• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra bisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra bisa"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra bisa dikatakan selalu terikat dengan konteks sosial saat karya tersebut diciptakan. Oleh karena itu, sering didapati karya sastra menampilkan kembali peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehingga dalam proses pemahamannya, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya (Grebstain, 1968:161— 169).

Karya sastra yang diciptakan sebagai hasil tanggapan dan refleksi kondisi kehidupan terwujud dalam berbagai genre sastra baik puisi, prosa, maupun drama. Pemilihan genre karya sastra bahkan hingga detail-detail strukturnya, dan wacana yang dibangun dari sebuah karya tidak terlepas dari pengarang/penciptanya. Oleh sebab itu, sebuah karya tidak dapat dipahami jika dilepaskan dari konteks kepengarangan. Hal ini disebabkan pengarang sebagai pencipta suatu karya sastra memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan tataran bentuk ataupun isi karyanya.

Ada banyak karya sastra yang mencerminkan berbagai keadaan sosial masyarakat dalam sejarah kasusastraan Indonesia baik dalam genre puisi, cerpen,

(2)

maupun novel. Puisi-puisi Wiji Thukul yang termuat dalam antologi Aku Ingin Jadi Peluru (2004) merepresentasikan ketertindasan rakyat oleh kediktatoran Orde Baru; bentuk itu dicerminkan adanya dehumanisasi1 dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Cerminan nasib masyarakat Indonesia yang terlibat G30S/PKI tahun 1965 dapat dilihat dalam cerpen-cerpen karya Martin Aleida dalam antologinya Leontin Dewangga (2003), dan novel-novel karya Ahmad Tohari seperti Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang merefleksikan dampak peristiwa G30S/PKI bagi masyarakat awam.

Dari berbagai karya fiksi yang diciptakan oleh beberapa pengarang dan telah diterbitkan dalam berbagai genre, ada pengarang yang konsisten dalam merefleksikan kembali peristiwa sejarah Indonesia dalam karya fiksinya. Salah satunya ialah Seno Gumira Ajidarma. Lewat penuturannya dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno Gumira Ajidarma ingin menyampaikan kebenaran suatu peristiwa melalui karya sastra ketika media jurnalistik gagal karena terbentur sensor (Ajidarma, 1997:93). Dengan konsistensi yang tinggi, Seno merefleksi ulang peristiwa sejarah dalam karyanya, misalnya peristiwa pembunuhan terhadap gali yang terjadi pada tahun 1983-an—1985-an yang dihadirkan dalam trilogi penembak misterius “Keroncong Pembunuhan”, diterbitkan oleh harian (Kompas, 3 Februari

1

Laporan Penelitian; Novi Siti Kussuji Indrastuti.2012.Wacana Dehumanisasi dalam Puisi Indonesia: Kajian Semiotika Pragmatik Morris terhadap Sajak-Sajak Wiji Thukul. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

(3)

1985), “Bunyi Hujan di Atas Genting”, (Kompas, 28 Juni 1985), dan “Grhh”, (Kompas, 18 Januari 1987). Peristiwa Mei 1998 dalam “Jakarta, Suatu Ketika”, yang diterbitkan majalah Horison, Juni 1998 dan “Clara”, dimuat sebagai “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”, dalam harian (Republika, 26 Juni 1998). Namun, sebelum itu, Seno juga telah menghadirkan insiden Dilli pada tahun 1991 yang kemudian dituangkan dalam cerpen-cerpennya yang dimuat dalam antologi Saksi Mata. Bahkan, Seno juga mengangkat peristiwa pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang dimuat dengan judul “Aku, Pembunuh Munir”, (Kompas, 29 Desember 2013).

Dari berbagai karyanya yang diilhami oleh kondisi latar belakang historis Indonesia, karya-karya Seno hadir untuk mengkritisi dan menggugat kebekuan sejarah dan perlawanan terhadap tindak kekerasan yang pernah terjadi dalam sejarah Negara Indonesia. Misalnya, catatan Seno tentang tulisannya terkait insiden Dilli 1991.

Saya menulis cerita dengan semangat perlawanan, antara lain untuk melawan ketakutan saya sendiri—dan saya sungguh bersyukur telah mendapat pilihan untuk melakukannya. Penguasa datang dan pergi. Cerita saya masih ada.

