finansial dilakukan di bawah AWG-LCA yang akan selesai di Doha. Sementara itu selama proses negosiasi di Bonn tahun 2012 masih belum jelas apakah akan langsung di bawah SBI agar aspek finansial dapat langsung dinegosiasikan secara detail. Fast Start Finance, di mana REDD+ juga berada di dalamnya, akan selesai pada tahun 2012. Kemungkinan besar hal itu akan menjadi bagian dari negosiasi di bawah ADP. Jika hal tersebut terjadi dan penetapan secara hukum akan dilakukan pada tahun 2020 maka kemungkinan besar akan terjadi gaps of financing. Oleh karena itu negosiasi di Doha akan sangat krusial.

Untuk isu REDD+ terdapat beberapa koordinasi intensif yang perlu dilakukan di tingkat nasional, dalam hal ini para negosiator Indonesia terkait NAMAs, BUR, dan CGE (Consultative Group of

Experts) untuk National Communication. Kemudian semua agenda

yang menyangkut pendanaan akan dikoordinasikan lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman di Durban komunikasi intensif dengan

Co-Chairs REDD+ di SBSTA dan para fasilitator terbukti efektif

untuk mempersempit perbedaan dalam negosiasi.

Untuk implementasi di tingkat nasional, meskipun proses negosiasi berjalan lamban, terutama dalam kondisi perekonomian negara maju yang saat ini sedang mengalami krisis, namun komitmen kerjasama bilateral dan multilateral tetap berjalan dan bertambah dari waktu ke waktu. Di samping itu perlu adanya konsistensi antara REDD+ dan RAN/RAD-GRK, NAMAs terkait dengan MRV, serta berbagai kebijakan berbasis lahan lainnya. Adapun perangkat yang harus disiapkan untuk implementasi REDD+ antara lain:

• Stranas atau RAN REDD+ yang disiapkan oleh Satgas REDD+,

• National Forest REL dan NFMS, yang merupakan tanggung

jawab Kementerian Kehutanan

• Sistem Informasi Safeguards REDD+, yang pembangunannya dikoordinasi oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan.

(24)

Pasca tahun 2012 isu LULUCF yang pada mulanya berada di bawah AWG-KP sudah dialihkan ke SBSTA. Isu ini banyak dinegosiasikan atas kepentingan negara maju dan sekarang tujuan Indonesia dan negara berkembang lainnya adalah menjaga agar tidak ada indikasi negatif ke negara berkembang dan agar negara maju comply dengan komitmennya. Pasca COP di Durban, terdapat ruang-ruang untuk menambahkan aktivitas dari LULUCF ke dalam mekanisme CDM. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena akan menimbulkan peluang kegiatan lain, yaitu CDM untuk kehutanan di luar A/R-CDM, sedangkan di lain pihak sudah terdapat REDD+.

Dalam konteks Indonesia, komitmen 26-41% yang terumuskan dalam dokumen RAN-GRK saat ini tidak sama dengan NAMAs. Oleh karena itu Indonesia perlu mendefinisikan REDD+, NAMAs, dan RAN-GRK agar jelas saat dilakukan kegiatan nyata di lapangan sehingga akan memudahkan proses reporting dan BUR. Adapun agenda dari DPEA adalah sebagai berikut:

• Tahun 2012 : AWG-DPEA mulai bekerja

• Tahun 2015 : pada COP 21 Protocol atau instrumen lain yang “legally binding” diadopsi oleh COP • Tahun 2016-2019 : antara COP 22-25 proses ratifikasi oleh

parties

• Tahun 2020 : pada COP 26 Protokol mulai berlaku (enter into force)

Catatan penutup:

• DPEA membawa konsekuensi terhadap percaturan negosiasi UNFCCC termasuk isu kehutanan (REDD+ di dalamnya), • Hampir semua negara melihat pentingnya pelibatan sektor

swasta, namun negosiasi belum menunjukkan kemajuan signifikan menuju ke arah itu,

• Penentuan posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional yang membahas isu yang sama/serupa menjadi tantangan tersendiri, termasuk penanganan cross-cutting issues dalam forum yang sama (dalam hal ini UNFCCC).

(25)

• Tantangan di tingkat nasional yang akan sangat signifikan adalah dalam mendefinisikan green economy ke dalam mainstream perencanaan pembangunan nasional dan elaborasi ke dalam aksi konkret yang dapat diukur kinerjanya, baik ke dalam sektor maupun berdasar kewilayahan (misalnya kabupaten-provinsi-nasional),

• Dengan berakhirnya AWG-LCA tahun 2012 dan mulai beroperasinya ADP, diperlukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan setting negosiasi isu kehutanan dalam UNFCCC (dalam hal ini REDD+ dan LULUCF).

2. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR/ Biennial Update Report Oleh : Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang

Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup Definisi MRV sebagai suatu sistem adalah sistem untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK secara berkala, sahih, akurat, menyeluruh, konsisten, dan transparan. Tujuan MRV sendiri adalah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan nasional penurunan emisi GRK. Adapun prinsip dasar dari MRV adalah: Transparency, Accuracy, Consistency, Comparability, dan Completeness.

