• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENITI SINKRETISME TEKS TANTU PANGGĚLARAN | Setyani | Jurnal Kawistara 3914 6327 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENITI SINKRETISME TEKS TANTU PANGGĚLARAN | Setyani | Jurnal Kawistara 3914 6327 1 SM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAWISTARA

VOLUME 1 No. 2, 17 Agustus 2011 Halaman 103-212

MENITI SINKRETISME

TEKS

TANTU PANGG

Ě

LARAN

Turita Indah Setyani

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Email: turita.indah@gmail.com

ABSTRACT

Tantu Pangg laran (TP) is a work of literature that contains knowledge necessary for human beings to achieve perfection of living which is influenced by Javanese, Hindu (Shivaist), and Buddhist concepts. This research studies syncretism in the text of TP by using the theory of normative multicul-turalism. The purpose of this research is to find out how syncretism occurred in people s lives, as recorded in the text of TP. It is hoped this research can benefit the development of Javanese culture in general, and particularly Old Javanese culture from the late Majapahit era. The results show that TP is the implementation of cultural syncretism of Javanese, Hindu (Shivaist), and Buddhist cultures in a positive, mutualistic relationship.

Keyword: Tantu Pangg laran, Multiculturalism, Syncretism

ABSTRAK

Tantu Pangg laran (TP) merupakan karya sastra yang berisi pengetahuan bagi manusia untuk men-capai kesempurnaan hidup yang dipengaruhi konsep Jawa, Hindu (Siwa) dan Buddha. Penelitian ini mengkaji sinkretisme dalam teks TP dengan menggunakan teori multikulturalisme normatif. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana sinkretisme yang terjadi terhadap kehidupan masyarakat di dalam teks TP. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan budaya Jawa pada umumnya, khususnya budaya Jawa Kuna zaman Majapahit akhir. Hasil penelitian meng-ungkapkan bahwa karya sastra TP merupakan implementasi sinkretisme budaya Jawa, Hindu (Siwa), Buddha dalam hubungan yang mutualistik dan bersifat positif.

(2)

PENGANTAR

Sinkretisme telah banyak dibicarakan dalam berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, Indonesia pada umumnya, dan dalam kehidupan masyarakat Jawa pada khususnya. Istilah sinkretismedalam kamus Antropologi (1985: 373) diberi arti sebagai kombinasi segala unsur dari beberapa aga-ma dan kepercayaan yang berbeda, kemu-dian terpadu menjadi satu yang kemukemu-dian merupakan agama atau kepercayaan versi baru .

Sinkretisme dalam kehidupan masya-rakat Jawa merupakan perpaduan, percam-puran, dan penyelarasan dua keyakinan atau lebih. Hasil sinkretisme dapat memben-tuk keyakinan baru atau menomorsamemben-tukan keyakinan yang dianggap paling benar. Adapun sinkretisme itu sendiri tidak terle-pas dari kenisbian dan bersifat divergen. Dengan kata lain, sinkretik yang terjadi dalam masyarakat Jawa bersifat longgar, adaptif, dan akomodatif. Hal itu termani-festasi dalam kehidupan mistik kejawen se-bagai praktek religi masyarakat Jawa yang disebut agama Jawa.

Dalam praktek religi tersebut terdapat dua pihak yang berbeda pendapat, yaitu pihak pertama meyakini adanya pengaruh sinkretik dengan agama-agama lain. Kedua, meyakini bahwa mistik kejawen merupakan milik manusia Jawa yang sudah ada sejak masyarakat Jawa mengenal Tuhan dengan praktek-praktek religinya, memuja para roh dan benda-benda yang dikenal dengan pe-mujaan animisme dan dinamisme. Akan tetapi sejak zaman Hindu-Buddha berpe-ngaruh di Jawa, terjadilah sinkretisme. Pe-ngaruh tersebut tidak hanya pada masya-rakat kecil, tetapi juga dunia kraton dan para priyayi.

Perkembangan pengaruh lebih cepat tercerap disebabkan oleh adanya kitab-kitab yang berisi kisah-kisah mistis. Kitab-kitab tersebut menjadi salah satu media penyeba-ran sinkretisme yang mempengaruhi pola religi Jawa, antara lain yaitu Tantu Pangg

-laran, Bhagawat Gita, Bharatayuda,

Brahman-dapurana, Sutasoma, dan sebagainya

(En-draswara, 2006: 73, 78, 80). Dengan demiki-an, dapat dikatakan bahwa keadaan pola religi Jawa yang ada hingga saat ini meru-pakan hasil sinkretisme yang terjadi sejak masuknya budaya asing ke Pulau Jawa yang terekam dalam kitab-kitab mistisnya. Oleh karena itu, untuk menelusuri pola religi tersebut, dapat dideteksi melalui kitab-kitab yang tersebar di Pulau Jawa.

Menurut A. H. Johns (1966: 40) untuk mengkaji perubahan relegi haruslah ber-dasarkan dokumen-dokumen yang relevan dengan periodenya, yaitu masa atau kurun waktu yang sesuai dengan dokumen yang digunakan sebagai korpus penelitian. Doku-men di Jawa yang masih dianggap bertahan hingga saat ini adalah dari periode abad ke-15 sampai awal abad ke-16. Pada abad-18 diwakili oleh Serat Centhini. Dua dokumen yang dapat dipastikan tradisi kuna yaitu

Tantu Pangg laran (TP) dan Bhimasuci (juga

dikenal sebagaiDewaruci). Akan tetapi yang memuat sinkretisme di dalamnya adalah TP. Oleh karena itu TP akan dijadikan bahan kajian sinkretisme pola religi Jawa dengan menggunakan teori multikulturalisme.

Secara garis besar multikulturalisme ber-kaitan dengan keragaman budaya, adat is-tiadat, agama atau kepercayaan (religi), identitas, akulturasi, sejarah, relasi kuasa, toleransi, dan lain-lain. Secara etimologi, multikulturalisme berasal dari kata multi yang berarti plural, dan kultural yang berarti kultur atau budaya, sedangkan isme adalah paham atau aliran. Jadi se-cara sederhana multikulturalisme merupa-kan paham atau aliran tentang budaya yang plural (Marjani, 2009).