(Ajidarma, 2002:ix)

Beberapa karya yang lain pun bisa dikatakan bahwa kehadirannya adalah untuk mengkritisi berbagai tindakan ketidakadilan yang pernah terjadi. Ini menjadi semacam gugatan terhadap sejarah dan tuntutan terhadap ketidakadilan bagi setiap

(4)

kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Sebagai contoh adalah ulasan Budiawan tentang trilogi cerpen “Petrus” karya Seno Gumira Ajidarma.

Ketika isu “petrus” hendak dihapus dari memori masyarakat, trilogi ini hadir di tengah-tengah publik. Oleh karena itu, betapa sangat berharganya trilogi ini. Ia tidak hanya dipandang sebagai semacam dokumen sejarah, tetapi gugatan terhadap sejarah itu sendiri.

Daya gugat trilogi ini sangat dalam dan luas. Ia bukan hanya menggugat dampak serius dari “petrus”, tetapi juga sistem (kekuasaan) yang menghasilkan “petrus” itu sendiri, yakni “militerisme.

(Budiawan via Penembak Misterius, 2007:204) Atas dasar itulah beberapa peristiwa yang lain dalam cerpen Seno mencoba ditelisik melalui sudut gugatan terhadap ketidakadilan kasus yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Termasuk pula dalam hal ini adalah refleksi Seno terhadap peristiwa kasus penculikan aktivis pada tahun 1998. Kasus penculikan ini memiliki hubungan yang erat dengan salah satu masalah keadilan dan penegakkan hukum di Indonesia karena hingga saat ini kasus yang menyebabkan hilangnya aktivis bangsa Indonesia belum juga terselesaikan. Berbagai upaya yang telah dilakukan belum juga menuai hasil. Bahkan, salah satu aktivis HAM, Munir Said Thalib yang memperjuangkan agar dikembalikannya aktivis yang diculik justru menjadi korban pembunuhan berencana yang hingga kini pula dalang utama kasus tersebut belum bisa tersentuh oleh hukum.

Dalam hal ini, fokus utama yang digagas dalam penelitian ini adalah kasus penculikan aktivis 1998. Adapun kasus penculikan aktivis 1998 yang terefleksikan dalam cerpen Seno yang dijadikan objek material dalam penelitian ini berjudul

(5)

“Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”. Adapun objek formalnya ialah melihat perspektif gugatan terhadap ketidakadilan atas kasus penculikan aktivis 1998 pada cerpen dan hubungannya dengan konteks sosial masyarakat.

Cerpen “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” diduga mengacu pada kasus penculikan aktivis pada tahun 1998. Hal ini berbeda dengan cerpen yang berjudul “Tujuan Negeri Senja” yang ditampilkan dengan gaya surealis. Namun, hal itu bukanlah menjadi hambatan karena menurut penelitian Salam (2003:34), Seno banyak memanfaatkan atau “bermain” antara metonimi dan metafora (dalam pengertian Lacan) untuk “mengamankan” cerpennya sehingga secara tekstual tidak dapat dideteksi oleh aparat ideologis negara Orde Baru. Namun, apakah betul cerpen tersebut mampu mengilustrasikan keadaan zaman pada waktu cerpen tersebut diciptakan? Apa sajakah cerminan dalam cerpen tersebut yang diduga kuat berisi gugatan terhadap ketidakadilan atas kasus penculikan aktivis tahun 1998? Tentu saja, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dibutuhkan analisis yang komprehensif sehingga refleksi keadaan zaman mampu diungkap dengan lebih cermat, tajam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Cerpen “Tujuan: Negeri Senja” terbit pada harian (Kompas, Minggu, 8 November 1998); pernah diterjemahkan oleh Pamela Allen sebagai Destination: The Land of Never-ending Sunset”, yang dimuat New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 Desember 2002; ke bahasa Prancis oleh Adrie Tirel sebagai “Départ grandes lignes;

(6)

pays du Soleil Couchant”, dimuat Le Banian/ no 1 Mei 2006. Sementara itu, cerpen “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, yang diterbitkan (Kompas, Minggu, 16 November 2008) merupakan konversi dari monolog Sepuluh Tahun Kemudian (2008) dan merupakan sekuel drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? (1999). Hal tersebut membuktikan bahwa Cerpen “Tujuan: Negeri Senja” mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi baik dari pembaca dalam negeri maupun luar negeri. Apresiasi juga ditunjukkan dengan hadirnya cerpen “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” yang sebenarnya merupakan konversi dari monolog Sepuluh Tahun Kemudian.

