• Tidak ada hasil yang ditemukan

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

B A B 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Filariasis Limfatik

Filariasis limfatik adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis nyamuk. Cacing dewasanya (makrofilaria) hidup dalam jaringan subkutan dan kelenjar limfe manusia. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (elephantiasis), lengan dan alat kelamin laki-laki maupun perempuan (Mandal, 2006).

2.2 Penentuan Endemisitas

Penyelenggaraan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemis filariasis. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada satu daerah yang memiliki kasus kronis, dengan melakukan pemeriksaan Survei Darah Jari (SDJ) terhadap 500 Sediaan Darah (SD) dari penduduk yang tinggal disekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut, pada malam hari antara pukul 22.00 sampai 02.00 (Depkes RI, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO), Mikrofilaria (Mf) rate ≥ 1% atau ditemukan 5 (lima) orang positif mikrofilaria merupakan indikator suatu kabupaten atau kota kelompok survei berada menjadi daerah endemis filariasis (Mf rate adalah hasil pemeriksaan pada satu waktu dan wilayah tertentu). Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan darah yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus

(2)

persen. Terhadap daerah endemis tersebut harus segera di berikan pengobatan secara massal selama 5 (lima) tahun berturut-turut (Kemenkes RI, 2010a).

2.3 Epidemiologi dan Penyebaran Filariasis

Masyarakat yang berisiko terserang gigitan vektor filariasis adalah mereka yang bekerja pada daerah terkena paparan menahun nyamuk yang mengandung larva filaria. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, di sepanjang pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, tambak-tambak yang tidak terawat, pembabatan hutan dan banjir. Endemisitas parasit filariasis dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu : terdapat hospes yang peka, kebersihan lingkungan dan perorangan yang buruk serta kemiskinan merupakan faktor-faktor yang meningkatkan penyebaran penyakit filariasis (Kemenkes, 2010b).

Brugia malayi tersebar di Asia mulai dari India, Asia Tenggara sampai ke Jepang. Brugia timori hanya di jumpai di Nusa Tenggara Timur. Brugia hanya di temukan di daerah pedesaan. Wuchereria bancrofti tersebar luas di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan serta Eropa (Garcia, 1996).

Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti), Brugia malayi dan Brugia timori (filariasis brugia) (Mardiana, 2011). Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak, wilayah luas serta memiliki masalah filariasis yang kompleks, karena tiga jenis cacing filaria yait: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori dapat ditemukan (Sekar, 2010).

Di daerah kumuh padat penduduk dan banyak genangan air terutama pemukiman masyarakat tipe perkotaan adalah sebagai faktor pendukung

(3)

breeding place. Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Soedarto, 2008) yaitu:

1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturnal, ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.

2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturnal yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex.

3. Brugia malayi tipe periodik nokturnal. Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturnal

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia malayi tipe non periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansoniauniformis yang ditemukan di hutan rimba.

6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan

(4)

Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Berikut peta distribusi vektor filariasis dan spesies Mikrofilaria di Indosesia tahun 2010, pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Mikrofilaria di Indonesia

Sumber: Kemenkes RI, 2010b. 2.4 Morfologi Cacing Filaria

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) W.bancrofti berbentuk seperti rambut, silindris, halus berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran panjang 10 cm dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria, cacing jantan ± 4 cm. B. Malayi Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Berikut peta distribusi vektor filariasis dan spesies Mikrofilaria di Indosesia tahun 2010, pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Mikrofilaria di Indonesia

Sumber: Kemenkes RI, 2010b. 2.4 Morfologi Cacing Filaria

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) W.bancrofti berbentuk seperti rambut, silindris, halus berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran panjang 10 cm dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria, cacing jantan ± 4 cm. B. Malayi Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Berikut peta distribusi vektor filariasis dan spesies Mikrofilaria di Indosesia tahun 2010, pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Mikrofilaria di Indonesia

Sumber: Kemenkes RI, 2010b. 2.4 Morfologi Cacing Filaria

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) W.bancrofti berbentuk seperti rambut, silindris, halus berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran panjang 10 cm dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria, cacing jantan ± 4 cm. B. Malayi

(5)

bentuknya mirip W. Bancrofti, cacing jantan berukuran ± 23 cm, cacing betina berukuran 55 cm (Soedarto, 2009).

b. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria ± 300 mikron dan mempunyai selubung (sheath) pada W. Bancrofti dengan inti tidak mencapai ujung ekor. Pada B. Malayi, mikrofilaria berselubung, panjang sekitar 260 mikron, dengan inti mencapai ujung ekor. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan: ukuran, warna selubung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor. Morfologi mikrofilaria penting untuk membedakan spesies mikrofilaria (Soedarto, 2009).

2.5 Masa Inkubasi

Siklus hidup cacing filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:

a. Tahap pertama, perkembangan cacing filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vektor yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu. b. Tahap kedua, perkembangan cacing filaria dalam tubuh manusia

(hospes) biasanya tampak setelah 3 bulan infeksi, tetapi umumnya masa tunasnya antara 8-12 bulan (Nasronudin, 2007).

2.6 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis (Nasronudin, 2007) dapat terjadi bila ada tiga faktor, yaitu:

a. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

(6)

b. Cara penularan yaitu vektor nyamuk yang dapat menularkan filariasis. c. Adanya hospes (manusia) yang rentan atau peka terhadap filariasis.

