1
Pengaruh Sistem Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dikaitkan
dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Oleh : Damanhuri Npm: 010108218
ABSTRAK
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di negara Republik Indonesia, sering sekali mengalami pecah kongsi ketika sudah terpilihnya dalam pemilukada. Dengan demikian harus adanya pengaturan yang sedemikian rupa mengenai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu dengan cara mengurangi batasan suara mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar antara calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tidak saling berkoalisi partai untuk memperoleh suara dalam pemilukada. Ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat mempengaruhi kinerja pemerintah yang ada di daerah karena ketidaksepahaman antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam menentukan kebijakan daerah. Penulis berpendapat, untuk mengatasi persoalan diatas, dapat diambil kebijakan pemilihan kepala daerah tunggal. Artinya, dalam pemilukada, yang dipilih cukup kepala daerahnya saja, tanpa wakil. Adapun nanti setelah terpilih, barulah kepala daerah mengangkat wakilnya yang berasal dari kalangan PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang memenuhi syarat.
LATAR BELAKANG
Sejak saat Indonesia merdeka maka Indonesia tidak lagi sebagai negara kerajaan yang terpisah-pisah melainkan telah mengadopsi bentuk negara kesatuan dan bentuk
pemerintahan republik. Sejak saat itu Indonesia berevolusi dari yang semula disebut Nusantara, kini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dalam pemerintahaannya tidak lagi dipimpin oleh seorang Raja ataupun
2 Ratu akan tetapi dipimpin oleh seorang Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan Presiden juga memiliki jajaran Menteri-menteri, MPR, DPR serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik yang ada di tingkat Provinsi, Kota dan Kabupaten. Karena sistem pemerintahan republik lebih dinilai demokratis dari pada sistem kerajaan, maka dalam pengisian jabatan pemimpin rakyat bukan berdasarkan garis keturunan seperti zaman kerajaan, akan tetapi melalui Pemilihan Umum baik di dalam fungsi eksekutif dan Legislatif.
Dalam pemilukada saat ini menggunakan sistem koalisi antara partai politik yang sangat rentan sekali terjadi perpecahan karena berbeda pemikiran antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang notabene sama-sama memiliki suara di dalam partainya masing-masing sehingga sering terjadi pemimpin tunggal. Disharmonisasi ini bisa dilihat misalnya dalam kasus hubungan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan wakilnya Dede Yusuf, hubungan Bupati dan Wakil Bupati Batubara, Sumut, dan hubungan Wali Kota Depok dan
wakilnya pada periode pertama kepemimpinan Nur Mahmudi. Atas hal tersebutlah yang membuat penulis berkeinginan untuk mencoba menganalisis dan mengenai hal pengaruh sistem pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam sistem pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
DEMOKRASI DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
Demokrasi berasal dari kata
demos yang artinya rakyat dan kratos
yang artinya pemerintahan. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Hal ini berarti rakyat ikut terlibat dalam pemerintahan negara. Misalnya dalam pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggung jawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila. Dalam doktrin
3
“Manipol Usdek” disebut pula sebagai
demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara. 1
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:2
1. Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara. 2. Menjamin tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
mempergunakan sistem
konstitusional.
1 Abdulkarim A. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA. Cet.1.
(Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), hal. 27.
2
Israil, Idris. Pendidikan Pembelajaran
dan Penyebaran Kewarganegaraan,(Malang :
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, 2005), hal. 27.
4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila. 5. Menjamin adanya hubungan yang
selaras, serasi, dan seimbang antara lembaga negara.
6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab.
Otonomi Daerah Di Indonesia Era Reformasi
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Ditambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental
(character building) para pelaksana
pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Klimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
4 sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa).3
Seiring bergulirnya era reformasi, undang-undang yang mengatur hubungan antara pusat dan daerah pun mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan undang-undang yang disebut terakhir diselenggarakanlah Pemilukada (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dengan sistem baru, yakni Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh anggota dewan
(DPRD/Provinsi/kabupaten/kota), akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya.4
Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
3
“Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru”.
http://sejarahreformasiindonesia.blogspot.com.