Selain hal tersebut, cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” merupakan cerpen yang secara beruntun bergaung-sambut dengan masalah hilangnya aktivis 1998 dan secara spesifik mengisahkan kasus penculikan aktivis 1998. Hal tersebutlah yang membedakan dengan cerpen-cerpen yang lahir pada kurun waktu 1997—1998 yang lebih memfokuskan pada kritik terhadap kekacauan politik di Indonesia dan kerusuhan Mei 1998. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh karya sastra yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut yang di antaranya termuat dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas: Derabat. Cerpen “Derabat” karya Budi Darma lebih mengkritik masalah perebutan kekuasaan antara satu kekuatan politik dengan kekuasaan politik lain yang dimetaforakan dengan kisah perkelahian antara tokoh Derabat dengan tokoh Matropik. Sementara itu, cerpen “Penjaja Air Mata” karya Prasetyohadi berfokus pada kisah korban krisi dan kerusuhan Mei 1998. Hal tersebut diilustrasikan melali penceritaan tentang perempuan muda yang

(7)

berjualan parfum dari air mata korban krisi. Air mata itu berasal dari perempuan Cina yang diperkosa, konglomerat bangkrut, dll.

Berdasarkan berbagai uraian di atas cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” perlu dianalisis karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kedua cerpen tersebut merupakan karya sastra yang bergaung-sambut dan secara intensif menyinggung masalah penculikan aktivis 1998. Kedua, cerpen tersebut mendapatkan perhatian yang cukup tinggi, bahkan cerpen “Tujuan: Negeri Senja” telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Ketiga, cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan karya sastra yang secara spesifik memfokuskan pada maslah penculikan aktivis 1998 yang jarang sekali disinggung oleh pengarang-pengarang lain pada kurun waktu 1997—1998.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

a. Konteks sosial pengarang Seno Gumira Ajidarma.

b. “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” sebagai cermin masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, cerminan masyarakat Indonesia difokuskan pada gagasan gugatan terhadap ketidakadilan atas kasus penculikan aktivis di Indonesia pada tahun 1998.

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, ada dua tujuan utama. Pertama, untuk mengungkapkan kontek sosial pengarang Seno Gumira Ajidarma. Kedua, untuk mendeskripsikan cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” sebagai cermin gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis 1998 di Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Karya fiksi Seno Gumira Ajidarma telah dijadikan sumber penelitian oleh banyak akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Karya-karyanya, baik berupa cerpen maupun novel telah dikaji dengan berbagai sudut pandang. Penelitian yang melihat karya Seno dari sudut pandang posmoderen telah dilakukan oleh Andy Fuller dan telah menjadi buku dengan judul Sastra dan Politik: Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidrma tahun 2011.

Kajian lain pun telah dilakukan, yaitu melihat perspektif politik cerita yang digunakan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya. Penelitian ini telah dilakukan oleh Aprinus Salam tahun 2003 di jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Uniersitas Gadjah Mada. Dalam penelitiannya, Salam (2003) mengatakan bahwa Seno menggunakan strategi dan siasat cerita dengan memanfaatkan metonimi dan metafora agar cerpennya dapat lolos sensor dari aparat ideologis Orde Baru.

(9)

Antologi Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira pernah dianalis oleh Nurhadi (2004) dalam tesisnya. Kumpulan cerpen tersebut dianalisis dengan menggunakan kajian hegemoni Gramsci. Antologi yang sama pun pernah dianalisis oleh Ashari pada tahun 2002 dalam sebuah skripsi di Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Kritik Sosial dalam kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati:Karya Seno Gumira Ajidarma”.

Disertasi Nurhadi (2010) di Universitas Gadjah Mada pun telah membahas karya Seno Gumira Ajidarma di antaranya Penembak Misterius, Saksi Mata, Jazz Parfum dan Insiden, Iblis Tidak Pernah Mati, Matinya Seorang Penari Telanjang, Dunia Sukab; Sejumlah Kumpulan Cerita, Negeri Senja dan Kitab Omong Kosong dari perspektif aspek kekerasan sebagai refleksi kondisi sosial politik. Dalam disertasinya, Nurhadi menggunakan teori sosiologi sastra dan teori semiotika dalam proses penafsiran karya Seno yang surealistik atau dalam istilah Budiman bersifat endoforik, sifat karya sastra yang tidak terbebani oleh fungsi referensinya atau karya yang tidak perlu dihubung-hubungkan dengan dunia ekstra-tekstual secara langsung (Budiman, 2001:268-269).

