• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percintaan Antar-Ras di Era Kolonial Pembacaan Ulang Novel Njai Isah ( ) 1 Agung Dwi Ertato,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Percintaan Antar-Ras di Era Kolonial Pembacaan Ulang Novel Njai Isah ( ) 1 Agung Dwi Ertato,"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Agung Dwi Ertato, 0806353330

Abstract

This thesis discusses a novel by Ferdinand Wiggers entitled "Tjerita Nyai Isah; Barang jang soenggoe soedah kedjadian di Bagelen (1904-1905)" which depicts the lives of an interracial romance in the Dutch East Indies colonial era in the 19th century. Love story includes romance between European men with native women (pernyaian), European women with native men, and Eurasian Man with a native girl. The research was done using descriptive and analytical approach to the sociology of literature. Sociology of literature approach used to determine the relationship with the colonial world context on novel "Njai Isah". The research proves that Ferdinand Wiggers is a prolific writer of the early modern Indonesian literature and novels Njai Isah is a response to the colonial life, especially relating to marriage and racial discourse.

Keywords:

Ferdinand Wiggers, Eurasian, Pernyaian, Race, Dutch East Indies, Colonial

1. Pengantar

Sebagai bekas negara terjajah, Indonesia mempunyai pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan Eropa yang dibawa oleh penjajah Eropa. Pengalaman-pengalaman tersebut setidaknya turut serta membentuk struktur mental kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini. Perlu ditekankan pula, bahwa pengalaman-pengalaman tersebut terjadi di arena kolonialisme bangsa Barat terhadap bangsa jajahannya. Ini juga berarti bahwa interaksi sosial yang terjadi pada masa itu bukan semata-mata atas dasar pola-pola asimilatif dengan segala keterbukaan melainkan pada pola-pola kekuasaan yang mengharuskan pihak penjajah mengatur kawula jajahannya. Setidaknya pertemuan antar-kebudayaan tersebut menghasilkan kebudayaan campuran meskipun pada level tertentu pihak penjajah menggunakan wacana kolonial untuk mengatur pola-pola interaksi masyarakat kolonial. Kemunculan kaum peranakan Eropa atau Indo beserta kebudayaan campuran di tanah jajahan merupakan salah satu hasil dari pertemuan dua kebudayaan tersebut. Dalam pandangan yang sederhana, kemunculan kaum Indo menujukkan adanya interaksi sosial antar-ras yang terjadi di tanah jajahan dan interaksi tersebut muncul pada tingkatan terkecil kehidupan sosial yaitu tingkatan antar-individu.

1

Versi ringkas Skripsi yang berjudul “Kisah Percintaan Antar-ras di Era Kolonial dalam Novel Njai

(2)

Jejak-jejak kolonialisme di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan interaksi antar-ras, masih dapat dijumpai dalam teks-teks berbahasa Indonesia. Teks-teks berbahasa Indonesia tersebut secara sadar maupun tidak sadar mampu merekam pola-pola interaksi antar-ras tersebut. Pada era pasca-kemerdekaan, kisah-kisah pertemuan dua ras maupun kebudayaan masih meninggalkan jejak-jejak kolonialisme. Pada novel-novel yang ditulis N.H. Dini maupun Pramoedya Ananta Toer masih menyisakan jejak-jejak tersebut. Dalam

Keberangkatan (1977) karya N.H Dini, jejak tersebut ditunjukkan melalui kisah percintaan

Elisabet Frissart dan Sukohardjito. Dengan menggunakan setting waktu pasca-kemerdekaan, Dini menggambarkan perjalanan percintaan perempuan Indo dengan laki-laki Jawa. Lain halnya, dengan Dini, Pramoedya menggunakan setting waktu kolonial dalam novel Bumi

Manusia (1980) untuk menggambarkan hubungan antar-ras melalui kisah Ontosoroh dengan

tuannya dan Minke dengan Anellies. Meskipun berbeda dalam setting waktu, kedua novelis tersebut tetap menunjukkan jejak-jejak kolonialisme yang tertinggal dalam teks-teks sastra yang mereka tulis.

Atas dasar ketertarikan tematik percintaan antar-ras tersebut, tulisan ini hendak menelusuri kisah percintaan antar-ras dalam teks-teks sastra Indonesia awal. Teks-teks sastra Indonesia awal digunakan untuk mengetahui pola-pola awal interaksi antar-ras yang terjadi di era kolonial. Tema percintaan dipilih karena kisah percintaan mampu menunjukkan pola interaksi paling subjektif dalam diri antar-individu. Dengan kedua hal tersebut setidaknya pola interaksi antar-ras pada tingkatan yang terendah di era kolonial dapat diketahui. Novel yang digunakan adalah novel Njai Isah (1904-1905) karya Ferdinand Wiggers. Ferdinand Wiggers adalah seorang Indo yang bekerja sebagai redaktur di beberapa surat kabar seperti

Pembrita Betawi dan Taman Sari. Sebelum menjadi redaktur dan penulis, Ferdinand Wiggers

bekerja sebagai pejabat pemerintah kolonial. Ferdinand Wiggers mewakili golongan Indo yang menulis dalam bahasa Melayu Rendah sehingga karya-karyanya termasuk Njai Isah dapat diasumsikan sebagai “jembatan” yang menghubungkan antara sosok kebudayaan Eropa dengan pribumi. Pemilihan novel Njai Isah juga bukan berdasarkan pilihan acak. Njai Isah dipilih karena novel tersebut mewakili tiga tipe kisah percintaan antar-ras di era colonial, yaitu laki-laki Eropa dan perempuan pribumi, perempuan Eropa/Indo berstatus Eropa dan laki-laki pribumi, dan laki-laki Indo dan perempuan pribumi bangsawan.

2 Ras dan Status Sosial di Hindia Belanda pada Abad ke-19

Wacana ras digunakan oleh otoritas kolonial untuk membedakan diri dengan pribumi. Dalam bidang politik dan ideologi di tanah jajahan, pemerintah kolonial membedakan status

(3)

sosial berdasarkan warna kulit. Jauh sebelum terbentuknya Hindia Belanda sebagai negara jajahan, otoritas VOC membagi-bagi masyarakat di kota Batavia berdasarkan warna kulit. Kelas tertinggi adalah masyarakat yang beragama Kristen. Golongan ini terdiri atas orang Eropa, Indo/Mestizos, dan pribumi yang beragama Kristen. Kelas kedua adalah pedagang-pedagang Cina. Kelas terendah adalah penduduk pribumi yang umumnya bekerja sebagai budak-budak orang Eropa (Wertheim, 1959: 136). Pembagian kelas sosial tersebut sebenarnya tidak semata-mata berdasarkan warna kulit, namun juga berdasarkan agama yang dianut.

Pada masa pemerintahan Inggris di Hindia Timur (1811-1816) stratifikasi sosial berdasarkan agama tidak lagi digunakan. Stratifikasi sosial yang digunakan adalah kemurnian kebudayaan Eropa yang dimiliki oleh orang-orang yang hidup di tanah jajahan. Sebelum kedatangan Inggris, penguasa politik adalah orang-orang indies atau mestizos yang lahir dari percampuran antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi. Setelah kedatangan Inggris dan Inggris menguasai Hindia Timur, pendatang Inggris menganggap orang Belanda yang tinggal di Hindia Timur merupakan orang aneh, terbelakang, dan tidak memiliki kesopanan (Taylor, 2009: 172) dan pendatang Inggris tersebut menyuruh orang Mestizo yang mendapatkan status Eropa untuk berubah dan sesuai dengan kebudayaan Eropa yang murni (Taylor, 2009: 174). Hal tersebut menandakan pertama kali status sosial berdasarkan warna kulit mulai muncul. Orang Mestizo yang merupakan penduduk campuran Eropa dengan pribumi mendapakan status sosial yang berbeda dengan Eropa totok. Eropa totok/kulit putih mempunyai karakteristik yang dapat menempatkan golongan tersebut sebagai golongan teratas dalam status sosial di Hindia Timur. Karakteristik tersebut adalah kebiasaan, pakaian, dan bahasa yang turut pula membedakan golongan kulit putih dengan golongan lainnya (Wertheim, 1959: 137).