Bali Action Plan menggarisbawahi kebutuhan NAMAs oleh negara berkembang yang didukung dengan pendanaan, teknologi, dan capacity building dalam tatanan yang dapat dimonitor, diverifikasi, dan dilaporkan (MRV-able). Adapun elemen dari MRV adalah: • Aksi Mitigasi/NAMAs

• Dukungan (teknologi, pendanaan, capacity building)

• Inventarisasi GRK (tidak disebutkan secara eksplisit pada Bali Action Plan, namun secara umum dianggap sebagai komponen yang diperlukan bagi MRV)

Terkait dengan international submission, negara berkembang harus menyerahkan BUR (Biennial Update Report) setiap dua tahun sekali terhitung dari konferensi UNFCCC berikutnya. Adapun elemen-elemen yang harus dimasukkan dalam BUR adalah:

(26)

a. update mengenai inventarisasi GRK nasional termasuk laporan inventarisasi nasional,

b. informasi mengenai aksi mitigasi termasuk informasi tentang MRV domestik

c. kebutuhan dan dukungan yang telah diterima

Jika BUR sudah diserahkan oleh negara berkembang maka negara berkembang yang bersangkutan akan diberikan fasilitas ICA (International Consultation and Analysis). Data BUR harus disampaikan pada tahun 2014, (data paling aktual yang tersedia adalah data tahun 2010, namun diharapkan dapat diperoleh data tahun 2012) kemudian tahun 2016 akan diserahkan BUR kedua berdasarkan 3rd National Communication.

Dalam melakukan MRV terdapat beberapa isu terkait pelaksanaan kesiapan MRV, yaitu:

d. Pemahaman mengenai MRV, BUR, dan NC. Pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut masih berbeda-beda.

e. Sumber daya manusia.

f. Institutional arrangement di masing-masing sektor.

g. Aktivitas dan dokumentasi inventarisasi, aksi/rencana mitigasi, dan pendanaan terkait emisi GRK. Hal ini dikarenakan setelah dilakukan aksi mitigasi, pendanaan tidak terjadi on top, namun tetap instrumental seperti yang sudah dilakukan.

h. Timeline dan perencanaan. Hal ini dikarenakan dinamika negosiasi yang tinggi serta waktu yang berjalan cepat seiring dengan banyaknya agenda kegiatan negara, seperti Pemilihan Umum di tahun 2014. Oleh karena itu lembaga terkait perlu fokus dalam menyiapkan BUR dan lain-lain.

i. Kesiapan dalam mengukur dan melaporkan emisi GRK kegiatan/sektor (Inventarisasi) dan monitoring aksi mitigasi (RAN dan keterkaitan RAN dengan RAD). Diperlukan sebuah kepastian bahwa aksi-aski yang dilakukan dalam RAN-GRK dapat diukur. Aksi yang tidak terukur tidak dapat dimasukkan ke dalam aksi mitigasi.

Oleh karena itu tiap K/L telah memiliki tugas/kewenangan dalam melaksanakan berbagai komponen kegiatan MRV RAN/RAD-GRK, yaitu monitoring, pelaporan, dan verifikasi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumak Kaca dan Peraturan Presiden

(27)

Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.

Mengingat prioritas kegiatan saat ini adalah penyampaian BUR pertama pada tahun 2014, maka tantangan dan rencana tindaklanjutnya adalah tercapainya kesepakatan dan/atau pemahaman bersama mengenai:

• Sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV • Kaitan antara sistem MRV, kerangka kerja NAMAs, dan

inventori GRK nasional; dan dalam hal ini koordinasi harus berjalan secara intensif antara SIGN Centre dengan Sekretariat RAN-GRK

• Peran dan strategi operasional BAPPENAS, KLH, K/L terkait, provinsi/kabupaten/kota untuk membuat sistem berjalan dengan baik

Selain itu diperlukan sosialisasi dan rencana kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan MRV NAMAs terkait regulasi baru, peningkatan kapasitas personalia, instrumen dan metodologi, pelatihan, proyek percontohan MRV, sosialisasi nasional MRV, pelaksanaan MRV, dan lain-lain.

Adapun rencana pengembangan Perangkat BUR terkait inventarisasi GRK adalah penyusunan dokumen dan database komprehensif faktor emisi (FE) untuk sawah pada berbagai jenis tanah, iklim, dan teknik budidaya; landfill pada berbagai daerah; serta limbah cair produksi dan jenis industri pertanian. Hal tersebut menjadi perhatian karena pada penyusunan 2nd National Communication

faktor emisi tersebut masih belum tersedia, namun sekarang sedang dikembangkan oleh beberapa kementerian terutama Kementerian Pertanian. Dengan tersedianya data faktor emisi tersebut maka dapat dilakukan pengukuran secara locally specific tanpa harus menggunakan default dari IPCC. Dalam hal ini diperlukan juga sebuah acuan untuk mengorganisasi proses validasi data aktivitas dan aspek uncertainty.

Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan mekanisme kelembagaan penyusunan inventarisasi GRK di daerah percontohan

(28)

(mulai dari proses pengumpulan data yang terintegrasi dengan Sistem Informasi GRK Nasional (SIGN), termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah) dan di tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data, Quality Assurance/Quality Control, sampai integrasinya dengan SIGN dan hubungannya dengan RAN-GRK, termasuk kegiatan peningkatan kapasitas di setiap sektor). Kementerian Lingkungan Hidup akan berkoordinasi terus dengan berbagai lembaga sehingga setidaknya pada tahun 2014 Indonesia sudah memiliki data inventarisasi GRK kurun waktu tahun 2012 (sampai saat ini data yang tersedia hanya kurun waktu 2000-2005) untuk bahan BUR yang taraf konsistensinya dapat digunakan sebagai bahan modelling atau pengambilan kebijakan lainnya. 3. Pengembangan National Forest Monitoring and Reporting System

(NFMS) untuk Monitoring REDD+ Indonesia)

Oleh : Ir. Iman Santosa, M.Sc – Kepala Sub Direktorat PSDH, Direktorat Jenderal Planologi, Kemenhut)

Sampai saat ini belum terbentuk kesepahaman yang utuh terkait NFMS, namun berdasarkan hasil monitoring Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan luas hutan di Indonesia sampai tahun 2009 adalah ± 99 juta ha. Angka tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemantauan satelit melalui penafsiran citra Landsat dan hasil cross check di lapangan serta data dari citra satelit lain dengan resolusi yang lebih tinggi. Di lain pihak tingkat deforestasi Indonesia cukup tinggi terutama pada periode awal reformasi sekitar tahun 2000, namun dewasa ini sudah ada kecenderungan bahwa laju deforestasi tersebut mengalami penurunan. Di sisi lain telah diketahui bahwa hutan menjadi sangat penting dalam konteks pengurangan emisi karbon, oleh karena itu sistem monitoring hutan yang kuat saat ini sangat diperlukan.

Berdasarkan pantauan terhadap luas lahan hutan di Indonesia tahun 2009, pulau Sumatera memiliki luas hutan yang sudah rendah namun tingkat deforestasinya cukup tinggi. Kemudian pada pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku meskipun luas hutannya masih tinggi namun tingkat deforestasinya juga cukup tinggi. Untuk pulau Jawa sendiri walaupun tutupan hutannya

(29)

rendah namun tingkat deforestasinya juga cukup rendah. Lain halnya dengan kondisi di pulau Papua di mana luas hutannya masih tinggi dan tingkat deforestasinya terbilang rendah.

Kegiatan monitoring hutan untuk menduga emisi karbon yang terjadi dilakukan dengan mengalikan variabel “Data Aktivitas” dengan “Faktor Emisi”. Data aktivitas diperoleh dari perubahan penutupan lahan berdasarkan penafsiran citra satelit, sedangkan faktor emisi diperoleh dari data pada sample plots di tiap-tiap provinsi dalam kerangka Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory). Citra satelit yang digunakan dalam penentuan data aktivitas berasal dari penafsiran citra Landsat yang kemudian dilakukan pemetaan penutupan lahan secara periodik mulai tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan mulai tahun 2011 akan dilakukan setiap tahun agar mendapatkan data dengan periodisasi yang lebih rapat. Pada dasarnya proses tersebut dilakukan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa citra satelit, yaitu citra satelit Landsat 7 (Enhanced Thematic Method) ETM+, namun sejak tahun 2003 terdapat kerusakan pada citra sehingga pada hasil pencitraan terdapat stripping yang sangat mengganggu proses penafsiran. Meskipun penafsiran telah dikombinasikan dengan Citra Landsat 5 namun tetap tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, digunakan citra satelit pendukung yaitu MODIS, SPOT 4, SPOT 5, dan PALSAR.

Untuk penutupan lahan, Kementerian Kehutanan sendiri telah memiliki 23 kelas penutupan lahan yang akan dapat di reklasifikasi dengan kelas penutupan lahan menurut IPCC. Terdapat 7 dari 23 klasifikasi milik Kementerian Kehutanan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelas Forestland menurut klasifikasi IPCC, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman. Selain itu terdapat pula klasifikasi lain yang disusun oleh Bakosurtanal, oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Bakosurtanal terkait hal tersebut.

(30)

Kegiatan monitoring hutan dilakukan untuk mengetahui laju deforestasi dan deradasi hutan. Deforestasi merupakan perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan akibat kegiatan manusia, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan manusia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pada periode awal reformasi yaitu sekitar tahun 2000 laju deforestasi Indonesia berada pada level yang tinggi, namun kemudian terjadi penurunan drastis sampai tahun 2011. Untuk laju deforestasi sendiri juga terjadi penurunan dari periode 2006-2009 hingga 2009-2011. Penentuan faktor emisi sendiri seperti yang juga telah disinggung sebelumnya dilakukan dengan membuat Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP). Pembuatan TSP bertujuan untuk menduga potensi sumber daya hutan baik volume, kondisi tegakan, distribusi dan keanekaragaman jenis, sedangkan PSP bertujuan untuk memantau perubahan sumber daya hutan dan riap pertumbuhan. Plot-plot tersebut terletak di seluruh kawasan hutan baik berupa Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Hutan Lindung dengan prioritas pada ketinggian di bawah 1.000 m dpl pada hutan lahan kering dataran rendah, rawa, dan mangrove. Penyebaran plot-plot tersebut dilakukan secara sistematik dalam kisi 20 x 20 km dan dapat dirapatkan menjadi 10 x 10 km atau 5 x 5 km. Pada tahun 2006-2010 terdapat hampir 3000 plot klaster dan berdasarkan Renstra Kehutanan maka pada tahun 2010-2014 akan dilakukan penambahan plot klaster sebanyak 599 plot klaster/tahun.

