• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAMUR MERANG

Secara sistematis jamur merang (Volvariella volvacea) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Mycetae

Sub Divisi : Basidiomycotina

Divisi : Amastigomycota

Kelas : Basidiomycetes

Sub Kelas : Holobasidiomycetidae II

Ordo : Agaricales

Famili : Volvarieaceae,

Genus : Volvariella

Species : volvaceae

(Alexopouslos dan Mims, 1979).

Berdasarkan stadia pertumbuhannya, jamur merang mengalami enam tahap pertumbuhan yaitu : jarum pentul (pinhead), kancing kecil (tiny button), kancing (button), telur (egg), pemanjangan (elongation) dan dewasa (mature) (Sinaga, 2000). Stadia kancing dan telur merupakan saat yang paling tepat untuk panen, karena stadia ini yang paling disukai konsumen (Julianti, 1997).

Jamur merang memiliki penampakan warna tudung yang beraneka macam. Menurut Karjono (1992), warna tudung jamur merang yaitu putih, abu-abu dan hitam. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan bibit (varietas) yang digunakan atau perbedaan penyinaran dan sirkulasi udara pada saat penanaman. Jamur merang berwarna putih menurut Julianti (1997), lebih disukai konsumen daripada jamur bertudung hitam. Jamur merang memiliki tekstur dan cita rasa yang khas, nilai gizi yang cukup lengkap karena jamur merang mengandung unsur karbohidrat, protein, lemak dan mineral (Karjono, 1992).

Perubahan fisiologis yang dapat terjadi apabila jamur merang tidak mengalami perlakuan khusus antara lain penurunan kadar air yang drastis serta penyusutan berat jamur merang. Menurut Cho et al. (1982), jamur merang memiliki kadar air yang tinggi dan air ini hilang dengan cepat melalui respirasi atau transpirasi.

Penyimpangan warna dan penyimpangan bau terjadi karena perubahan fisiologi dari jamur merang. Menurut Cho et al. (1982), perubahan warna ini karena adanya proses browning akibat enzim maupun bukan enzim. Penyimpangan bau disebabkan oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam lemak tak jenuh. Penyimpangan bau juga dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme penyebab kebusukan.

Hasil analisa nutrisi jamur merang segar dan jamur merang kering yang dilakukan di laboratorium Food and Nutrition Research Institute Philiphines dapat dilihat pada Tabel 1.

(2)

Tabel 1. Hasil analisa nutrisi jamur merang di laboratorium Food and Nutrition Research

Institute Philiphines

Nutrien per 100 gr jamur merang

Unit Kondisi segar Dikeringkan 105oC Air Energi Protein Lemak Total karbohidrat Serat Abu Kalsium Besi Thiamin Riboflavin Niacin Asam askorbat Fosfor % kal gr gr gr gr gr mg mg mg mg mg mg mg 87.7 39.0 3.8 0.6 6.0 1.2 1.0 3.0 1.7 0.11 0.17 8.3 8.0 94.0 14.9 274.0 16.0 0.9 64.6 4.0 3.6 51.0 6.7 0.09 1.06 19.7 - 223.0

Sumber : Li dan Chang (1982).

Menurut Li dan Chang (1982), jamur merang mempunyai kandungan asam amino yang cukup lengkap, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam amino jamur merang

Asam amino esensial gr / 100gr berat kering Asam amino non esensial gr / 100gr berat kering Isoleusin Leusin Lysin Methionin Fenilalanin Threonin Valin Tyrosin Tryptofan 1.0502 1.3916 2.1858 0.3383 0.7961 1.0603 1.6623 1.4898 0.4505 Alanin Arginin Asam Aspaktik Glutamin Glycin Histidin Prolin Serin 1.3202 1.3808 1.7746 3.0814 0.9569 1.1513 1.3237 1.0202

Sumber : Li dan Chang (1982).