Diakses tanggal 26 September 2012. 4
“Kewenangan Daerah”.
www.anneahira.com. Diakses tanggal 29
september 2012.
Pemilu pertama di Indonesia sebagai negara merdeka, terjadi pada tahun 1955. Waktu itu, Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu sebagai syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia tidak demokratis?. Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya setelah tiga bulan kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu, dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945, yang berisi tentang anjuran partai-partai politik.5
Sistem pemilukada dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu pemilukada langsung dan pemilukada tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik
5
Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan
Pemilu Di Indonesia, Ed.1 Cet. 1. (Jakarta:
5 rakyat dilaksanakan atau diwujudkan. Tepatnya adalah metode penggunaan suara yang berbeda. pemilukada yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, dapat disebut dengan pemilukada tidak langsung, seperti sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem pemilihan perwakilan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik di daerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah.6
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Kepala Daerah dipilih
6
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
secara demokratis. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan di dalam perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, Calon Kepala Daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Sistem Pasangan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Koalisi Partai
Tata cara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sudah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk dapat menduduki kursi Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu melalui jalur partai politik dan tidak menutup kemungkinan juga bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari jalur Independen.
6 Berdasarkan data Kemendagri,
tercatat hanya 6,15 persen pasangan
Kepala Daerah hasil pemilihan pada
2010 dan 2011 yang tetap berpasangan
pada pemilukada untuk periode
selanjutnya. Sedemikian besar
persentase pasangan kepala daerah yang
pecah kongsi, sampai-sampai dianggap
sebagai fenomena wajar dalam dinamika
pemilukada. Dari 244 pemilukada pada
2010 dan 67 pada 2011, hampir 94
persen diantaranya pecah kongsi.
Padahal pecah kongsi sering
menyebabkan inefektivitas dalam
pemerintah daerah. Hal itu biasa terjadi
pada dua tahun jelang pemilukada
berikutnya. "Di sanalah sering kali
terjadi politisasi birokrasi yang
berakibat layanan publik terhambat,"
ujar Gamawan. 7
7
Surabaya Pagi online, “Hindari Pecah Kongsi Wakil Gubernur Harus PNS”, www.
Fenomena mundurnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat patut dicermati. Alasan yang seringkali muncul diantaranya karena tidak sejalan dengan pasangannya dan mau maju Pemilukada berikutnya. Selama ini hubungan harmonis antara kepala daerah dan wakilnya kadangkala hanya bertahan satu tahun saja, setelah itu muncul ketidakcocokan di antara keduanya.
Pemilukada langsung yang mengusung calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara berpasangan ternyata juga tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang mereka janjikan selama kampanye. Dari 753 pasangan tersebut, hanya 21 pasangan yang masih tetap maju dengan pasangan yang sama untuk periode selanjutnya. Artinya, hanya 2,6 persen yang masih setia, sementara 97,4 persen
Surabaya Pagi.com, Diakses tanggal 16 Oktober 2012.
7 pasangan Kepala Daerah dan Wakilnya “pecah kongsi”.8
Banyaknya permasalahan dalam pemilukada langsung menjadi salah satu alasan mengapa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus direvisi. Diperlukan langkah tegas untuk menyelamatkan demokrasi lokal Indonesia, dari pada hanya sekedar euforia, menjadi lebih mengedepankan realitas.
Membangun Hubungan Yang Harmonis antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah
Keanekaragaman Partai politik melahirkan demokrasi dalam Pemerintahan Indonesia sehingga memudahkan masyarakat dalam menduduki kursi di pemerintahan melalui partai polotik. Di sisi lain keanekaragaman tersebut juga memiliki dampak yang kurang baik bagi jalannya pemerintahan, khususnya dalam
8
Tempo online. Djohermansyah
Djohan, “Menata ulang pemilihan umum kepala daerah”, www.Tempo.com, Diakses tanggal 16 Oktober 2012.
pemerintahan di daerah yaitu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal itu disebabkan, untuk menduduki posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus memenuhi suara penuh.