Untuk mendukung kegiatan NFMS, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Australia dalam kerangka Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) guna mengembangkan Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS). Adapun tujuan dari kerjasama tersebut adalah untuk menyediakan data dan laporan sektor lahan pada sistem MRV Indonesia. INCAS sendiri terdiri dari 5 komponen pokok, yaitu: 1) land cover change, 2) landuse and management, 3) soil, including peat, 4) biomass and growth, dan 5) climate data.

(31)

2.3.1.2 Diskusi I

1. Bagaimana status kemajuan penanganan isu perubahan iklim, serta dampak dari segi politik terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati? (Bp. Ombo Sastrapradja – UNB)

Jawaban :

Sampai saat ini belum ada data mengenai seberapa jauh dampak penanganan perubahan iklim terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati. Yang dilakukan sekarang adalah melihat movement baik nasional maupun internasional. Sebagai contoh adalah seperti pada sidang UNFCCC di Bonn tahun 2012, di mana delegasi Indonesia bersama REDD+ countries lain membahas penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan kaitannya dengan perdagangan internasional, tetapi dapat dicapai kesepakatan di UNFCCC. Akan tetapi berdasarkan movement yang terjadi, sudah terbangun beberapa standar internasional misal carbon footprint perusahaan, organisasi, dan individu. Untuk isu konservasi keanekaragaman hayati, dapat dilacak dampak dari komitmen penurunan emisi di level nasional melalui data Ditjen Planologi terkait penurunan laju deforestasi. Di lain pihak, aksi yang terkait dengan REDD+ belum banyak secara nyata di lapangan, namun yang ada secara nyata masih berfokus di level policy.

2. Berdasarkan negosiasi internasional private sector dianggap memiliki peran penting dalam penanganan perubahan iklim di sektor kehutanan karena peningkatan stok karbon menjadi prioritas pertama, namun belum terdapat kemajuan terkait perannya dalam negosiasi. Peran apa yang diminta dari swasta dalam proses negosiasi? Apakah swasta harus berperan sebagai observer atau stakeholder dalam pengambilan keputusan? (Bp. Purwadi Suprihanto – APHI) Jawaban :

Terkait swasta maka yang menarik adalah terkait perdagangan karbon. Beberapa negara yang tingkat ekonominya kurang kompetitif menentang hal ini, terutama dari Afrika dan beberapa negara Amerika Latin serta negara yang tidak mempunyai hutan namun dapat membawa isu kehutanan, misalnya Arab Saudi.

(32)

Hal itu menunjukkan bahwa semuanya merupakan proses politis. Keterlibatan sektor swasta dapat secara langsung dan tidak langsung, yang langsung seperti menjadi anggota delegasi. Di forum negosiasi apapun, yang dinegosiasikan adalah sejarah dan masa depan, maka keterlibatan swasta secara tidak langsung misalnya ingin dikembangkan mekanisme market, maka swasta dapat menentukan apakah mau atau tidak, dan bagaimana mekanismenya. Banyak konsep yang dibangun oleh swasta, oleh karena itu sebaiknya swasta juga membantu karena di situlah peran swasta. Apa yang terjadi di negosiasi biasanya lebih diwarnai isu politis, namun swasta bisa mengembangkannya.

3. Terkait potensi hutan alam dengan diameter 50 cm up yang ± sekitar 48 m3/ha, jika dilihat sekarang kawasan hutan yang dikelola

oleh HPH adalah seluas 22 juta ha, maka secara sederhana terdapat potensi 48 m3/ha x 22 juta ha. Di lain pihak jatah tebang tahun

2012 hanya sekitar 9 jt m3. Terdapat potensi kayu yang luar biasa

karena jatah tebang tersebut juga tidak terealisasi secara maksimum. Apakah penyebaran sample plots tersebut efektif? Hal ini sangat penting untuk menentukan JTT ke depan (Bp. Purwadi Suprihanto – APHI)

Jawaban :

Data potensi yang diperoleh memang berasal dari sample plot, belum dicoba dengan area yang open access. Untuk itu akan coba ditingkatkan, terutama sample plot yang dekat dengan open access area.

