• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemberian hak pemilikan, dan pengelolaan, termasuk hak ulayat bagi komunitas

masyarakat adat berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah adalah wewenang Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang berkaitan dengan hutan, sementara hak pemilikan lahan/tanah adalah wewenang Badan Pertanahan Nasional. Pemerintah daerah berkewenangan dalam kebijakan pengelolaan TAHURA yang bersifat teknis. Setelah implementasi otonomi daerah, pemerintah tidak dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah daerah atas pengelolaan sumberdaya alam seperti maraknya pembalakan illegal, pemberian izin pemanfaatan hasil hutan yang tidak dapat dikendalikan, khususnya pengambilan kayu yang tidak proporsional, dan sebagai sumber pendapatan illegal bagi aparat. Pemerintah daerah memanfaatkan sumberdaya alam secara maksimal tanpa memperhitungkan kelestarian, dan mengejar target pendapatan daerah yang telah ditetapkan setiap tahun anggaran (target APBD). Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 merupakan aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah. Peraturan tersebut justru tidak menjelaskan secara eksplisit penjabaran dari isi PP No. 68/1998, dan daerah belum dapat mengimplementasikan peraturan tersebut di lapangan, khususnya pengelolaan TAHURA Sulawesi Tengah sebagaimana diamanatkan dalam pasal-pasalnya. Peraturan perundang-undangan kehutanan memberikan ruang, peluang, dan mekanisme untuk terselenggaranya pengelolaan kawasan pelestarian (hutan lindung) dan area penyangga yang dapat diintegrasikan dengan program pengembangan masyarakat pemukim di dalamnya. Pemerintah daerah tidak proaktif dalam merespon peraturan perundang-undangan yang ada. TAP No. IX/MPR/2001 tentang pembaharuan agraria, dan pengelolaan sumberdaya alam menetapkan prinsip : melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi

(2)

ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam (pasal 4). Masyarakat Kaili Ledo dan Tara tidak mendapatkan hak yang jelas menurut perspektif hukum positif dalam pengelolaan akses sumberdaya alam di wilayah penguasaannya secara de fakto. Pengakuan dan perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan rasa keadilan yang hidup dihati rakyat masih cukup jauh dengan harapan ketetapan No. IX/MPR/2001. Fakta di lapangan menunjukan masyarakat belum menjadi prioritas dalam pengelolaan sumberdaya alam, masih termasuk dalam kelompok yang termarginalkan. Dengan tidak mendapatkan kepastian hukum tentang hak, maka memperbesar ruang gerak para penunggang gelap (free rider) dalam pemanfaatan lahan (tanah) seperti munculnya spekulan-spekulan tanah, dan pengolahan hasil hutan illegal.

2. Stakeholder dalam mengelola sumberdaya alam di TAHURA SULTENG tidak mendapatkan hak sebagaimana yang diamanatkan peraturan perundang-undangan. Dari sejumlah stakeholders yang terlibat memiliki peran berbeda dalam memanfaatkan akses sumberdaya alam. Petani, pendulang emas, perotan dan pengumpul batu kali melakukan akses langsung sekalipun tidak memiliki hak legitimasi, kecuali kelompok pengambil rotan. Pedagang hasil hutan dan militer adalah stakeholder yang menerima manfaat, tapi tidak memiliki hak, dan tangung jawab terhadap akses sumberdaya alam. PT. Citra Palu Mineral adalah stakeholder yang mendapatkan legitimasi pemerintah untuk mengakses sumberdaya tambang, namun memiliki tanggung jawab rendah, preseden buruk di masyarakat (hubungan konfliktual), dan ditolak kehadirannya. Hasil penelitian menunjukan masyarakat lokal Kaili memiliki penilaian tertinggi sebagai penerima benefit (revenue) atas akses sumberdaya alam di TAHURA SULTENG dari sejumlah stakeholder. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam perspektif masyarakat merupakan stakeholder yang mendapat nilai tertinggi dari aspek tanggung jawab untuk keberlanjutan TAHURA. Stakeholder kunci dan sebagai pemegang wewenang hak, pengendali akses,