Kombinasi faktor tersebut menentukan tingginya penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah pada waktu dan tempat tertentu. Berikut adalah gambar Siklus hidup Wucheraria bancrofti, pada gambar 2.1:

Gambar 2.1 Siklus hidup Wucheraria bancrofti, filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis.

Sumber: Widodo, 2011.

Siklus hidup cacing filaria dimulai dari saat filaria betina dewasa (Makrofilaria) yaitu larva stadium IV&V dalam pembuluh limfe manusia, memproduksi sekitar 50.000 mikrofilaria per hari kedalam darah. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilaria yang terdapat dalam tubuh penderita pada saat menggigit manusia, Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai

b. Cara penularan yaitu vektor nyamuk yang dapat menularkan filariasis. c. Adanya hospes (manusia) yang rentan atau peka terhadap filariasis.

Kombinasi faktor tersebut menentukan tingginya penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah pada waktu dan tempat tertentu. Berikut adalah gambar Siklus hidup Wucheraria bancrofti, pada gambar 2.1:

Gambar 2.1 Siklus hidup Wucheraria bancrofti, filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis.

Sumber: Widodo, 2011.

Siklus hidup cacing filaria dimulai dari saat filaria betina dewasa (Makrofilaria) yaitu larva stadium IV&V dalam pembuluh limfe manusia, memproduksi sekitar 50.000 mikrofilaria per hari kedalam darah. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilaria yang terdapat dalam tubuh penderita pada saat menggigit manusia, Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai

b. Cara penularan yaitu vektor nyamuk yang dapat menularkan filariasis. c. Adanya hospes (manusia) yang rentan atau peka terhadap filariasis.

Kombinasi faktor tersebut menentukan tingginya penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah pada waktu dan tempat tertentu. Berikut adalah gambar Siklus hidup Wucheraria bancrofti, pada gambar 2.1:

Gambar 2.1 Siklus hidup Wucheraria bancrofti, filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis.

Sumber: Widodo, 2011.

Siklus hidup cacing filaria dimulai dari saat filaria betina dewasa (Makrofilaria) yaitu larva stadium IV&V dalam pembuluh limfe manusia, memproduksi sekitar 50.000 mikrofilaria per hari kedalam darah. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilaria yang terdapat dalam tubuh penderita pada saat menggigit manusia, Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai

(7)

sosis yang disebut larva stadium I, larva tersebut akan berkembang dalam tubuh nyamuk dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II , larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerakan larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk (probocis) nyamuk, dan ketika nyamuk menggigit manusia, larva infektif secara aktif ikut masuk ke dalam tubuh manusia (hospes). Larva akan berimigrasi ke saluran limfe dan berkembang menjadi bentuk dewasa (Widodo, 2011).

Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Uniknya, mikrofilaria terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari (nokturnal), sedangkan pada siang hari dia bersembunyi didalam kapiler organ dalam tubuh seperti paru-paru, jantung dan hati (Soedarto, 2008). Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah tepi setelah 6 (enam) bulan sampai 1(satu) tahun setelah terinfeksi dan dapat bertahan 5-10 tahun (Widodo, 2011). Setelah dewasa (makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe sehingga terjadi pembengkakan.

Cacing filaria yang menginfeksi tubuh manusia hidup dan berkembang biak di dalam saluran limfa (kelenjar getah bening), sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik, dapat menimbulkan gejala akut dan kronis.

(8)

Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) di daerah pangkal paha dan ketiak (Widodo, 2011).

Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis). Disebut penyakit kaki gajah karena pada stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki seperti kaki gajah. Adapun pemberian obat tidak dapat memulihkan seperti normal pada kecacatan yang sudah ada. Kecuali pengobatan dini diberikan pada penderita elephantiasis (Soedarto, 2009).

2.7 Gejala dan Tanda Klinis

a. Gejala dan tanda klinis akut

1. Tanpa gejala klinis, dapat mencapai satu tahun. 2. Sakit kepala, mual, muntah, lesu, tidak nafsu makan.

3. Demam berulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.

4. Radang saluran kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, oedema, panas dan terasa nyeri , menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan (Retrograde lymphangitis).

5. Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah (Early lymphodema) (Soedarto, 2009).

(9)

b. Gejala dan tanda klinis kronis:

1. Limfedema adalah infeksi wuchereria mengenai tungkai dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara yang tampak kemerahan dan terasa panas, infeksi wuchereria brugia dapat mengenai kaki dan lengan dibawah lutut atau siku lutut dan siku masih normal.

2. Hidrokel atau pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator endemisitas filariasis W. bancrofti.

3. Kiluria adalah kencing susuakibat kebocoran sel limfe di ginjal, jarang ditemukan.

Pembengkakan tergantung species. Dari gejala klinis yang ditimbulkan secara kasat mata dapat dibedakan parasit penyebabnya, apabila pembengkakan terjadi pada seluruh tungkai dan atau seluruh tangan maupun dijumpai pada alat kelamin maka dipastikan parasit penyebabnya adalah cacing filaria W.bancrofti. Jika pembengkakan hanya dijumpai di bawah lutut dan atau di bawah siku lengan serta tidak dijumpai pada alat kelamin maka penyebabnya adalah cacing filaria species Brugia. Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik sehari-hari yang lebih berat.

Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan sembuh, tetapi dengan serangan yang berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sembuh. Pada infeksi ini tungkai yang mengalami pembengkakan kronik tersebut akan menderita fibrosis subkutaneus yang menjadi keras dan epithelial hyperkeratosis yang disebut elephantiasis (Mandal, 2006).

(10)

2.8 Patogenesis

Baik makrofilaria (cacing dewasa) maupun mikrofilaria (larva cacing) dapat menimbulkan gangguan patologik. Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan atau gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.

Makrofilaria dapat dapat menimbulkan limfangitis akibat terjadinya iritasi mekanik dan sekresi toksik yang dikeluarkan cacing betina. Cacing yang mati selain menimbulkan limfangitis juga dapat menimbulkan obstruksi limfatik akibat terjadinya fibrosis saluran limfe dan proliferasi endotel saluran limfe.

Obstruksi ini menyebabkan terjadinya varises saluran limfe dan elephantiasis serta hidrokel. Jika saluran limfe kandung kemih, varises saluran limfe atau ginjal pecah, melalui membran mukosa traktus urinarius, maka cairan limfe masuk kedalam aliran urine penderita. Akibatnya urine menjadi berwarna putih susu dan mengandung lemak, albumin dan fibrinogen. Keadaan ini disebut kiluria, yang kadang-kadang juga mengandung mikrofilaria (Soedarto, 2008).

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik elephantiasis yang kronis dapat mengenai ke dua lengan, tungkai, payudara, buah zakar dan vulva, yang hanya bisa diperbaiki melalui tindakan operasi. Prognosis elephantiasis tidak baik,

(11)

karena tidak ada obatnya. Dapat dilakukan operasi plastik tetapi hasilnya kurang memuaskan (Nasronudin, 2007).

2.9 Diagnosis

a) Diagnosis Parasitologi

Yaitu deteksi parasit dengan pemeriksaan darah (tetes tebal) yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa, untuk menemukan mikrofilaria yang khas bentuknya didalam darah tepi, cairan hidrokel dan cairan kiluria terutama pada penderita mikrofilaremia tinggi atau yang baru diobati dengan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). Waktu yang optimal untuk pengambilan darah yaitu antara pukul 22.00 sampai pukul 02.00 (Garcia, 1996). Mikrofilaria tidak dapat ditemukan pada awal dari manifestasi klinis dan sesudah terjadinya limfangitis akibat matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elephantiasis akibat obstruksi limfatik. Pada biopsi kelenjar limfe kadang-kadang dapat ditemukan cacing dewasa, akan tetapi tindakan biopsi kelenjar tidak dianjurkan, karena dapat mengakibatkan bocornya pembuluh getah bening (Nasronudin, 2007).

b) Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial serta pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.

(12)

c) Metode serodiagnosis

Metode serodiagnosis yang telah dikembangkan untuk Brugia sp adalah deteksi antibodi anti filaria IgG4, yang merupakan petanda infeksi aktif pada filariasis. Kelebihan metode ini dapat menggunakan sampel darah yang diambil kapan saja, tidak tergantung periodisitas mikrofilaria. Alatnya disebut dipstick brugia rapid yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun rapid ini belum tersedia untuk W. bancrofti.

2.10 Konsep Dasar Terjadinya Penyakit

Infeksi filariasis merupakan penyakit menular menahun yang penularannya adalah hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Dalam segitiga epidemiologi (epidemiological triangel) faktor yang mempengaruhi tersebut yaitu lingkungan (environment), agen penyebab penyakit (agent) dan pejamu (host) (Nasry, 2000).

2.10.1 Agent

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Spesies cacing filaria dan Penyakit yang disebabkan No Spesies cacing filaria Penyakit yang disebabkan 1. Wuchereria bancrofti Filariasis bancrofti

2. Brugia malayi Filariasis malayi

3. Brugia timori Filariasis timori

Sumber: Kemenkes RI, 2009

Cacing filaria (Nematoda: Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya

(13)

tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, secara intrinsik, stadium mikrofilaria ditemukan di dalam darah tepi terutama pada malam dan mencapai puncaknya pada pukul 22.00–02.00 (sifat periodisitas mikrofilaria yang bersifat nokturnal), sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal) (Nasronudin, 2007).

Sedangkan mikrofilaria yang mempunyai sifat subperiodik nokturnal, berada dalam darah tepi selama 24 jam tetapi mencapai puncaknya pada pukul 18.00–22.00. Periodisitas subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia (Garcia,1996). Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filaria. Pada mikrofilaria yang sifatnya nonperiodik, stadium mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah tepi setiap saat dan tidak pernah mencapai puncak.

2.10.2 Host

Hospes defenitif (defenitif host) atau final host adalah hospes yang mengeluarkan parasit dewasa atau parasit matang sexual (sexually mature). Manusia dapat bertindak sebagai satu-satunya hospes defenitif sehingga merupakan satu-satunya sumber penularan penyakit filariasis, atau merupakan salah satu hospes defenitif selain hewan lain yang juga bertindak sebagai hospes defenitif. Hewan yang dapat bertindak sebagai hospes defenitif bagi parasit yang hidup pada manusia disebut hospes cadangan (reservoar host) (Soedarto, 2008). Untuk melengkapi siklus hidupnya, parasit filaria membutuhkan nyamuk atau vektor yang bertindak sebagai hospes perantara

(14)

yang disebut intermediate host, yaitu tempat berkembangbiaknya stadium muda parasit yang berbentuk larva.