(3)

Gustiana Isya Marjani (2009) yang mengutip pendapat Rob Reich memberikan rumusan tentang multikulturalisme normatif se-bagai berikut:

Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterkaitan sese-orang dalam suatu negara bangsa. Artinya ter-dapat suatu ikatan moral dari anggota-ang-gotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini multikultural normatif merupakan suatu kritik sosial dalam membangun ke-inginan bersama dari suatu kelompok, mem-bangun suatu wadah di dalam pluralitas bu-daya yang ada dalam komunitas tersebut.

Berdasarkan pandangan tersebut, mul-tikulturalisme normatif menjadi bagian un-tuk meniti sinkretisme teks Tantu Pangg

-laran.

TP yang terdiri atas mitos-mitos tentang penciptaan, antara lain manusia pertama di Pulau Jawa, awal mula rumah sebagai tem-pat tinggal, pekerjaan sebagai mata penca-harian manusia, pakaian, perhiasan, hing-ga kesempurnaan hidup terjadi. Keseim-bangan dalam kehidupan manusia dan alam semesta merupakan hasil sinkretisme yang terjadi dari latar belakang budaya yang berpengaruh pada saat TP diciptakan. Hal itu sekaligus merupakan alam pikiran pengarangnya yang memunculkan berbagai identitas budaya (Jawa, Hindu/Siwa, Bud-dha).

Berdasarkan edisi teks yang telah diker-jakan oleh Th. Pigeaud (1924), naskah yang dipilih olehnya didasarkan pada kenyataan bahwa naskah itu merupakan satu-satunya di antara tujuh naskah yang memiliki kolo-fon dan berangka tahun. Kolokolo-fon tersebut dalam transliterasi Pigeaud berbunyi:

Iti sang hyang Tantu panglaran, kagaduhana de sang mataki-taki, kabuyutan ing sang Yawadipa, caturpakandan, caturpaksa, kabuyutan ring Nang-gaparwwata. Muwah tanpasasangkala, mulani-kang manusa Jawa, duk durung sang hyang Ma-hameru tka ring Jawa, sawusira tibeng Jawa: mang-kana nimitanya tanpasasangkala, reh yan ing pur-wwa. Tlaç [s]inurat sang hyang Tantu panglaran

ring karang kabhujangggan Kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi caci kaca, rah 7, tenggek 5, rsi pandawa buta tunggal: 1557 (Pigeaud, 1924: 128)

Kutipan tersebut memaparkan bahwa penulis/penyalin teks ini tinggal di suatu

karang kabhujanggan, yaitu suatu lokasi

khusus tempat tinggal para bhujangga (pe-nyandang tugas keagamaan), Kutritusan namanya. Dinyatakan pula bahwa kitab ini hendaknya menjadi milik mereka (para per-tapa) yang menjalani upaya (ritual ke-agamaan) dengan penuh perhatian ( mata-ki-taki) di tempat-tempat suci kuna ( kabu-yutan) di Jawa. Sedyawati (2001: 2) mene-gaskan bahwa dari hasil pembacaan ter-hadap seluruh teks TP sama sekali tidak mengacu atau menunjukkan pernyataan keterlibatan apapun dengan kalangan raja dan bangsawan.

Oleh karena itu, meskipun disebutkan beberapa nama raja dan daerah/wilayah-nya, namun gambaran tersebut merupakan pelengkap dalam proses penciptaan dan keseimbangan Pulau Jawa. Hal itu dapat dianggap bahwa TP dibuat di dan untuk kalangan keagamaan di luar lingkungan kehidupan kraton. Bahkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalamnya berkaitan dengan kehidupan para pertapa atau golongan rohaniwan.

(4)

tujuan penulisan TP dalam bentuk sinkre-tisme tersebut.

Multikulturalisme dalam Teks TP

Menilik perkembangan agama Buddha di Indonesia, Widyadharma (1999: 5-6) me-nyatakan bahwa:

pada tahun 672, I-tsing, seorang sarjana aga-ma Buddha dari Tiongkok, melakukan per-jalanan untuk berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Ketika perjalan-an pulperjalan-angnya, tahun 685, ia singgah di Sri-wijaya dan tinggal di sana hingga 10 tahun untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha. Pada saat itu Sriwijaya merupakan pusat ilmu dan kebudayaan dha, sehingga menjadi mercusuar agama Bud-dha di Asia Tenggara yang memancarkan ca-haya budaya manusia yang cemerlang. I-tsing pun banyak menceritakan tentang agama Buddha di Sriwijaya ini. Pada tahun 775-850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta ber-kuasalah raja-raja dari Wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Zaman ini adalah zaman keemasan bagi Mataram. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha sangat maju. Demiki-an juga keseniDemiki-annya, terutama seni pahat mencapai taraf yang sangat tinggi dengan adanya pembangunan candi-candi: Kalasan, Sewu, dan Borobudur, Pawon, Mendhut yang memiliki konsep makrokosmos sebagai dasar bangunan candi. Perkembangan sejarah se-lanjutnya, setelah raja Samaratungga wafat, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun agama Buddha dan Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai. Keadaannya masih terus demikian hingga di masa pemerintahan raja-raja Majapahit tahun 1292-1476. Toleransi keagamaan dijaga baik-baik, sehingga tidak ada pertentang agama.

Menurut Hariani Santiko (Kompas, 14 Januari 2009) Majapahit adalah kerajaan agro-maritim yang multikultural. Perda-gangan terjadi, baik lokal, antarpulau atau internasional yang melibatkan pedagang dari berbagai daerah. Hal ini menciptakan kon-disi multikultural di Majapahit yang menja-di situs pertemuan dan percampuran

ane-ka unsur budaya pendatang dan loane-kal. Kondisi multikultural ini terjalin dengan proses-proses politik di Majapahit, sejalan dengan proyek politik Nusantara Gajah-mada untuk memperluas dan menyatukan wilayah Majapahit, yang dicetuskan sebagai Sumpah Palapa di hadapan Ratu Tribhu-wanotunggadewi, ibu Raja Hayam Wuruk. Dinamika politik-budaya ini dipertahankan, khususnya oleh Raja Hayam Wuruk yang mempertahankan hegemoni Majapahit mes-ki harus bekerja sendiri selama 25 tahun.

