• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suryadi (Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Suryadi (Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

In Memoriam Prof. Dr. Umar Junus (1934-2010)

Suryadi

(Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda)

Kita biasanya baru menghargai sesuatu setelah kita kehilangannya

(Umar Junus, “Kita dan sastera tradisi kita’, Dewan Sastera XIII.2, Februari 1983:3).

Awal Maret lalu, sebuah sms masuk ke HP kuno saya: “Dear frens (sic), Bapak passed away

peacefully at. 9.15 pm.” Sms itu dikirim

oleh Ervan Yunus, anak bungsu

Prof. Dr. Umar Junus

, dari Kuala Lumpur, yang memberitakan kepergian ayahnya menemui sang Khalik. Saya

tertegun, dan segera teringat pada dunia ilmu dan kritik sastra Malaysia dan Indonesia yang kini kehilangan lagi salah seorang pakarnya yang sangat prolifik: Prof. Dr. Umar Junus. Umar Junus meninggal dengan tenang pada hari Senin, 8 Maret 2010 pukul 9.15 malam waktu Kuala

Lumpur dalam usia 76 tahun. Beliau meninggal di Pusat Perubatan Universiti Malaya setelah mengalami sesak napas. Jenazahnya telah dikebumikan di Kota Damansara sekitar jam 3 sore, Selasa, 9 Maret 2010.

Wafatnya Umar Junus jelas merupakan kehilangan besar bagi dunia ilmu dan kritik sastra Malaysia dan Indonesia. Melalui buku-buku, artikel-artikel, dan esei-esei kritik sastra yang ditulisnya, Umar Junus menjadi “jembatan kokoh” yang telah menghubungkan dan sekaligus memperkenalkan secara timbal-balik dunia sastra Malaysia dan Indonesia, yang sekarang

(2)

belum tergantikan oleh sosok kritikus yang lain dari kedua negara berjiran itu. Menimbang jasa-jasa almarhum di bidang ilmu dan kritik sastra, sudah sepatutnyalah kita memberikan penghargaan kepadanya, paling tidak dalam wujud sebuah buku penghargaan yang ditulis bersama. Kita juga mesti diingatkan akan tradisi penghormatan kepada seorang sarjana yang meninggal. Tulisan kecil ini hanya sekedar tanda ingatan penulis yang dimaksudkan untuk mengingatkan kita semua bahwa selayakanya kita–para ilmuwan dan penggiat sastra Indonesia dan Malaysia–mengenang Umar Junus, yang disebut oleh koran New Straits Times (edisi 27 Mei 1992) sebagai

“A Man for All Theories” .

Sesungguhnya koran New Straits Times tidaklah berlebihan menyanjung Umar Junus. Tak dapat disangkal bahwa almarhum di masa hidupnya memang merupakan salah seorang ilmuwan dan kritikus sastra besar dan sangat prolifik yang pernah kita miliki. Orang sering menyandingkan nama Umar Junus dengan H.B. Jassin, tapi tulisan-tulisan Umar Junus lebih banyak, lebih terasa bobot ilmiahnya dan lebih bervariasi dalam hal tema (stilistika, sosiologi sastra, resepsi sastra, strukturalisme, semiotik, dan lain sebagainya). Jika H.B. Jassin adalah seorang pengumpul terbitan-terbitan sastra yang sangat rajin (seperti dapat dikesan dari isi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta yang ditinggalkannya), maka Umar Junus adalah seorang penganalisa yang handal. Hal itu hanya dimungkinkan karena kepintarannya sebagai seorang yang berasal dari dunia kampus dan komitmennya yang

kaffah

terhadap bidang ilmunya (bahasa dan sastra), yang didukung oleh keluasan bacaannya. Sekarang saya sedang menyusun senarai karya-karya Umar Junus dan mendapati bahwa beliau telah menulis sejak masih menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia di akhir tahun 1950-an sampai tahun-tahun terakhir masa hidupnya.