Habsari Bayu Jenar (2015) dalam skripsinya di Universitas Gadjah Mada pun mengangkat karya Seno Gumira Ajidarma. Karya tersebut adalah cerpen “Aku, Pembunuh Munir”. Dalam skripsinya, Jenar menganalisis cerpen tersebut dengan teori semiotika Roland Barthes. Dalam penelitiannya, makna dalam cerpen “Aku

(10)

Pembunuh Munir” dideskripsikan dengan kode refrensial dalam S/Z dengan langkah penjabaran leksia dan relasi lima kode Barthes.

Ada beberapa simpulan yang diperoleh oleh Jenar (2015). Pertama, teks cerpen “Aku Pembunuh Munir” memiliki fakta tekstual berupa makna tersembunyi. Kedua, dari hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa tokoh Munir dalam cerpen merujuk pada tokoh aktivis HAM, Munir Said Thalib. Sementara itu, tokoh Aku merujuk kepada aktor yang merancang pembunuhan Munir dengan cara diracun. Aktor utama kasus pembunuhan tersebut masih belum bisa ditemukan dan diadili atas kejahatannya. Indikasi menunjukkan ada kuasa yang tak tersentuh yang menyiratkan makna bahwa aktor pembunuhan adalah tokoh penting, berkuasa, dan merupakan tokoh yang kebal hukum. Ketiga, kode yang muncul dalam teks memiliki referensi dominan yang berhubugan dengan pola reportase atas kasus pembunuhan Munir baik dari data-data dan angka-angka hinga kronologis peristiwa pembunuhan dan persidangan terhadap aktor ke-2 yang menjadi pembunuh munir. Keempat, konsep jurnalisme dalam sastra yang kemudian dialihkan ke dalam karya sastra menjadi sebuah perkembangan dalam kesusastraan Indonesia dan kelima, karya sastra kembali hadir sebagai cermin masyarakat. Jenar (2015) mendeskripsikan bahwa Seno Gumira Ajidarma menolak lupa atas belum ditemukannya aktor intelektual utama dalam kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib.

Adapun penelitian yang menggunakan kerangka teori sosiologi sastra telah banyak dilakukan. Misalnya, penelitan Muhammad Ardi Kurniawan (2008) dalam

(11)

skripsinya di Universitas Gadjah Mada yang membahas novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan bahwa novel tersebut adalah cermin kediktatoran masa Orde Baru yang secara metafora digambarkan dengan sebuah negeri yang keadaanya selalu senja dan dipimpin oleh Tirana yang dalam hal ini merujuk pada sosok Suharto. Penelitian Kurniawan (2008) yang mengulas karya Seno dengan sosiologi sastra Ian Watt secara jelas telah memaparkan latar belakang kepengarangan, hanya saja, ulasan dan tinjauan kepengarangan tidak menghubungan keterkaitannya antara posisi pengarang dengan pekerjaanya, profesionalisme kepengarangan, dan masyarakat yang dituju Seno ketika menulis novel Negeri Senja. Eka Damayanti (2014) dalam skripsinya yang membahas Novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z pun menganalisisnya dengan teori sosiologi sastra Ian Watt. Berdasarkan penelitiannya, ditunjukan adanya hal yang memengaruhi pertentangan tradisi bajapuik beserta dinamika penentuan harga laki-laki dalam pernikahan orang Minagkabau. Terdapat tiga pihak dalam hal pertentangan tradisi bajapuik, yaitu pihak yang ragu-ragu menentang atau mengikuti, pihak yang mendukung, dan pihak yang menentang sama sekali.

Tahun 2015 Mukhanif Yasin Yusuf dalam skripsinya di Jurusan Sastra Indonesi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada membahas novel Biola Tak Berdawai. Mukhanif Yasin Yusuf, melihat bahwa ada cerminan nasib kaum difabel Indonesia dalam novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

(12)

Cerminan nasib kaum difabel meliputi berbagai bentuk seperti marginalisasi difabel, subordinasi, dan stereotype.