Manusia sebagai host defenitif memiliki karakteristik yang mendukung penularan parasit filariasis yang dapat dibedakan berikut ini:

a). Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Namun, penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun, setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun (Widodo, 2011). b). Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, tetapi alasan pekerjaan dapat menyebabkan infeksi filariasis pada laki-laki lebih tinggi dari pada infeksi filariasis pada perempuan karena selama bekerja laki-laki mempunyai kesempatan lebih sering kontak dengan vektor.

c). Pendidikan

Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran penyakit tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang, pendidikan tinggi cenderung lebih mengetahui cara-cara pencegahan penyakit (Notoatmodjo, 2011).

d). Pekerjaan

Pekerjaan yang mendukung penularan filariasis adalah pekerjaan yang berisiko mengalami multi gigitan vektor penular, misalnya: kehutan atau kesawah termasuk dalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi

(15)

terinfeksi penyakit filariasis. Pekerjaan dapat berhubungan dengan penyakit menular yang dialami seseorang. Penelitian Nasrin (2008) di kota Bangka diperoleh nilai p value 0,025 (p<0,05), odds ratio (OR) sebesar 3,695 Confidence interval (CI) = 1,128–12105, maka dapat dinyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian filariasis. e). Pendapatan

Pendapatan adalah salah satu yang mempengaruhi prilaku masyarakat, apabila pendapatan cukup maka mereka akan memenuhi kebutuhan dengan maksimal, dan sebaliknya apabila pendapatan kurang, maka akan mengabaikan kebutuhan termasuk dalam mencari pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Faktor sosial ekonomi dan kemiskinan merupakan faktor yang meningkatkan penyebaran penyakit filariasis (Kemenkes, 2010b). f). Status gizi

Pemenuhan asupan gizi individu dan keluarga berhubungan status ekonomi. Status gizi kurang merupakan faktor yang menyebabkan kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi termasuk filariasis, sebaliknya individu dengan status gizi baik pada umumnya akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit-penyakit infeksi. Status gizi yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat kesehatan (Achmadi, 2013). g). Golongan etnik

Golongan etnik berhubungan dengan gaya hidup dan kebiasaan dalam masyarakat, yang dapat mengakibatkan perbedaan di dalam angka kesakitan (Notoatmodjo, 2011). Terdapat pola kebiasaan masyarakat di Papua pada umumnya dan Kabupaten Sarmi khususnya yaitu ngobrol bahkan

(16)

tidur-tiduran di para-para di luar rumah pada waktu malam, kebiasaan penduduk ini sangat mendukung terjadinya penularan filariasis karena lebih sering kontak dengan gigitan nyamuk.

h). Herediter

Penyakit keturunan (herediter) adalah suatu penyakit kelainan genetik yang diwariskan dari orangtua kepada anaknya secara genetis, misalnya keterlambatan pertumbuhan dalam kandungan dan retardasi mental. Namun ada orangtua yang hanya bertindak sebagai pembawa sifat (carrier) saja dan baru muncul setelah dewasa karena dipicu oleh lingkungan dan gaya hidupnya.

i). Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis. Infeksi akan terjadi bila adanya hospes (manusia) yang imunitas rendah atau rentan terhadap filariasis. Orang yang telah terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala klinis berbeda pada setiap orang, faktor imunitas seseorang berpengaruh terhadap munculnya gejala klinis suatu penyakit.

2.10.3 Environment

Lingkungan adalah tempat dimana manusia atau host dan nyamuk (vektor) berinteraksi. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kejadian filariasis serta mata rantai penularan kasusnya. Aspek lingkungan

(17)

yang ditinjau mendukung perkembangbiakan vektor dapat dibedakan yaitu: lingkungan biologi, lingkungan fisik dan lingkungan kimia.

1. Lingkungan biologi

Lingkungan biologi erat kaitannya dengan kehidupan vektor (Depkes RI, 2007) berupa tempat dan tanamam yang mendukung breeding place dan resting place vektor filariasis, termasuk lingkungan biologi adalah:

a. Keberadaan tumbuhan air disekitar rumah

Keberadaan tumbuhan atau tanaman air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia, yang merupakan salah satu spesies vektor penularan filariasis. Tumbuhan air yang sesuai sebagai breeding place, antara lain enceng gondok, genjer, dan lainya.

b. Keberadaan semak liar di sekitar rumah

Keberadaan semak liar sekitar rumah < 500 m (jarak terbang nyamuk aedes dari tempat perindukannya) sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk, sebagai contoh yaitu : kolam yang tidak terawat, tanaman bunga dalam pot bunga yang tidak terawat. Kondisi lingkungan yang tidak terawat merupakan faktor risiko yang mendukung tingginya penularan filariasis. Penelitian Sarungu, (2012) menunjukkan keberadaan semak liar atau hutan dan genangan air juga mempengaruhi kejadian filariasis.