Hayam Wuruk dan raja-raja Majapahit lainnya amat menghargai multiagama yang berkembang saat itu. Pengaruh agama yang masuk ke dalam suatu wilayah, dalam hal ini Jawa, berkaitan dengan pengaruh poli-tik dan kebudayaan yang menyertainya sekaligus. Akan tetapi dengan wafatnya Hayam Wuruk tahun 1389, kerajaan Maja-pahit memudar karena ada konflik internal, perebutan kekuasaan. Meski demikian, kon-disi multikultural tetap dipertahankan, khususnya dalam bidang agama. Oleh kare-na itu, pada masa Majapahit golongan aga-mawan memiliki kedudukan penting kare-na mereka turut berperan dalam susukare-nan pejabat tinggi kerajaan, yaitu sebagai pe-mimpin tertinggi dalam agama Siwa dan Buddha. Bahkan mereka juga menduduki jabatan sebagai hakim agung yang mem-bantu raja dalam memutuskan suatu ma-salah. Raja dan para pejabat negara tidak diperkenankan untuk campur tangan dalam hal keagamaan (Munandar, 1990: 139, 147). Dengan kata lain, kehidupan keagamaan menjadi perhatian khusus dalam masya-rakat Majapahit.

(5)

domi-nan dalam cerita TP. Disebutkan juga go-longan rakyat biasa dan empat nama raja. Golongan rakyat biasa terungkap dari jenis pekerjaan yang disebutkan, antara lain se-bagai penenun, petani, penjagal, penyadap nira, ahli bangunan, tukang batu, dan lain sebagainya (Pigeaud, 1924: 58, 60).

Penyebutan raja tidak diperlihatkan bentuk pemerintahannya, sebab pemerintah-an terpusat padadewaguru (kepala pertapa) atau pepimpin mandala, terutama di man-dala Kukub. Manman-dala tersebut memiliki ben-tuk pemerintahan dengan beberapa pejabat tinggi yang diduduki oleh para çisya (mu-rid-murid spiritual) (Pigeaud, 1924: 109). Meskipun tidak terdapat pemerintahan dalam bentuk kerajaan, raja turut mengem-bangkan kehidupan keagamaan di ling-kungannya. Hal itu memperlihatkan bahwa TP merepresentasikan kehidupan keagama-an ykeagama-ang cukup kuat, terutama dari golong-an penggolong-anut agama Hindu (Siwa) dgolong-an Bud-dha. Masuknya pengaruh Buddha dalam TP tersebut dimungkinkan karena masuknya Hinduisme (Siwaisme) dari India ke Indo-nesia, khususnya Jawa adalah yang telah mendapat pengaruh ajaran Buddha di In-dia.

Representasi tersebut terwujud dari awal teks TP dengan pemindahan Gunung Mahameru dariJambudwipa (India) ke Yawa-dipa (Pulau Jawa). Pemindahan itu me-mungkinkan terjadinya proses Indianisasi di Pulau Jawa. Mahameru yang dianggap se-bagai titik pusat alam semestsa di India di-pindahkan ke Pulau Jawa untuk digunakan sebagai poros pengokoh Pulau Jawa. Dwi-payana (Bali Post, 21 September 2007) me-nyatakan bahwa di Jawa telah terjadi pro-ses Indianisasi. Akan tetapi, Dwipayana sendiri menolak pandangannya ketika ia mengajukan tiga catatan penting dari pro-ses Indianisasi tersebut, yaitu:

pertama, mitos India lebih menjadi fenome-na Jawa. Kedua, Indianisasi tidak sepenuh-nya berhasil membangun secara totalitas per-adaban India karena Indianisasi harus ber-hadapan dengan fragmentasi paham ke-agamaan serta masih hidupnya sistem

keper-cayaan lokal sebelum Indianisasi berkem-bang. Oleh karena terjadi pola penerimaan dan pertukaran antara peradaban India dengan lokalitas. Ketiga, Indianisasi sangat terkait dengan bangun kekuasaan politik yang meno-pangnya. Dengan demikian Indianisasi tidak an sich fenomena kebudayaan melainkan juga fenomena politik.

Catatan tersebut justru mengungkapkan bahwa aspek kebudayaan maupun politik Indianisasi tidaklah berhasil, sebab paham keagamaan dan sistem kepercayaan lokal masih sangat lekat dan kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal itu didukung oleh realitas yang terjadi dalam masyarakat Jawa dan karya-karya sastra yang berkembang di Jawa bahwa proses Jawanisasi lebih menonjol dibandingkan dengan proses Indianisasi itu sendiri. Teru-tama dengan Gunung Mahameru dipindah-kan dari India, dewa-dewa yang berada di puncak gunung tersebut juga pindah ke Pulau Jawa. Dengan kata lain, proses Jawanisasi sudah terjadi sejak dewa-dewa India menjadi dewa-dewa Jawa (Poerbatjar-aka, 1952; Soepomo 1976; Santiko, 1986) disertai dengan perubahan nama gunung Mahameru seperti pada kutipan berikut:

Uduh kamu kita hyang dewata kabeh, rsigana, çuranggana, widyadara, gandarwwa, laku pareng Jambudipa, tanayangku kita kabeh, alihakna sang hyang Mahameru, parakna ring nusa Jawa, makatitindih paknanya marapwan apageh mari enggangenggung ikang nusa Jawa, lamun tka ngke sang hyang Mandaragiri. Laku, tanayangku ka-beh! (Pigeaud, 1924: 63)

Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nusa Jawa; yata pinupak sang hyang Mahâmeru, pina-lih mengetan. Tunggaknira hana kari kulwan; matangnyan hana argga Kelâça ngaranya mangke, tunggak sang hyang Mahâmeru ngûni kacaritan-ya. Pucaknira pinalih mengetan, . yata ring Pa-witra ngaranya mangke pucak sang hyang Mahâmeru kacaritanya ngûni. (Pigeaud, 1924: 65-66)

(6)

Jawa, agar Pulau Jawa berhenti bergerak berpindah-pindah. Ketika Mahameru sam-pai di Pulau Jawa, ditempatkan di ujung barat Pulau Jawa, ujung timurnya menjadi naik. Setengah bagian puncak Mahameru dipindah ke timur, kemudian bernama gu-nung Pawitra. Adapun pangkalnya tetap tinggal di ujung barat Pulau Jawa disebut Gunung Kelasa. Peristiwa itu menyiratkan bahwa budaya asing yang masuk ke Pulau Jawa perlu menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.

Menurut Lestari (1976) gunung Pawitra kini bernama gunung Penanggungan. Gu-nung tersebut berada di Jawa Timur, tepat-nya di Kabupaten Mojokerto. Dalam keper-cayaan masyarakat Jawa Gunung Panang-gungan merupakan salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos karena diyakini se-bagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam. Hingga kini gunung tersebut masih diang-gap keramat oleh masyarakat sekitarnya.