Setelah pemerintah Inggris menyerahkan kembali kekuasaan pada kerajaan Belanda pada tahun 1816, Hindia Belanda pun terbentuk. Status sosial berdasarkan ras dan warna kulit mulai diperkuat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang mengatur status sosial tersebut. Pada tahun 1848, pembedaan stratifikasi sosial berdasarkarkan ras dan warna kulit telah diberlakukan di Jawa dan dilegitimasi melalui undang-undang sipil nomor 40 dan 354. Undang-undang tersebut juga mengatur status anak hasil hubungan pernikahan campuran.

Articles 40 and 354 of the Civil Code of 1848:

Art. 40. Illegitimate children, legally acknowledged by the father, are not allowed to marry, when under age, without the consent of their father. In default of the father the consent of the mother is required.

(4)

If the mother belongs to the native population or to those legally assimilated with natives, the consent of the Court of Justice has to be secured; in this case the provisions of the proceeding article are applicable.

Art. 354. In default of the father, or in case the letter is not able to exercise the guardianship, the Court of Justice also provides for guardianship of illegitimate children who are legally acknowledged by Europeans or by persons assimilated with Europeans, and whose mother belong to the natives or assimilated population.

(Wertheim, 1959: 138) Golongan Eropa menempati golongan teratas dan mengatur segala bentuk kebijakan di tanah koloni. Orang Indo-Eropa dapat memasuki kelas sosial Eropa jika mereka merupakan keturunan Eropa berdasarkan garis Patriarkal dan dilegitimasi oleh ayah Eropanya. Golongan terendah adalah golongan pribumi dan sering disebut sebagai Inlanders. Perubahan kelas tidak dapat dilakukan oleh orang pribumi (Wertheim, 1959: 137).

Golongan Indo-Eropa tidak serta-merta memasuki kelas sosial Eropa. Penggolongan mereka pun berdasarkan warna kulit yang mereka miliki. Golongan Indo-Eropa yang memiliki kulit lebih putih dan berpendidikan Eropa dapat masuk ke dalam golongan Eropa dan Golongan Eropa yang memiliki kulit lebih gelap dan berbicara seperti orang pribumi bukan merupakan golongan Eropa dan dapat pula masuk ke dalam golongan pribumi (van der Veur, 1968: 39). Akan tetapi, golongan Indo-Eropa dalam kehidupan kolonial akan berusaha menunjukkan kedekatannya dengan golongan Eropa murni dan berusaha menjauhi golongan pribumi. Karena keambivalensian golongan Indo-Eropa, mereka sering disebut sebagai golongan marginal (Wertheim, 1959: 139).

Golongan menengah dari kelas sosial yang berdasarkan ras adalah golongan timur jauh. Golongan tersebut berisi orang Cina atau peranakan Cina, Arab, dan India. Golongan tersebut biasanya hidup sebagai pedagang-pedagang di kota-kota besar (Wertheim, 1959: 141).

Setelah diberlakukannya sistem cultuurstelsel oleh pemerintah kolonial melalui Gubernur Jendral Van den Bosch pada tahun 1830, strata sosial kaum pribumi di pedalaman Jawa berubah sedikit demi sedikit. Pemerintah kolonial tidak lagi berfokus pada daerah pesisir sebagai basis ekonomi tanah jajahan, tetapi pemerintah kolonial mulai melakukan penetrasi ke pedalaman Jawa. Sistem cultuurstelsel memungkinkan eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal dan pada prinsipnya setiap desa menyisakan seperlima dari tanah persawahan untuk ditanami indigo, kopi, dan tebu. Pemerintah kolonial memanfaatkan bupati untuk mengatur sistem tersebut dan menempatkan sedikit petugas administratif Belanda

(5)

untuk mengawasi sistem culturstelsel (Lombard, 2008: 75). Dampak dari cultuurstelsel adalah kontak budaya antara orang Eropa dengan Jawa pedalaman terjadi. Kontak inilah yang menyebabkan pembaratan pada kaum pembesar/priyayi di Jawa terjadi. Status kepriyayian di dalam masyarakat naik, tidak hanya disebabkan karena gelar kebangsawanannya tetapi juga berdasarkan hak-hak mereka untuk menempuh pendidikan Eropa (Lombard, 2008: 107). Perubahan ini menyebabkan perbedaan antara kaum bangsawan Jawa dan rakyat kecil semakin terlihat setelah adanya kontak dengan kaum Eropa.

Pada abad ke-19 di Hindia Belanda, wacana ras ikut membedakan kelas status sosial dalam kehidupan kolonial. Orang kulit putih atau Eropa merupakan kelas sosial tertinggi di dalam masyarakat kolonial. Di dalam masyarakat Eropa pun terdapat penggolongan antara Eropa totok dengan Indo-Eropa. Golongan kedua adalah masyarakat timur jauh yang terdiri kaum Cina/peranakan Cina, India, dan Arab, serta golongan terakhir adalah pribumi. Golongan pribumi sendiri juga memiliki status sosial yang berbeda di dalamnya, yakni status bangsawan dan rakyat kecil. Status sosial tersebut menentukan pola-pola diskursif yang mengatur kehidupan sosial di era kolonial.

3 Hubungan Percintaan Antar-ras di dalam Novel Njai Isah 3.1 Hubungan Percintaan Isah dengan Verkerk

Kisah percintaan antara Isah dan Verkerk merupakan kisah percintaan utama dalam novel Njai Isah. Percintaan Isah dan Verkerk hampir hadir dalam kesuluruhan novel Njai

Isah yang berjumlah 5 jilid tersebut. Kisah percintaan Isah dan Verkerk merupakan

perwakilan kisah percintaan yang berdasarkan praktik pergundikan di dalam novel Njai Isah. Kisah tersebut terjadi di dalam latar perkebunan di Jawa pada abad ke-19. Pergundikan di dalam lingkungan perkebunan pada abad ke-19 terjadi karena perempuan pribumi yang dipergundik akan mempermudah hubungan antara pekerja Eropa dengan pekerja pribumi (Taylor, 2009: 250). Selain hal tersebut, perempuan Eropa jarang tahan tinggal di lingkungan perkebunan sehingga perempuan-perempuan Eropa jarang sekali ditemui di dalam perkebunan. Pilihan laki-laki Eropa berhubungan dengan perempuan pribumi lebih besar karena tidak adanya perempuan Eropa yang tinggal di perkebunan.

Hubungan percintaan antara Isah dan Verkerk memang terjadi di dalam lingkungan perkebunan, namun motif utama Verkerk memilih Isah bukanlah motif untuk mempermudah hubungan pekerjaan antara tuan Eropa dan pekerja pribumi. Motif utama Verkerk adalah percintaan yang murni dan bukan berdasarkan hasrat seksual. Meskipun demikian, hubungan tersebut pada akhirnya juga mempermudah pekerjaan Verkerk dalam mengurus perkebunan

(6)

karena mertua Verkerk adalah mandor perkebunan yang ia kelola. Perasaan cinta tersebut ditunjukkan Verkerk ketika berbincang dengan ayah Isah.

