• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KERENTANAN SOSIAL DAN EKONOMI DALAM BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KERENTANAN SOSIAL DAN EKONOMI DALAM BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERENTANAN SOSIAL DAN EKONOMI

DALAM BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

Eko Ahmad Riyanto Mahasiswa S2, Geo-Information for Spatial Planning and Disaster Management, UGM

Email: ekoahmadriyanto@yahoo.com

Abstract

The purpose of this research is (1) to analysis social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster in Bengkalis Regency; (2) Mapping of social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster in Bengkalis Regency. Research Variables is social and economy vulnerability. The data that used is primary and secondary data with survey method. Analysis method is scoring and weightings. After that classified based on the value of the score to determine the level of vulnerability. The analysis based on the head of National Agency for Disaster Management (Perka BNPB) Number 02. 2012 and literatures study. The results of research show that social vulnerability of forest and peat land fire in Bengkalis Regency is medium vulnerability because it has value of social vulnerability is 0,46663. While economic vulnerability in Bengkalis Regency is low vulnerability because economic vulnerability is 0,3333. Mapping and analysis of social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster need to sustainable because this disaster is dynamic. In addition, required mitigation that is quick and appropriate by governments of Bengkalis Regency and the local community in management of forest and peat land fire disaster.

Keywords : Social and economy vulnerability, forest and peat land fire.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lahan penutup (landcover) di antaranya berupa hutan tropis dan lahan gambut terbesar di kawasan Asia Tenggara. Hutan tropis Indonesia memiliki peran penting dalam menghasilkan oksigen sebagai paru-paru dunia. Fakta membuktikan beberapa tahun terakhir hutan dan lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan ini salah satunya disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran ini dapat terjadi secara alami maupun buatan (manusia). Beberapa kasus kebakaran tersebut disebabkan karena

faktor manusia. Fenomena ini jika tidak diatasi dengan cepat dan tepat pastinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu jenis bencana yang terjadi di Indonesia. Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam, non-alam maupun faktor manusia. Peristiwa ini mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Perka BNPB No.2 Tahun 2012). Sedangkan Menurut ISDR (2009:9), bencana merupakan sebuah gangguan serius pada fungsi komunitas atau masyarakat secara luas karena kehilangan dan dampak pada manusia,

(2)

material, ekonomi, atau lingkungan, yang mana melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat untuk menanggulangi bencana dengan sumber daya yang dimiliki. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan yang mana saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan, sedangkan lahan merupakan suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun bagi masyarakat (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010). Lahan gambut merupakan suatu lahan yang mempunyai jenis tanah yang terdiri atas timbunan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang sedang dan/ atau sudah mengalami proses dekomposisi (Adinugroho dkk, 2005).

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu situasi atau keadaan lahan dan hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan serta hasil-hasilnya dan menimbulkan kerugian (BNPB dan BIG, 2011). Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan suatu keadaan yang mana hutan dan lahan gambut dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan kerugian dari segi ekonomis dan lingkungan. Kebakaran tersebut sering menyebabkan bencana asap yang mengganggu masyarakat sekitar (Kurniawan dkk, 2011:6).

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bukanlah bencana yang disebabkan faktor alam, karena hampir 99% kejadian kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh faktor manusia, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Kebakaran hutan dan lahan saat ini lebih banyak terjadi di lahan gambut yang menimbulkan dampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca (Saharjo dkk, 2013). Keberadaan hutan dan lahan gambut harus dilestarikan. Karena apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan risiko bencana. Menurut ICCC (Indonesian

Climate Change Center) 2012, lahan gambut

yang dikelola dengan baik berpotensi untuk memberikan kontribusi besar terhadap

pengurangan emisi gas rumah kaca. Hutan gambut dapat menyimpan karbon jauh lebih besar daripada jenis hutan lainnya. Namun apabila terdegradasi, lahan gambut akan menyumbang emisi lebih besar dibandingkan ekosistem lainnya.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak hanya menjadi bencana dalam negeri, tetapi juga menjadi bencana secara global. Fenomena ini terjadi karena bencana kebakaran hutan dan lahan tersebut mengganggu aktifitas sosial dan ekonomi di negara tetangga, yaitu seperti Malaysia dan Singapura. Fakta menunjukan bahwa Provinsi di Indonesia yang paling banyak mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan yaitu Provinsi Riau.