(3)

sentra manajemen, dan pemelihara keberlanjutan pengelolaan akses sumberdaya alam TAHURA SULTENG adalah Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, dalam hal ini kurang mengambil tanggung jawab. Masyarakat lokal Kaili menerima manfaat langsung dari akses sumberdaya lahan yang dikuasai secara de fakto dari generasi sebelumnya baik yang turun-temurun dari leluhur langsung maupun yang diperoleh karena hubungan-hubungan sosial berupa barter dan hasil dari jasa dengan warga lainnya dalam satu komunitas bersangkutan (hubungan internal). Penerimaan lain yaitu dari akses sumberdaya hasil hutan berupa rotan, bambu, penjualan batu kali, dan emas hasil pendulangan. Sumber pendapatan dari akses produksi meliputi produksi kopi (lahan komunal), coklat, cengkeh, padi, jagung, kemiri, emas, batu kali, sayuran, dan buah-buahan. Jumlah yang diterima masing-masing komunitas masyarakat setiap kepala keluarga per bulan yaitu : (a) komunitas masyarakat Vintu Rp. 490.000, (b) komunitas masyarakat Vatutela Rp. 300.000, (c) komunitas masyarakat Bunti Pobau Rp. 886.600, (d) komunitas masyarakat DAS Pondo Rp. 983.300, (e) komunitas masyarakat Uentumbu Rp. 292.500, (f) komunitas masyarakat Tompu Rp. 280.000, dan (g) komunitas masyarakat Raranggonau (Tanalando) Rp. 675.000. Manfaat (benefit) yang diterima ini adalah sebagian besar dari akses sumberdaya lahan seluas 9,63 % dari luas TAHURA SULTENG dengan pemilikan rata-rata 0,75-2,3 hektar per keluarga. Stakeholder yang mengakses langsung sumberdaya alam adalah petani, perotan, pendulang emas dan pengumpul batu kali memiliki relasi yang baik terhadap stakeholder lain kecuali terhadap CPM, Dinas Pertambangan (relasi knfliktual) dan Dinas Kehutanan yang memiliki kepercayaan yang rendah (relasinya kurang baik) bagi masyarakat komunitas TAHURA. Dinas Kehutanan dengan CPM memiliki relasi yang baik. Relasi yang baik ini justru menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, yang menghasilkan legitimasi untuk eksplorasi tambang, sementara berdasarkan peraturan perundangan dan kondisi lapangan tidak dibenarkan, (h) pemerintah daerah masih lemah dalam menangkap fenomena yang berkembang di lapangan serta mengapresiasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TAHURA SULTENG. (i)

(4)

perguruan tinggi belum mengambil peran, khususnya dari aspek riset-riset ilmiah yang dapat dijadikan bahan masukan konstruktif bagi pengelolaan TAHURA SULTENG.

3. Pengukuhan TAHURA SULTENG melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999 menghasilkan beberapa hal: (a) ditetapkannya kawasan tersebut menjadi kawasan pelestarian yang meliputi Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki, dan PPN 30 menjadi TAHURA SULTENG seluas 7.128 hektar, sebelumnya 8.100 hektar. (b) terjadinya klaim pemerintah terhadap kawasan yang ditata batas berdasarkan Berita Acara Tata Batas (BATB), tertanggal 13 Juni 1997, (c) terjadinya persepsi yang berbeda-beda baik antar sesama komunitas masyarakat maupun antar stakeholders (pemangku kepentingan) karena tidak terjalin hubungan komunikasi dan jaringan kerja antar stakeholders dan masyarakat lokal Kaili dalam/sekitar kawasan TAHURA, (d) adanya upaya pemerintah untuk merelokasi masyarakat (resetlement) ke tempat lain, namun tidak berhasil karena terjadi perlawanan komunitas masyarakat terhadap kebijakan pemerintah daerah, (e) akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan terganggu karena tidak mendapatkan hak dari pemegang wewenang, (f) potensi konflik ke depan besar karena institusi adat yang ada di masyarakat tidak diberikan perannya, demikian pula halnya institusi non pemerintah lainnya (LSM) yang melakukan aktivitas di dalam kawasan secara terpisah dengan beragam informasi dalam tujuh komunitas, (g) pihak ketiga (pedagang,dan militer)) memanfaatkan akses melalui stakeholders lain dengan kemampuan kapitalnya dan hubungan sosial yang telah lama dibangun, (h) terjadinya konflik horisontal antar pendukung pengusaha tambang termasuk sebagian elit masyarakat dengan kelompok masyarakat lokal Kaili yang mempertahankan eksistensi kawasan cagar alam poboya sebagai kawasan pelestarian, tatkala PT. Citra Palu Mineral melakukan eksplorasi tambang di kawasan TAHURA, (i) program pemerintah daerah Kota Palu menciptakan sumber konflik dengan introduksi tanaman jarak pada lahan-lahan petani bawang, mencaplok lahan petani untuk pembibitan tanaman jarak dan pengembangannya dengan alasan tanah negara. Situasi saat ini bagaikan api dalam sekam antara masyarakat

(5)

dengan pemerintah daerah. (j) pemerintah sebagai pemegang wewenang hak tidak memberikan kenyamanan dari aspek legal terhadap pengelolaan akses sumberdaya alam, yang aman dan sustain bagi masyarakat, (k) warga masyarakat akan dikenakan sanksi Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) per ranting, jika memotong ranting atau cabang pohon di dalam kawasan TAHURA.