B. METABOLISME

Selama proses penyimpanan jamur masih melakukan metabolisme. Metabolisme yang terjadi pada umumnya berupa respirasi dan transpirasi. Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan jamur sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme dan oleh karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi dan daya simpan jamur. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan pendek. Hal itu juga merupakan petunjuk laju penurunan mutu dan nilainya sebagai bahan

(3)

makanan. Selama aktivitas pernafasan, produk akan mengalami proses pematangan yang diikuti dengan cepat oleh proses pembusukan. Kecepatan pernafasan produk tergantung pada suhu penyimpanan dan ketersediaan oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan (Pantastico, 1986).

Jamur adalah komoditi yang masih hidup. Komoditi tersebut tetap bernafas, mengambil O2 dan menghasilkan CO2, uap air dan panas. CO2, uap air dan panas berasal dari

pembakaran karbohidrat (biasanya gula) atau substrat pernafasan lain seperti asam organik atau lemak. Ada beberapa konsekuensi penting dari respirasi yang harus dipertimbangkan ketika menangani jamur segar. Pertama, jaringan tubuh yang hidup harus mendapat cukup O2 untuk

memenuhi kebutuhan respirasinya. Jika tidak tersedia cukup O2, maka metabolisme anaerobik

akan menyebabkan kerusakan aroma, kerusakan bau, dan kerusakan jaringan. Apabila hal ini berlangsung lama maka jaringan tubuh akan mati. Kedua, respirasi menggunakan cadangan makanan seperti gula atau pati. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kemanisan dan perubahan tekstur yang tidak diinginkan. Ketika respirasi menghasilkan uap air yang apabila terakumulasi akan menyebabkan kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme perusak. Akhirnya, respirasi menghasilkan panas sebagai hasil samping. Adanya panas akan merusak usaha terbaik untuk mempertahankan suhu yang tepat selama distribusi (Farber et al., 1995). Klasifikasi komoditi sayuran berdasarkan laju respirasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi sayuran sesuai dengan intensitas respirasinya

Kelas Intensitas Respirasi pada 10oC

(mg CO2 kg-1 h-1)

Komoditi

Sangat rendah Di bawah 10 Bawang

Rendah 10 – 20 Kubis, ketimun, melon, tomat, turnip

Sedang 20 – 40 Wortel, seledri, ketimun, bawang perai, lada,

rhubarb

Tinggi 40 – 70 Asparagus (blanched), terung, fennel, selada,

lobak

Sangat tinggi 70 – 100 Been, brussel sprout, jamur, savoy cabbage,

bayam Sangat-sangat

tinggi

Di atas 100 Brokoli, kacang polong, jagung manis

Sumber : Robertson (1993)

Intensitas respirasi sering dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme dan sering dianggap sebagai daya simpan yang pendek. Bahan yang memiliki laju respirasi tinggi biasanya memiliki daya simpan yang pendek (Robertson, 1993).

Respirasi adalah proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein, lemak) menjadi bahan sederhana dan produk akhirnya berupa energi. Kehilangan cadangan selama respirasi berarti :

a) Penuaan dipercepat karena cadangan makanan yang diubah menjadi energi guna mempertahankan kehidupan telah habis.

b) Kehilangan nilai gizi makanan (nilai energi) untuk konsumen. c) Berkurangnya kualitas rasa, khususnya rasa manis.

(4)

d) Kehilangan berat kering ekonomis (Santoso dan Purwoko, 1995).

Setelah produk-produk tanaman itu dipetik, terdapat enzim-enzim yang melangsungkan perubahan sifat antara lain melangsungkan pembongkaran zat-zat makanan (unsur hara) dan peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan, misalnya pecahnya protein menjadi senyawa-senyawa yang sederhana yang akibatnya terasa dengan adanya rasa dan bau busuk, pecahnya rangkaian lemak yang berakibat terjadinya bau tengik, pada warna berakibat perubahan-perubahan warna (Kartasapoetra, 1994).

