• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO

YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

(Carcass Characteristics and Meat Quality of Ongole Crossbreed Cattle Given Feeds

Containing Probiotic)

ABUBAKAR1), BUDI HARYANTO1), KUSWANDI1) danTRI BUDHI MURDIATI2) 1)Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16001

2)Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRACT

Research on probiotic containing rice bran supplementation to Ongole Crossed cattle was done using individual pens. Fifteen male Ongole Crossed cattle aging approximately 2 years, were randomly divided into three dietary treatment groupes, ie: rice bran+rice straw, rice bran+rice straw + probiotic, and rice bran + probiotic+napier grass, which was replicated 3 times each. Growth study was done for 2 months and then the animals were slaughtered to examine carcass characteristics, and the quality of the carcass portions: Longissimus dorsi (LD) and Bicep femoris (BF), including organoleptic (preference) tests (color, flavor, tenderness, smell, and appearance) using a hedonic scale technique; and meat quality including protein, fat contents, pH, cooking loss and water holding capacity. Data were analyzed based on a Completely Randomized Design for carcass characteristics and meat quality, and Kruskal Wallis analysis for organoleptic test. The results showed that probiotic did not affect carcass characteristics and quality and respondent preference to meat. In general, people preferred color and tenderness of BF to LD. LD was softer than BF. There was very strong interaction between treatments and type of meat on color, and strong interaction on tenderness and appearance, but not on smell and meat flavor.

Key words: Probiotic, carcass characteristic, meat quality ABSTRAK

Penelitian penambahan bahan pakan yang mengandung probiotik telah dilakukan terhadap sapi PO dikandang percobaan. Sapi PO yang digunakan sebanyak 15 ekor dengan umur sekitar 2 tahun, yang secara acak dikelompokkan menjadi 3 dan masing-masing kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut: perlakuan I: pakan, dedak+jerami, perlakuan II: dedak+probiotik+jerami dan perlakuan III: dedak+probiotik+rumput gajah, selama pemeliharaan sekitar dua bulan. Masing-masing perlakuan diulang lima kali. Pada akhir penelitian, sapi dipotong untuk dievaluasi terhadap parameter karakteristik karkas dan kualitas pada bagian karkas: otot Longissimus dorsi (LD) dan Bicep femoris (BF) yang dihasilkan, uji organoleptik untuk menentukan tingkat kesukaan terhadap daging sapi (LD dan BF) yang meliputi: warna, aroma, keempukan, rasa dan penampakan, dimana pengujiannya menggunakan skala hedonik, sedangkan parameter kualitas daging yang diukur berupa: kadar protein, lemak, pH, susut masak, dan daya ikat air. Analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (untuk karakteristik karkas dan kualitas daging) sedangkan data organoleptik menggunakan metode analisis Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan pakan yang mengandung probiotik tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter karakteristik karkas, kualitas daging dan organoleptik tes. Warna daging BF lebih disukai dibandingkan dengan LD, penampakan daging BF lebih disukai dibandingkan LD, daging LD lebih empuk dibandingkan dengan BF. Antara perlakuan pakan dan macam daging terdapat interaksi sangat nyata terhadap warna, berpengaruh nyata terhadap keempukan dan penampakan serta tidak nyata interaksinya terhadap aroma dan rasa daging.

(2)

PENDAHULUAN

Probiotik merupakan produk campuran antara berbagai mikroorganisme rumen serta mikroorganisme lain yang dapat mendegradasikan serat maupun protein dan lipid. Dilaporkan bahwa pemanfaatan probiotik dalam pakan dapat meningkatkan nilai kecernaan komponen serat pakan serta meningkatkan pertambahan berat badan pada domba (HARYANTO et al., 1994)

Disamping itu penggunaan probiotik didalam pakan diharapkan akan meningkatkan derajat fermentasi serat sehingga dapat memberikan sumber energi tersedia yang lebih tinggi. Penggunaan probiotik pada ternak sapi diharapkan dapat meningkatkan respon ternak terhadap pertambahan berat badannya. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging berupa, genetic, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan termasuk aditif. Pakan kemungkinan besar merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas dan daging terutama proporsi kadar lemak. Konsentrasi energi dan ratio energi terhadap protein pakan, bahan aditif serta proporsi kandungan gizi pakan dapat mengubah komposisi karkas. Respon ternak sapi terhadap manipulasi nutrisi yang diberikan, juga ikut menentukan hasil akhir komposisi karkas dan daging. Sementara itu faktor setelah pemotongan berupa: metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. Pengaruh pengempukan dari pelayuan daging merupakan fungsi dari waktu dan temperatur (LAWRIE, 1979). Pada umumnya

pelayuan pada temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat dari pada temperatur yang lebih rendah (SOEPARNO, 1994).

Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kesan juiciness. Disamping itu lemak intramuskuler, susut masak, daya ikat air (WHC), pH daging ikut menentukan kualitas daging (PEARSON, 1971). Faktor yang paling menentukan warna daging adalah konsentrasi pigmen daging berupa mioglobin. Konsentrasi mioglobin berbeda antar umur, spesies, dan bangsa hewan serta lokasi otot daging. Pada umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Keempukan dan tekstur daging dipengaruhi oleh umur, aktivitas ternak, tipe ternak dan lokasi otot ternak. Keempukan dan tekstur daging merupakan faktor terpenting dalam kualitas daging, dimana keempukan dan tekstur ini dipengaruhi oleh faktor antemortem: genetic, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stress serta faktor postmortem: refrigerasi, pelayuan, lama dan temperatur penyimpanan, serta metode pemasakan (SWATLAND, 1984). Cita rasa banyak

dipengaruhi oleh kandungan lemak, cara memasak daging serta umur ternak. WHC banyak dipengaruhi oleh pH daging, biasanya WHC menurun pada pH tinggi sekitar 7-10. pH daging berhubungan erat dengan WHC, kesan juice daging, susut masak, keempukan serta warna (PRICE

dan SCHWEIGERT, 1979). Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penambahan pakan

mengandung probiotik terhadap karakteristik karkas, preferensi dan kualitas daging sapi PO. MATERI DAN METODE

Sapi PO yang digunakan sebanyak 15 ekor dengan umur sekitar 2 tahun, yang secara acak dikelompokkan menjadi 3 dan masing-masing kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut: perlakuan I: pakan, dedak+jerami, perlakuan II: dedak+probiotik+jerami dan perlakuan III: dedak+probiotik+rumput gajah, selama pemeliharaan sekitar dua bulan. Masing- masing perlakuan diulang lima kali. Pada akhir penelitian, sapi dipotong untuk dievaluasi terhadap parameter karakteristik karkas (bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, panjang karkas, dalam dada

(3)

karkas, tebal lemak punggung, lemak pelvis, lemak abdomen, lemak mesenterium, bobot hati dan bobott ginjal), dan kualitas pada bagian karkas: otot Longissimus dorsi (LD) dan Bicep femoris (BF) yang dihasilkan, uji organoleptik untuk menentukan tingkat kesukaan terhadap daging sapi (LD dan BF) yang meliputi: warna, aroma, keempukan, rasa dan penampakan, dimana pengujiannya menggunakan skala hedonik, sedangkan parameter kualitas daging yang diukur berupa: kadar protein, lemak, pH, susut masak, dan daya ikat air. Analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (untuk karakteristik karkas dan kualitas daging) sedangkan data organoleptik menggunakan metode analisis Kruskal Wallis. (STEEL dan TORRIE, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik karkas

Hasil pengukuran karakteristik karkas sapi PO setelah pemotongan ternak dilakukan, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Karakteristik karkas sapi PO berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan

Perlakuan Parameter I II III Rataan Bobot potong, kg Bobot karkas, kg Persentase karkas, % Panjang karkas, cm Dalam dada karkas, cm Tebal lemak punggung, mm Lemak pelvis, g Lemak abdomen, g Lemak mesenterium, g Bobot hati, g Bobot ginjal, g 252,00 111,50 44,41 137,88 58,38 8,63 272,50 560,00 362,50 3060 507,50 255,80 116,00 45,33 131,70 64,00 8,50 246,00 1526,0 348,00 2992 534,00 263.50 123.75 47.00 133.13 65.75 7.75 285.00 700.00 315.00 3645 565.00 257.10 117.08 45.58 134.24 62.71 8.29 267.83 928.66 341.83 3232.33 535.50

Keterangan: Perlakuan I = dedak + jerami,

Perlakuan II = dedak + probiotik + jerami Perlakuan III = dedak + probiotik + rumput gajah