Dalam rentang waktu antara 1950-an sampai tahun 2010-an tulisan-tulisan Umar Junus terbit hampir setiap tahun di berbagai media ilmiah dan populer, terutama di Malaysia dan Indonesia. Tampaknya berbagai gagasan tak pernah berhenti mengalir dari dalam pikirannya, sejak selagi menjadi mahasiswa sampai akhir hayatnya. Menurut anak-anak Umar Yunus, ayahnya selalu bangun jam 4 pagi; dua jam sebelum waktu shalat subuh datang digunakannya untuk menulis. Sejauh yang dapat saya telusuri, tulisan Umar Junus yang terawal–walau mungkin bukan yang pertama–berjudul “Anda dan persoalan kataganti orang kedua dalam bahasa Indonesia” yang dimuat dalam jurnal Bahasa dan Budaja VI.5 (Djuni 1958:32-5). Ketika itu beliau masih

berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia.  Sedangkan karyanya yang terakhir, sejauh yang dapat saya telusuri, adalah “Copenhagen dan Copenhagen” (

Dewan Buday

a 32.03, Maret 2010:40-1). Dengan demikian, kelihatan bahwa Umar Junus tak pernah berhenti menulis sampai akhir hayatnya. Besar kemungkinan akan ada lagi karya-karyanya yang akan terbit setelah beliau meninggal. Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila Raja Masittah Raja Ariffin mengatakan (dalam

Dewan Bahasa

1.2, Februari 2001:60-1) bahwa Umar Junus adalah seorang ilmuwan yang “sentiasa bermesraan dengan buku” dan menjadikan buku-buku sebagai “teman setia” beliau.

(3)

Dalam tulisan-tulisannya, yang jumlahnya lebih dari seratusan, baik berupa buku, esei, artikel ilmiah dan populer, ulasan buku, kertas kerja, dan pengantar untuk buku atau novel orang lain, terlihat betapa luas dan progresifnya pemikiran-pemikiran Umar Junus mengenai bahasa, sastra dan budaya Malaysia dan Indonesia. Bacaannya yang sangat luas telah memungkinkan beliau dapat menganalisa teks sastra, baik ‘tradisional’ maupun yang ‘modern’, dengan sudut pandang yang bervariasi dan berbeda dengan ilmuwan dan kritikus sastra yang lain.

Di mata keluarga, teman-teman, dan mahasiswanya, Umar Junus adalah seorang yang juga punya sifat riang dan selalu merasa optimis. Tampaknya sifat itu terus melekat pada diri Umar Junus sampai beliau meninggal. Demikianlah umpamanya, walau sudah pensiun dari Universiti Malaya sejak tahun 1990  dan walau mengidap penyakit myasthenia gravis sejak 1997, yang membatasi daya geraknya, namun Umar Junus kelihatan tetap optimis dan selalu bergairah bila diajak berdiskusi mengenai dunia bahasa dan sastra Malaysia dan Indonesia. Sepertinya gairah keilmuan tidak pernah padam dalam diri Umar Junus. Seringkali beliau mengirimkan

artikel-artikel yang menarik tentang sastra di internet kepada saya di Leiden lewat email, yang menandakan bahwa beliau tetap mengikuti perkembangan bidang ilmunya walau sudah tidak aktif lagi di dunia kampus dan di ruang publik. Bahkan sifat riangnya masih lagi kelihatan walau dalam keadaan sakit. Kepada keluarganya, dan juga kepada saya ketika bersama Prof. Taufik Abdullah terakhir kali mengunjungi beliau di rumahnya di Petaling Jaya di sela

International Convention of Asia Scholars

ke-5 (2-5 Ogos 2007), Umar Junus bergurau dengan kami tentang penyakitnya: “Aristotle Onasis meninggal karena menderita penyakit

myasthenia gravis

. Saya mewarisi penyakitnya itu, tapi tidak kekayaannya”.