Pekarangan rumah dapat ditanami tanaman perdu yang berasal dari Papua zodia (evodia suareolens) yang dapat mengusir nyamuk anopheles, karena aromanya yang cukup tajam sehingga tidak disukai serangga baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Cara penggunaannya dengan mengoleskan tanaman tersebut pada tubuh (Rini D, 2011).

(18)

c. Keberadaan rawa-rawa di sekitar rumah

Adanya rawa-rawa sekitar rumah < 1 km (jarak terbang nyamuk Anopheles dari tempat perindukannya) dapat menjadi tempat perkembang biakan nyamuk. Tumbuhan yang hidup di rawa-rawa, seperti: tumbuhan bakau, lumut dan ganggang dapat menguntungkan kehidupan larva karena terlindung dari sinar matahari atau dari serangan mahluk hidup lainnya.

d. Keberadaan genangan air di sekitar rumah

Keberadaan genangan air dapat terjadi karena adanya lekukan permukaan tanah yang tidak rata, misalnya bekas telapak kaki hewan besar (sapi), hal ini dapat menjadi salah breeding place vektor filariasis. Perlu dilakukan manipulasi lingkungan, berupa menimbun atau meratakan permukaan tanah, untuk menghilangkan keberadaan breeding place.

2. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi vektor parasit. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat breeding place dan resting place vektor filariasis, faktor lingkungan fisik meliputi:

a. Kondisi fisik rumah

Kondisi fisik rumah adalah suatu kondisi rumah yang mempunyai struktur fisik dimana penghuni menggunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia, kondisi fisik rumah tersebut yang berkaitan kontak antara vektor filariasis dan penghuni rumah yaitu: lantai rumah, dinding, atap rumah dan ventilasi (Azwar, 1990).

(19)

1. Lantai: Ubin atau semen adalah baik, namun tidak sesuai dengan untuk kondisi ekonomi pedesaan. Syarat yang penting disini adalah lantai harus tidak dapat dilalui serangga, terutama pada type rumah semi permanen (rumah panggung), dimana lantai rumah tersebut terbuat dari papan. 2. Dinding: Tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok

sebenarnya tidak cocok untuk daerah tropis yang memiliki cuaca panas. Fungsi dinding adalah sebagai penyangga atap rumah, juga untuk melindungi ruangan rumah tersebut dari gangguan hujan dan angin (Depkes RI, 2002). Bahan yang paling baik untuk dinding rumah adalah bahan yang tahan api yaitu dinding dari batu (tembok), dinding rumah yang terbuat dari papan juga harus rapat, sehingga menghindari kontak antara penghuni rumah dengan vektor filariasis.

3. Atap: adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Fungsi atap adalah untuk melindungi isi rumah dari pencemaran udara. Untuk melengkapi fungsi atap, rumah sebaiknya menggunakan langit-langit yang rapat serangga, sehingga kontak antara penghuni rumah dengan vektor filariasis dapat diminimalisir.

4. Ventilasi: adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989). Ventilasi yang baik dapat menjaga aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida, yang bersifat racun bagi penghuninya (Lubis, 1989).

(20)

Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk kedalam rumah. Menurut Soedarto (2008) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk vektor dan manusia.

b. Temperatur udara

Temperatur udara yang lebih hangat meningkatkan perkembangbiakan nyamuk dan mempersingkat waktu pematangan dalam badan vektor tersebut sehingga vektor lebih cepat menjadi infeksius. Temperatur udara yang lebih hangat juga cenderung meningkatkan perilaku menggigit nyamuk dan menghasilkan nyamuk dewasa yang lebih kecil sehingga membutuhkan darah yang lebih banyak agar dapat bereproduksi. Temperatur udara yang optimal bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 200C - 300C.

c. Kelembaban udara

Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kelembaban udara yang rendah memperpendek umur nyamuk, pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan filariasis. Nyamuk dewasa membutuhkan kondisi yang lembab agar dapat hidup, tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk.

d. Kecepatan angin

Kecepatan angin waktu malam, subuh dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk yang ikut serta menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada saat matahari terbit

(21)

dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantungkepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya (Harijanto, 2000).

e. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk (breeding place) berbeda-beda. Ada vektor yang menyukai tempat teduh, serta ada yang dapat hidup baik di tempat teduh maupun terang. Vektor lain, seperti: An. barbirostris dapat hidup dengan baik di tempat yang teduh maupun yang terang, An. hyrcanus spp dan An. punctulatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka, dan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh (Harijanto, 2000).

f. Curah hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembang biakan vektor, karena memperluas tempat perindukan dengan genangan air. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan perkembangbiakan vektor.

Wilayah kabupaten Sarmi yang tergolong beriklim tropis basah yang ditandai oleh curah hujan tinggi sepanjang tahun. Perbedaan musim hujan dan musim kering hampir tidak ada. Kondisi alam tersebut secara alami telah menyediakan tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk atau vektor.

(22)

Adanya semak liar di sekitar tempat tinggal, merupakan satu mata rantai yang saling berhubungan sehingga memiliki risiko tertularnya filariasis (Sugimin, 2009).