Astaga toewankoe, saja ini tida kira jang toewan nanti minta seperti telah dipermintaanken oleh toewan, maka itoe poen saja sempat terkedjoet.

Ja, betoel, tetapi akoe begitoe sajang pada anakmoe itoe, akoe begitoe tjinta padanja sampe akoe merasa sendiri di dalem hari kaloe akoe tida dapet dia mendjadi akoe poenja istri nistjaja akoe poenja ati selama lamanja tida senang.

Ach toewankoe, dari saja bitjara djoesta-djoesta sama toewan, hingga barangkali toewan nanti dapet pengharepan jang toewan nanti dapet saja poenja anak, terlebi baik saja bitjara teroes terang. Toewankoe fikirin sadja, pertama toewan berlaenan bangsa sama saja poenja anak, djadi kaloe saja serahken saja poenja anak kepada toewan, tentoe boewat goendik, sebab toewan tida nanti kawin padanja; kadoewa perkara toewan Igama berlaenan, tida bole sekali saja serahken saja poenja anak pada toewan.

[…]

Berkata poela mandor Andja, laen dari pada itoe toewankoe, kendati saja maoe kasi djoega, sekarang ini soedah saja tida bisa, sebab loerah Wongso Prawiro kemaren malem soedah lamar si Isah boeat keponakannja, dan saja sama emboknja si Isah soedah remboegan soedah moefakat aken trima lamarannja Wongso Prawiro.

Srenta Verkerk denger katanja mandor Andja sademikian, aer matanja tidak ketaoean datangnja dari mana, dengan sapoetangan ia toetoepin moekanja soepaja djangan kaliatan jang dia menangis, melaenkan dadanja jang tersengal sengal, menjataken jang dia bedoeka tjita sanget sekali.

Ja, mandor apa bole boewat, boekan takdirnja Allah jang akoe tetapi anakmoe aken djadi istrikoe. […] tetapi apa bole boewat orang laen soeda doeloean lamar anakmoe, biarlah akoe sendiri diri memikoel doeka tjitakoe. Akoe harep-harep jang anakmoe bakalan beroentoeng dengan bakal soewaminja.

(Wiggers, 1904a: 45-48) Sikap dan perkataan Verkerk setelah mendengar penolakan ayah Isah menunjukkan perasaan cinta yang mendalam kepada Isah. Verkerk tidak mau memaksa meskipun ia dengan status sosial yang lebih tinggi di lingkungan perkebunan mampu memaksakan hal tersebut. Verkerk lebih memilih menerima keputusan yang diambil oleh ayah Isah. Dengan demikian, hubungan percintaan Verkerk dengan Isah memang murni berdasarkan cinta bukan semata-mata hasrat seksual yang melatari pergundikan.

Melalui kutipan tersebut pula, tantangan hubungan percintaan antara-ras antara Verkerk dan Isah dapat diketahui. Perbedaan bangsa dan agama merupakan tantangan utama hubungan percintaan antar-ras. Kutipan tersebut juga dapat dibaca sebagai

(7)

penolakan-penolakan praktik pernikahan campuran. Selain perbedaan bangsa dan agama, pengetahuan ayah Isah tentang stereotip gundik juga menjadi alasan untuk menolak lamaran Verkerk.

Perbedaan bangsa dan agama memang merupakan hambatan utama dalam percintaan antar-ras. Pada keberlanjutan kisah cinta Verkerk dan Isah, hambatan tersebut dapat dilalui. Verkerk dan Isah dapat hidup bersama setelah ayah Isah mendapatkan petunjuk dari Kyai Sentolo dan kondisi Isah yang sakit-sakitan setelah Isah dijodohkan dengan seorang Carik.

Kiai Sentolo meram-in matanja, seperti orang jang berpikir keras, kemoedian dia bakar menjan di pendoepa, jang di ampirnja, abis baroelah ia berkata:

Anak, menoeroet alamatnja boeroeng itoe maka djoedoenja angkau poenja anak boekan orang laen, tjoema itoe toewan sendiri diri.

[…]

Adoeh! Bijoeng, tjara sebagimanakah boleh di tjegah soepaija djangan sampe kedjadian saija misti kasi saija poenja anak pada orang jang berlaenan bangsa dan igama?

O! anak ketahoewilah olehmoe bahwa di dalem doenia ini melaenkan satoe sadja jang Maha Besar, Maha Moelia, ia memarentahken djagat. Sekalian manoesia di doenia, ia itoe rajatnja, dan tida sekali kali di perbedakennja. Dari doeloe doeloe, dari djaman baroe ada manoesia di doenia, jang orang belon berigama, maka manoesia itoe soedah di sajangi, di limpahi olehnja sampe djaman sekarang di matanja ja tinggal manoesia, kendati apapoen fikirannja atau igamanja, marika itoe tinggal sama sadja di mata jang Maha Moelia. Kerna itoe poen djodo itoe takdir Allah, tida memilih bangsa tidak memilih igama.

(Wiggers, 1904a: 65-66) Isah, anakkoe jang tertjinta, angkau barangkali tida bisa mengarti sebagimana berat bagikoe aken mengenanken seperti iboemoe kataken tadi. Angkau tida bisa mengerti sebagimana sedih atikoe jang akoe terpaksa serahken anakkoe jang toenggal ke dalem tangan bangsa Asing, jang berlaenan Igama, tetapi apa bole boewat, akoe trima takdir Allah […] biar atikoe ada sakit jang akoe tida dapet mantoe sabangsakoe, jang berigama sama dengan akoe, masi djoega besar girang hatikoe, sebab akoe liat katjintaankoe, anakkoe, jang toenggal telah beroentoeng.

(Wiggers, 1904a: 112) Dua peristiwa tersebut menggambarkan bahwa hambatan perbedaan bangsa dan agama dalam kisah percintaan antar-ras antara Verkerk dan Isah dapat dilalui melalui wacana manusia yang universal serta kasih sayang orang tua. Wacana manusia universal tersebut meruntuhkan batas-batas perbedaan manusia yang disebabkan oleh ras dan kebudayaan. Melalui Kyai Sentolo, wacana manusia universal yang tidak memandang perbedaan ras dan

(8)

agama diutarakan dan mampu meruntuhkan bentuk-bentuk kaku pola diskursif dalam kehidupan sosial yang membatasi pola interaksi antar-ras.

Rumah tangga campuran yang dibina oleh Verkerk dengan Isah tidak serta merta digambarkan sebagai keluarga yang bahagia. Beberapa hambatan yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan dimunculkan kembali dalam rumah tangga campuran tersebut.

Adat Djawa itoe boenglah, sebab koerang pantes kaloe ada tetamoe, dengan perboeatan begitoe angkau bikin rendah djoega akoe poenja ka-ada-an. […] aken tetapi si Isah, tida tida katanja: djangan toewan koewatir, saija merendahken ka-ada an toewan, saja nanti bisa bawa ka-adat Djawa sebagaimana pantes dan patoet; saija tidak soeka orang misti bilang jang saija bangga, saija besar ati dan koerang adjar. Kaloe toewan dengar itoe, boeankah toewan sendiri maloe? Dari itoe toewan diam-in sadja, saja taoe bagimana aken bawa adat itoe.

(Wiggers, 1904a: 169-170) Keengganan Isah meninggalkan perilaku Jawa tersebut merupakan bibit keretakan rumah tangga campuran tersebut. Verkerk mulai tidak senang dengan adat Jawa yang ditunjukkan oleh Isah selama berumah tangga. Ketidaksenangan Verkerk juga dimunculkan karena adanya pengaruh-pengaruh atau hasutan-hasutan dari orang Eropa lain untuk meninggalkan Isah. Hasutan tersebut akhirnya berhasil memecah keluarga Verkerk dan Isah.

“Ach diam! Djangan angkau omong lagi dari impian, sebab itoe soewatoe akal jang angkau pake soepaja akoe boleh pertjaja moeloetmoe, soepaja akoe djangan pergi ke roemah toewan Wiers, akoe taoe akal orang Djawa.”

(Wiggers, 1904b: 381) […] adapoen sekarang ini laen sekali, satoe orang seperti angkau, anak, sampe sabegini pangkat dan pendapetan oentoengmoe, soedah tida pantes angkau bernjai. Angkau misti moelai bertjampoer dengan orang-orang jang berpangkat djoega. Piker sadja. Andenja angkau biasa pake kahar kamana-mana dengan kahar sadja, kamoedian angkau poenja gadji naik, angkau djadi administrateur, misti berkoempoel dengan orang-orang besar, masa angkau selamanja misti pake kahar, tiadakah maloe jang angkau dari djaoe misti toeroen djalan kaki masoek ka medan apa djoega, dari sebab kaharmoe boekan kandaran aken bertjampoer dengan kereta bagoes-bagoes jang ada di medan itoe? Begitpoen angkau djika masi bernjai. Akoe ini kasi nasehat jang baik padamoe, boekan akoe soereoh oesir njaimoe, tida sekali-kali, kasi dia apa barang-barangnja, bikin atinja senang, soepaja dia tida bisa bangkit padamoe. Boedinja bagimoe, di baleslah dengan barang dan oewang, djadi angkau poenja nama poen di poedji sekalian orang.”

Verkerk dengar ini nasehat njonja Abrams mendjadi bimbang di dalem hatinja, dia piker betoel djoega katanja njonja.

(9)

Koetika Verkerk poelang ka roemah di itoe hari, maka soedah tetaplah di dalem atinja, jang Isa misti laloe dari roemah, sendiri-diri, Wimpi misti tinggal. Aken bole djadi sebegin roepa, mistilah Isa di boedjoek dengan manis, djika perkataan tida bergoena, biarlah oewang membitjarain halnja, tetapi Wimpi misti tinggal.

(Wiggers, 1904b: 435)

Ketiga kutipan tersebut menunjukkan bahwa keluarga campuran mempunyai hambatan yang berat terutama berkaitan dengan perbedaan kebudayaan dan stereotip-stereotip mengenai lelaki Eropa yang mempunyai gundik. Pada kutipan kedua, hasutan-hasutan yang dilakukan oleh Nyonya Abrams merupakan bentuk-bentuk stereotip yang membentuk citra pernikahan campuran antar-ras di era kolonial. Stereotip dari pernikahan campuran antar-ras dari kutipan kedua adalah setreotip negatif bahwa seorang lelaki Eropa yang beristri pribumi akan mempermalukan lelaki Eropa dan menurunkan statusnya dalam perkumpulan masyarakat Eropa. Keputusan meninggalkan Isah terdapat pada kutipan ketiga dan pada kutipan tersebut keputusan tersebut juga harus diikuti oleh kepemilikan hak asuh atas anak hasil pernikahan campuran.

Keluarga Verkerk dan Isah digambarkan pecah. Verkerk meninggalkan Isah dan menikah secara resmi dengan Fredrika. Isah dan Wimpie melompat ke sungai, namun mereka selamat. Hubungan Verkerk dan Fredrika tidak berjalan lama karena tidak adanya kecintaan di atara mereka. Selama berpisah baik Verkerk maupun Isah masih menyimpan rasa cinta di antara mereka. Verkerk menyesal meninggalkan Isah dan Isah tidak mau menikah atau menjalin hubungan dengan laki-laki lain.

Pada akhir novel Njai Isah jilid ke-5, Verkerk dan Isah dipertemuan kembali melalui kejadian yang serba kebetulan. Pertemuan tersebut menyatukan kembali keluarga campuran yang telah lama berpisah dan mereka memutuskan hidup bersama di Belanda.

Poelang dari karesidenan keliatan njata girangnja Verkerk, sebab di sitoe telah poetoes bitjara, Isah aken poelang sama Verkerk ke Ollanda bawa anaknja toewan resident bersama anaknja Lassimin aken beladjar di Ollanda.

(Wiggers, 1905: 576) Bersatunya kembali Verkerk dan Isah tersebut dapat dibaca sebagai keberhasilan hubungan percintaan antar-ras di era kolonial. Meskipun mereka pergi ke Belanda, setidaknya hubungan tersebut disatukan kembali setelah perpisahan yang begitu lama.

Gambaran percintaan antara Verkerk dan Isah dipenuhi oleh hambatan-hambatan yang disebabkan oleh perbedaan ras dan kebudayaan. Selain hal tersebut, stereotip negatif tentang hubungan percintaan antar-ras juga menghambat keluarga antar-ras yang dibina oleh

(10)

Verkek dan Isah. Perbedaan tersebut menyebabkan keretakan rumah tangga campuran yang dibina oleh Verkerk dan Isah. Meskipun demikian, hubungan tersebut dapat disatukan kembali setelah lama berpisah. Bersatunya kembali Isah dan Verkerk merupakan kemenangan pernikahan campuran yang digambarkan di dalam hubungan percintaan antar-ras Verkerk dengan Isah.

3.2 Hubungan Percintaan Doela dengan Fredrika

Percintaan antar-ras kedua yang digambarkan di dalam novel adalah kisah percintaan antara Doela dan Fredrika. Kisah percintaan antara Doela dan Fredrika merupakan model percintaan yang dilakukan antara laki-laki pribumi dengan perempuan Eropa. Hubungan percintaan antara Doela dan Fredrika digambarkan sebagai hubungan percintaan terlarang. Hubungan cinta terlarang tersebut karena Doela merupakan laki-laki pribumi. Dalam kutipan berikut dapat diketahui gambaran hubungan percintaan antara Doela dengan Fredrika.

Njonja poenja anak ini pergi dari roemah, sebab dia maloe tinggal lebi lama.

Maloe bagimana mak?

Dia memang soedah lama bersatoe hati dengan itoe si Doela, tetapi dia belon ada niat aken lari, tetapi njonja liat ini kartoe di atas jang ada anak-anaknja di depan badannja nona, lantaran itoe maka non tida maoe tinggal lama’an di dalem roemah.

La’illah, baboe Tidja, kenapakah peroentoengankoe bole begini di bikin maloe anak, apakah dosakoe, berkata njonja Abrams sembari sambatan.

Djadi kaloe begitoe non Poppi soedah hamper djadi iboe?

Ja, begitoelah njonja, anaknja bakalan anak lelaki dan beroentoeng besar.

Astaga non’non sampe ati sekali non bikin begitoe sama mama! Menangislah njonja Abrams.

(Wiggers, 1904b: 308) Hubungan percintaan antara Doela dan Fredrika dipandang sebagai hubungan cinta yang tidak pantas dan membuat malu keluarga Fredrika. Doela merupakan anak tukang kebun yang lama tinggal bersama keluarga Fredrika, sehingga percintaan mereka bukanlah percintaan yang lazim bagi anak perempuan Eropa apalagi anak perempuan Eropa yang terpandang di Batavia.

Nyonya Abrams berusaha memisahkan Doela dengan Fredrika. Fredrika diungsikan ke Jawa dan dicarikan jodoh untuk menutupi malu yang diderita oleh keluarga Abrams. Doela dihukum penjara karena mengamuk dan tidak diperbolehkan bertemu dengan Fredrika dan anaknya. Fredrika dinikahkan dengan Verkerk, tetapi pernikahan tersebut tidak bertahan

(11)

lama. Fredrika pun kembali kepada Doela. Setelah kematian tuan Abrams, Fredrika mendapatkan warisan dan hidup dengan Doela. Keputusan hidup dengan Doela tersebut membuat Fredrika dijauhi oleh orang-orang Eropa yang segolongan.

Angkau soedah sampe oemoer, tida ada satoe orang jang bole lawan atau larang kahendakmoe. Kendati angkau maoe idoep sama siapa djoega ia itoe angkau poenja soeka sendiri, tetapi djanganlah angkau oendjoek itoe di mata mata orang, sampe orang boewat omongan sebab maloe jang angkau misti pikoel kepratjikan djoega angkau pada soedara soedara moe.

Djawab Poppie: Allah ma, biar masing-masing djaga dirinja sendiri djangan sampe ia di tjiela orang, non soeka sama si Doela, apa non maoe taoe orang laen.

Njonja Abrams gojang gojang kepala. Dalem dirinja ia fikir, kaloe ia tinggal lama-an di Betawi nistjaja roesaklah nama anak-anaknja jang laen, tida ada harganja lagi.

(Wiggers, 1904c: 685) Lantaran tida ada njonja-njonja orang baek baek maoe bertjampoer lagi sama Poppie maka dia kepaksa bergaoelan ia sama njai-njai.

(Wiggers, 1904c: 689) Hal yang ditakutkan Nyonya Abrams terjadi, Fredrika mulai dijauhi oleh orang-orang Eropa. Pada kutipan terakhir dapat terlihat bahwa pilihan Fredrika hidup bersama dengan Doela telah menurunkan status sosial di dalam masyarakat Batavia. Fredrika tidak lagi dianggap sebagai orang Eropa melainkan orang pribumi seperti nyai-nyai.

Dari deskrispsi tersebut, setidaknya didapatkan bahwa hubungan percintaan antara laki-laki pribumi dan perempuan Eropa atau Indo merupakan hubungan percintaan yang dilarang. Jika hubungan terlaksana, status Eropa yang dimiliki oleh perempuan Eropa atau Indo tidak lagi digunakan. Perempuan Eropa tidak diterima di dalam lingkungan masyarakat Eropa. Laki-laki pribumi dicitrakan sebagai sosok yang buruk seperti yang digambarkan melalui tokoh Doela. Hubungan percintaan tersebut juga dianggap sebagai aib. Anggapan tersebut disebabkan tidak setaranya status antara Eropa dan Pribumi. Perempuan Eropa atau Indo dianggap tidak pantas berhubungan dengan laki-laki pribumi.

3.3 Hubungan Percintaan Lassimin dengan Tjindrowati

Percintaan Lassimin dan Tjindrowati merupakan percintaan antar-ras ketiga yang digambarkan dalam novel Njai Isah. Lassimin merupakan anak dari hasil pernyaian sehingga ia merupakan orang Indo-Eropa. Lassimin disekolahkan oleh Laanhof hingga menjadi dokter

(12)

Jawa dan karena pekerjaannya yang tekun Lassimin pun diberi gelar kebangsawanan yaitu Raden. Tjindrowati adalah anak priyayi Jawa yang mempunyai pendidikan Eropa.

Percintaan Lassimin dan Tjindrowati digambarkan tanpa cela. Keduanya memiliki pendidikan yang tinggi dan selera dan penampilan seperti orang Eropa. Baik dari keluarga Lassimin maupun Tjindrowati menyetujui hubungan percintaan tersebut. Kisah percintaan mereka pun disambut oleh orang-orang yang ada di kabupaten Masinten baik rakyat kecil maupun pejabat dan pedagang Cina.

Dari sitoe di bawa poelang ke Kaboepaten teroes di arak atas permintaan orang ketjil, maka di djalan besar bilang riboe orang nonton dan di satoe satoe moeloet gang dan djalan besar di bikini katja-katjaan. Wah, iboe kota Masinten teramat ramenja orang ketjil terlampau soeka ati,

Orang orang poelang mengarak lantas pada doedoek sedekah. Pendeknja hari nikahnja poetra perampoean dari regent Masinten djadi hari jang tida bisa di loepain selama lamanja oleh orang Masinten sebab belon pernah ada seramean jang begitoe di soekain seperti itoe hari.

(Wiggers, 1905: 486-487) Hubungan percintaan Lassimin dan Tjindrowati merupakan hubungan percintaan antar-ras yang digambarkan dengan citra positif. Meskipun Lassimin merupakan anak hasil pergundikan, berkat Laanhof yang mendidik secara Eropa dan pilihan Lassimin sebagai orang Jawa membuat dirinya menjadi seorang priyayi yang dihormati oleh orang-orang Eropa, Cina, dan pribumi. Penghormatan tersebut didapatkan bukan karena pendidikan saja namun juga karena sikap baiknya pada semua orang. Pilihan sebagai orang Jawa-lah yang menyebabkan Lassimin dapat menikah dengan Tjindrowati. Meskipun secara fisik Lassimin adalah orang Indo-Eropa, secara psikologis Lassimin menunjukkan sikap sebagai orang Jawa.

Gambaran hubungan percintaan Lassimin dengan Tjindrowati merupakan gambaran percintaan yang sempurna. Hubungan mereka tidak mendapatkan hambatan seperti hubungan percintaan Verkerk dengan Isah atau Fredrika dengan Doela. Hambatan hanya datang sekali ketika Verkerk, ayah Lassimin, datang dan membujuk untuk menjadi orang Eropa. Akan tetapi, hambatan tersebut bukanlah hambatan secara sosial seperti yang terjadi pada hubungan percintaan antar-ras yang dialami oleh Verkerk dengan Isah dan Fredrika dengan Doela. Dengan demikian, hubungan percintaan antar-ras antara Lassimin dan Tjindrowati merupakan hubungan percintaan yang ideal di era kolonial meskipun berbeda ras. Akan tetapi, hubungan percintaann tersebut barulah dapat tercapai jika salah satu menanggalkan status ras yang dimiliki. Dalam hubungan Lassimin dengan Tjindrowati, Lassimin setelah berpisah dengan ayahnya sudah menanggalkan status Eropa yang ia miliki dari garis ayahnya.

(13)

Dengan demikian, meskipun secara fisik Lassimin becirikan Eropa, hubungan percintaan antara Lassimin dan Tjindrowati merupakan hubungan pecintaan dari bangsa yang sama yaitu Jawa.

4. Hubungan Percintaan Antar-ras di Hindia Belanda

Kebijakan pemerintah kolonial yang mengatur kelas sosial berdasarkan ras sebenarnya bertujuan untuk membentuk masyarakat koloni yang homogen di tanah jajahan. Pemerintah kolonial melindungi kebudayaan Eropa agar tidak mudah terpengaruh oleh kebudayaan-kebudayaan lokal. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat menghambat pola-pola interaksi antar-ras yang terjadi di dalam tanah jajahan terutama sebelum kedatangan perempuan Eropa di Hindia Belanda. Laki-laki Eropa menikahi perempuan pribumi dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan pribumi. Hasil pernikahan tersebut menumbuhkan kebudayaan campuran atau sering disebut sebagai kebudayaan mestizo atau indische (Milone, 1967: 408).

Hubungan pernikahan antar-ras secara resmi berjumlah 10-13% dari jumlah pernikahan sesama Eropa pada abad ke-19 (van der Veur, 1968: 39). Jumlah pernikahan antar-ras secara resmi memang tidak banyak, namun jumlah pernikahan antar-ras yang tidak resmi melebihi angka tersebut. Hubungan antar-ras di era kolonial juga ditimbulkan melalui praktik-praktik pernyaian. Praktik-praktik tersebut timbul dalam lingkungan, tangsi, perkebunan, dan perkotaan di Hindia Belanda. Di lingkungan perkebunan, seorang laki-laki Eropa pengawas perkebunan lebih memilih perempuan pribumi karena dengan berhubungan dengan perempuan pribumi akan menumbuhkan hubungan baik dengan pekerja pribumi di lingkungan perkebunan. Selain itu, alasan lain pemilihan hubungan antar-ras dalam lingkungan perkebunan adalah biaya hidup dengan perempuan pribumi lebih murah daripada dengan perempuan Eropa (Taylor, 2009: 250). Di lingkungan perkotaan, pernyaian muncul di lingkungan partikulir Eropa. Perempuan pribumi dipilih selain biaya hidup lebih murah, perempuan tersebut juga dapat mengurusi rumah tangga dari laki-laki Eropa. Pada akhir abad ke-19, hubungan percintaan antar-ras tidak mempunyai penolakan-penolakan yang cukup keras. Hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan normal. Bahkan, dalam koran De

Locomotief, Pieter Broosshooft menulis bahwa pergundikan di Hindia Belanda berhubungan

dengan iklim, kesusilaan, dan kesehatan. Sebuah lembaga yang sangat baik (Baay, 2010: 76). Pada pergantian abad, dukungan terhadap anak-anak hasil pergundikan untuk diakui secara resmi bermunculan (Baay, 2010: 77).

(14)

Kondisi tersebut berubah pada awal abad ke-20. Perubahan ekonomi di Hindia Belanda menyebabkan orang Eropa semakin mengeksklusifkan diri dalam tatanan masyarakat Eropa. Hubungan percintaan antar-ras mendapatkan serangan besar-besaran. Citra-citra negatif tentang hubungan tersebut dimunculkan dalam brosur-brosur maupun surat kabar. Pada tahun 1905, dalam sebuah brosur tulisan W. D. Koot, pergundikan dicela dengan tajam (Baay, 2010: 86). Orang Eropa yang hidup dengan perempuan pribumi dikhawatirkan hanya dimaanfaatkan saja, tidak hanya oleh perempuan namun keluarga. Perempuan pribumi juga akan menyebarkan sikap hidup bermalas-malasan (Baay, 2010: 86). Hubungan pernyaian tersebut cenderung disebut sebagai “hubungan cinta dengan pembantu wanita” dan dianggap tidak baik di dalam masyarakat kolonial (Lombard, 2008: 80). Penolak-penolak hubungan antar-ras menggunakan moral sebagai alasan. Bagi kaum penolak tersebut, hubungan campuran akan membuat merosot moral orang Eropa (Baay, 2010: 84). Citra buruk tersebut boleh jadi disebabkan oleh kebijakan kolonial yang mengatur undang-undang tentang status sosial yang berdasarkan ras. Dengan demikian, hubungan antar-ras di era kolonial merupakan sisi gelap dari kehidupan kolonial.

Catatan-catatan mengenai hubungan percintaan antar-ras memang tidak begitu banyak karena percintaan antar-ras atau perkawinan campuran pada umumnya tidak dilakukan secara resmi. Hubungan percintaan antar-ras tersebut dapat ditemukan dalam novel-novel yang terbit pada akhir abad ke-19, baik novel berbahasa Belanda maupun bahasa Melayu. Dalam tulisan Jean Gelman Taylor (2009) dan van der Kroef (1958), penulis-penulis perempuan Hindia Belanda menggambarkan kehidupan percintaan antar-ras terutama pergundikan/pernyaian dengan penuh simpatik di dalam novel-novelnya dibandingkan dengan penulis laki-laki. Fancoise Junius, perempuan penulis Hindia Belanda, mencoba mengangkat harkat anak hasil pergundikan lewat cerita tokoh Dorman, Cecile, dan Willie dalam novel Willie’s Mama (Taylor, 2009: 268). Pengangkatan tersebut merupakan bentuk simpati Francoise Junius terhadap praktik pergundikan. Hal ini berbeda dengan penulis laki-laki dalam menggambarkan praktik pergundikan. Daum, seorang penulis laki-laki-laki-laki dalam bahasa Belanda, membantu penciptaan citra gundik yang licik dan dirasuki oleh iblis (Taylor, 2009: 262).

Di dalam novel-novel berbahasa Melayu, citra-citra pergundikan juga dimunculkan sebagai tema cerita. Dalam tulisan Sutedja-Liem (2008) dan Wahyudi (1995) ditunjukkan bahwa novel-novel berbahasa Melayu yang bertemakan pernyaian mencoba memperbaiki citra pernyaian di dalam kehidupan kolonial. Novel Njai Dasima dan Njai Alimah memberikan citra positif terhadap sosok nyai. Nyai Dasima dan Nyai Alimah digambarkan

(15)

sebagai seorang nyai yang setia kepada tuannya (Wahyudi, 1995: 121). Baik analisis Taylor (2009), van der Kroef (1958), Sutedja-Liem (2008), dan Wahyudi (1995) memang menunjukkan hubungan percintaan antar-ras, namun mereka hanya berfokus pada hubungan percintaan antar-ras yang ditimbulkan oleh praktik pergundikan.

5. Perbandingan Citra Percintaan Antar-Ras di dalam Kehidupan Nyata dan Novel Njai Isah

Dari catatan sejarah yang ditulis oleh Jean Gelman Taylor (2009), Denys Lombard (2008), dan Reggie Baay (2010) hubungan percintaan antar-ras digambarkan sebagai hubungan terlarang di dalam kehidupan kolonial. Meskipun demikian Taylor (2009) mencari kemungkinan lain citra hubungan percintaan antar-ras tersebut dengan menganalisis novel-novel yang ditulis oleh penulis perempuan Hindia Belanda. Dalam analisisnya, Taylor menemukan rasa simpatik penulis perempuan terhadap praktik pergundikan. Lombard (2008) mencatat bahwa hubungan percintaan antar-ras yang terwakili melalui praktik pergundikan dicitrakan begitu buruk. Hubungan pernyaian disebut sebagai hubungan percintaan dengan pembantu perempuan. Berbeda dengan Taylor dan Lombard, Baay (2010) memaparkan perjalanan hubungan pergundikan pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebelum abad ke-20, hubungan antar-ras tidak begitu ditolak. Hubungan tersebut tetap mendapatkan dukungan karena dianggap sebagai hubungan yang menguntungkan bagi laki-laki Eropa. Akan tetapi, pada awal abad ke-20 hubungan antar-ras ditolak dan ditentang dengan keras. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Idenburg, pemerintah kolonial menentang keras “ketidaksusilaan umum” yang dilakukan oleh pegawai pemerintahan Eropa dengan tidak membiarkan lagi perikalu semacam itu (Baay, 2010: 87).

Di dalam novel Njai Isah citra buruk hubungan percintaan antar-ras ditunjukkan pada hubungan percintaan Doela dengan Fredrika dan Verkerk dengan Isah. Pada percintaan antar-ras Verkerk dan Isah, citra buruk tersebut muncul dari tokoh Andja, ayah Isah, dan Nyonya Abrams. Andja mencitrakan hubungan percintaan antar-ras sebagai hubungan terlarang karena perbedaan agama dan bangsa antara Isah dengan Verkerk. Nyonya Abrams dalam novel tersebut melihat hubungan percintaan antar-ras sebagai aib atau rasa malu bagi orang Eropa yang melakukannya. Dengan melakukan hubungan percintaan antar-ras, status Eropa yang dimiliki oleh orang Eropa bukanlah status Eropa dihargai di masyarakat kolonial. Citra hubungan percintaan antar-ras sebagai aib bagi golongan Eropa juga muncul dalam percintaan Fredrika dengan Doela. Hubungan mereka dianggap aib bagi keluarga Fredrika. Fredrika pun dalam lingkungan masyarakat Eropa tidak diterima karena pilihannya

(16)

menjalin hubungan terlarang dengan Doela. Fredrika dijauhi sesama perempuan Eropa dan hidup bersama-sama nyai-nyai. Hal tersebut merupakan konsekuensi sosial yang diterima Fredrika ketika berhubungan dengan laki-laki pribumi, yaitu tidak diterimanya Fredrika dalam golongan masyarakat Eropa atau sebagai penurunan kelas sosial akibat kisah cinta antar-ras yang ia lakukan.

Selain citra buruk, citra baik juga muncul dalam hubungan percintaan antar-ras. Kisah percintaan antara Isah dan Verkerk tidak selamanya dicitrakan buruk. Melalui sikap Isah yang mau membantu perekonomian keluarga dan sangat mencintai Verkerk, Isah diidentifikasi sebagai nyai yang berlainan dengan nyai-nyai lainnya. Sikap-sikap Isah tersebut membantu memberikan citra baik dalam hubungan percintaan antar-ras. Kisah cinta Verkerk dan Isah kemudian berhasil bersatu kembali setelah lama berpisah. Persatuan kembali antara Verkerk dan Isah dapat dibaca sebagai keberhasilan hubungan percintaan antar-ras di Hindia Belanda. Keberhasilan hubungan cinta antar-ras lainnya adalah keberhasilan kisah cinta antara Lassimin dan Tjindrowati. Dengan memilih sebagai orang Jawa, Lassimin dapat menikah dan diterima sebagai kaum priyayi Jawa.

Jika dibandingkan dengan citra-citra negatif tentang hubungan percintaan antar-ras dalam catatan sejarah, kisah-kisah percintaan antar-ras dalam novel Njai Isah merupakan tanggapan atas citra-citra negatif tersebut. Dalam novel Njai Isah dua kisah percintaan antar-ras diberhasilkan dalam cerita meskipun dengan berbagai strategi tekstual. Dalam kisah percintaan Verkerk dan Isah, percintaan mereka berhasil setelah lama berpisah. Verkerk memutuskan membawa Isah ke Belanda. Migrasi yang dilakukan Verkerk dan Isah merupakan strategi untuk membuat hubungan mereka berhasil karena di Hindia Belanda, kisah percintaan antar-ras belum diterima secara resmi oleh pemerintah kolonial. Dalam kisah percintaan Lassimin dan Tjindrowati, strategi tekstual yang digunakan pengarang untuk memberikan keberhasilan terhadap hubungan percintaan antar-ras adalah dengan pilihan Lassimin yang mengubah status Eropanya menjadi pribumi. Perubahan tersebut sebenarnya terjadi sejak kecil ketika Verkerk meninggalkan Isah dan Lassimin. Perubahan inilah yang memungkinkan percintaan antar-ras di tanah koloni dapat terjadi dan diterima tanpa hambatan secara sosial dan kultural.

Jika melihat tahun terbit novel Njai Isah yakni pada tahun 1904-1905, kehadiran cerita tersebut sebenarnya berada di tengah-tengah penolakan-penolakan terhadap hubungan antar-ras. Seperti yang ditulis oleh Baay (2010), pada awal abad ke-20, kaum Eropa semakin menutup diri dari golongan masyarakat lainnya. Kaum Eropa tersebut mulai hidup secara homogen dan kehidupan mereka dekat dengan kehidupan Eropa di Belanda. Dengan

(17)

demikian, mereka merasa memiliki status lebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Status tersebutlah yang digunakan untuk menyerang hubungan antar-ras yang dianggap memerosotkan moral orang Eropa di tanah jajahan. Kehadiran novel Njai Isah pada awal abad ke-20 dapat dibaca sebagai perlawanan terhadap citra-citra negatif hubungan antar-ras yang muncul pada periode tersebut. Dengan mengangkat kisah percintaan antar-ras pada akhir abad ke-19, F. Wiggers mencoba menanggapi situasi kolonial tersebut. Hubungan percintaan di dalam novel diberhasilkan meskipun mendapatkan tantangan dari masyarakat kolonial.

6. Kesimpulan

Dalam pembacaan sosiologi sastra dapat ditemukan bahwa novel Njai Isah merupakan tanggapan terhadap kehidupan sosial di era kolonial. Di dalam novel kisah percintaan antar-ras digambarkan sebagai percintaan yang terlarang bagi orang-orang Eropa. Citra negatif tersebut muncul dalam kisah percintaan Isah dengan Verkerk dan Doela dengan Fredrika. Citra negatif dalam hal percintaan antar-ras di era kolonial juga terdapat dalam catatan sejarah Jean Gelman Taylor, Denys Lombard, dan Reggie Baay. Permasalahan pernikahan campuran dianggap sebagai pernikahan antara majikan Eropa dengan pembantu pribumi. Citra-citra negatif tersebut disebabkan oleh perbedaan sosial yang disebabkan oleh ras. Orang Eropa menganggap bahwa pernikahan campuran akan merusak keseimbangan kebudayaan Eropa yang dibentuk di tanah jajahan. Kebijakan kolonial melalui undang-undang sipil bahkan mengatur peraturan pernikahan yang secara tidak langsung melarang pernikahan antar-ras. Kalau pun ada, pernikahan campuran tersebut dilakukan secara tidak sah dari seorang ibu tersebut tidak mempunyai hak dalam mengasuh anak hasil pernikahan campuran. Perundang-undangan dan citra negatif terhadap hubungan percintaan antar-ras merupakan pola-pola diskursif yang menghambat hubungan percintaan antar-ras dan proses asimilasi antar-budaya di era kolonial.

Di dalam novel Njai Isah, pola-pola diskursif tersebut ditanggapi melalui kisah percintaan Isah dengan Verkerk, Doela dengan Fredrika, dan Lassimin dengan Tjindrowati. Isah di dalam novel tidak digambarkan sebagai nyai yang gila harta dan tidak berperadaban. Isah mampu menjaga kecintaannya sampai akhirnya bertemu dan hidup kembali dengan Verkerk. Demikian halnya dengan Lassimin, ia merupakan anak nyai dan tidak dianggap sebagai anak kolong. Di dalam novel Njai Isah, tokoh Lassimin bahkan berhasil menduduki jabatan Bupati. Citra-citra tersebut dapat digunakan sebagai tanggapan serta penolakan terhadap pola-pola diskursif yang hendak membentuk kehidupan sosial di Hindia Belanda

(18)

lebih homogen yang benar-benar memisahkan antara pihak penjajah ras Eropa dengan pribumi. Jika melihat tahun terbit novel Njai Isah yakni pada tahun 1904-1905, kehadiran cerita tersebut sebenarnya berada di tengah-tengah penolakan-penolakan terhadap hubungan antar-ras. Seperti yang ditulis oleh Baay (2010), pada awal abad ke-20, kaum Eropa semakin menutup diri dari golongan masyarakat lainnya. Kaum Eropa tersebut mulai hidup secara homogen dan kehidupan mereka dekat dengan kehidupan Eropa di Belanda. Dengan demikian, mereka merasa memiliki status lebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Status tersebutlah digunakan untuk menyerang hubungan antar-ras yang dianggap memerosotkan moral orang Eropa di tanah jajahan. Kehadiran novel Njai Isah pada awal abad ke-20 dapat dibaca sebagai perlawanan terhadap citra-citra negatif hubungan antar-ras yang muncul pada periode tersebut. Dengan mengangkat kisah percintaan antar-ras pada akhir abad ke-19, F. Wiggers mencoba menanggapi situasi kolonial tersebut. Hubungan percintaan di dalam novel diberhasilkan meskipun mendapatkan tantangan dari masyarakat kolonial.