4. Sistem pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam TAHURA SULTENG (Resources governance system) tidak berjalan. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain : (a) dengan diberlakukannya peraturan otonomi daerah No. 22/1999 (diperbaharui dengan UU No. 32/2004), maka pemerintah daerah beserta jajarannya mengkonsentrasikan prioritas pembangunan pada sektor-sektor riil yang dapat memberikan kontribusi langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), (b) TAHURA SULTENG adalah program jangka panjang yang membutuhkan pembiayaan khusus dan bersifat investasi jangka panjang, kalaupun ada berupa provisi dari pengurusan izin rotan yang jumlahnya tidak signifikan (30 ton per bulan), kecuali eksploitasi sumberdaya hutan (kayu), (c) pemahaman pentingnya TAHURA bagi masyarakat Sulawesi Tengah dan Kota Palu khususnya belum menjadi sesuatu yang urgen, sementara pengaturan iklim mikro lembah Palu ditentukan oleh sebagian kawasan hutan di wilayah TAHURA SULTENG, (d) belum adanya program yang dikelola secara komprehenship, instansi pemerintah ego dengan program sektoralnya, sementara pengelolaan TAHURA harus dilakukan secara holistik, (e) lemahnya informasi dan komunikasi dengan stakeholder dan masyarakat, (sejak Tahun 1995 sebanyak 2 kali sosialisasi menurut versi pemerintah, tanpa dihadiri kepala desa, tokoh masyarakat dan stakeholder). TAHURA SULTENG hanya diketahui pihak terbatas (Pengelola, BKSDA & BPDAS), sementara instansi lain seperti Biro Hukum PemDa, stakeholder, dan masyarakat umum, khususnya komunitas masyarakat dalam kawasan tidak memahaminya (17,31 % tahu sebatas singkatan TAHURA, 82,69 % tidak tahu sama sekali dari 52 responden), (f) kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya alam masih terbatas, biaya transaksi sangat tinggi karena

(6)

pengelolaannya sektoral dan top-down. (g) koordinasi sangat lemah dalam berbagai aspek, (h) peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumberdaya alam TAHURA tidak dijalankan, hal ini karena belum dibuatnya petunjuk operasional bagi pelaksana teknis (i) belum adanya institusi pengelola yang menangani secara teknis di lapangan (Unit Pengelolaan Teknis Daerah, organiknya perwakilan para pihak), (j) masyarakat (stakeholders) diasumsikan tidak paham dan tidak memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sehingga tidak perlu diajak untuk berdialog (konsultasi publik) dalam menyusun perencanaan pengelolaan TAHURA, (k) untuk mencapai tujuan proyek pembangunan (pemerintah) dapat melakukan apa saja, dan terhadap siapa saja yang dianggap menghalang pembangunan (subversif---peninggalan era orde baru), direlokasi (resetlemen) ke tempat lain.

5. Dari hasil analisis kebijakan, dan 4 R (Right, Responsibility, Revenues dan Relationship) dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Komunitas masyarakat lokal Kaili dengan adanya klaim pemerintah untuk dijadikan kawasan preservasi, mengalami proses tekanan psikologis, dan keterbatasan melakukan aktivitas usahatani dan ladang. Masyarakat yang bergantung terhadap produk usahatani yang bersumber dari kawasan TAHURA berjumlah 529 kepala keluarga, 2.416 jiwa. Akses mereka terhadap sumberdaya alam yang menjadi hak de fakto, kini dirasakan mengalami keterbatasan, aktivitas usahatani mengalami hambatan, larangan memproduksi hasil hutan, dan sumber penghasilan berkurang, setelah klaim pemerintah atas penetapan TAHURA. Komunitas masyarakat dimaksud adalah Kaili Tara vintu, vatutela, Bunti Pobau, DAS Poboya, Uentumbu, dan komunitas masyarakat Kaili Ledo Tompu dan Raranggonau (tana Lando). Masyarakat tujuh komunitas tersebut tidak mendapatkan hak kepemilikan secara de jure dari pemerintah dan atau pemegang hak kelola, namun berdasarkan peraturan perundang-undangan layak mendapatkan hak secara de jure berdasarkan bukti-bukti penguasaan secara lintas generasi. Kurangnya apresiasi pemerintah daerah atas implementasi, dan menjalankan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam hutan