Pergantian nama gunung merepresen-tasikan transformasi budaya India ke Pulau Jawa dengan proses Jawanisasi. Proses terse-but juga terlihat pada saat gunung dipin-dahkan diadakan penyucian dengan bentuk kisah air wisya (bisa) Kalakuta yang meng-akibatkan kematian para dewa menjadi tat-wamrta çiwamba (air suci dasar hidup) un-tuk menghidupkan kembali para dewa (Pigeaud, 1924: 64-65). Kisah tersebut merepresentasikan penyelarasan semesta dari air yang berbisa menjadi air suci, sekali-gus penyucian para dewa merupakan gam-baran penyucian transformasi budaya yang dibawa serta. Hal itu merepresentasikan pula bahwa secara politik transformasi bu-daya tidak semena-mena dapat langsung mempengaruhi budaya lokal yang telah mengakar di Pulau Jawa, apalagi titik pusat alam semesta sudah berada di Pulau Jawa. Peristiwa itu menegaskan bahwa bukan proses Indianisasi yang terjadi, namun se-baliknya proses Jawanisasi terhadap budaya India, seperti kutipan peristiwa berikut:

. Kunang pwa tan apagìh sang hyang Mahâme-ru, sumanda ring gunung Brahmâ sira wkasan,

apan wyakti rubuh sang hyang Mahâmeru, yan tan sumandaha ring gunung Brahmâ, apan sira goweng sisih iswar. Nimitanira apag hana ring gunung Brahmâ, r p mapag h pangad g sang hy-ang Mandaragiri; yata mathy-angnya apag h tikhy-ang nusa Jawa mari molah maray gan, nisadapagìh. Yata matangnyan sang hyang Mahâmeru inaran-an gunung Nisada (Pigeaud, 1924: 66).

Mahameru dalam keadaan tidak kokoh karena bagian atasnya ceruk. Setelah disan-darkan ke gunung Brahma, gunung yang sudah ada di Pulau Jawa, Mahameru pun dapat berdiri tegak dan Pulau Jawa berhen-ti bergerak berpindah-pindah. Perisberhen-tiwa tersebut menyiratkan bahwa Jawa memiliki kekuatan asli yang tersimpan dan tidak kalah dengan kekuatan India. Bahkan Jawa, yang direpresentasikan oleh Gunung Brahma, dapat menyelesaikan persoalan ketika pe-ngaruh India, yang direpresentasikan oleh Gunung Mahameru, menghadapi suatu masalah. Hal itu dimungkinkan adanya poli-tik budaya Jawa untuk memberi penge-tahuan dan menyadarkan masyarakatnya bahwa sesungguhnya Jawa sendiri dengan keasliannya telah memiliki akar budaya yang kuat.

(7)

takjub akan kesaktian sang pendeta. Ia men-datanginya, kemudian disucikan dan disem-purnakan sebagai seorang wiku di tanah Jawa dengan berganti nama Sidayogi (Pigeaud, 1924: 85-87). Yogi adalah istilah yang dikenal untuk penyebutan untuk para pelaku/pelaksana yoga, pertapa laki-laki; sedangkan pelaku yoga perempuan disebut yogini (Zoetmulder, 2006: 1493).

Kisah tersebut merepresentasikan bah-wa pemindahan Mahameru ke tanah Jabah-wa secara tidak langsung disertai masuknya budaya India yang dibawa oleh sang brah-mana. Ia menyalahi tatanan masyarakat dan lingkungan setempat (Pulau Jawa), sehing-ga ia harus menyesuaikan diri densehing-gan bu-daya atau tatanan setempat. Kisah tersebut menggambarkan hubungan makrokosmos dan mikrokosmos serta akulturasi budaya dalam sebuah keseimbangan yang ditata demi keselarasan kehidupan. Gunung Ma-hameru sebagai titik pusat alam semesta dan tatanan lingkungan hidup yang diwakili oleh sungai yang mengalir dari daerah pe-gunungan merupakan makrokosmos.

Manusia yang berada di lingkungan itu berselaras dengan keadaan sekitar agar da-pat terus menjaga keseimbangan merupa-kan gambaran mikrokosmos. Hubungan tim-bal tim-balik di antara keduanya dapat mewu-judkan harmonisasi dalam kehidupan de-ngan proses akulturasi pada aspek budaya. Proses akulturasi yang terjadi dalam kisah ini adalah penyesuai budaya India terhadap budaya Jawa dalam konsep Siwaistis. Bha-tara Iswara sebagai pendeta penganut Siwa memberi kesempurnaan kepada sang brah-mana India menjadi wiku Jawa.

Kisah tersebut merepresentasikan bah-wa terdapat pengaruh agama yang terba-wa dan terbaur dalam kehidupan masya-rakatnya dan sekaligus membawa pengaruh politik yang terjadi dalam proses transfor-masi budaya. Agama Hindu yang ber-muatan Buddhisme disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma budaya Jawa asli yang telah mengakar kuat di Pulau Jawa. Pengaruh politik yang terjadi diwakili oleh sang brahmana yang disucikan dan

disem-akuan bahwa pendeta Jawa memiliki kele-bihan dibandingkan brahmana dari India. Dengan demikian TP memberikan gambar-an sebagai salah satu karya sastra ygambar-ang merepresentasi kehidupan multikulturalis-me normatif dengan masyarakat religius se-bagai ciri utamanya dalam wujud sinkretis-me. Berikut merupakan gambaran wujud sinkretisme.

Sinkretisme dalam teks TP

Multikulturalisme yang terdapat dalam teks TP memberi nuansa transformasi bu-daya yang secara politis merupakan proses Jawanisasi. Nama-nama tokoh dan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya merep-resentasikan identitas Jawa, Hindu (Siwa), dan Buddha. Ciri masing-masing dapat di-identifikasikan sebagai berikut:

Identitas Jawa selain penyebutan nama-nama gunung terdahulu, diwujudkan pula pada nama dewa-dewa, terutama nama-nama penjelmaan Bhatara Guru sesuai de-ngan peran yang dijalankan di tanah Jawa, antara lain sebagai berikut: pertama,

Batha-ra JagatpBatha-ramana, ketika ia sedang pramana

memperhatikan jagat dunia , yaitu mem-perhatikan dunia yang kacau dan ia ber-usaha hendak menatanya kembali.