4. Berdasarkan penjelasan mengenai MRV, perlu diperhatikan siapa yang bertugas untuk melaksanakan pengukuran. Berdasarkan informasi, belum ada indikator penurunan emisi GRK. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% merupakan tanggung jawab moral. Kapan batas waktu untuk mencapai target tersebut? Kemudian pihak Planologi Kehutanan belum memiliki standar baku untuk mengukur penurunan emisi hutan. Apakah ada semacam metode untuk mengukur agar dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga kita juga dapat melakukan pengukuran? (Bp. Eka Saputra – Direktorat Hutan Alam, BUK)

(33)

Jawaban :

Ada 2 hal yang tadi disampaikan, pertama pengukuran sudah dilakukan oleh K/L terkait. Di daerah setiap dinas melakukan pengukuran baik dengan proses topdown maupun bottom up, dan akan dilakukan koordinasi lebih lanjut. Kemudian akan dilihat kelengkapan data di daerah terkait laporan kualitas pengukuran GRK di daerah. Unit Industri yang ingin mendapatkan sertifikat “hijau” harus memiliki pernyataan terkait pengukuran GRK-nya. Yang kedua terkait versi penutupan lahan, versi Kementerian Kehutanan dan IPCC sebenarnya sama karena sudah terdapat cluster. Kementerian LH menggunakan klasifikasi yang sama dengan Kementerian Kehutanan.

5. Sebagaimana telah disampaikan bahwa NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK, padahal dari segi penamaan konteksnya hampir sama. Seolah-olah Indonesia dipermainkan pihak lain karena harus melaksanakan RAN GRK dan NAMAs, sebaiknya RAN GRK dijadikan NAMAs. Yang kedua dikuti kriteria dan indikator dari NAMAs untuk implementasi RAN GRK sehingga tidak merepotkan pihak-pihak di daerah (Bp. Udiansyah – UNLAM)

Jawaban :

Negara lain tidak mempermainkan Indonesia. Dunia internasional hanya mengenal NAMAs dan DNPI telah mendaftarkan sektor dan kegiatan-kegiatan yang masuk dalam janji pengurangan emisi 26%. Sebenarnya 4 aktivitas itu sudah ada di RAN-GRK, namun kalau dilihat ternyata banyak aktivitas lain dan bebannya hanya di pemerintah. Padahal NAMAs sifatnya beban negara (pemerintah, swasta, civil societies), sedangkan RAN GRK baru mengatur beban/ komitmen pemerintah. NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK terkait aktivitas yang dimasukkan. Penilaian itu di-acknowledged di Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa salah satu amanah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 adalah menyusun NAMAs yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Jadi bukan dunia internasional yang meminta. Contoh lain adalah mengenai safeguards REDD+ di Satgas REDD+, di mana safeguards berdasarkan keputusan COP di Cancun ada 7, namun Satgas REDD+ menentukan 10 safeguards.

(34)

6. Siapakah yang bertanggung jawab untuk memonitor hutan dan apa saja yang perlu dilakukan dalam monitoring hutan? (Bp. Udiansyah – UNLAM)

Jawaban :

Semua harus bertanggung jawab dari pusat sampai kabupaten, Kemenhut melalui UPT di daerah melaksanakan training penafsiran citra satelit. Jika merujuk pada data Inventarisasi Hutan Nasional, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 jelas tercantum bahwa untuk inventarisasi hutan pemerintah pusat hanya wajib menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) serta melakukan inventarisasi pada hutan konservasi, sedangkan untuk hutan produksi dan lindung merupakan kewajiban pemerintah provinsi dan kabupaten. Jadi hal ini merupakan kewajiban pusat dan daerah.

7. Kalimantan Tengah telah ditunjuk sebagai provinsi percontohan REDD+ dan mempunyai Rencana Strategi Daerah serta disahkan melalui Peraturan Gubernur. Di tingkat pusat penanganan perubahan iklim ini memiliki perspektif yang berbeda-beda, sehingga di daerah menjadi sulit mengikuti. Seharusnya di tingkat pusat dilakukan sinkronisasi agar daerah juga bisa menindaklanjuti, mengingat bahwa hutan berada di daerah bukan Jakarta. (Bp. Alpius Patanan – Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng)

Jawaban :

Dalam teori chaos disebutkan bahwa di dalam kesemrawutan terdapat keteraturan, oleh karena itu dihimbau untuk bergerak di ruang-ruang itu. Dalam membangun Sistem Informasi Safeguards REDD+, telah dilakukan komunikasi dengan Satgas REDD+ yang membangun PRISAI untuk mensinkronkan kinerja. Di dalam dinamika hiruk pikuk yang sangat tinggi, falsafah yang dipakai Pustanling adalah mengisi gaps dan berusaha agar lebih baik dari waktu ke waktu dan nanti tentunya bagaimana komunikasi dengan daerah dapat ditingkatkan. Itulah hal terbaik yang dapat dilakukan sejauh ini.

(35)

8. Pemahaman deforestasi dan degradasi di lapangan berbeda-beda. Teman-teman LSM menganggap perbedaan pengertian ini secara hukum atau teknis? Harus diperoleh kesepahaman dulu agar lebih clear. Terkait dengan peta yang digunakan sebagai acuan, antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian lain tidak sinkron. Perlu penataan agar terdapat perspektif yang sama sehingga implementasi di lapangan dapat berjalan dengan baik. (Bp. Alpius Patanan – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah)

Jawaban :

Pengertian deforestasi lebih kepada aspek teknis, deforestasi berarti hutan sebagai suatu ekosistem mengalami perubahan, sedangkan degradasi hutan berarti hutan mengalami perubahan kualitas. Mungkin dari sisi hukum maksudnya hutan bisa terdapat di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan demikian juga sebaliknya.