3. Lingkungan kimia

Lingkungan kimia erat kaitannya dengan kehidupan vektor berupa tempat yang mendukung breeding place vektor filariasis, termasuk lingkungan kimia adalah:

a. pH air

Tingkat keasaman (pH) air, dapat mempengaruhi perkembangbiakan vektor filariasis. Di Sumatera Utara An. sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar, An. letifer dapat hidup ditempat yang asam atau pH rendah (Nasrin, 2008).

b. Salinitas atau air payau

Salinitas atau kadar garam, mempengaruhi pertumbuhan vektor parasit. Misalnya An. Sundaicus dapat tumbuh optimal pada intensitas kadar garam antara 12-18%, dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam > 40% (Harijanto, 2000). Lingkungan rawa-rawa seperti tumbuhan bakau, memiliki tingkat salinitas sesuai breeding place yang menguntungkan kehidupan larva.

2.11 Kepadatan Vektor

Penyebaran penyakit filariasis ditularkan melalui gigitan berbagai jenis vektor nyamuk. Berbagai jenis nyamuk bisa menjadi penghantar mikrofilaria (anak cacing filaria) ini, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23 spesies

(23)

nyamuk dari 5 genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis seperti pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Agent dan vektor filaria di Indonesia Spesies

filaria

Penyebaran Vektor penular Hospes

defenitif Wucheraria

bancrofti

Pedesaan (rural)

Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An.dives, An. maculatus, An. farauti, An.

koliensis, An. Punctulatus, An. Farauti, An. Koliensis, Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma.dives,Ma.bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. Nigerimus, Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx.

Annulirostris, Cxwhitmorei, Cx.bitaeniorhynchus) Aedes (Ae. subaltabus) dan Armigeres.

Manusia Perkotaan (urban) Culex fatigans, Cx. quinquefasciatus Brugia malayi

Pedesaan An. Barbirostris, Mansonia spp, Ma. Uniformis, Ma.bonneae, Ma. dives Manusia, kucing, kera Brugia timori,

Pedesaan An. barbirostris Manusia

Sumber: Soedarto, 2008

2.12 Perilaku Kesehatan Dipengaruhi Budaya

Budaya mempengaruhi perilaku kesehatan, dan pada akhirnya mempengaruhi status kesehatan. Manusia sebagai mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa hidup sendiri sehingga membentuk kesatuan hidup yang dinamakan masyarakat. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2000). Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

(24)

masyarakat, karena kebudayaan yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit. Faktor prilaku manusia yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu: 1) perilaku yang terwujud secara sengaja atau sadar, dan 2) perilaku yang terwujud secara tidak sengaja atau tidak sadar. Ada perilaku-perilaku yang sengaja atau tidak sengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok masyarakat, sebaliknya ada yang disengaja atau tidak disengaja berdampak merugikan kesehatan (Kalangi, 1994). Gambar 2.2 berikut menggambarkan model alternatif perilaku kesehatan.

Sadar/Tahu Tidak Sadar/ Tidak Tahu (S) (TS) Mengun-tungkan (U) 1 4 Potensi (Stimulan) Merugikan (R) 2 3 Kendala

Gambar 2.3 Model Alternatif Perilaku Kesehatan

Sumber: Kalangi, 1994

Kotak 1 menunjukkan kegiatan manusia yang secara sengaja ditujukan untuk menjaga, meningkatkan kesehatan, dan menyembuhkan diri dari penyakit atau gangguan kesehatan. Kegiatan ini merupakan segi preventif, promotif dan kuratif. Kotak 2 bentuk perilaku merugikan kesehatan, yang secara sadar atau sengaja dilakukan, misalnya: merokok, alkoholisme, dan lainnya.

(25)

Kotak 3 berhubungan dengan semua tindakan yang tidak disadari berakibat mengganggu kesehatan individu atau kelompok masyarakat, misalnya: pekerjaan bertani, berkebun, pergi ke hutan, dan lainnya dapat menyebabkan kontak atau digigit vektor filariasis. Kotak 4 adalah kegiatan yang secara tidak disadari atau tidak disengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok, misalnya: asap dapur dalam rumah dapat mengusir nyamuk atau vektor filariasis (Kalangi, 1994).

Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misal: tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain (Notoatmodjo, 2011). Menurut teori Bloom (1908), perilaku merupakan totalitas dari tiga domain yaitu: pengetahuan atau knowledge, sikap atau attitude, tindakan atau practice (KAP) (Notoatmodjo, 2011).

2.12.1 Pengetahuan

Adalah hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada pengetahuan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang berperilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang disebut AIETA, (Notoatmodjo, 2011) yaitu:

1) Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

(26)

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, sikap seseorang sudah lebih baik.

4) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5) Adaption, di mana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan , kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Penelitian Marzuki (2008) di Kecamatan Maro Sebo Jambi menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan kejadian filariasis, didapatkan p-value 0,006 dan OR=3,2 artinya responden yang tidak menghetahui tentang filariasis di daerah endemis memiliki risiko 3,2 kali terkena filariasis dibandingkan dengan orang yang mengetahui tentang filariasis.

2.12.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :

1) Menerima (receiving), diartikan bahwa seseorang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan, contoh sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

(27)

2) Merespons (responding), indikasinya berupa: memberi jawaban bila di tanya, mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari benar atau salah yang dikerjakan tetapi orang tersebut telah menerima ide yang diberikan. 3) Menghargai (valuing), indikasinya berupa: mengajak, berdiskusi dengan

orang lain tentang suatu masalah, misalnya mengajak tetangga untuk menimbang anaknya ke Posyandu, mendiskusikan tentang gizi.

4) Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.12.3 Tindakan

Lingkungan budaya dapat mempengaruhi interaksi atau tindakan antara manusia dengan lingkunganya yang mengakibatkan kontak dengan vektor filariasis, antara lain:

a. Berada di luar rumah pada malam hari

Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Terdapat pola kebiasaan masyarakat di Papua pada umumnya dan Kabupaten Sarmi khususnya, yaitu ngobrol, bahkan tidur-tiduran di para-para yang berada di luar rumah pada waktu malam, kebiasaan penduduk ini sangat mendukung terjadinya penularan filariasis, tanpa menggunakan pelindung tubuh.

b. Kelengkapan pakaian saat menokok sagu di hutan

Ada kebiasaan masyarakat di Papua khususnya di Kabupaten Sarmi tanpa menggunakan pakaian lengkap (baju lengan panjang dan celana panjang) saat menokok sagu dihutan. Keadaan lingkungan hutan sagu pada umumnya adalah rawa dengan air tawar atau air payau dengan kerapatan vegetasi yang

(28)

tinggi optimal untuk breeding place vektor. Penelitian Sarungu (2012) mendapatkan, tidak menggunakan pakaian lengkap saat di hutan memiliki risiko terinfeksi filariasis sebesar 7,000 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menokok sagu dengan menggunakan pakaian lengkap.

Timbul dan hilangnya suatu penyakit dapat dipengaruhi oleh aspek budaya masyarakat setempat, salah satu adalah perilaku. Pengaruh perilaku di bidang kesehatan pada hakekatnya merupakan hasil dari berbagai faktor yang melatar belakangi antara lain pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang penyakit atau sakit. Persepsi masyarakat tentang sakit atau penyakit sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu atau unsur budaya.

2.13 Upaya Pelayanan Kesehatan

Konsep HL. Blum (1974) pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ada empat tingkat pelayanan kesehatan (Bustan, 2002) yaitu:

2.13.1 Promotif

Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care) yaitu pelayanan yang diperlukan untuk masyarakat sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah menurut Depkes RI (2005), promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat

(29)

menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Melalui promosi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan dapat mencapai perilaku kesehatan (healthy behaviour). Kesehatan bukan hanya diketahui atau disadari (knowledge) dan disikapi (attitude), melainkan harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari (practice). Tujuannya agar masyarakat dapat berperilaku hidup sehat (healthy life style) (Notoatmodjo, 2003).

Depkes RI (2004) menyatakan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas tersebut. Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting yaitu proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspect knowledge), dari tahu menjadi mau (aspect attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspect practice).

2.13.2 Preventif

Adalah mencegah jangan sampai terkena penyakit atau menjaga orang yang sehat agar tetap sehat. Upaya ini dilakukan pada masa sebelum sakit yang berupa: mempertinggi nilai kesehatan (health promotion), imunisasi (spesific protection), perbaikan higyene dan sanitasi lingkungan. Usaha pencegahan

(30)

akan memperoleh hasil yang lebih baik, serta memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan usaha pengobatan kuratif maupun rehabilitatif (Depkes RI, 2004) Dapat memberi pengertian bahwa menghindari gigitan nyamuk filariasis dengan berbagai cara, akan memberikan hasil yang lebih baik, serta memerlukan biaya yang lebih murah, bila dibandingkan dengan mengobati elephantiasis dengan segala dampak yang ditimbulkan bagi individu maupun keluarga.

2.13.3 Kuratif

Upaya ini diusahakan dilakukan pada awal masa sakit, mengenal dan mengetahui jenis penyakit pada tingkat awal (screening), serta pemberian pengobatan yang tepat sejak dini (early diagnosis and prompt treatment ). Early diagnosis yaitu tindakan pencegahan pada seseorang atau kelompok yang memiliki risiko terkena penyakit. Tindakan yang berupaya untuk menghentikan proses penyakit pada tingkat permulaan sehingga tidak akan menjadi parah, dengan memperhatikan tingkat endemis penyakit. Sedangkan Prompt treatment adalah pengobatan yang dilakukan dengan tepat dan segera untuk menangani masalah kesehatan, merupakan lanjutan dari early diagnosis yang bertujuan sebagai penghalang agar penyakit tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah.

Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar mereka dapat mengenal gejala penyakit pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan. Masyarakat perlu menyadari bahwa berhasil atau tidaknya usaha pengobatan, tidak hanya tergantung pada baiknya jenis obat serta keahlian tenaga kesehatannya, melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan diberikan. Pengobatan yang

(31)

terlambat akan menyebabkan usaha penyembuhan menjadi lebih sulit, bahkan mungkin akan menyebabkan kecacatan permanen.

2.13.4 Rehabilitatif

Upaya ini dilakukan pasca sakit, rehabilitasi merupakan suatu usaha untuk mengembalikan penderita seperti sedia kala, sehingga dapat berguna bagi diri sendiri dan masyrakat. Pada penderita elephantiasis agar memperoleh perbaikan fisik semaksimal mungkin (rehabilitasi fisik), penderita dapat menyesuiakan diri dalam huhungan perorangan dan masyarakat secara baik (rehabilitasi mental), dapat memperoleh pekerjaan sesuai kemampuannya (rehabilitasi sosial vokasional) dan mengembalikan rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi alat tubuh tersebut tidak bisa digantikan (rehabilitasi aesthetis).