Kedua, Bathara Jagatnata,ketika ia sedang

nata menata (mengatur) jagat dunia , an-tara lain yaitu Bhaan-tara Guru memerintah-kan golongan dewa agar membuat tempat tinggal di Yawadipantara (Pulau Jawa dan lain-lain).

Ketiga, Bathara Mahakarana, ketika ia

melanjutkan memerintahkan para dewa untuk mencipta berbagai jenis pekerjaan di Pulau Jawa (sebagai pandai besi, pandai emas, ahli bangunan, pelukis, guru) dengan perangkat, sarana dan prasarana yang di-gunakan atau dikenakan oleh manusia (alat pertukangan, membangun rumah, mem-buat perhiasan, lukisan, tenunan untuk pa-kaian) serta memerintahkan agar para dewa mencari pengokoh Pulau Jawa yang masih bergoyang.

Keempat, Bathara Nilakanta, ketika ia

(8)

matian para dewa, hingga membuat leher menjadi hitam akibat minum air yang bera-cun dan diubahnya air menjadi tatwamrta

çiwamba air suci dasar hidup dan

seterus-nya.

Kelima, Bhatara Parameswara, ketika ia melanjutkan membuat tempat-tempat suci/ mandala di pulau Jawa.

Paparan tersebut mengungkapkan bah-wa penyebutan nama-nama Bhatara Guru disesuaikan dengan gambaran peran yang diemban selama berada di tanah Jawa. Demikian pula, banyak mitos tentang dewa-dewi yang tidak pernah didengar di India dijumpai di Jawa, misalnya Hyang Kandyawan, Sang Mangukuhan, Sang San-dang Garba, Sang Katung Malaras, Sang Karung Kalah, Sang Wreti Kandayun, Bha-tari Smari, Sang Hyang Kt

ě

k-m

ě

l

ě

ng dan lain-lain. NamaSang Hyang Kamandalu ber-isi tatwâmrta çiwâmbha (Pigeaud, 1924: 66). Orang Majapahit dengan sadar mencipta-kan dewa-dewi baru, dan dalam karya sas-tra, khususnya TP secara implisit disebut perubahan terjadi karena dewa-dewa

Jam-bhudwipa telah menjadi dewa-dewa Jawa.

Peristiwa pemberian nama tersebut se-cara eksplisit dikisahkan pula pada ketiga anak batari Uma yang lahir dari hasil per-senggamaannya dengan Bhatara Guru yang menyamar menjadi anak gembala sapi beti-na hitam. Proses pemberian beti-nama dengan upacara pentahbisan dan penobatan peran mereka masing-masing seperti berikut:

, yata matangnya pinratisthanira tang raray wkasan:

. Kunang kita sang matuhâ, dak sangaskara kita, , tinhìr mpu Kumara-gimbal ngaranta, wiku rsyangar mban ta ngaranta mangke. .

Kunang kita raray panngah, dak sangaskara kita, , tinh r mpu Kumâra-siddhi ngarananta. , matangnya wiku çewa ngaranta ring rât. Warah-warah tang mânusa ring aksara wijjâna, kita jas-tapadasâri ning bhuwana. , tinh r mpu Bhu-jangga ngarananta. .

Kunang kita raray pamungçu, dak sangaskara kita mangke, mpu Kumara-raray ngaranta; ; wiku boddha ta ngaranta ring rât, pamindha kita ring bhatâra Buddha dlahâ. , tinh r ta çogata ngaranta ring rât . (Pigeaud, 1924: 79).

Pentahbisan dan penobatan ketiga anak tersebut merupakan anugerah Bhatari Uma kepada mereka untuk turut membantu menyempurnakan bumi dan manusia Jawa agar menyadari keluhuran budayanya. Anak pertama diberi nama mpu Kumara-gimbal dengan julukan resi Angr

ě

mban se-bagai biku atau orang suci yang siap men-jalankan tugasnya. Anak kedua diberi nama mpu Kumara-siddhi dengan julukan di bumi sebagai biku penganut Siwa yang diberi tu-gas mengajar manusia akan aksara wijjâ-na, sehingga mendapat gelar mpu Bhujang-ga jabatan keaBhujang-gamaan saiwa atau boddha (Zoetmulder, 2006: 139). Anak yang bung-su diberi nama mpu Kumara-raray dengan julukan di bumi sebagai pertapa boddha dan bergelar Sogata yang kelak akan menyeru-pai Bhatara Buddha.

Peristiwa tersebut merepresentasikan secara eksplisit bahwa TP bermuatan Bud-dhisme bersama masuknya pengaruh Hin-duisme yang bersifat Siwaistis ke Pulau Jawa. Apabila dilihat secara historis, ma-suknya budaya asing yang membawa serta agama atau kepercayaan tersebut, diikuti lahirnya dan berkembangnya suatu aliran, dapat dipastikan terjadi interaksi dengan kepercayaan lokal pada saat itu. Interaksi tersebut menyebabkan paham keagamaan/ kepercayaan yang terwujud tidak sepenuh-nya bertahan dalam bentuk aslisepenuh-nya, melain-kan mengalami proses silang budaya dengan kepercayaan lokal. Kepercayaan tersebut dalam TP disebutkan dengan çaiwa sogata

(penganut agama Siwa dan penganut aga-ma Buddha) sebagai bentuk sinkretisme yang nyata. Representasi tersebut akan di-sampaikan pada pembahasan identitas ma-sing-masing berikut ini.

Identitas Hindu (Siwaistis) sudah dapat dipastikan dengan sebutan nama Bhatara Guru itu sendiri yang merupakan penjel-maan Siwa. Bhatara Guru adalah nama lain Siwa yang sedang berperan sebagai guru atau pendidik (Siwa yang sedang memberi-kan pelajaran di dunia). Sementara itu, Siwa sendiri dikenal sebagai dewa agama Hindu yang sangat penting di India. Dalam tulisan

(9)

Teacher padaArs Orientalis dinyatakan bah-wa:

Siwa the teacher is Siwa Bhatara Guru (Lord Teacher), that is, Siwa when one thinks of him as teacher. realities, incidentally, that are inner, accessible through meditation practice, centered on one s own body. A manifestation of Siwa rule over each reality, and Bathara Guru is Siwa manifesting himself in the visible reality. . Thus Siwa is Bha-tara Guru as he is simultaneously Mahadewa, Sa-dasiwa, as he is also Sang Paramartha (The Highest). .