Terkait dengan perbedaan klasifikasi lahan antara Kementerian Kehutanan dan Bakosurtanal, ke depan akan terbit citra satelit dengan resolusi tinggi (4 x 4 m) yang akan digunakan oleh semua K/L. Ada juga program One Map dari Bakosurtanal sehingga kami optimis bahwa perbedaan-perbedaan data dan informasi antar K/L akan dapat dikurangi secara bertahap.

2.3.1.3 Presentasi II

1. Lessons Learned from the First Generation of REDD+ Activities

Oleh : Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso – CIFOR

Dalam presentasi ini dipaparkan laporan dari yang diamati oleh CIFOR di dunia terkait REDD+ dan fokusnya di Indonesia, sehingga merupakan overview yang sifatnya sangat umum dan banyak data yang masih tentative. Yang CIFOR lakukan adalah REDD+ Global Comparative Study dengan melihat secara global, nasional, dan subnasional. Ketiga level tersebut saling terkait dengan tiga komponen, yaitu 1) REDD+ Process and strategies, 2) REDD+ Demonstration Activities, 3) Monitoring and reference level seperti lingkaran yang saling terkait. Proses ini memakan waktu, tenaga dan melibatkan banyak stakeholder.

(36)

Berdasarkan klasifikasi dari FCPF World Bank, terdapat tiga kategori laju deforestasi, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia sendiri bersama Brazil tidak berada dalam ketiga kategori tersebut karena laju deforestasinya dikatakan terlampau tinggi untuk dikategorikan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang terlibat REDD+ mengalami laju deforestasi yang tinggi. Secara umum Indonesia memiliki banyak Potential REDD+ Projects Area. Total terdapat 33 REDD+ Project di Indonesia dan 20 di Brazil yang diteliti oleh CIFOR. Dari segi tujuan project terdapat 3 kategori, yaitu: avoided deforestation, avoided degradation, dan restoration. Di Indonesia ketiga tujuan REDD+ tersebut terdistribusi secara seimbang. Ini juga tegantung kapasitas partner dan dinamika dalam men-design dan men-develop project.

Dalam studi di tingkat nasional, CIFOR mencoba menganalisis seberapa jauh proses di tingkat nasional berlangsung semenjak REDD digulirkan oleh UNFCCC. Dalam studi ini CIFOR meneliti bagaimana cara suatu negara mengerucutkan isu REDD+ (convergence of discourse). Dalam hal ini aktor yang bermain antara lain pemerintah, akademisi, NGO, dan politisi. Secara garis besar negara yang memiliki konvergensi dan keterlibatan stakeholder paling bagus adalah Vietnam karena partai komunis berkuasa, sedangkan yang paling buruk adalah Kamerun karena pemerintah tidak banyak campur tangan dalam pembangunan REDD+, melainkan lebih banyak peran dari lembaga internasional dan akademisi. Indonesia sendiri tidak terlalu buruk dari segi ownership namun masih jauh dari mengerucut sempurna.

Dalam hal keterlibatan aktor guna membentuk sebuah pengerucutan isu REDD+, Indonesia memiliki peran yang kuat di sektor pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki peran mengambil keputusan dan memberi ijin bagi seluruh project yang dilakukan oleh berbagai organisasi, seperti NGO. NGO dalam melaksanakan project-nya perlu berkoordinasi dengan pihak lain, dalam hal ini yang paling lama berinteraksi adalah dengan pihak pemerintah dikarenakan adanya kuasa dari pemerintah. Di lain pihak interaksi antar NGO satu dan lainnya kurang intensif. Meskipun pemerintah memiliki andil besar dalam pembangunan

(37)

REDD+, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat grand design pemerintah Indonesia untuk melakukan planned deforestation. Akbat dari hal ini adalah terjadinya tumpang tindih kepentingan di mana lahan yang ingin dilakukan moratorium tenyata telah memiliki ijin konsesi yang sah secara hukum.

Untuk menganalisis kasus secara lokal, digunakan metode Before-After Control-Intervention (BACI method) supaya dapat dilihat dampaknya. Sampel diambil secara acak pada level desa sampai plot di daerah-daerah yang sudah dan belum ada project REDD+. Secara umum isu yang paling menonjol adalah tenurial yang merupakan jaminan bagi masyarakat untuk mengelola project REDD+ dan aktivitas sehari-hari mereka. Masyarakat bisa saja memandang REDD+ menjadi ancaman bagi mereka. Berdasarkan studi ini terdapat beberapa kasus di Aceh, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang dilakukan studi hingga level rumah tangga. Di Kalimantan Tengah kemampuan masyarakat untuk menolak intervensi kuat, hal ini mungkin dikarenakan pendapatan yang tinggi serta komunikasi dengan dunia luar sehingga masyarakat well-informed. Aceh dan Kalimantan Barat tergolong kurang dalam hal kemampuan untuk menolak campur tangan pihak luar.