C. BLANSIR

Blansir merupakan suatu jenis perlakuan pendahuluan yang umum dilakukan terhadap sayuran dan buah-buahan setelah pembersihan dan pemotongan. Winarno dan Aman (1981), mengemukakan bahwa blansir merupakan pemanasan pendahuluan yang biasa dilakukan terhadap buah dan sayur untuk menginaktifkan enzim. Inaktifasi enzim diperlukan untuk mencegah reaksi pencoklatan enzimatis yang tidak diinginkan selama proses pengolahan. Blansir juga dapat menimbulkan perubahan fisik dan kimia. Perubahan fisik terutama disebabkan oleh perpindahan udara dalam sel memberikan pengaruh terhadap permeabilitas sel. Sedangkan perubahan kimia yang terjadi adalah perubahan senyawa-senyawa penyusun dinding sel yang menyebabkan pelunakan jaringan.

Inaktifasi enzim polifenoloksidase pada bahan makanan dengan pemanasan merupakan cara yang termudah dan paling sederhana. Pemanasan dilakukan terhadap sayuran dan buah-buahan sebelum pengolahan lebih lanjut. Pemanasan pada suhu dan lama perendaman tertentu ini dikenal dengan istilah blansir. Blansir dapat dilakukan dengan dua cara yaitu blansir menggunakan air panas (hot water blanching) dan uap panas (hot air blanching). Blansir menggunakan air panas dapat mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi karena bahan terendam dalam air sehingga mengurangi kontak dengan udara. Penggunaan air panas untuk blansir menurut Winarno dan Aman (1981), dapat dilakukan pada suhu 90-95oC

selama 3 menit.

Menurut Muljohardjo (1983), blansir memiliki beberapa tujuan antara lain :

1) Mematikan dan mengurangi jumlah mikroba serta membersihkan dan melarutkan zat-zat yang terdapat di atas permukaan bahan mentah

2) Menghilangkan zat-zat berlendir yang dapat menyebabkan timbulnya rasa yang tidak diinginkan

3) Menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi dan hidrolisa yang tidak diinginkan

4) Mengeluarkan gas-gas yang terkandung dalam bahan mentah untuk mencegah terjadinya oksidasi

5) Melunakkan bahan mentah sehingga mempermudah pemasukan ke dalam kemasan atau wadah

6) Memperbaiki sifat-sifat fisika yang meliputi tekstur, warna dan penampakan bahan mentah

(5)

D. BAHAN PENGAWET

Bahan pengawet adalah setiap bahan yang dapat menghambat, memperlambat, menutupi atau menahan proses fermentasi, pembusukan, pengasaman atau dekomposisi lainnya di dalam atau pada setiap bahan pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan bahan pengawet pada larutan perendam maupun blansir dimaksudkan untuk mencegah kerusakan sehingga dapat memperpanjang umur simpan jamur. Senyawa-senyawa yang banyak digunakan adalah senyawa sulfit, asam sitrat, natrium klorida dan kalsium klorida.

Bahan pengawet dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan jalan merusak membran sel, aktivitas enzim dan mekanisme genetiknya. Kegunaan lainnya adalah antioksidan untuk mencegah/menghalangi oksidasi lemak tidak jenuh, bahan penetral asam, stabiliser untuk mencegah perubahan fisik, peneguh dan sebagai bungkus untuk menghindari mikroorganisme, mencegah keluarnya air, menghindari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Reaksi kimia dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsentrasi dan jenis pengawet, jumlah dan sejarah mikroorganisme, suhu, waktu serta sifat fisik dan kimia substrat tempat mikroorganisme ditemukan (Gould dan Russel, 1991).

Fennema (1985) mengemukakan mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh senyawa sulfit. Molekul sulfit menembus dinding sel mikroorganisme, bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroorganisme dan mereduksi ikatan disulfida enzim. Selanjutnya terjadi reaksi adisi dengan keton membentuk senyawa hidroksi sulfonat yang dapat menghambat mekanisme respirasi.

Sulfur dioksida dan garamnya merupakan bahan pengawet yang dapat menghambat reaksi pencoklatan dan enzimatik. Penggunaan natrium metabisulfit dapat mencegah terjadinya reaksi Maillard karena senyawa tersebut bereaksi dengan gugus karbonil bebas sehingga gugus karbonil tersebut tidak dapat bereaksi dengan asam amino. Sulfit dapat berfungsi sebagai inhibitor enzim secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan cara mengikat logam Cu pada enzim. Secara tidak langsung yaitu dengan cara mereduksi bentuk quinon menjadi difenol. Sulaeman (1990) menyatakan bahwa konsentrasi SO2 sebesar 10 ppm

dapat menginaktifkan enzim seluruhnya.