Dampak dari kebakaran dan lahan di Provinsi Riau sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yaitu seperti gangguan pernapasan, sekolah diliburkan, dan penerbangan diliburkan. Faktor penyebab bencana ini yaitu pembakaran lahan yang digunakan sebagai lahan perkebunan sawit (Putri, 2004). Bencana kebakaran hutan dan lahan ini tidak hanya berdampak negatif dari sisi kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada tanggal 15 Juni 2013, jumlah titik api di Riau mencapai 78 titik, kemudian 16 Juni meningkat menjadi 115 titik api dan 17 Juni menurun tipis namun tetap masih tinggi 103 titik. Titik api tertingi berada di Pelalawan dengan 26 titik, Rokan Hilir 19 titik, Siak 18 titik, Bengkalis 16 titik, Indragiri Hilir 13 titik, Dumai sembilan titik, Rokan Hulu tiga titik, dan Pekanbaru serta Meranti masing-masing satu titik, bahkan pada tanggal 18 Juni 2013, titik api di Riau jumlahnya bertambah banyak yaitu 148 titik (Irawan, 2013).

Pada umumnya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau terjadi di lahan gambut yang disebabkan faktor land clearing untuk perkebunan maupun HTI (Darjono, 2003). Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Riau yang rawan terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan,

(3)

sehingga perlu dilakukan manajemen risiko bencana. Berdasarkan peta hotspot Provinsi Riau (5 Maret 2014, pukul 18.00 WIB) yang di buat oleh BNPB, diketahui hotspot terbanyak kedua terdapat di Kabupaten Bengkalis dengan total 17 hotspot. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Peta Hotspot Provinsi Riau

Kabupaten Bengkalis memiliki luas wilayah yaitu 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Bengkalis mempunyai 8 kecamatan, terdiri dari 102 desa/kelurahan. Penduduk Kabupaten Bengkalis pada tahun 2012 tercatat sebanyak 530.191 jiwa yang terdiri 273.640 jiwa laki-laki dan 256.551 jiwa perempuan (BPS Kabupaten Bengkalis, 2013). Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis yang relatif besar mempunyai

potensi kerentanan sosial dan ekonomi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan gambut.

Pada Tanggal 13 Februari 2014, Kebakaran hutan dan lahan terjadi di sejumlah titik di Kabupaten Bengkalis. Kamis (13 Februari 2014) siang hari, diketahui jumlah titik api yang tersebar di Kabupaten Bengkalis sudah melebihi 60 titik dengan luas lahan terbakar mencapai 2.000 ha. Menurut Kepala Badan BPBD-Damkar Bengkalis yaitu Mohammad Djalal, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini terjadi dan meluas di Bantan, Bengkalis, Bukitbatu dan Siak Kecil. Dimana api terus merambat ke bagian dalam yang merupakan lahan gambut tebal. Dipaparkannya, untuk Kecamatan Bantan titik api baru muncul di Desa Selatbaru dekat kantor camat menuju stadion. Kemudian di Desa Kembung Luar, api masih terus menjilati kebun karet masyarakat yang sulit dipadamkan, meski telah diterjunkan personil Satuan Polisi Pamong Praja untuk membantu memadamkan api. Sementara karhutla di Kecamatan Bengkalis terjadi di Desa Kelemantan, dimana api terus membakar kebun-kebun warga yang diperkirakan mencapai 300 ha. Di Kecamatan Bukitbatu, kebakaran mulai terjadi di daerah langganan, seperti Desa Tanjung Leban dan Bukit Kerikil serta Desa Temiang dan Api-api. Bahkan di kawasan hutan lindung cagar biosfer Bukitbatu-Siak Kecil, muncul dua titik api. Sementara di Siak Kecil, karhutla melanda Desa Sumber Jaya (Sumber: http://fokusriau. com/berita-hampir-2000-hektare-hutan-dan-lahanterbakar.html).