Dari segi pengukuran, CIFOR mencoba melihat secara teoritis bagaimana seyogyanya kegiatan di daerah dikombinasikan/ diintegrasikan melalui pendekatan yang tersarang/nested sehingga tercipta sebuah Nested MRV System. Pedekatan ini melibatkan peran dari semua level mulai dari nasional, provinsi, sampai ke site. Dari level nasional dana yang diperoleh didistribusikan sampai ke level site dengan menjamin benefit sharing dari sisi teknis, administrasi, dan finansial. Kemudian seiring dengan itu dari level site memberikan data MRV, dengan elemen karbon, sosial, dan biodiversitas, melalui mekanisme yang telah disepakati secara nasional kepada sumber dana. Sebagai gambaran umum, jika dibandingkan dengan seluruh negara Non Annex 1 capacity gap Indonesia dalam pembangunan dan MRV REDD+ berada pada level sedang. Adapun kategori yang digunakan dalam penilaian tersebut adalah:

• National engagement in REDD+ process • Existing monitoring capacity

(38)

• REDD+ Challenges

• Remote sensing technical challenges

Jika dilihat dari skala yang lebih luas, terdapat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyusun baseline atau REL/RL untuk pendanaan REDD+. Jika laju deforestasi sudah menurun, maka benefit yang akan diterima Indonesia juga menurun karena usaha yang dilakukan tidak terlalu besar. Oleh karena itu dalam menentukan REL diperlukan sebuah tahapan/stepwise approach yang melibatkan berbagai stakeholder. Dalam tahapan tersebut elemen kunci dalam menentukan REL/RL adalah data aktivitas dan faktor emisi. Jika data tersebut dapat konsisten, akurat, dan teliti maka hasil yang diperoleh akan semakin baik.

Kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

• Berdasarkan konvergensi yang ada, meskipun terdiri dari berbagai aktor terdapat beberapa aktor yang dominan yang dapat bersifat positif atau negatif tergantung kepentingan dari aktor tersebut. • Pada skala lokal masalah tenurial sangat penting

• Nested MRV System perlu dicoba untuk diterapkan, termasuk mekanisme benefit sharing.

2.3.1.4 Diskusi II

1. Untuk Bapak Daniel Murdiyarso, banyak hal terjadi di lapangan. Saya tertarik pada managemen di tingkat nasional. Kalau nanti REDD+ terlaksana, apakah yang menjadi tugas terbesar kita terkait proses perancangan menuju implementasi? Yang kedua apa hal yang paling efektif untuk melaksanakan tugas itu, atau rancangan ke depan agar mekanismenya lancar? Lalu kalau kita membawa nama Indonesia, apa yang perlu kita negosiasikan/ suarakan di level internasional? (Ibu Eny Faridah – Fakultas Kehutanan UGM) Jawaban :

Bicara soal tantangan terbesar, proses yang dihadapi ini lama dan sulit karena termasuk masalah baru serta menimbulkan ketidakyamanan. Cara mengatasinya berbeda dengan yang dilakukan selama ini. Masalah yang paling mendesak kalau itu dikatakan sebagai barrier,

(39)

orang-orang dalam lembaga itu melihat distorsi, banyak interest yang berbenturan. Ini kenyataan yang harus diakomodasi oleh pengambil kebijakan. Dari segi teknis masalahnya cukup straight forward. Akan tetapi justru yang non teknis, seperti kelembagaan dan peraturan yang ada, beberapa pihak akan mempertahankannya agar ada zona nyaman tersebut ada untuk bergerak tanpa gangguan. Dengan adanya REDD+, zona tersebut diusik sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan tidak berujung dan akhirnya kembali ke square one. 2. Berdasarkan grafik perbandingan kemajuan REDD+ Indonesia

dengan negara lain menunjukkan bahwa banyak tugas yang harus dilakukan. Apakah yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan agar koordinasi di tingkat nasional dan daerah jelas? (Bp. Muhammad Farid – DNPI)

Jawaban :

Koordinasi kadang tidak berjalan dengan lancar karena adanya peraturan yang tidak sinkron. Ketika implementasi, masing-masing terkungkung dengan aturannya yang tidak sinkron, sehingga harus ada effort tambahan. Hal lain yang menghambat kecepatan proses kebijakan ini adalah kapasitas. Kami yang sudah lama dengan isu ini sudah mengerti dinamikanya, namun orang yang masih baru tidak. Maka perlu dilakukan proses belajar terus menerus. Itulah hidup dan kenyataan. Kapasitas perlu dibangun agar semua level. Jangan sampai kita tidak dapat berbicara karena tidak tahu. Orang di Jakarta belum tentu paling tahu segalanya. Kita memiliki local wisdom yang tidak terakomodir, sehingga kapasitas harus ditingkatkan sampai daerah. Selain itu ada leadership dari tingkat lokal-nasional. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan berbicara, namun otoritas. Substansi dan leadership harus dikombinasikan

2.3.2 Sesi II

2.3.2.1 Presentasi I

1. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ

Oleh : Bpk. Solichin Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime

(40)

Proyek ini merupakan REDD+ Demonstration Activity (DA) oleh GIZ Forclime. Adapun tujuan dari DA ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategi-strategi perlindungan hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dalam Forclime sendiri terdapat 2 komponen utama, yaitu Financial Cooperation (FC) Module dan Technical Cooperation (TC) Module. Pada TC module terdapat beberapa sub komponen kegiatan, yaitu Kebijakan Kehutanan, Perencanaan Strategis dan Pengelolaan Hutan Alam Lestari, serta Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Heart of Borneo (HoB).