Pada Tabel 1, terlihat bahwa bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, dalam dada karkas, lemak pelvis, lemak abdomen, bobot hati dan bobot ginjal, yang tertinggi dicapai oleh perlakuan III, yaitu perlakuan pemberian dedak+probiotik dan rumput gajah, tetapi secara statistik ketiga perlakuan pemberian pakan tersebut tidak berbeda nyata terhadap semua parameter karakteristik karkas. HARYANTO (2000), melaporkan bahwa penambahan protein by-pass rumen dan

probiotik menyebabkan peningkatan bobot lemak abdomen domba, sedangkan panjang karkas, tebal lemak punggung dan luas areal ribeye pada Langissimus dorsi pada domba tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan yang diberikan. YOON dan STERN (1995) menyatakan bahwa karakteristik karkas tidak dipengaruhi oleh pemberian probiotik dari kultur Aspergillus

(4)

Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan oleh 20 orang panelis terhadap daging bagian Longissimus dorsi dan Bicep femoris dari sapi PO dengan menggunakan skor penilaian antara satu (tidak suka sekali) sampai skor 5 (suka sekali).

Hasil rataan skor uji organoleptik daging sapi PO seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan skor uji organoleptik daging sapi PO

Parameter Perlakuan Organoleptik I II III Warna L D 3,21±0,19 2,86±0,31 2,79±0,42 B F 3,42±0,10 3,25±0,55 3,58±0,23 Aroma L D 3,37±0,05 3,12±0,31 3,04±0,23 B F 3,14±0,24 3,10±0,36 3,33±0,26 Keempukan L D 3,10±0,28 3,44±0,51 2,93±0,24 B F 2,74±0,26 2,81±0,41 3,03±0,19 Rasa L D 3,15±0,17 3,09±0,28 2,92±0,23 B F 3,14±0,25 2,98±0,26 3,24±0,19 Penampakan L D 3,21±0,22 3,14±0,04 3,00±0,26 B F 3,32±0,22 3,14±0,04 3,30±0,26

Keterangan: Perlakuan I = dedak + jerami,

Perlakuan II = dedak + probiotik + jerami Perlakuan III = dedak + probiotik + rumput gajah LD= Longissimus dorsi

BF= Bicep Femoris

Rataan skor organoleptik yang didapat dari panelis antara 2 sampai 4, yaitu antara tidak suka sampai suka. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter organoleptik (warna, aroma, keempukan, rasa dan penampakan) daging sapi, tetapi macam daging/otot berpengaruh sangat nyata terhadap warna daging dan penampakannya, dimana warna daging BF lebih disukai dibandingkan dengan LD, penampakan daging BF lebih disukai dibandingkan dengan LD, macam daging berpengaruh nyata terhadap keempukan dan tidak berpengaruh nyata terhadap aroma dan rasa, daging LD lebih empuk dibandingkan BF. Antara perlakuan pakan dan macam daging terdapat interaksi sangat nyata terhadap warna, berpengaruh nyata terhadap keempukan dan penampakan serta tidak nyata interaksinya terhadap aroma dan rasa. Perlakuan III dengan daging BF lebih disukai panelis dibandingkan perlakuan lain. Kualitas daging yang dimakan sangat ditentukan oleh warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kesan juiciness.

(5)

Disamping itu lemak intramuskuler, susut masak, daya ikat air (WHC), pH daging ikut menentukan kualitas daging. Faktor yang paling menentukan warna daging adalah konsentrasi pigmen daging berupa mioglobin. Konsentrasi mioglobin berbeda antar umur, spesies, dan bangsa hewan serta lokasi otot daging. Pada umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Keempukan dan tekstur daging dipengaruhi oleh umur, aktivitas ternak, tipe ternak dan lokasi otot ternak (SWATLAND, 1984).

pH, susut masak dan WHC

Rataan pH, susut masak dan WHC daging sapi PO seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan pH, susut masak dan WHC daging sapi PO

Perlakuan Parameter I II III P H L D 5,831±0,322 6,102±0,360 5,982±0,177 B F 6,051±0,136 6,156±0,256 5,990±0,157 Susut masak L D 29,688±2,679 27,545±4,773 27,509±3,253 B F 31,818±3,564 27,904±3,444 32,228±2,955 W H C L D 19,832±6,019 29,201±9,135 28,943±3,987 B F 27,427±8,126 31,882±9,140 26,762±7,530

Keterangan: Perlakuan I = dedak + jerami,

Perlakuan II = dedak + probiotik + jerami Perlakuan III = dedak + probiotik + rumput gajah LD= Longissimus dorsi

BF= Bicep Femoris

pH daging yang normal antara 5,4–5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian obat-obatan, macam daging, stimulasi listrik dan aktivitas enzim dapat mempengaruhi variasi nilai pH daging. pH daging selama penelitian berkisar antara 5,831±0,322 sampai 6,156±0,256 Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan, macam daging dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap pH daging. Nilai pH daging tersebut diatas berada diatas pH isoelektrik protein daging. Hal ini disebabkan karena pH daging pada fase pre-rigor masih cukup tinggi untuk berlangsungnya aktivitas enzim-enzim glikolitik. Dengan kata lain masih terdapat cadangan glikogen yang belum diubah menjadi asam laktat.