Adalah tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Umar Junus adalah salah seorang sarjana hebat yang pernah kita miliki dan yang telah banyak berjasa memperkenalkaan berbagai teori sastra di Malaysia dan Indonesia. Beliau pula yang memberikan pandangan mengenai

kemungkinan melihat fenomena sastra dari sudut ilmu-ilmu di luar ilmu humaniora. Dalam buku-bukunya–Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985), Sosiologi Sastera: Persoalan Teori

dan Metode (1986), Karya sebagai

Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme (1988), dan

Stilistik: Pendekatan dan Penerapan

(1990), untuk sekedar menyebut beberapa judul dari sekitar 50 buku yang telah

ditulisnya–Umar Junus memperkenalkan kepada khalayak akademisi dan praktisi sasatra di Malaysia dan Indonesia (dan mungkin juga Brunei Darussalam) berbagai teori sastra (resepsi sastra, sosiologi sastra, strukturalisme, stilistika, semiotik, dan lain sebagainya) dengan banyak mengambil contoh dari karya-karya sastra Malaysia dan Indonesia sendiri, sehingga uraiannya terasa kontekstual dapat dipahami oleh pembaca. Tentu saja tidak semua teori itu cocok dengan sastra Malaysia dan Indonesia untuk mana Umar Junus sering memberikan ulasan kritis, bahkan kadang-kadang menunjukkan bukti-bukti bahwa pikiran-pikiran tertentu yang mendasari sebuah teori Barat sudah lebih dulu ada di dunia Timur, seperti antara lain dapat dikesan dalam artikelnya: “Pembacaan semula cerita Abu Nawas: pemikiran lateral de Bono bukan baru” (

(4)

21.12, November 1991:74-6).

Umar Junus menulis dalam bahasa Melayu, Indonesia, dan Inggris. Tulisan-tulisan beliau tersebar di berbagai media (koran, majalah sastra/bahasa/budaya, dan jurnal ilmiah), sejak dari koran Sinar Harapan sampai kepada Kompas; sejak dari jurnal bahasa/sastra Budaja Djaja sampai kepada majalah

Horison

; sejak dari jurnal ilmiah Humaniora

sampai kepada Sari

. Boleh dikata, tulisan-tulisan Umar Junus dapat ditemukan di banyak jurnal ilmiah dan majalah umum di Malaysia dan Indonesia. Umar Junus adalah seorang penulis tetap rubrik

“Cakerawala” dalam jurnal Dewan Sastera

, rubrik “Saling Silang” dalam jurnal Dewan Budaya (sejak 2008) dan juga menyumbang banyak esei dan artikel mengenai bahasa dana budaya Melayu dalam jurnal Dewan Bahasa. Di tahun 1960-an dan awal 1970-an, ketika kebanyakan akademisi di bidangnya belum banyak

mengenal jurnal ilmiah internasional, Umar Junus sudah menulis di jurnal ilmiah seperti Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Archipel

, dan Linguistics

.  Dalam kajian akademis dan esei-esei sastra dan bahasa yang ditulis oleh Umar Junus, kita mendapat kesan bahwa kekayaan makna sebuah teks sastra tergantung pada keluasaan dan keintensifan pembacaan dan penganalisaan teks itu oleh ilmuwan atau kritikus. Seorang ilmuwan dan kritikus yang berwawasan luas seperti Umar Junus dapat berdialog tak

henti-hentinya dengan teks. Di tangannya, sebuah teks memiliki makna polisemi, berlapis-lapis dan jauh lebih kaya daripada makna yang dulu dipikirkan oleh para pengarang teks itu sendiri. Umar Junus memberi perhatian pada semua unsur teks, baik yang pusat (

center

) maupun yang pinggiran ( periphery

). Baginya setiap unsur teks itu memiliki fungsi dan makna. Demikianlah umpamanya, beliau memberi perhatian kepada ilustrasi yang ada dalam karya-karya sastra Melayu, unsur teks yang selama ini hampir-hampir luput dari perhatian para peneliti lain, karena mungkin dianggap tidak penting. Bagi Umar Junus ilustrasi adalah bagian yang fungsional dalam teks sastra, seperti dapat dikesan dalam artikelnya: “Illustrations and Malay stories: a preliminary statement” (

Malay Literature

1.1, July 1988:100-15).

Umar Junus lahir  tanggal 2 Mei 1934 di Silungkang, Sumatra Barat; memasuki sekolah menengah pertama di Silungkang dan sekolah menengah atas di Bukittinggi; meraih ijazah sarjana sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1959; mengajar di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, IKIP Malang, sampai 1967; menjadi pengajar bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat; dan mulai 1967 beliau hijrah ke Malaysia dan diterima menjadi

(5)

dosen (pensyarah) di Universiti Malaya sambil meneruskan studinya di universitas itu. Ijazah Doktor Falsafah diraihnya dari Universiti Malaya pada tahun 1982 dengan disertasi  “Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode di sekitar Sastera Melayu dan Indonesia” yang kemudian diterbitkan (1986). Karena begitu produktifnya berkarya, Umar Junus dianugerahi pula gelar professor Madya oleh Universiti Malaya.