In my view, the category of Siwa the Teacher ought to comprise such images, mostly from Centra Java, especially Dieng . They represent Siwa seated in a meditative posture .(Royo, 2003: 188-189)

Peristiwa pada kutipan tersebut, juga terdapat pada awal cerita TP ketika Bhatara Guru hendak menyelamatkan Pulau Jawa yang masih bergoyang ke sana ke mari, se-belum ia memerintahkan Hyang Brahma dan Wisnu menciptakan manusia di Pulau Jawa (Pigeaud, 1924: 57). Hal itu meng-ungkapkan bahwa nama-nama tersebut se-bagai identifikasi dari peran yang sedang dilaksanakan oleh tokohnya (Bhatara Guru). Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa dalam lingkungan kepercayaan masyarakat pemilik cerita tersebut, budaya Jawa, penyebutan nama dianggap penting sebagai salah satu ciri perannya di dunia ini. Oleh karena itu, perubahan atau pergantian peristiwa ke peristiwa dalam cerita dapat diikuti dari identifikasi perbedaan atau pergantian penyebutan nama yang disebut-kan.

Identitas Buddha lebih pada konsep-konsep ajaran yang disampaikan penulis/ penyalin TP. Misalnya, seperti adanya

ajar-anpañcaçiksa/pancasilasebagai dasar tingkah

laku manusia yang hendak mencapai kesempurnaan hidupnya diberi aturan-atur-an agar senaturan-atur-antiasa bersih menjalaturan-atur-ankaturan-atur-an ke-hidupannya secara moral. Pancasila Buddha berisi: (1) saya berjanji untuk tidak melaku-kan pembunuhan; (2), saya berjanji untuk tidak melakukan pencurian; (3) saya berjanji untuk tidak melakukan perjinahan; (4) saya berjanji untuk tidak berbohong; (5) saya

ber-yang memabukkan, ber-yang melemahkan ke-sadaran saya (Majubuthi, 2000-2010, dalam

http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_

dw_77.shtml).

Setelah aturan-aturan itu secara intens dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, untuk meningkatkan kesempurnaannya le-bih lanjut diberi pula ajaran yang bersifat lebih mendalam dengan melaksanakan

daçaçila/dasasila Dasasila Buddha: (1) Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan; (2) aku bertekad untuk melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan; (3) aku bertekad un-tuk melatih diri menghindari perbuatan asusila; (4) aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar; (5) aku bertekad untuk melatih diri meng-hindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran; (6) aku bertekad untuk melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari; (7) aku bertekad untuk melatih diri menghindari untuk tidak menari, menyanyi, bermain musik serta pergi melihat tontonan-tonton-an; (8) aku bertekad untuk melatih diri menghindari pemakaian bunga-bungaan, wangi-wangian, dan alat kosmetik untuk tujuan menghias dan mempercantik diri; (9) aku bertekad untuk melatih diri meng-hindari penggunaan tempat tidur dan tem-pat duduk yang tinggi dan mewah; (10) Aku bertekad untuk melatih diri menghindari menerima emas dan perak (uang). (Indofo-rum Junior E, 2006 dalam http://www.

indoforum.org/showthread.php?t=28123), dan

pañcagati sangsara. Pancagati sangsara

ada-lah ajaran lima tingkat penjelmaan dalam rangka lingkaran lahir kembali : manusia disucikan menjadi wiku; wiku menjalankan tapa dan bersujud menjadi para dewa; para dewa akan menanjak menjadi golongan hyang; dan golongan hyang akan naik men-jadi sidaresi, dan akhirnya sidaresi dapat mencapai golongan batara. Dalam ajaran Buddhisme diharapkan manusia dapat men-capai pelepasan diri dari pancagati sangsara

(10)

Dikisahkan bahwa pencapaian kesem-purnaan manusia dilakukan dengan

pañca-gati sangsara sebagai pelepasan diri melalui

lima tingkat penjelmaan dalam rangka lingkaran lahir kembali, seperti kutipan berikut:

Mojar ta bhatâra Guru:

Kapan ta kang manusa limpada sakeng pañca-gati sangsara? Dawning makâryya mandala panglpasana pitarapâpa. Antuk aning manusa mangaskara hayun wikuha; matapa sumambaha dewata, dewata sum ngkaha wat k hyang, wat k hyang sum ngkâha siddârsi, siddârsi su-m ngkâha wat k bhatâra. Lena sakerikâ hana pwa wiku sasar tapabratanya; tmahanya tumitis ing rât, mandadi ratu cakrawarthi wiçesa ring bhuwa-na, wurungnya mandadi dewata. Matangnyan wuwurungan dewata prabhu cakrawarthi, apan tmahan ing wiku sasar tapabratanya hika. Ma-tangnyan ta kita, hyang Wisnu, pangaskârani kanyu! (Pigeaud, 1924: 83)

Dalam ajaran Hindu (Siwa), konsep tersebut dikenal dengan sebutan reinkarna-si sebagai kelahiran kembali sesuai dengan karma manusia, sedangkan dalam ajaran Buddha pelepasan diri manusia mencapai nirwana melalui dharma. Dalam setiap kenaikan tingkatan tapa itu, masing-masing harus melalui pensucian kembali hingga di akhir pencapaian menjadi Bhatara. Tingkat Bhatara dapat dicapai bagi seseorang yang telah melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi. Proses tersebut meru-pakan pelepasan diri dari kesengsaraan un-tuk mencapai kebahagiaan abadi. Dalam ajaran Buddha dikenal Samsara adalah ti-tik pencapaian satu kesatuan kesadaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu nirwana: awareness of this that consti-tutes both his enlightenment dan his moksa. Everything, to use a different terminology, is the product of the One Mind (bhutatathata), the microcosmos is the macrocosmos, Nirvana is Samsara, there is no duality (Johns, 1966: 40). Dengan demikian dapat diketahui bahwa konsep pañcagati sangsara itu merupakan ajaran yang berasal dari agama Buddha.

Di lain pihak, identitas Hindu (Siwa)-Buddha telah melebur dalam satu kesatuan

wujud yang direpresentasikan oleh Mpu Mahapalyat, seorang pendeta penganut Siwa (çaiwapaksa), kemudian membagi dua dirinya menjadiçaiwa sogata(penganut aga-ma Siwa-Buddha) ke dalam tokoh Mpu Bha-rang yang menganut agama Siwa dan Mpu Waluh-bang yang menganut agama Bud-dha. Selanjutnya kedua tokoh tersebut ber-pencar untuk mencari penganut masing-masing. Mpu Bharang menuju arah timur dan Mpu Waluh-bang menuju arah barat Pulau Jawa (Pigeaud, 1924: 109, 112). De-ngan kata lain, Mpu Mahapalyat merupa-kan tokoh yang merepresentasimerupa-kan satu ke-satuan Hindu (Siwa)-Buddha yang bertugas menyebarkan agama.