Sulfit mempunyai banyak manfaat terutama dalam pengolahan bahan pangan. Penggunaan sulfit dapat mencegah reaksi pencoklatan, menghambat pertumbuhan mikroba, sebagai antioksidan, dan sebagai zat pemutih (bleaching agent). Keuntungan penggunaan sulfit adalah sulfit dapat dieliminasi dari bahan pangan karena menguap selama pendidihan atau pemanasan dalam persiapan bahan dan konsentrasi sulfit yang tersisa kurang dari 1 ppm. Dalam konsentrasi kecil, sulfit dapat mempertahankan aroma dari buah dan sayuran (Winarno, 1988). Keuntungan lain dari sulfit adalah sulfit dapat melindungi asam askorbat (vitamin C) dan senyawa betakaroten.

Desrosier (1988) menyatakan bahwa sulfit yang digunakan sebagai bahan pengawet umumnya dalam bentuk garam sulfit, yaitu natrium sulfit (Na2SO3), kalium sulfit (K2SO3),

natrium metabisulfit (Na2S2O5), natrium bisulfit (NaHSO3). Natrium metabisulfit (Na2S2O5)

merupakan serbuk putih yang berbentuk kristal dan mempunyai bau SO2, bersifat larut dalam

air dan sedikit larut dalam alkohol. Garam-garam sulfit tersebut selain dapat digunakan sebagai antioksidan dan antimikroorganisme, juga dapat digunakan untuk mencegah pencoklatan, dengan mengikat melanoidin yang menjadi penyebab timbulnya warna coklat.

(6)

Pengawetan dengan sulfit akan memberikan ketahanan warna dan menghambat pertumbuhan serangga, kapang dan khamir. Desrosier (1988) mengemukakan bahwa kapang dan khamir aerobik sensitif terhadap SO2 dan garamnya.

Menurut Apandi (1984) sulfur dioksida dan sulfit, biasanya natrium bisulfit dan natrium metabisulfit merupakan inhibitor fenolase yang cukup kuat. Enzim fenolase merupakan enzim yang mampu mengkonversi senyawa fenolik menjadi melanin yang berwarna coklat. Gas sulfur dioksida dan sulfit mempunyai sifat antiseptic dan mengawetkan vitamin C. Pemakaian sulfur dioksida dan sulfit yang berlebihan dapat menyebabkan bau dan citarasa yang kurang enak, efek memucatkan yang berlebihan, dan destruktif terhadap vitamin B.

Tabel 4. Fungsi Utama Sulfit Dalam Bahan Pangan

Peranan Manfaat

Antioksidan Mencegah perubahan organoleptik akibat oksidasi komponen makanan selama penyimpanan

Meminimalisasi kehilangan warna akibat oksidasi terhadap daging dan jaringan makanan

Mempertahankan vitamin C dan karoten selama penyimpanan Penghambatan

enzim

Mencegah pencoklatan enzimatis jaringan tanaman akibat aktivitas oksidasi polifenol

Penghambatan reaksi Maillard

Mencegah pencoklatan non enzimatis

Agen reduksi Memodifikasi aliran tepung melalui interaksi dengan golongan protein

Agen anti mikroorganisme

Menghambat pertumbuhan khamir dan kapang pada pH dan aw

rendah

Menghambat enterobakteri dan bakteri gram negatif pada pH dan aw

tinggi

Sumber : Gould dan Russel (1991)

Jumlah penggunaan sulfit untuk makanan berbeda-beda untuk masing-masing produk. Untuk sayuran segar berkisar antara 50 – 1000 ppm, sedangkan untuk makanan yang berbentuk sari atau bubur berkisar antara 50 – 500 ppm (Gould dan Russel, 1991).