Selama proses pemasakan, daging akan mengalami penyusutan berat atau biasa disebut susut masak atau cooking losses. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi suhu pemasakan dan makin lama waktu pemanasan, makin tinggi kadar air yang hilang. SOEPARNO (1994) mengatakan bahwa susut masak merupakan indikator terhadap nilai

nutrisi daging dan berhubungan dengan banyaknya jumlah air terikat didalam sel diantara serabut otot. Daging yang mempunyai nilai susut masak lebih rendah akan mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daging yang mempunyai nilai susut masak lebih tinggi. Daging dengan susut masak tinggi, maka kehilangan nutrisinya juga semakin banyak.

(6)

Susut masak dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, berat sample daging dan penampang lintang daging (FORREST, et al.1975). Susut masak daging sapi PO hasil penelitian berkisar antara 27,509±3,253 sampai 32,228 ± 2,955. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan, macam daging dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap susut masak daging sapi. Keadaan ini diduga karena lemak daging yang terbentuk tidak berbeda nyata. Otot yang mempunyai lemak intramuskuler tinggi akan mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi pula sehingga pada waktu dimasak kadar air yang hilang sedikit. Selanjutnya SAFFEL

dan BRATZLER (1959) dalam SOEPARNO (1994) menyatakan bahwa lemak intramuskuler

menghambat atau mengurangi cairan daging yang hilang selama pemasakan meskipun pada daging yang mengandung lemak intramuskuler lebih banyak akan kehilangan lemak lebih banyak pula.

Daya ikat air (WHC) oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya potongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. WHC dipengaruhi oleh pH, dimana WHC menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pH daging antara 5,0-5,1. Daya ikat air daging sapi hasil penelitian berkisar antara 19,832±6,019 sampai 31,882±9,140. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan, macam daging dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap daya ikat air daging sapi. WHC disamping dipengaruhi oleh lemak intramuskuler, juga dipengaruhi oleh pH daging. Menurut SOEPARNO (1994), WHC menurun dari pH tinggi sampai pada pH titik isoelektrik

protein daging. Pada pH isoelektrik ini jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif. PH diatas titik isoelektrik, menyebabkan dibebaskannya sejumlah muatan positif dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian juga untuk pH yang lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging, terdapat surplus muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan membari banyak ruang untuk molekul air. Jadi pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging, WHC akan meningkat.

Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan menahan air yang tinggi, secara umum daging tersebut mempunyai kualitas yang baik. Daging dengan WHC yang tinggi akan lebih juiciness dan lebih empuk (BOUTON et al., 1976).

Kadar air, protein dan lemak

Secara umum daging terdiri dari protein 18%, lemak 3,5%, air 75% dan karbohidrat berupa glikogen dalam jumlah sedikit. Rataan kadar air, protein dan lemak daging sapi PO hasil penelitian seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Dari tabel 4, terlihat bahwa kadar air daging sapi berkisar antara 75,545±1,188 sampai 78,248±0,489%. Kadar protein daging sapi antara 16,724±0,639 sampai 18,432±0,445% dan kadar lemak daging sapi antara 2,145±0,384 sampai 2,674±1,097%. Kadar air terendah terdapat pada daging BF dengan perlakuan tiga, sedangkan kadar air tertinggi pada daging BF dengan perlakuan I.

Tetapi hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan dan macam daging tidak ada perbedaan yang nyata terhadap kadar air daging, demikian juga tidak ada interaksi antara perlakuan pakan dan macam daging terhadap kadar air daging. Kadar protein tertinggi adalah pada daging LD dengan perlakuan tiga, dan terendah pada daging BF dengan perlakuan dua, tetapi hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan dan macam daging tidak ada perbedaan yang nyata terhadap kadar protein daging, demikian juga interaksi keduanya tidak nyata. Kadar lemak tertinggi adalah daging BF dengan perlakuan tiga, dan terendah adalah daging LD dengan perlakuan dua. Hasil analisis statistik terhadap kadar lemak daging, menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata

(7)

perlakuan pakan dan macam daging terhadap kadar lemak daging, demikian juga interaksinya tidak nyata. Menurut BUCKLE et al., (1992) komposisi daging sapi sangat beragam, karena perbedaan jenis kelamin, keturunan, umur, pengaturan gizi / pakan, dan tempat daging tersebut dalam tubuh ternak