2.14 Pengendalian dan Pengobatan Massal 2.14.1 Pengendalian

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, mungkin itu adalah ungkapan yang sangat tepat untuk menghindari penyakit filariasis. Karena jika kita telah terinfeksi oleh cacing filaria akan sangat sulit sekali untuk mengobatinya serta memerlukan waktu yang lama. Berbagai penanggulangan filariasis yang dapat dilakukan, antara lain dengan pengendalian vektor nyamuk, pengurangan reservoir penular dan pengurangan kontak antara manusia dan vektor. Pengobatan pencegahan terhadap pendatang (migrasi penduduk) yang berasal dari daerah nonendemik filariasis (Soedarto, 2008).

Cara lain untuk penanggulangan filariasis dapat dilakukan dengan berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk, dengan cara: menggunakan

(32)

kelambu sewaktu tidur (Garcia, 1996) menutup ventilasi rumah dengan kawat kassa, rumah tinggal memiliki plafon, dinding, lantai rumah rapat serangga, sehingga mengurangi kontak dengan nyamuk. Hal yain yaitu menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar dan mengolesi kulit dengan obat anti nyamuk repellent.

Pengendalian vektor dengan pengelolan lingkungan sekitar rumah dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa, menimbun genangan air, mengeringkan atau mengalirkan genangan air, membersihkan semak-semak sekitar rumah, hal ini dapat memberantas atau mengurangi nyamuk dengan mengurangi atau menghilangkan resting place dan breeding place vektor, sehingga dapat mengurangi kepadatan vektor filariasis (Mandal et al, 2006). Dengan melakukan hal-hal tersebut merupakan usaha mengurangi risiko terjangkitnya penyakit filariasis maupun penyakit-penyakit lain yang juga ditularkan oleh nyamuk.

2.14.2 Pengobatan Massal

Program eliminasi filariasis di Indonesia merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular, dengan pengobatan setahun sekali, selama lima tahun berturut-turut. Tujuan umum dari Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO yaitu memutuskan mata rantai penularan filariasis sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (Mikrofilaria rate) menjadi < dari 1% di setiap kabupaten/kota, (b) mencegah penyebaran dan membatasi kecacatan akibat filariasis (Kemenkes RI, 2010a).

(33)

Di daerah endemis filariasis (mf rate ≥ 1%) WHO menyarankan dilakukan pengobatan massal dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Abendazole,obat dosis tunggal sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau pusing dapat diberikan obat antipiretik atau analgesik. (Kemenkes RI, 2010b). Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2 tahun ke atas, yang ditunda selain usia < 2 tahun adalah wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita penyakit berat. Protokol pemberian obat seperti pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Dosis DEC dan Abendazol pada pengobatan massal.

No Umur DEC (100 mg) Abendazol (400 mg)

1. 2-6 tahun (prasekolah) 1 tablet 1 tablet

2. 7-12 tahun (SD) 2 tablet 1 tablet

3. 13-dewasa (SMA lebih) 3 tablet 1 tablet

Sumber: Kemenkes RI, 2010b

Setelah minum obat perlu diperhatikan efek samping yang mungkin timbul. Misalnya, bila dalam tubuh seseorang mengandung mikrofilaria, maka pada saat obat membunuh mikrofilaria, tubuh kadang-kadang memberi reaksi akibat kematian cacing dalam tubuh orang tersebut. Efek samping yang sering dijumpai adalah demam, mual, pusing dan kelelahan. (Garcia, 1996).

Gambar

Gambar 2.1 Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Mikrofilaria di Indonesia
Gambar 2.1 Siklus hidup Wucheraria bancrofti, filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis.
Tabel 2.1 Spesies cacing filaria dan Penyakit yang disebabkan No Spesies cacing filaria Penyakit yang disebabkan 1
Tabel 2.2 Agent dan vektor filaria di Indonesia Spesies
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tali rami harus memenuhi standar Negara dan terbentuk dari tiga untai rami dan tiap untai terdiri atas beberapa serabut yang berbeda. Arah lilitan untaian harus berlawanan

Majelis ini berkembang dalam suatu komunitas budaya masyarakat yang merupakan ekspresi dari hidup dan kehidupannya, serta menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya

Hani Sutianingsih,dkk: Analisis Faktor Individu yang Berhubungan dengan Keluhan Muskuloskletal (musculosceletaldisorders/msd) bidan dalam pertolongan persalinan di

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian ini dimana sebagian besar responden menilai Agen menyampaikan pesan mengenai program Agen 1000 Sunlight tidak dengan paksaan

Metode yang digunakan adalah (1) Penyuluhan dan pendampingan peternak dalam pemeliharaan ternak dan program sanitasi lingkungan, serta pembuatan pupuk organik dari

19 Agni—ia melihat bentuk dan wajah itu saling berhubungan dalam berbagai cara, satu bentuk menolong yang lain, mencintainya, membencinya, memusnahkannya, lalu

Dengan ini saya menyatakan laporan akhir Pembenihan dan Pembesaran Udang Vaname Litopenaeus vannamei di PT Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Negara-Singaraja, Bali

Lepas dari khilaf dan segala kekurangan, penulis merasa sangat bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Kebijakan Bank Indonesia Kpw Kalsel