Walau merantau Cina ke Malaysia, Umar Junus tidak melupakan ranah bundanya:

Minangkabau. Salah satu karyanya, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Sebuah Problema Sosiologi Sastra (1984) adalah bukti kecintaannya kepada kebudayaan Minangkabau,

kebudayaan nenek moyangnya. Buku itu merupakan salah satu hasil penelitian yang terbaik mengenai sastra lisan Minang

kaba

. Umar Junus juga menjadi dosen tamu di Universitas Andalas, Padang, tahun 1985. Kemudian pada tahun 1993 beliau juga menjadi dosen tamu di University of Kyoto, Jepang.

Umar Junus adalah seorang ilmuwan yang kritis dan suka berdebat secara terbuka. Sifat kritis dan terbukanya itu antara lain dapat dikesan dari perdebatan akademis antara dirinya dengan Wahab Ali, seperti terefleksi dalam eseinya: “Saya dan Wahab” (Horison IX.2, Februari

1974:36-40). Sifat kritis dan terbuka Umar Junus itulah antara lain yang menyebabkan beliau enak diajak menjadi mitra diskusi. Tapi karena sifat kritisnya itu pula kadang-kadang ada orang yang merasa tersinggung. Memang kebanyakan ilmuwan kita merasa bahwa apabila tulisan mereka dikritik dan dikomentari, maka hal itu sering diartikan sebagai serangan terhadap pribadi penulisnya. Akan tetapi bagi Umar Junus itu bukan jadi soal karena beliau yakin dunia ilmu memang harus terbuka dan kritis. Hanya dengan sifat terbuka dan kritis itulah tradisi keilmuan yang kuat dapat dibangun dan dikembangkan di Malaysia dan Indonesia.  

Umar Junus mempersunting, Farina Talaha (sekarang berumur 69 tahun) yang sekampung dengannya. Mereka menikah tahun 1960. Tahun ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-50. Pasangan langgeng ini memiliki tiga anak (2 lelaki, 1 perempuan): Novian Ekaputra Junus (49 tahun), Revina Ekaputri Junus (47 tahun), dan Ervan Dwiputra Junus (34 tahun). Dari anak-anaknya almarhum memperoleh 7 orang cucu.

Dalam suatu kesempatan berbicang-bincang dengan Ervan Junus, yang bekerja di sektor perminyakan, di flat Saya di Leiden bulan Oktober 2007, anak bungsu Umar Junus itu berkata: aneh bahwa ayahnya memilih dunia ilmu, tidak seperti kebanyakan orang Silungkang yang menjadi pedagang kaya di Jakarta dan di banyak kota lainnya di Indonesia, yang kalau lebaran datang pulang ke kampung bersama-sama sambil berkompetisi memamerkan mobil terbaru milik masing-masing.

Tapi, karena pilihan yang “menyimpang” itulah Umar Junus justru jauh lebih dikenal dari pedagang kaya manapun yang berasal dari Silungkang. Pilihannya ternyata tidak sia-sia. Pilihan itu telah mengantarkan Umar Junus ke tingkat yang boleh dibanggakan dalam

lingkungan ilmu sastra di Malaysia dan Indonesia. Selama sastra Malaysia dan Indonesia masih hidup dan diapresiasi oleh pembacanya, karya-karya Umar Junus pasti akan terus pula dibaca orang.  Dan itu berarti bahwa nama seorang Umar Junus akan selalu dikenang banyak orang.  

(6)

Selamat jalan Bapak Umar Junus. Selamat beristirahat “a man for all theories”. Semoga kedamaian abadi senantiasa bersamamu di dunia sana.

Leiden, Belanda, 24 Maret 2010

Catatan: Versi bahasa Malaysia tulisan ini saya kirimkan juga ke Gapena dan jurnal Dewan Sastera di Kuala Lumpur.

Referensi

Dokumen terkait