Batas maksimal penggunaan garam sulfit yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan adalah 500 ppm, karena di atas konsentrasi tersebut, bau SO2 mulai dapat

terdeteksi. Jumlah aktual yang masuk ke dalam tubuh biasanya lebih kecil dari jumlah yang ditambahkan pada bahan karena sebagian dari senyawa tersebut menguap selama penyimpanan dan pemasakan. Senyawa sulfit dapat dieliminasi pada bahan pangan, menguap selama pemanasan dan dapat dimetabolisme dalam tubuh kemudian dikeluarkan sehingga tidak berbahaya (Winarno, 1988).

Pemberian senyawa sulfit biasanya dilakukan dengan penyemprotan atau perendaman selama atau sesudah blansir serta sebelum dehidrasi. Aplikasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan umur simpan bahan pangan, menjaga kestabilan warna dan rasa serta mempertahankan asam askorbat dan karoten (Desrosier, 1988).

(7)

Kerugian dari penggunaan senyawa sulfit yaitu pengurangan cita rasa dan timbulnya bau tidak enak pada konsentrasi tinggi. Senyawa sulfit dapat menyebabkan korosi (pengkaratan) pada logam sehingga sebaiknya bahan makanan yang mengandung sulfit tidak dikemas dalam kaleng tetapi dengan kemasan plastik atau gelas (Buckle et al., 1987).

E. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN

Secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan panas pernafasan dari produk, serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar (Hardeburg, 1975).

Tahapan penentu dalam produksi buah dan sayur terolah minimal adalah pengemasan. Metode pengemasan yang paling baik adalah modified atmosphere packaging (MAP). Prinsip dasar dalam MAP adalah udara termodifikasi yang dapat dibuat secara pasif dengan menggunakan bahan kemasan permeabel yang tepat atau secara aktif dengan menggunakan campuran gas khusus bersama dengan bahan kemasan permeabel. Tujuan dari keduanya adalah untuk menciptakan keseimbangan gas yang optimal di dalam kemasan, dimana aktivitas respirasi dari produk serendah mungkin dan memastikan bahwa tingkat konsentrasi oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) tidak merusak produk (Kader, 1989 dalam

Jongen, 2002). Menurut Robertson (1993), atmosfer termodifikasi yang disarankan untuk penyimpanan jamur adalah 10-14% CO2 dan 20.8-21% O2.

MAP pasif bergantung pada respirasi komoditi untuk menggunakan O2 dalam

kantong bersegel dan menggantinya dengan CO2, sebagai hasil samping dari respirasi aerobik.

Kantong tersebut membatasi perpindahan gas ke dalam atau keluar kemasan sesuai permeabilitas terhadap O2 dan CO2. Seiring waktu, sistem akan mencapai titik keseimbangan

atmosfer termodifikasi dengan udara normal O2 (20.9%) dan konsentrasi CO2 lebih tinggi dari

udara (0.03%) (Farber et al., 1995).

MAP mampu memperlambat penurunan kualitas dan memperpanjang umur simpan dari buah dan sayur melalui penekanan beberapa proses yang menghabiskan komponen jaringan atau mempercepat kematangan yang dibarengi kerusakan. MAP mampu memberi pengaruh yang berbeda pada jaringan tubuh sebagai pengaruh dari penurunan O2 dan kenaikan

CO2, penekan pengaruh hormon pemasakan etilen (C2H4) dan mengurangi kehilangan

kelembaban sesuai sifat penghalang dari plastik (Farber et al., 1995).

Kemasan produk adalah kemasan yang dinamik dimana dua proses utama, respirasi dan permeasi terjadi secara simultan. Terjadi pengambilan O2 dan pelepasan CO2, C2H4, H2O,

dan volatil lainnya dan pada saat yang sama batas permeasi khusus melewati film kemasan. Variabel yang mempengaruhi respirasi produk adalah berat komoditas, tingkat kematangan, permeabilitas membran, suhu, tekanan parsial O2 dan CO2, konsentrasi etilen, cahaya, dan

kemungkinan lain. Variabel yang mempengaruhi permeasi gas ke dalam dan ke luar kemasan adalah struktur film pengemas, ketebalan, luasan, suhu, konsentrasi O2 dan CO2 (Haard et al.,

1975).