Berdasarkan bahasan tersebut, dapat dikatakan bahwa TP merepresentasikan ter-jadinya sinkretisme Hindu (Siwa)-Buddha secara damai dan mengadakan penyesuaian dengan budaya setempat, yaitu budaya Jawa. Peristiwa tersebut telah didahuli oleh tindakan para resi ketika mendirikan pusat-pusat pendidikan agama yang dikenal se-bagai mandala atau kadewaguruan. Bhatara Parameçwara (Bhatara Guru) sebagai pendi-ri tempat suci atau mandala pertama kali di Pulau Jawa, mengenakan pakaian lengkap disertai ikat/iket. Iket (dhestar) yaitu kain segi tiga yang dipakai untuk menutup kepala dengan ditata sedemikian rupa (Poerwadar-minta, 1939: 168).

Ia langsung menduduki takhta di daerah tersebut dan bertindak sebagai dewaguru

beruturt-turut di mandala Sarwasida, Sukawela, dan Sukayajna. Bagi orang Jawa, pakaian lengkap dan iket merupakan per-syaratan yang harus dikenakan ketika melaksanakan kegiatan atau aktivitas resmi, seperti ritual-ritual keagamaan, adat atau kenegaraan. Adapun tujuan mandala dibuat adalah sebagai tempat pembebasan leluhur yang telah mencapai kesempurnaan (pele-pasan diri/moksa) (Pigeaud, 1924: 81-82).

Pada masa setelah Hayam Wuruk

jum-lah kedewaguruan kian banyak dan menjadi

(11)

mandala pertama dibangun, mandala Sar-wasida hingga yang terakhir mandala Ha-hah. Mandala-mandala tersebut berada di sekitar Gunung Mahameru (Pawitra). Pem-bangunan selanjutnya adalah dari masing-masing para suci yang telah menerima we-wenang dari Bhatara Guru.

Di samping itu, TP memiliki rahasia air kehidupan, seperti telah disebutkan terdahu-lu, sebagai air suci dasar hidup yang meru-pakan sumber kehidupan golongan dewa dan seluruh makhluk, serta alam semesta.

Kahucapa ta sang wat k dewata kabeh, pada kengelan sira mamut r i sang hyang Mandaragiri, yata sira pada malapa way. Ana ta way mijil saking sang hyang Mahâmeru, wai wisya Kalakûta ngaranya; ; sangka ring helning dewata kabeh tinahapnira tang wai wisya Kâlakûta. Nhìr pjah ta sang dewata kabeh dening çakti nikang wai wisya Kâlakûta ngaranya. Mulat sira bhatâra Parameçwara:

I, pjah kita sang dewata kabeh; ah mapa nimitanya pjah kabeh arih? Ih, umisnikang gunung, pilih ininumnya, matangnyan pjah kabeh. Ah, uh, dak tahapnya.

Tinahapnira tang wai Kalakûta; mahir ng gulu bhatâra kadi twah rûpanya. Matangnyan bhatâra Guru mangaran bhatâra Nilâkanta, apan ahir ng kadi twah. Mojar ta bhatâra Guru:

Ih, mahâçakti dahat ngko arih; kasakitan aku denya.

R p din l ngnira tang wai wisya Kâlakûta, yata matmahan tatwâmrtha çiwâmba. Yata pinakaisi sang hyang Kamandalu, pinakapaniramnira ri sang dewata kabeh. Jag l s pwa sumiram sang hyang tatwâmrta çiwâmbha ri sang dewata kabeh; yata mahurip sira kabeh mwang caturlokaphala, widyadara, gandarwwa, pada sumambah ri bhatâra Guru sang dewata kabeh. . (Pigeaud, 1924: 64-65)

Air tersebut keluar dari Gunung Maha-meru pada saat proses dipindahkan ke Pu-lau Jawa. Wisya Kalakûta merupakan air bisa/racun dan memiliki kesaktian yang luar biasa, sehingga mengakibatkan kematian bagi yang meminumnya, golongan dewa maupun bhatara, seperti yang terjadi pada Bhatara Guru. Oleh karena itu, Bhatara Guru segera bertindak mengubah air tersebut

menjadi tatwâmrta çiwâmbha (air suci dasar hidup) yang dapat menghidupkan kembali para dewa, bahkan menjadi sumber kehidu-pan abadi seluruh alam semesta. Peristiwa tersebut merepresentasikan bahwa manusia yang telah mencapai tingkat dewa maupun bhatara sekalipun, senantiasa harus menja-ga kesadaran akan hadirnya penmenja-garuh dari luar dirinya. Jika dalam ketidaksadaran akan berakibat fatal bagi diri dan lingkungannya. Air sebagai sumber hidup dan kehidupan yang datangnya dari tempat asing perlu di-sucikan dan diselaraskan dengan daerah se-tempat.

Apabila dipandang dari aspek budaya dapat dikatakan sebagai sebuah peringatan bahwa segala pengaruh yang datangnya dari luar, dalam hal ini India, hendaknya diwaspadai dan diselaraskan terlebih dahu-lu dengan budaya lokal, Jawa. Dapat pula dikatakan bahwa kisah ini merepresentasi-kan tentang manusia Jawa dengan budaya dan sistem kepercayaan yang lebih tinggi tingkat kemurniannya dibandingkan daya yang mempengaruhinya. Sebab bu-daya yang masuk, agama atau sistem keper-cayaan beserta ajaran, senantiasa berusaha keras untuk menyesuaikan diri agar dapat bersatu dengan budaya Jawa. Dengan kata lain, perubahan sinkretik yang terdapat dalam karya sastra TP, tidak semata-mata terjadi begitu saja. Akan tetapi membutuh-kan penyesuaian dengan lokal genius dalam kehidupan multikultur di Pulau Jawa.

Di sisi lain, manusia Jawa sendiri me-miliki pedoman hidupnampa lan tampa (me-nerima dan dapat mengerti/paham) ter-hadap segala aspek kehidupan, sehingga dengan mudah bersikap toleran terhadap budaya asing yang masuk. Bahkan dapat menyatukan keragaman budaya yang mengalir dalam kehidupan tanpa sebuah persaingan dan pertentangan. Proses Jawanisasi juga terjadi secara halus, sehing-ga dapat densehing-gan cepat meresap dalam ke-hidupan masyarakat.

(12)

sinkretis-me dari budaya Jawa, Hindu (Siwa), dan Buddha. TP merupakan teks yang memberi-kan pengetahuan sinkretisme yang terwu-jud secara damai dalam kehidupan religiusi-tas masyarakat Jawa, sehingga identireligiusi-tas yang bersifat Jawa, Hindu (Siwa), dan Bud-dha dapat berpadu dalam satu kesatuan tin-dakan keseharian masyarakat Jawa, khusus-nya di daerah karang kapunjanggan, Kutri-tusan.

SIMPULAN

Representasi yang terungkap dari teks TP merupakan implementasi dari sinkretis-me Jawa, Hindu (Siwa) dan Buddha, dan ketiganya berada dalam hubungan yang mutualistik. Dalam sebagian besar isi cerita nampak yang dominan adalah Hinduisme/ Siwaisme. Akan tetapi secara tersirat kon-sep-konsep ajaran Buddha lebih menonjol dan Jawa dengan budaya aslinya dapat menyatukan kesejajaran multiagama dan multikultur tersebut dengan nilai-nilai dan norma-norma universal dalam kehidupan spiritual masyarakatnya.

Demikian pula, seperti halnya yang di-alami oleh agama-agama lain, Hinduisme/ Siwaisme mengalami tarik-menarik antara ide universalitas dan lokalitas, serta antara pendekatan purifikasi dan pendekatan bu-daya. Sejarah agama-agama besar penuh dengan cerita gerakan purifikasi yang men-jadi bagian yang tidak terpisahkan dari dialektika keagamaan dan relasi kuasa. Akan tetapi dengan terkuaknya sinkretisme yang terdapat dalam karya sastra TP dapat dikatakan bahwa keadaannya tidak demi-kian. Perwujudan tersebut sangat tampak pada saat Gunung Mahameru dipindahkan

dari Jambudwipa ke Yawadipa. Secara tidak

langsung, budaya, agama, dan politik ter-bawa dalam proses pemindahan itu dan dapat diterima dengan tangan terbuka oleh budaya Jawa.

Salah satu tujuan TP ditulis atau dicip-takan adalah untuk menyampaikan penge-tahuan tentang sebuah konsep ajaran, baik Jawa, Hindu (Siwa), Buddha yang dapat diterima dalam kehidupan budaya spiritual

masyarakat sebagai wujud tindakan manu-sia. Adapun wujud tindakan itu merupakan gambaran masyarakat yang terdapat dalam karya sastra TP dan mengacu pada masya-rakat Jawa Kuna zaman Majapahit akhir. Dengan demikian, sinkretisme yang terda-pat di dalam karya sastra TP bersifat positif dan tetap dapat diterima sebagai sesuatu yang berharga dari warisan budaya Indo-nesia, sehingga patut dipelajari lebih dalam untuk dipetik manfaatnya. Bahkan dapat pula sebagai sumbangan yang bermakna bagi perkembangan dinamika kebudayaan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dwipayana, A. A., 2007, Mitos In-dianisasi, Bali: Bali Post, 21 Septem-ber 2007.

Endraswara, S., 2006,Mistik Kejawen: Sinkre-tisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam

Budaya Spiritual Jawa, Cetakan

keem-pat, Yogyakarta: Penerbit Narasi. Johns, A.H., 1966, From Buddhism to

Is-lam: an Interpretation of the Javanese Literature of the Transition Author. Comperative Studies in Society and History. No. 1, Vol. 9, 40-50, Cam-bridge: Cambridge University Press. http://www.jstor.org/stable/177836 Lestari, N., 2005-2009, Swarloka di Gunung

Pananggungan, Malang: IMPALA

UNIBRAW dalam www.

i m p a l a u n i b r a w . o r . i d / a r t i k e l / 2 5

-lingkungan/14-swarloka di gunung

pananggungan.html-22k. 29 Mei 1976.

Marjani, G. I., 2009, Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana Multikul-turalisme di Indonesia, Makalah yang disajikan pada the 9th Annual Confer-ence on Islamic Studies di Surakarta. 2-5 November 2009.

(13)

Timur Abad 14-15. Tesis, Depok: Fakultas Pascasarjana UI.

Parekh, B., 2008,Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

Judul asli:Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory.,

Cetakan kelima. Diterjemahkan oleh C.B. Bambang Kukuh Adi. Yogyakar-ta: Kanisius.

Pigeaud, T. G. T., 1924, De Tantu Panggela-ran. Nederland: s Gravenhage, Boek en Steendrukkerif voorheen H L Smits.

Poerbatjaraka, R.M.Ng., 1952, Kapustakan

Djawi. Jakarta: Djambatan.

Royo, A. L. Y., 2003. Siva in Java: The Majes-tic Great God and the Teacher. Ars Ori-entalis, Vol. 33, 180-196. Michigan: Freer Gallery of Art. The Smithsonian

Institution and Departement of the History of Art, University of Michigan dalam http://www.jstor.org/stable/ 4434277

Santiko, H., 2009, Majapahit, Suram Si-narmu, Jakarta: Kompas. 14 Januari 2009.

Sedyawati, E., 2001, Tantu Panggelaran Dan Manikmaya: Bandingan Kos-mogoni, Seminar Jawa Kuno di FIB UI, Jakarta: UI.

Suyono, A., 1985, Kamus Antropologi. Jakar-ta: Akademika presindo.

Referensi

Dokumen terkait

Rerata tingkat implementasi tata kelola klinis di RSUD di Jawa Tengah 67%, rerata tingkat pemenuhan struktur tata kelola klinis 75% dan rerata tingkat pelaksanaan proses tata

Hal yang menarik dan perlu dijawab adalah bagaimana posisi “maido” yang sebenarnya dalam budaya Jawa sendiri, apakah bagian dari kearifan lokal yang bernuansa positif ataukah

Banyaknya wisatawan yang ingin menikmati suasana lingkungan yang indah dan mempelajari budaya masyarakat setempat mendorong untuk dikembangkan desawisata yang

Pada konteks budaya masyarakat Sulawesi Utara, istilah torang samua basudara yang berarti “kita semua bersaudara” ternyata bersifat universal, tidak saja pada

Hasil uji statistik dengan meng- gunakan chi-square diperoleh nilai p=0,000 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara supervisi dengan implementasi keselamatan pasien