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Bengkalis harus segera diselesaikan dengan mengacu pada manajemen risiko bencana. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan pengkajian dan pemetaan. Analisis dan pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut memerlukan pengkajian secara tepat agar dapat dispasialkan dalam bentuk peta yang baik. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak dari bencana

(4)

tersebut. Meskipun pada praktiknya hal ini tidak mudah untuk dilakukan, dikarenakan keterbatasan dan kevalidan data yang ada. Maka dari itu perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh, sehingga dari pengkajian tersebut dapat dibuat peta kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

a. Menganalisis kerentanan sosial dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

b. Menganalisis kerentanan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Bengkalis.

c. Pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

2. METODOLOGI

2.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus-Oktober 2014. Analisis dan pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut perlu dilakukan di Kabupaten Bengkalis, karena kabupaten ini mempunyai

potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kasus kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tersebut.

2.2. Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki 2 variabel yaitu kerentanan sosial dan ekonomi. Berikut pada Tabel 2.2 diuraikan mengenai variabel penelitian.

2.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan metode survei. Survei digunakan untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari BNPB, BPBD, BIG, Kabupaten Bengkalis, BPS Kabupaten Bengkalis, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkalis. Data ini berupa Kabupaten Bengkalis dalam angka, produk rencana tata ruang, data kebencanaan Kabupaten Bengkalis, laporan PDRB, kecamatan dalam angka, peta dasar penggunaan lahan, dan lokasi fasilitas umum.

2.4. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode

Tabel 2.2. Variabel Penelitian

Variabel Parameter Sumber Data Analisis Data

Sosial Kepadatan penduduk BPS, Kabupaten/ Kecamatan Bengkalis dalam angka. BPBD Kabupaten Bengkalis Pembobotan dan skoring pada parameter. Setelah itu diklasifikasikan berdasarkan nilai skor untuk menentukan tingkat kerentanan. Analisis ini mengacu pada Perka BNPB No.02 tahun 2012. Rasio jenis kelamin

Rasio kemiskinan Rasio orang cacat Rasio kelompok umur

Ekonomi Lahan produktif Landuse, Laporan Sektor, Kabupaten/ Kecamatan Bengkalis dalam Angka PDRB

(5)

analisis data yaitu dengan cara pembobotan dan skoring masing-masing parameter dari kerentanan sosial dan ekonomi. Kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai skor untuk menentukan kerentanan. Analisis ini mengacu pada Perka BNPB No. 02 Tahun 2012, dan pengkajian literatur yang relevan. Setelah hasil perhitungan kerentanan sosial dan ekonomi diperoleh, selanjutnya dilakukan pemetaan. Pemetaan dalam penelitian ini memanfaatkan software SIG. Pada dasarnya proses dalam SIG terdiri atas input data,

proses, dan output. Berikut dipaparkan metode analisis data masing-masing variabel.

2.4.1. Kerentanan Sosial

Parameter yang digunakan untuk kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot parameter. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.1.

Tabel 2.4.1 Parameter Kerentanan Sosial

Parameter Bobot (%) Kelas Skor

Rendah Sedang Tinggi

Kepadatan penduduk 60 < 500 jiwa/

km2 500-100 jiwa/km2 > 1000 jiwa/km2

Kelas/ Nilai Max Kelas Rasio jenis kelamin (10%)

40 < 20% 20 – 40% > 40%

Rasio kemiskinan (10%) Rasio orang cacat (10%) Rasio kelompok umur (10%) log

kepadatan penduduk 0.01

= 0.6 x + (0.1 x rasio jenis kelamin) + (0.1 x rasio kemiskinan) 100

log 0.01

+ (0.1 x rasio orang cacat) + (0.1 x rasio kelompok umur) Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012

Tabel 2.4.2. Parameter Kerentanan Ekonomi

Parameter Bobot (%) Kelas Skor

Rendah Sedang Tinggi

Lahan produktif 60 < 50 jt 50 – 200 jt > 200 jt Kelas/ Nilai Max Kelas

PDRB 40 < 100 jt 100 – 300 jt > 300 jt

Kerentanan Ekonomi = (0.6 x skor lahan produktif) + (0.4 x skor PDRB)

Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012

(6)

2.4.2. Kerentanan Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk kerentanan ekonomi yaitu PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan luas lahan produktif. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.2.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Deskripsi Umum Kabupaten