Oleh karena itu, calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus dari partai yang berbeda untuk memperoleh suara penuh dalam pemilukada. Hal ini merupakan inti dari permasalahan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis selama ini. Karena sesuatu hal, kepala daerah pun mengeluarkan kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah tidak disetujui oleh wakilnya sehingga muncullah ke tidak harmonisan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah,
Fenomena mundurnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat patut dicermati. Alasan yang seringkali muncul diantaranya karena tidak sejalan dengan pasangannya dan mau maju pemilukada berikutnya. Selama ini hubungan harmonis antara kepala daerah dan wakilnya umumnya hanya bertahan satu
8 tahun saja, setelah itu muncul ke tidak cocokan di antara keduanya.
Perseteruan antara kepala daerah dan wakilnya perlu dihentikan secepatnya karena sangat berpengaruh kepada berjalannya pemerintahan dan suasana batin aparatur penyelenggara pemerintahan dibawahnya, sehingga konflik kepentingan bisa dihindari. Lain halnya dengan kepala daerah yang mundur karena terpilih pada Pemilukada lainnya, tentu gesekan tidak terasa. Misalnya, Rano Karno yang mundur sebagai Wakil Bupati Tangerang karena terpilih menjadi Wakil Gubernur Banten. Atau Djufri, Walikota Bukit tinggi yang mengundurkan diri akibat terpilih menjadi anggota DPR RI. Tentu dalam kedua kasus tersebut tidak menimbulkan gesekan dan konflik yang tajam antara kepala daerah dan wakilnya.
Tidak mengherankan bila melihat hasil data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI pada tahun 2010, dari 244 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung, hanya 6,15 persen
yang hubungannya harmonis, sementara 93,85 persen pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya pecah kongsi.9
Dalam sejarah pemerintah daerah di tanah air setidaknya ada tiga bentuk hubungan yang terjalin antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
1. Hubungan yang harmonis.
Ini seperti yang terjadi di Kota Solo. Pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan FX Hadi Rudyatmo (Rudi) mampu menjaga kemesraan dalam membangun Kota Solo sehingga menorehkan berbagai prestasi yang diakui publik. Hal ini dibuktikan dengan kemenangan pasangan ini hingga mencapai angka 90 persen pada pemilukada tahun 2010. Kunci keharmonisan pasangan ini adalah kerelaan Jokowi dalam berbagi kewenangan dengan Wakil Walikota. Selain itu, juga pada sikap rendah hati Wakil Walikota untuk menahan syahwat politik dalam pemilukada selanjutnya.
9 Ibid.
9 2. Hubungan oposisi pasif.
Periode kepemimpinan Bupati Sragen, Untung Wiyono dan Wakil Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman pada periode 2001 - 2010 diwarnai dengan hal ini. Ketika itu, Untung Wiyono selaku Bupati, enggan berbagi kewenangan dengan wakilnya. Sang Wakil Bupati ketika itu mengambil langkah dengan tidak masuk kantor selama hampir dua tahun sebagai bentuk protes terhadap berbagai kebijakan Bupati.
3. Hubungan oposisi aktif.
Pengunduran Dicky Candra dari jabatan Wakil Bupati Garut menurut pandangan penulis merupakan bentuk protes aktif terhadap kebijakan Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Demikian pula dengan kasus pengunduran diri Prijanto dari Wakil Gubernur DKI Jakarta meskipun dinilai oleh sebagian pengamat sebagai langkah persiapan untuk pemilukada yang akan datang.
Dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, kedudukan wakil kepala daerah
memang kurang mendapatkan peran
yang penting. Undang-undang ini
menyatakan bahwa wakil kepala daerah
mempunyai tugas membantu kepala
daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah dan membantu
kepala daerah dalam
mengkoordinasikan kegiatan instansi
vertikal di daerah, menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan
perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan
pelestarian sosial budaya dan
lingkungan hidup.