Wilayah kerja Forclime sendiri terfokus di 3 kabupaten yaitu, Kabupaten Malinau dan Berau di Provinsi Kalimantan Timur, serta Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat. Di dalam setiap kabupaten proyek hanya difokuskan di satu KPH dan analisis baru dilakukan untuk penentuan RL, namun pemantauan additionality, permanence dan leakage belum terlalu tersentuh. Terdapat hambatan dalam pelaksanaan proyek ini yaitu hak dan kewajiban, crediting area, benefit sharing, dan project scale. Terdapat pula hambatan secara khusus pada proses interpretasi citra Landsat, yaitu keberadaan awan. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara di wilayah tropis tergolong negara berawan yang cukup tinggi. Akan tetapi, permasalahan tersebut dicoba untuk diatasi dengan menggunakan software khusus yang dapat menghilangkan komponen awan dari citra yang dihasilkan dengan metode gap filling. Untuk kelas tutupan lahan Forclime mengikuti Land Cover Classification milik FAO di mana klasifikasi tersebut lebih berdasarkan pada tipe ekosistem hutan, lain halnya dengan klasifikasi oleh Bakosurtanal yang lebih berdasar pada spesies pohon hutan. Hal ini dikarenakan akan sangat sulit dalam menentukan klasifikasi spesies di wilayah hutan Dipterocarpaceae mengingat keberagaman spesies yang sangat tinggi.

Dalam melakukan penghitungan biomassa, Forclime masih menggunakan literatur yang ada dengan mengkompilasi dan menggunakan rerata berdasarkan tipe penutupan lahan yang ada. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan di tiap kabupaten maka

(41)

dapat disusun sebuah persamaan yang dapat memprediksi cadangan karbon pada tahun 2030 jika BAU tetap dilakukan, yaitu sebesar 584.906.489 ton karbon di Malinau, 288.115.415 ton karbon di Kapuas Hulu, dan 183.076.657 ton karbon di Berau. Berdasarkan angka tersebut terlihat bahwa prediksi stok karbon di Kabupaten Kapuas Hulu merupakan yang terendah dari kabupaten lain. Hal ini dikarenakan banyak terjadi deforestasi berupa pembukaan lahan untuk perkebunan di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, tingkat keakurasian data tersebut masih cukup rendah karena yang dilakukan adalah mengkalkulasi activity data dan emission factor yang diperoleh dari literatur, sehingga saat ini sedang dilakukan peningkatan akurasi pada activity data, emission factor dan removal factor. Untuk perbaikan kualitas citra sendiri saat ini Forclime telah memperoleh Citra Rapid Eye untuk satu KPH di setiap kabupaten dan citra ini bebas dari awan. Usaha peningkatan akurasi data juga dilakukan terhadap penghitungan biomassa dan karbon yang tidak hanya menghitung biomassa above ground namun juga nekromasa dengan metode stratified random sampling dengan merujuk pada IPCC Guidelines dan SNI Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon serta penggunaan persamaan alometrik lokal. Selain itu dilakukan juga kerjasama terhadap beberapa perusahaan HPH dalam menghitung biomassa dan karbon. Forclime juga mengembangkan software untuk memantau database dari pohon di tiap plot yang terdaftar berdasarkan proyek di Merang. Kesimpulan dari paparan Forclime adalah sebagai berikut:

a. Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2)

b. Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten

c. Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data citra Landsat. d. Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring

tutupan lahan yang lebih akurat. Citra Rapid Eye akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime.

(42)

Adapun saran dari Forclime adalah sebagai berikut:

a. Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Ke depan perlu mempertimbangkan comprehensiveness.

b. Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada.

c. Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk direplikasi.

d. Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di tingkat provinsi atau kabupaten/ kota.

e. Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di provinsi atau kabupaten/ kota.

f. Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre-processing citra satelit sebaiknya dilakukan di tingkat provinsi.

2. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD

Sulawesi Tengah

Oleh : Ir. Nahardi, M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah

Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 2010 merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan program UN-REDD+ Indonesia (Surat Sekjen Kemenhut No. S-786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010). Sulawesi Tengah mempunyai komitmen yang kuat untuk ikut mendukung UN-REDD dan mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020.

Untuk menindaklanjuti komitmen tersebut maka sudah dibentuk Pokja REDD+ melalui SK Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. Anggota Pokja tersebut terdiri dari berbagi stakeholder, antara lain dari SKPD, kelompok masyarakat adat, asosiasi pengusaha hutan, dan akademisi. Adapun tujuan dari pembentukan Pokja REDD+ tersebut antara lain:

a. Melakukan penyamaan persepsi para pihak untuk mewujudkan komitmen penurunan emisi dimaksud. Untuk mendukung hal tersebut pemerintah provinsi juga melakukan penyusunan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait