• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM

RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN

INDONESIA

Oleh:

Bayu Refindra Fitriadi, S.Si Calon PMHP Ahli Pertama

Menghadapi pasar bebas China-ASEAN dan perdagangan bebas dunia, Indonesia dituntut untuk dapat menyediakan hasil pertanian maupun perkebunan yang memiliki standar keberterimaan yang disyaratkan oleh negara-negara pengimpor sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara-negara lain. Salah satu poin yang disyaratkan adalah mengenai Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida yang terkandung dalam hasil-hasil pertanian/perkebunan. Menurut SNI 7313:2008, BMR Pestisida didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian (ppm). Dengan adanya ketetapan tentang BMR Pestisida, suatu negara dapat melindungi kesehatan masyarakat dari produk pertanian/perkebunan yang membahayakan.

Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan / Scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahunnya untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya.

Masih teringat peristiwa beberapa tahun terakhir, dimana Singapura mendapatkan klaim dari Jepang bahwa produk kakaonya yang berasal dari Indonesia mengandung residu herbisida yang melebihi ambang batas. Hal ini memicu Singapura melalui Cocoa Association of Asia mengklaim bahwa biji kakao yang diolah berasal dari Indonesia khususnya dari pulau Sulawesi. Klaim

(2)

Singapura atas kualitas biji kakao Indonesia mendorong jajaran Direktorat Jenderal Perkebunan melalui keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 87/Kpts/SR.140/03/2009, tanggal 25 Maret 2009 membentuk “Tim Kajian Penggunaan Herbisida 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid pada Tanaman Kakao”. Hasil analisis residu herbisida yang dilakukan oleh Prof. Dr. Sri Noegrohati, MSc di Laboratorium Farmasi UGM menunjukkan bahwa sampel biji kakao dan bubuk kakao dari Sulawesi Indonesia secara umum mengandung residu herbisida 2,4-D yang sangat rendah dan jauh di bawah Batas Maksimum Residu (Maximum

Residue Limit) yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang yaitu 0,01 ppm. Kadar

2,4-D paling tinggi yang terdeteksi adalah 0,001 ppm.

Berdasarkan peristiwa di atas, BMR pestisida pada hasil perkebunan sangat penting terutama untuk hasil-hasil perkebunan untuk ekspor. Selain itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima persetujuan SPS (Sanitary and Phytosanitary) yang berkaitan dengan kandungan residu pestisida pada produk pertanian/perkebunan. Agar hasil pertanian/perkebunan dapat memasuki suatu negara harus mengandung residu pestisida di bawah nilai BMR Pestisida yang ditetapkan oleh suatu negara dengan mengacu ketentuan keamanan pangan/Codex Alimentarius dari WHO.

Selain itu, Negara-negara ASEAN juga telah menyepakati pembatasan residu pestisida untuk komoditas pertanian maupun kehutanan yang akan dipasarkan ke wilayah ASEAN. Keputusan ini dihasilkan pada Sidang Menteri Pertanian dan Kehutanan Asean (AMAF) ke-31 di Brunei Darussalam 10-11 November 2009. Sidang AMAF telah menandatangani pengesahan enam dokumen mengenai harmonisasi standar dan kriteria produk pertanian dan kehutanan. Di antaranya batas maksimum residu untuk lima jenis pestisida yakni

carbendazim pada komoditas anggur dan jeruk, chlorpyrifos (buah longan dan

leci), phosalone (durian), ethion (buah pamelo) dan deltamethrin (cabe).

Saat ini Indonesia telah memiliki ketetapan tentang BMR Pestisida melalui SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor: 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang BMR Pestisida Pada Hasil Pertanian. Pasal 2 SKB tersebut menyatakan bahwa setiap hasil

(3)

pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas yang ditetapkan. SKB Pasal 3 menetapkan bahwa hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SNI 7313:2008 tentang BMR Pestisida pada Hasil Pertanian yang memberikan lebih banyak jenis pestisida yang harus memenuhi BMR Pestisida sehingga perlindungan terhadap masyarakat Indonesia akan lebih maksimal.

Dampak lanjut dari penerapan BMR pestisida di Indonesia adalah dalam rangka pelaksanaan pasar bebas ASEAN (AFTA) dan pasar bebas China-ASEAN (ACFTA) serta penerapan pasar bebas dunia yang sudah mendekat. Indonesia perlu segera memulai dan melaksanakan kegiatan penerapan ketetapan mengenai BMR Pestisida dalam kegiatan perdagangan domestik dan global. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat ekspor hasil pertanian yang biasanya disyaratkan oleh negara-negara pengimpor, maupun sebagai acuan dalam syarat keberterimaan impor hasil pertanian yang masuk ke Indonesia.

Untuk dapat memenuhi hasil pertanian dan perkebunan yang memenuhi syarat BMR Pestisida, perlu beberapa kegiatan atau program kerja yang dilaksanakan secara lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu, diantaranya adalah: 1. Melakukan Revisi dan Perbaikan BMR Pestisida sesuai dengan ketentuan

keamanan pangan/Codex Alimentarius dari WHO

2. Menyusun Mekanisme Pemeriksaan dan Pengambilan Keputusan mengenai BMR

3. Penyiapan Infrastruktur Jaringan Laboratorium Pemeriksa dan standardisasi Metode Analisis Residu Pestisida

4. Meningkatkan Kualitas Pemeriksa dan Peneliti Residu Pestisida

5. Pemasyarakatan BMR ke semua stakeholders yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian/perkebunan terutama pemerintah, petani, dan dunia industri.

Petani sebagai produsen terbesar hasil-hasil pertanian/perkebunan yang sebagian diolah dan dipasarkan oleh dunia industri harus ditingkatkan

(4)

kemampuan profesionalismenya agar dalam mengelola lahan pertaniannya sehingga dapat menghasilkan produk pertanian/perkebunan yang tidak mengandung residu pestisida melebihi ketentuan BMR. Selain itu pula, agar petani dan pengusaha pertanian dapat memenuhi persyaratan tersebut, mereka harus menerapkan teknologi produksi yang hemat, ramah lingkungan dan tanpa menggunakan pestisida kimia. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, penerapan dan pengembangan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan alternatif terbaik yang perlu ditempuh oleh petani dan pelaku agribisnis lainnya agar tidak terkena hambatan non tarif BMR dalam era perdagangan bebas.

Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas diperlukan perhatian khusus dari para pengambil keputusan di semua sektor terkait serta penyediaan anggaran kerja khusus yang cukup besar.

Referensi:

Badan Standarisasi Nasional, 2008, SNI 1373:2008, Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian

Anonim, 2009, Sidang CODEX Committee on Pesticide Residues (CCPR) ke-41 Beijing, China 20-25 April 2009, diakses pada tanggal 12 September 2013

dihttp://pphp.deptan.go.id/disp_informasi/1/6/79/625/sidang_codex_commi

ttee_on_pesticide.html

Anonim, 2009, Kakao Indonesia Bebas Kandungan Residu Herbisida 2,4-D (Dichlorophenoxyacetic Acid), diakses pada tanggal 11 September 2013

di

http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-177-kakao-indonesia-bebas-kandungan-residu-herbisida-24d-dichlorophenoxyacetic-acid.html

Anonim, 2009, ASEAN Sepakati Batas Residu Pestisida, diakses pada tanggal 10 September 2013 di

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/11/13/88940-asean-sepakati-batas-residu-pestisida

Anonim, 2009, Menteri Pertanian ASEAN Sepakati Kerjasama Mengatasi Dampak perubahan Iklim dan Keamanan Pangan Regional, diakses pada tanggal 11 September 2013 di

(5)

http://www.suswono.net/berita-a-

liputan/berita-terkini/61-menteri-pertanian-asean-sepakati-kerjasama-mengatasi-dampak-perubahan-iklim-dan-keamanan-pangan-regional.html

Hidayat, A., 2009, Jaminan Mutu dan ketersediaan pangan di Jepang : Peraturan Bahan Kimia Pertanian pada Pangan, diakses pada 11 September 2013

http://agribisnis.deptan.go.id/disp_informasi/1/6/96/1356/jaminan_mutu_da n_ketersediaan_pangan_di_jepang___peraturan_bahan_kimia_pertanian

Referensi

Dokumen terkait

g. Mengatur berbagai aspek mulai.. dari Ketentuan Umum, Asas-asas PK, Tenggang Waktu PK, Cara Prosedur Pengajuan PK, dan Ketentuan Peralihan. Ketentuan prinsip yang diatur

Astin Nugraheni (2006 ) dalam skripsinya yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Zaza dalam Novel Azalea Jingga Karya Naning Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil Penelitian

MEKANISME MIGRASI &AN AKUMULASI MEKANISME MIGRASI &AN AKUMULASI MIGAS MIGAS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis serta didukung data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kemudian dianalisa bagaimana pengaruh variasi

Menurut Shimp (2003), pemasaran langsung adalah suatu sistem interaktif yang menggunakan satu atau lebih media periklanan untuk menghasilkan suatu respon yang dapat diukur

Atau mengubah (edit) sebuah berkas dengan aplikasi "Editor". Sedangkan, "Sistem Operasi" dapat dikatakan merupakan sebuah perangkat lunak yang

dalam pemanfaatan kayu adalah melakukan proses pengolahan kayu untuk pertama kali yakni yang pertama merubah kayu dalam bentuk log menjadi kayu gergajian yang

Jika bank konvensional mendapatkan keuntungan dari bunga serta biaya administrasi dan jasa yang ditawarkan, bank syariah justru tidak beroperasi dengan mengandalkan