Bengkalis

Deskripsi Umum Kabupaten Bengkalis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian

pesisir timur Pulau Sumatera. Kabupaten Bengkalis secara astronomis berada pada 2°7’37,2” - 0°55’33,6” LU dan 100°57’57,6” - 102°30’25,2” BT. Peta administrasi Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.1. Kabupaten Bengkalis mempunyai luas wilayah 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau

dan lautan. Kabupaten Bengkalis mempunyai 8 kecamatan dengan luas total wilayah yaitu 7.773,93 Km2, yang terdiri dari 102 desa/

kelurahan. Kecamatan yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak yaitu Kecamatan Bengkalis dengan 20 desa/ kelurahan, sedangkan kecamatan dengan jumlah desa/ kelurahan paling sedikit yaitu Kecamatan Rupat Utara dengan 5 desa/kelurahan (BPS Kabupaten Bengkalis, 2013). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Gambar 3.1. Peta Administrasi Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014

(7)

3.2. Kerentanan Sosial dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis

Risiko bencana muncul ketika bahaya memengaruhi kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan (ISDR, 2005:1). Analisis kerentanan sosial merupakan bagian dari pengkajian risiko bencana. Secara umum kerentanan sosial mempunyai definisi yang berbeda-beda. Menurut Sumekto (2011:31), kerentanan sosial merupakan prediksi tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa manusia apabila terjadi bencana di suatu wilayah. Kerentanan sosial merupakan potensi dampak dari peristiwa pada kelompok rentan yaitu seperti orang miskin, rumah tangga, orang tua tunggal, perempuan hamil, orang cacat, anak-anak, dan orang tua. Tingkat kerentanan dapat dipertimbangkan dari faktor kesadaran masyarakat terhadap risiko, kemampuan dari kelompok itu untuk menanggulangi bencana, dan status struktur kelembagaan yang dirancang untuk membantu masyarakat menanggulangi bencana (Westen dkk, 2011). Kerentanan sosial dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan suatu kondisi yang menggambarkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap keselamatan jiwa apabila terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di suatu wilayah. Analisis kerentanan sosial masyarakat Kabupaten

Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut didasarkan pada beberapa parameter yaitu kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur (Perka BNPB No. 02 tahun 2012). Berikut diuraikan mengenai parameter kerentanan sosial.

a. Kepadatan penduduk, yaitu jumlah penduduk yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan satuan kilometer persegi. Rasio jenis kelamin, yaitu perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan per-100 penduduk perempuan.

b. Rasio kemiskinan, yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

c. Rasio penduduk cacat, yaitu cacat total dan tetap yang menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, keterampilan, dan pengalamannya.

d. Rasio kelompok umur, yaitu perbandingan antara penduduk yang belum produktif (usia 0-14 tahun) termasuk bayi dan anak (usia 0-4 tahun) dan penduduk yang dianggap kurang produktif (> 65 tahun). Persentase penduduk yang berpotensi sebagai modal dalam pembangunan yaitu penduduk usia produktif.

Tabel 3.1. Luas Daerah Kabupaten Bengkalis Menurut Kecamatan

No. Kecamatan Luas Daerah (Km2) Persentase (%)

1 Mandau 937,47 12,06 2 Pinggir 2.503,00 32,20 3 Bukit Batu 1.128,00 14,51 4 Siak Kecil 742,21 9,55 5 Rupat 896,35 11,53 6 Rupat Utara 628,50 8,08 7 Bengkalis 514,00 6,61 8 Bantan 424,40 5,46 Bengkalis 7.773,93 100

(8)

Parameter kerentanan sosial tersebut sangat terkait dengan aspek manusia. Manusia merupakan salah satu aspek yang sangat rentan terhadap bencana. Pada praktiknya setiap parameter kerentanan sosial tersebut mempunyai bobot dan skor yang berbeda. Parameter kepadatan penduduk diberi bobot tertinggi yaitu 60%, sedangkan parameter lainya diberi bobot masing-masing 10% (lihat Tabel 2.4.1). Menurut Giyarsih dkk (2014: 59), kepadatan penduduk mempunyai bobot tertinggi karena tinggi rendahnya kepadatan penduduk mempengaruhi besar kecilnya dampak risiko bencana yang dialami suatu masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi kepadatan penduduk, maka tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.