(7)

khususnya TAHURA SULTENG. Rendahnya akses informasi bagi masyarakat (stakeholders), dan pengelola tidak pernah melakukan sosialisasi (konsultasi publik) di masyarakat tentang fungsi TAHURA setelah ditata batas. Masyarakat lemah melakukan bargaining position atas klaim yang pemerintah, karena tidak mendapatkan hak kepemilikan maupun hak kelola, dan lemah dalam melakukan transaksi. Klaim atas sumberdaya alam TAHURA oleh pemerintah tidak mendapat pengakuan hak-hak ulayat atas lahan-lahan yang dikuasai secara komunal (communal property) bersama tanaman yang tumbuh di atasnya, dan lahan-lahan individu (privat property). Dengan keadaan ini maka sumberdaya yang telah dikuasai sejak lama tidak dapat diakses secara normal sebagaimana sediakala, dan jika hal ini tidak mendapatkan solusi yang konstruktif dikhawatirkan akan tercipta konflik pengelolaan akses sumberdaya alam. Sebagian besar komunitas masyarakat dalam kawasan ini bertaraf kehidupan masih di bawah standar kesejahateraan (miskin).

b. Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan TAHURA SULTENG yang berkelanjutan, perlu dilakukan upaya-upaya negosiasi, perbaikan struktur bahkan rekonstruksi jika diperlukan. Beberapa hal yang dapat ditawarkan sebagai berikut : (1) melakukan negosiasi-negosiasi berjenjang dari tingkat kelompok stakeholder terkecil sampai tingkat komunitas, membangun komitmen bersama, institusi dan masyarakat adat salah satu subyek yang penting, (2) melakukan lokakarya antar komunitas yang dihadiri semua elemen stakeholders, (3) melakukan tindaklanjut hasil rumusan lokakarya, (4) menyusun rencana rumusan kebijakan Peraturan Daerah (PerDa) tentang pengelolaan TAHURA SULTENG, dan petunjuk lain sesuai dengan kebutuhan saat ini dan akan datang, (5) pemerintah daerah diharapkan lebih progresif dalam menangkap fenomena di lapangan serta mengapresiasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TAHURA SULTENG, dan (6) perguruan tinggi diharapkan dapat mengambil peran yang besar untuk memberikan masukan-masukan konstruktif melalui riset ilmiah, dan dapat sebagai mediator bagi pihak-pihak yang berkonflik (bertikai).

(8)

6.2. Rekomendasi Kebijakan.

Rekomendasi kebijakan yang disampaikan dalam penelitian ini bersifat tentatif, yang meliputi :

6.2.1. Perlu adanya kejelasan hukum atas hak de fakto masyarakat, dukungan, dan pengakuan formal terhadap institusi adat komunitas masyarakat Kaili di TAHURA SULTENG.

6.2.2. Penguatan kelembagaan stakeholders melalui pelatihan/workshop, dan pendampingan purna waktu (intensif).

6.2.3. Menjalin kemitraan dengan pihak independen, dan memberikan peran yang luas sesuai dengan fungsinya.

6.2.4. Menindaklanjuti aksi penolakan masyarakat terhadap pertambangan emas di Poboya, TAHURA SULTENG.

6.2.5. Mengintensifkan koordinasi antar pihak (stakeholders), peningkatan intensitas informasi, transaksi, penguatan kapasitas kelembagaan dan pembenahan sistem resources governance.

6.2.6. Menerbitkan peraturan daerah tentang TAHURA SULTENG beserta infrastruktur pendukungnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan agropolitan adalah suatu kawasan dengan sektor pertanian sebagai basis perekonomiannya dimana sebagian besar masyarakat beraktivitas dalam bidang agribisnis yang

Penentuan dosis kaporit berdasarkan kadar bahan organik yang terkandung dalam sampel limbah cair memperlihatkan bahwa, semakin tinggi nilai kadar bahan organik,

Evaluasi Penawaran dilaksanakan berdasarkan Dokumen Pengadaan Nomor : 153/ Jalan/ DAU- BM / VIII/ 2014 tanggal 20 Agustus 2014 , Berita Acara Penjelasan Pekerjaan,

[r]

Untuk penyebab lain dari penyakit iifiii raja iinga ini adalah gaya hidup yang kurang sehat karena kita ketahui.. Sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan berkembangnya

Pada kasus anak penderita leukemia, peningkatan kualitas hidup dengan menggunakan teknik terapi kognitif perilaku akan lebih difokuskan untuk meningkatkan dimensi

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 19 Tahun 2015 tentang PEDOMAN PELAKSANAAN PENDATAAN ULANG PEGAWAI NEGERI SIPIL SECARA ELEKTRONIK TAHUN 2015 melalui

[r]