Terkait dengan penelitian dalam skripsi ini, harus dipahami bahwa karya “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” dalam genre drama pernah dianalisis oleh Dian Swadayani dan Nurhadi yang telah diterbitkan pada jurnal Fenolingua Universitas Widya Dharma Klaten edisi Februari 2005 dengan judul “Kritik atas Praktik Penculikan dalam Sastra Indonesia sebagai Bentuk Resistensi Kekuasaan: Kajian Hegemoni Gramsci”. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa ada konter ideologi yang dibangun dan melawan ideologi yang dibangun oleh kekuasaan neo-fasisme militer.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, penelitian terhadap dua cerpen yang berjudul “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” bisa dikatakan adalah penelitian yang berperspektif baru. Baru dalam melihat dan menjadikan objek formal kedua cerpen tersebut sebagai gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis pada tahun 1998. Namun, tidak dipungkiri bahwa cerpen “Tujuan; Negeri Senja” pernah menjadi salah satu bagian dalam tesis (2004) dan disertasi (2009) oleh Nurhadi di Universitas Gadjah Mada. Hanya saja, sejauh pembacaan peneliti, Nurhadi lebih mengutamakan fokus penelitiannya dalam aspek kekerasan yang ditampilkan dalam cerpen “Tujuan: Negeri Senja” bukan pada masalah gugatan terhadap ketidakadilan atas kasus penculikan aktivis 1998. Kemudian, pada cerpen “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, yang dalam bentuk cerpen

(13)

belum pernah ada yang menganalisisnya. Sementara itu, beberapa kajian mengenai konteks sosial kepengarangan masih perlu diperbaharui dari waktu ke waktu karena pengarang masih terus berkarya dalam konteks sosial-budaya yang berkembang seiring pergantian zaman.

1.5 Data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”. Data-data tersebut berupa satuan-satuan kebahasaan termasuk wacana kedua teks tersebut yang berperspektif gugatan keadilan seperti pada konsep teoretik penelitian ini.

1.6 Landasan Teori

Sosiologi sastra adalah pendekatan teori sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 2002:2). Dalam hal ini, pendekatan terhadap karya sastra tidak mungkin dilepaskan dari konteks sosial pengarangnya dan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial pengarang yang meliputi kondisi sosial, politik, kebudayaan, dan termasuk karakter pribadi pengarang merupakan ranah sosiologis yang secara signifikan menentukan ikhwal isi dan bentuk sebuah karya sastra. Oleh karena itu, ada yang mengartikan jika sosiologi sastra adalah karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status

(14)

lapisan masyarakat dari tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi pengarang serta khalayak yang dituju (Panuti, 2006:74).

Sosiologi dianggap sebagai ilmu yang mengkaji sastra pada tingkat masyarakat (Escarpit, 2005:14). Oleh sebab itu, karya sastra tidak mungkin berdiri otonom/ mandiri. Keberadaannya akan selalu ditentukan oleh hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dan profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dengan menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Jabrohim, 2001:159). Artinya, hasil rekaan dalam bentuk teks sastra bersifat linier dengan keadaan sosial masyarakat. Kemudian, Menurut Swingewood ada dua corak penyelidikan sosiologi sastra.

Pertama, sosiologi sastra (sociology of literature). Pembicaraan dimulai dengan lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor luar seperti yang terbayang dalam karya sastra. Penyelidikan ini melihat faktor sosial yang „menghasilkan‟ karya sastra pada satu masa tertentu (dan pada masyarakat tertentu). Kedua sosiologi sastra (sociology of literature) yang menghubungkan struktur karya kepada genre dan masyarakat.

(Swingewood dalam Junus, 1986:2)

Sementara itu, Damono (2002:2) pun menyebutkan ada dua kecenderungan utama dalam pendekatan sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar karya sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan sastra sebagai bahan penelaahan. Artinya, sastra menjadi acuan, yaitu

(15)

menggunakan teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra.

Sejalan dengan Damono, Junus (1986:1) menyimpulkan tiga perspektif dalam sosiologi sastra, yaitu karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan suatu zamanya, konteks sosial penulis, dan konteks sosial pembaca atau karya sastra yang memperhatikan hubungan pembaca dengan penulis sebagai penikmat sastra. Sosiologi sastra jelaslah suatu paradigma dalam kritik sastra yang akan selalu menghubungkan karya sastra dengan masyarakatnya. Hal tersebut tampak jelas pada pengertian-pengertian dan konsep-konsep yang ada baik dari Junus, Escrpit, maupun Damono.

Sementara itu, Damono (2002:4—6) mengklasifikaskan teori sosiologi sastra yang diungkapkan Ian Watt ada tiga. Pertama, konteks sosial pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra.