Nilai kerentanan sosial masing-masing wilayah di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut diperoleh dengan cara pemberian skor dan pembobotan masing-masing parameter tersebut. Nilai total kerentanan sosial diperoleh melalui penjumlahan nilai hasil

pemberian skor dan pembobotan. Nilai kelas kerentanan dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) Rendah: nilai 0 - 0,333; (2) Sedang: nilai 0,333 - 0,666; dan (3) Tinggi: nilai 0,666 - 1. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Berdasarkan hasil perhitungan kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut, diketahui bahwa kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas sedang karena nilai kerentanan sosialnya yaitu 0,46663. (lihat Tabel 3.2). Dapat diketahui bahwa dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis semuanya termasuk pada kelas kerentanan sedang. Untuk lebih jelasnya mengenai kerentanan sosial Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Tinggi rendahnya nilai kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio

Tabel 3.2. Kerentanan Sosial di Kabupaten Bengkalis dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

No. Kecamatan Kepadatan penduduk (Km2) Rasio jenis kelamin (%) Rasio Kemiskinan (%) Rasio penduduk cacat (%) Rasio kelompok umur (%) Total

Skor KerentananKelas

1 Mandau 249 108 6,74 0.019 35,44 0.4333 Sedang

2 Pinggir 35 107 6,74 0.074 35,44 0.4333 Sedang

3 Bukit Batu 28 105 6,74 0.539 35,44 0.4333 Sedang

4 Siak Kecil 26 107 6,74 0.740 35,44 0.4333 Sedang

5 Rupat 35 106 6,74 0.318 35,44 0.4333 Sedang 6 Rupat Utara 22 107 6,74 1.259 35,44 0.4333 Sedang 7 Bengkalis 146 104 6,74 0.365 35,44 0.4333 Sedang 8 Bantan 86 104 6,74 0.473 35,44 0.4333 Sedang Kabupaten Bengkalis 68 107 6,74 0.216 35,44 0.4333 Sedang

(9)

orang cacat, dan rasio kelompok umur. Jika dikaji berdasarkan hasil pemetaan kerentanan sosial (lihat Gambar 3.2), diketahui semua wilayah di Kabupaten Bengkalis mempunyai kerentanan sedang yang ditandai dengan indeks kerentanan yang berwarna kuning. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya nilai kerentanan sosial juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, salah satunya yaitu jenis kelamin. Secara umum penduduk perempuan lebih rentan terhadap bahaya jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki, hal ini dikarenakan faktor secara fisik. Zhang dan You (2013), melakukan penelitian tentang kerentanan sosial terhadap banjir di lembah Sungai Huaihe (Cina), hasil penelitian menunjukan kerentanan sebagian besar penduduk tergantung pada jenis kelamin dan kualitas penduduk.

3.3. Kerentanan Ekonomi Dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis

Secara umum kerentanan ekonomi mempunyai definisi yang berbeda-beda. Menurut Sumekto (2011:31), kerentanan ekonomi merupakan suatu kondisi yang menggambarkan atau menimbulkan besarnya kerugian atau rusaknya fasilitas dan kegiatan ekonomi yang terjadi karena bahaya di suatu wilayah. Menurut Westen dkk (2011), kerentanan ekonomi merupakan potensi dampak yang diakibatkan dari bahaya yang berdampak pada asset, proses, dan berbagai sektor ekonomi. Misalnya yaitu gangguan bisnis, efek sekunder seperti peningkatan kemiskinan dan kerugian pekerjaan.

Kerentanan ekonomi merupakan

Gambar 3.2. Peta Kerentanan Sosial Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014

(10)

suatu kondisi yang menggambarkan potensi besarnya kerugian, terganggu, rusaknya fasilitas, proses, dan kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang terjadi karena bahaya. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan ekonomi yaitu lahan produktif dan PDRB. Berikut dipaparkan parameter kerentanan ekonomi.

a. Lahan produktif, yaitu lahan-lahan yang menghasilkan sesuatu bernilai ekonomi yaitu kehutanan (hutan produksi), perikanan, tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan, dan pertambangan. b. PDRB, yaitu jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan pekonomian diseluruh daerah dalam tahun tertentu atau perode tertentu dan biasanya satu tahun.