Melalui novel Njai Isah, Ferdinand Wiggers hendak menunjukkan bahwa perbedaan ras dan kebudayaan antara pihak penjajah dan terjajah dapat disatukan melalui percintaan antar-ras. Dengan demikian, batas-batas ras yang mengatur pol-pola sosial di era kolonial tersebut dapat dihapus atau setidaknya dapat disederhanakan dan proses asimilasi antar-budaya tersebut dapat terjadi. Demikianlah strategi-strategi tekstual yang digunakan oleh Ferdinand Wiggers dalam menanggapi pola-pola diskursif di Hindia Belanda melalui novel

Njai Isah.

Kepustakaan Adam, Ahmat

2003 Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hastra

Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV Jakarta. Baay, Reggie

2010 Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu.

Cohen, Matthew Isaac

2001 “On the origin of the Komedie Stamboel: Popular Culture, Colonial Society, and the Parsi Theatre Movement” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157

(2001), no: 2, Leiden, 313-35.

Damono, Sapardi Djoko

1984 Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

2006. “Sebermula Adalah Realisme” dalam Pendahuluan Antologi Drama Indonesia Jilid 1

1895-1930. Jakarta: Amanah Lontar.

Dini, N.H.

(19)

Foulcher, Keith

2008 “Larut di Tempat yang Belum Terbentuk: Mimikri dan Ambivalensi dalam ‘Sitti

Noerbaja’ Marah Roesli” dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV Jakarta.

Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.)

2002 Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden:

KITLV Press.

2008 Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV

Jakarta. Hunter, Thomas M.

2008 “Indo Sebagai ‘Orang Lain’: Identitas, Kegelisahan, dan Ambiguitas dalam Salah

Asoehan.” Dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan

Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV Jakarta. Jedamski, Doris.

2005 “Sastra Populer dan Subjektivitas Postkolonial: Robinson Crusoe, Count dari Monte Cristo, dan Sherlock Holmes di Indonesia Masa Kolonial” dalam Sastra Indonesia

Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia dan KITLV Jakarta.

2010 “Terjemahan Sastra dari Bahasa-Bahasa Eropa ke dalam Bahasa Melayu Sampai Tahun 1942” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan Indonesia Malaysia. Jakarta: KPG. Luxemburg, Jan Van (et. al)

1992 Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nio Joe Lan

1962 Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung.

Maier, Henk

1991 “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam Indonesia, The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life(1991), pp. 67-81.

1993 “From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies” dalam Indonesia, No. 56 (Oct., 1993), pp. 37-65.

2004 We Are Playing Relatives: A Survey of Malay Writing. Leiden: KITLV Press.

2006 “Explosions in Semarang: Reading Malay tales in 1895” dalam Bijdragen tot de

Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 162-1 (2006):1-34.

2008 “Suara Gagap dan Pintu Berderit: Tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Bahasa Melayu” dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta.

Milone, Pauline Dublin

1967 “Indische Culture, and Its Relationship to Urban Life” dalam Comparative Studies in

Society and History, Vol. 9, No. 4 (Jul., 1967), pp. 407-426.

Ricklefs, M.C.

2001 A History of Modern Indonesia since c. 1200/ 3rd Edition. Hampshire: Palgrave. Salmone, Claudine

1985 Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu terj. Dede Oetomo. Jakarta: Balai

Pustaka

2010 “Asal-usul Novel Melayu Modern”: Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang

Tionghoa. Jakarta: KPG.

Sastrowardoyo, Subagio

1990 Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumardjo, Jakob

2004 Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

Suteja-Liem, Maya

2008 “Menghapus Citra Buruk Njai dalam Karya-karya Fiksi Berbahasa Melayu (1896-1927)” dalam Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 10 No. 2, Oktober

(20)

Sykorsky, W.V.

1980 “Some Additional Remarks On The Antecedents Of Modern Indonesian Literature” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 136, 4de Afl. (1980), pp. 498-516.

Taylor, Jean Gelman

2009 Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur. Depok:

Komunitas Bambu. Tickell, Paul

2008 “Cinta di Masa Kolonialisme: Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal” dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta.

Teeuw, A

1953. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

1972. “The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature” dalam Bulletin of the

School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 35,No. 1 (1972),

pp. 111-127. Toer, Pramoedya Ananta

1963 “Sastra Assimilatif: Sastra Pra Indonesia”, Bintang Timur, Lentera, 24 November-1 Desember 1963.

1980 Bumi Manusia. Jakarta: Hastra Mitra.

1980 Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hastra Mitra.

1982 Tempo Doeloe: Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra.

Van der Kroef, Justus M.

1955 “The Indonesian Eurasian and His Culture” dalam Phylon (1940-1956), Vol. 16, No. 4 (4th Qtr., 1955), pp. 448-462.

Van der Veur, Paul W.

1968 “Cultural Aspects of the Eurasian Community in Indonesian Colonial Society” dalam

Indonesia, No. 6 (Oct., 1968), pp. 38-53

Wahyudi, Ibnu.

1988 “Perkembangan Novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka” laporan penelitian. Depok: Unversitas Indonesia.

1995 “The Nyai in Njai Dasima, Nyai Ratna, and Njai Alimah: A Reflection of Indonesian Women’s Lives as Concubines of European’s in Indonesian’s Colonial Period” Thesis in Centre for Comparative Literature and Cultural Studies Monash University.

Watson, C.W.

1971 “Some Preliminary Remarks On The Antecedents Of Modern Indonesian Literature” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 127, 4de Afl. (1971), pp. 417-433.

Wertheim, W.F

1959 Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. Brussel: Uitgeversmaatdchaappij A. Manteau N.V.

Wiggers, Ferdinand

1904a Tjerita Njai Isah: Bagian Ka I Djilid Pertama. Batavia: Naaml Vennotchap.

1904b Tjerita Njai Isah: Bagian Ka II Djilid Pertama. Batavia: Naaml Vennotchap. 1904c Tjerita Njai Isah: Bagian Ka III Djilid Pertama. Batavia: Naaml Vennotchap. 1904d Tjerita Njai Isah: Bagian Ka IV Djilid Kadoewa. Batavia: Taman Sari.

1904-05 Tjerita Doktor Maugers. Cerita Bersambung di Surat Kabar Taman Sari 7 Oktober

1904-24 Juni 1905.

1905 Tjerita Njai Isah: Bagian Ka V Djilid Kadoewa. Batavia: Taman Sari.

1982 “Dari Boedak Sampe Djadi Radja Menoeroet Karangannja Melati van Java tersalin dalem bahasa Melajoe renda oleh F. Wiggers” [pertama terbit tahun 1898] dalam

Tempo Doeloe, Pramoedya Ananta Toer (peny.) Jakarta: Hastra Mitra.

2006 “Lelakon Raden Bei Soerio Retno” [pertama terbit tahun 1901]. dalam Antalogi

(21)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 16 Januari 2013

(22)

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Agung Dwi Ertato NPM : 0806353330 Tanda Tangan :

(23)

Referensi

Dokumen terkait