Tabel 4. Rataan kadar air, protein dan lemak daging sapi PO, %

Perlakuan Parameter I II III Kadar air L D 77,690±0,587 77,442±1,010 76,600±0,300 B F 78,248±0,489 78,224±0,224 75,545±1,188 Kadar protein L D 17,459±1,633 17,151±1,578 18,432±0,445 B.F 17,465±0,703 16,724±0,639 17,730±0,608 Kadar lemak L D 2,644±1,416 2,145±0,384 2,430±0,458 B F 2,254±0,923 2,398±0,443 2,674±1,097

Keterangan: Perlakuan I = dedak + jerami

Perlakuan II = dedak + probiotik + jerami Perlakuan III = dedak + probiotik + rumput gajah LD= Longissimus dorsi

BF= Bicep Femoris

KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: perlakuan pakan yang mengandung probiotik tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter karakteristik karkas, organoleptik, dan kualitas daging. Warna daging BF lebih disukai dibandingkan dengan LD, penampakan daging BF lebih disukai dibandingkan LD, daging LD lebih empuk dibandingkan BF. Antara perlakuan pakan dan macam daging terdapat interaksi sangat nyata terhadap warna, berpengaruh nyata terhadap keempukan dan penampakan serta tidak nyata interaksinya terhadap aroma dan rasa.

DAFTAR PUSTAKA

BOUTON, P.E. P.V. HARRIS and W.R. SHORTOSE. 1976. Factors Influencing Cooking Losses from Meat. J. Food Sci. 41:1082.

BUCKLE. K.A., R., A. EDWARDS, G.H. FLEET, danMWOOTON. 1992. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Prees, Jakarta.

FORREST, J.C., E. D. ABERLE, A.B. HENDRICK., M. D. JUDGE and R. A. MERKEL. 1975. Principles of Meat Science. WH.Freeman and Co Sanfransisco.

HARYANTO, B., K.DIWYANTO, ISBANDI and SUHARTO. 1994. Effect of probiotic supplement on the growth and carcass yield of sheep. Proc.7th AAAP Animal Science Congress. Denpasar. Bali Indonesia.

(8)

HARYANTO, B. 2000. Penggunaan probiotik dalam pakan untuk meningkatkan kualitas karkas dan daging domba. J. Ilmu Ternak dan Veteriner . Vol 5 (4): 224-228.

LAWRIE, 1979. Meat Science, 2 rd, Ed. Perguson Press. Ltd Oxford.

PEARSON, A.M. 1971. The Science of Meat and Meat Product. WH.Freeman and Co. San Fransisco.

PRICE.J.F. and SCHWEIGERT. 1979. The Science of Meat and Meat Product. Second Edition WH. Freeman and Co. San Fransisco.

SOEPARNO, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

STEEL, R.G.D and J. H. TORRIE, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Terjemahan). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

SWATLAND, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animal. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.

YOON, I.K. and M.D. STERN. 1995. Influence of direct-fed microbials on animal microbial fermentation and performance of ruminants: A review. AJAS 8: 533-555.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik karkas sapi PO berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan  Perlakuan  Parameter  I II  III  Rataan  Bobot potong, kg  Bobot karkas, kg  Persentase karkas, %  Panjang karkas, cm  Dalam dada karkas, cm  Tebal lemak punggung, mm  Lemak
Tabel 2. Rataan skor uji organoleptik daging sapi PO
Tabel 3. Rataan pH, susut masak dan WHC daging sapi PO
Tabel 4. Rataan kadar air, protein dan lemak daging sapi PO, %

Referensi

Dokumen terkait

Peperiksaan Percubaan SPM 2017 Sejarah Kertas

Fasilitas kredit kepada bank lain yang belum ditarik -a. Lainnya

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W5, 2017 26th International CIPA Symposium 2017, 28

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Efektivitas Pendidikan Kesehatan dengan Media Kalender oleh

[r]

Sistem iklim bumi dan penyebab terjadinya pemanasan global dan dampaknya terhadap kondisi iklim masa datang, penggunaan model GCM untuk menduga dampak pemanasan

South East Asian Conference on Mathematics and Its Applications or abbreviated SEACMA is a seminar which organized by the Department of Mathematics, Institut

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah peningkatan keterampilan menyampaikan laporan perjalanan dan perubahan perilaku siswa kelas VIII D SMP Negeri