Konteks sosial pengarang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Konteks sosial pengarang didasarkan pada tiga hal berikut : (1) Bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya; (2) Profesionalisme kepengarangan, dan (3) Masyarakat yang bagaimana yang dituju oleh pengarang. Hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting karena sering dijumpai masyarakat tertentu dapat menentukan bentuk dan isi karya sastra.

(16)

Sastra sebagai cermin masyarakat. Konsep pencerminan masyarakat yang dimaksud adalah mengacu pada kemungkinan sastra dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu sastra tersebut ditulis, sifat pribadi pengarang yang mempengaruhi fakta-fakta sosial dalam karyanya, genre sastra yang digunakan pengarang dianggap mewakili sikap seluruh masyarakat dan pandangan sosial pengarang. Sementara itu, fungsi sosial sastra dalam hal ini ada tiga. Pertama, sastra yang berfungsi sebagai pendidik masyarakat. Kedua, sastra yang berfungsi sebagai penghibur saja.

1.7 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2008:1332). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2009:34). Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik. Pelaksanaan metode ini adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggap memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan dengan cara: (1) sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabung dalam hipotesis yang menyeluruh; (2) daftar elmen-elmen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dengan model semula;

(17)

(3) frekuensi elmen-elmen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah di cek itu (Goldmann 1970:602—603 dalam Faruk, 2010:79).

Adapun secara nyata langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan cerpen yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” karya Seno Gumira Ajidarma.

2. Melakukan pembacaan berulang-ulang agar mendapatkan pemahaman yang mendalam.

3. Melakukan studi pustaka dengan mencari, mengumpulkan, dan mempelajari bahan-bahan yang mendukung penelitian.

4. Menentukan masalah penelitian.

5. Menganalisis cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” karya Seno Gumira Ajidarma dengan teori sosiologi sastra dengan langkah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi kontek sosial Seno Gumira Ajidarma dan hubungannya dengan penciptaan cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”. Kedua, menganalisis cerminan gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis pada cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” dan menghubungkannya dengan konteks sosial. Adapun penerapan metode dialektik dilaksanakan bersamaan dengan mengidentifikasi hal-hal tersebut

(18)

dengan kententuan sebagai berikut. Pertama, Peneliti mengumpulkan data dengan cara menyimak satuan-satuan kebahasaan yang signifikan di dalam teks cerpen “Tujuan Negeri Senja” dan “Ibu yang anaknya Diculik Itu” yang bersumber pada konsep dasar gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis. Kedua, data-data yang diperoleh berupa satuan kebahasaan yang berisikan masalah gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis akan dioposisikan dengan teks-teks yang relevan dalam hubungannya dengan kasus penculikan aktivis 1998 baik dari data sejarah, politik, maupun sejumlah kondisi sosial masyarakat.

6. Menyimpulkan hasil analisis penelitian.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, data, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi penjabaran tentang konteks sosial pengarang dan hubungannya dengan cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”. Bab III memaparkan gagasan gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis 1998 dalam cerpen “Tujuan: Negeri Senja” dan “Ibu yang Anaknya Diculik Itu” dan menghubungkannya dengan konteks sosial untuk melihat sastra sebagai cerminan kondisi sosial-masyarakat. Bab IV berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat menggiring bola dengan sempurna, posisi kaki tumpu harus sesuai dengan posisi kaki yang akan digunakan untuk menendang bola, kaki yang digunakan untuk menggiring

Definisi konsepsional dalam penelitian ini adalah Studi Tentang Kualitas Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Sempaja Kecamatan Samarinda Utara Kota

Pola (patterning) adalah menyusun rangkaian warna, bagian-bagian, benda- benda, suara-suara dan gerakan-gerakan yang dapat diulang. Pola berpikir anak usia dini masih

Timbal adalah logam lunak yang berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal juga mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga

Seperti yang terdapat dalam medan makna, dimana hubungan atau asosiasi yang kompleks antara suatu kata yang terkait dengan kata lain di dalam sebuah kalimat merupakan hal

Dalam penelitian ini akan difokuskan pada pupuk majemuk dari bittern yang dicampurkan dengan pengendap fosfat dan ammonia dengan menggunakan regulator basa

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa status gizi ibu berpengaruh langsung terhadap lamanya proses persalinan, hal ini ditunjukkan dengan standardized

Identifikasi Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap Risiko Perangkat Daerah dan Risiko Kegiatan dengan cara mengidentifikasi penyebab