Periode pendek penyetelan, steady state terjadi di seluruh sistem kemasan, dimana konsentrasi seimbang dari O2 dan CO2 berlaku. Dan laju respirasi sama dengan laju permeasi.

Perubahan variabel sistem pengemasan akan mempengaruhi konsentrasi seimbang atau waktu keseimbangan konsentrasi tercapai (Haard et al., 1975).

(8)

Pada usaha-usaha untuk menggunakan kemasan film untuk pengembangan udara termodifikasi yang menguntungkan melalui respirasi barang yang dikemas, dijumpai banyak persoalan. Suhu, kelembaban, dan waktu selama dalam kemasan mempengaruhi lingkungan dalam kemasan. Jenis dan jumlah atau berat barang merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan. Jenis dan tebalnya film, cara pembuatannya, dan cara penutupannya, semuanya mempengaruhi kandungan O2 dan CO2 di dalam kemasan. Selain dari itu, tiap buah atau

sayuran mempunyai toleransi yang agak berbeda terhadap O2 rendah atau kenaikan CO2. Bila

suatu komoditi yang mempunyai laju respirasi yang tinggi, maka atmosfer di dalamnya berubah dengan cepat (Pantastico, 1986).

Gas dan transmisi uap air melalui perforasi sebanding dengan keefektifan diameter lubang, jumlah lubang perluasan film, dan keseragaman distribusi lubang diseluruh permukaan kemasan. Untuk memungkinkan perbandingan dari formulasi perforasi yang berbeda, indeks kuantitatif tunggal (koefisien perforasi Pc) digunakan.

Pc = d q k

Keterangan q : persentase perforasi dari seluruh luasan film d : diameter lubang perforasi (mm)

k : jumlah perforasi per m2

q = π k 10-4 (%)

Pc = π d3 k2 10-4 (mm lubang m-2) (Robertson, 1993).

Penyimpanan jamur pada suhu chilling merupakan penyimpanan yang efektif dengan memperlambat (1) pertumbuhan mikroorganisme, (2) aktivitas metabolik pasca panen dari jaringan jamur, (3) reaksi kimia termasuk pencoklatan oksidasi lemak dan perubahan kimia yang ditandai dengan degradasi warna, autolisis jaringan dan kehilangan nutrisi, (4) kehilangan kadar air (Cho et al., 1982).

2

1

2

d

1 4

Gambar

Tabel 1. Hasil analisa nutrisi jamur merang di laboratorium Food and Nutrition Research  Institute Philiphines
Tabel 3. Klasifikasi sayuran sesuai dengan intensitas respirasinya
Tabel 4. Fungsi Utama Sulfit Dalam Bahan Pangan

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak daun jambu biji diharapkan dapat efektif sebagai inhibitor pada sampel logam besi, tembaga, dan alumunium dalam medium larutan garam karena mengandung senyawa yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari apakah produk makanan yang dikemas dengan menggunakan kemasan kaleng dapat terkontaminasi oleh bahan kemasan

Nilai potensial korosi logam yang telah dilapisi pada umumnya pada angka -320 mV, tetapi pada waktu pelapisan 30 menit diperoleh nilai potensial korosi yang paling

Limbah cair laboratorium umumnya mengandung unsur logam-logam berat berbahaya seperti Pb, Cd, Hg, As dan logam - logam lainnya serta senyawa kimia yang berbahaya (NO 2 , NH 3

Konsumsi makanan yang berlebihan terutama mengandung karbohidrat dan lemak akan menyebabkan jumlah yang masuk kedalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan energi, begitu

Proteksi katodik digunakan untuk mengendalikan korosi dari logam ataupun paduan yang terpapar dalam lingkungan elektrolit, dengan cara menurunkan potensial reduksi dari

Nilai potensial korosi logam yang telah dilapisi pada umumnya pada angka -320 mV, tetapi pada waktu pelapisan 30 menit diperoleh nilai potensial korosi yang paling

Hal ini menyebabkan total mikroba pada tahu yang dikemas dalam kemasan rigid kedap udara (air sealed) lebih sedikit daripada tahu yang disimpan dalam kemasan polipropilen rigid