PENUTUP
Setelah melakukan pembahasan atau analisa yang telah dikemukakan pada Penulisan Hukum ini, maka saran yang dapat diberikan oleh Penulis adalah:
10 1. Pengaruhnya ada, sistem pasangan
dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah seringkali berdampak kurang baik terhadap hubungan antara kepala daerah dan wakilnya dalam menjalankan pemerintahan di suatu daerah. karena kepala daerah maupun wakil kepala daerah sama-sama dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, baik kepala daerah maupun wakilnya sama-sama memiliki suara yang cukup besar sehingga mereka terpilih di lembaga eksekutif tersebut. Memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam satu paket pemilihan dianggap tidak sejalan dengan konstitusi. Pengisian jabatan wakil kepala daerah bersifat tentative, sesuai kebutuhan masing-masing daerah, dan diisi melalui mekanisme pengangkatan dari PNS yang memenuhi syarat.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan yang harmonis antara kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah dengan cara kepala daerah yang telah terpilih, mengangkat wakilnya dari kalangan PNS yang memenuhi syarat
menjadi wakil kepala daerah Adapun cara lain yang dapat diterapkan yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah diusung dari partai yang sama tidak dengan cara koalisi partai yang mengakibatkan pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang – Undangan. Indonesia. Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
. Undang – Undang Tentang
Pemerintahan Daerah. UU
No. 5 tahun 1974.
. Undang – Undang Tentang
Pemerintahan Daerah. UU
No. 22 tahun 1999.
. Undang – Undang Tentang
Pemerintahan Daerah. UU
No. 32 tahun 2004.
. Undang – Undang Tentang
Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004. UU No. 12 Tahun
11 . Undang – Undang Tentang
Partai Politik. UU No. 2
Tahun 2008.
. Undang – Undang Tentang
Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008. UU No. 2 Tahun
2011.
B. Buku.
Adisubrata,Winarna Surya. Otononi Daerah Di Era Reformasi, UPP AMP YKPN. Jakarta:
Rajawali Press, 2002.
Asshiddiqie, Jimly. ”Konsolidasi
Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan ke Empat”.
Jakarta: pusat study hukum tata negara fakultas hukum universitas indonesia, 2002.
Astawa, I Gde Pantja. Problematika
Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2009.
Harahap, Abdul Asri. Menejemen Dan
Resolusi Konflik Pilkada.
Jakarta: Cidesindo, 2005.
Huda, Ni’matul. Otonomi Daerah;
Filosofi, Sejarah
Perkembangan dan
Problematika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Israil, Idris. Pendidikan Pembelajaran
dan Penyebaran
Kewarganegaraan. Malang:
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. 2005.
Juanda. Hukum Pemerintahan Daerah:
Kewenangan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Kepala Daerah.
Bandung: Alumni, 2004.
Karim A, Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA. Cet.1.
Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007.
Manan, Bagir. Hubungan antara Pusat
dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Sinar Harapan,
1994.
Mihradi, R Muhammad. Republik Tanpa
Publik Pasca Reformasi.
12 Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bekerjasama dengan komunitas seni dan Budaya, 2012.
Nurcholis, Hani. dkk. Perencanaan
Partisipatif Pemerintah Daerah. Jakarta: Grasindo,
2009.
Rabi’ah, Rumudah. Lebih Dekat Dengan Pemilu Di Indonesia, Ed.1 Cet. 1. Jakarta: Rajawali
Cilik, 2009.
Soemantri, Sri. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Jakarta: CV
Rajawali, 1984.
C. Lain – lain.
Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru”.
http://sejarahreformasiindone sia. blogspot.com. Diakses
tanggal 26 September 2012.
Http://www.Parpol-indonesia.com.
Diakses 30 Agustus 2012.
Kewenangan Daerah”.
Http://www.anneahira.com. Diakses tanggal 29 September 2012.
Muluk, Khairul. “Desentralisasi Teori, Cakupan dan Elemen”, Http://www.publik.brawijaya.
ac.id. Diakses tanggal 26
Agustus 2012.
Pemilihan umum,
Http://www.sospol.pendidikan -riau.com. Diakses tanggal 18 September 2012.
Syafran Sofyan. “Permasalahan dan Solusi Pemilukada”. Artikel. www.google.com. Diakses tanggal 27 Oktober 2012.
Universitas Padjajaran.
Http://www.unpad.ac.id.