Parameter kerentanan ekonomi tersebut sangat terkait dengan aspek perekonomian suatu masyarakat dan wilayah. Setiap parameter kerentanan ekonomi tersebut mempunyai bobot dan skor yang berbeda. Parameter lahan produktif diberi bobot yaitu 60%, sedangkan parameter PDRB diberi bobot 40% (lihat Tabel 2.4.2). Nilai kerentanan ekonomi masing-masing wilayah di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut diperoleh dengan cara pemberian skor dan

pembobotan masing-masing parameter. Nilai total kerentanan ekonomi diperoleh melalui penjumlahan nilai hasil pemberian skor dan pembobotan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil perhitungan kerentanan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai PDRB Kabupaten Bengkalis pada tahun 2012, yaitu atas dasar harga berlaku sebesar Rp 107.962.021,80 dan atas dasar harga konstan sebesar Rp 3.963.000.000. Sedangkan nilai lahan produktif di Kabupaten Bengkalis yaitu pertanian sebesar Rp 949.439,45 dan pertambangan dan penggalian sebesar Rp 25,137,917.33.

Berdasarkan hasil perhitungan kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut, diketahui bahwa kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas rendah karena nilai kerentanan ekonominya yaitu 0,333 (lihat Tabel 3.3). Dapat diketahui bahwa dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis semuanya termasuk pada kelas kerentanan rendah. Untuk lebih jelasnya mengenai kerentanan ekonomi Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Kabupaten Bengkalis kaitanya dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai nilai kerentanan rendah. Hal ini

Tabel 3.3. Kerentanan Ekonomi di Kabupaten Bengkalis dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

No. Kecamatan PDRB(Rp) Bobot Skor Produktif (Rp)Lahan Bobot Skor Total Skor Kelas

1 Mandau 13.030.833 0,4 0,333 3.145.913.89 0,6 0,333 0,333 Rendah 2 Pinggir 34.791.700 0,4 0,333 8.399.439.41 0,6 0,333 0,333 Rendah 3 Bukit Batu 15.679.200 0,4 0,333 3.785.284.72 0,6 0,333 0,333 Rendah 4 Siak Kecil 10.316.719 0,4 0,333 2.490.670.37 0,6 0,333 0,333 Rendah 5 Rupat 12.459.265 0,4 0,333 3.007.925.50 0,6 0,333 0,333 Rendah 6 Rupat Utara 8.736.150 0,4 0,333 2.109.088.16 0,6 0,333 0,333 Rendah 7 Bengkalis 7.144.600 0,4 0,333 1.724.854.92 0,6 0,333 0,333 Rendah 8 Bantan 5.899.160 0,4 0,333 1.424.179.82 0,6 0,333 0,333 Rendah

Kabupaten Bengkalis 107.962.021 26.087.356.78 Rendah

(11)

menunjukkan bahwa secara ekonomi wilayah ini mempunyai kerentanan ekonomi yang rendah jika terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut. Tinggi rendahnya nilai kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis dipengaruhi oleh faktor lahan produktif dan PDRB. Jika dikaji berdasarkan hasil pemetaan kerentanan ekonomi (lihat Gambar 3.3), diketahui semua wilayah di Kabupaten Bengkalis mempunyai kerentanan rendah yang ditandai dengan indeks kerentanan yang berwarna hijau.

Suatu wilayah yang memiliki banyak penduduk miskin akan lebih rentan terhadap suatu bahaya. Hal ini dikarenakan penduduk tersebut dinilai tidak mempunyai kemampuan secara finansial yang memadai untuk

melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana (BNPB, 2010: 28). Suatu wilayah yang memiliki banyak penduduk miskin secara ekonomi akan lebih rentan terhadap suatu bahaya, jika dibandingkan dengan penduduk yang kaya. Hal ini diasumsikan penduduk miskin secara ekonomi mempunyai kemampuan yang lemah secara finansial dalam rangka melakukan mitigasi bencana. Tingkat kerentanan sosial ekonomi masyarakat tinggi menyebabkan masyarakat tersebut menjadi rentan. Semakin rendah tingkat kerentanan sosial dan ekonomi suatu masyarakat berarti masyarakat tersebut dinilai lebih mampu untuk menghadapi suatu bencana dan dapat melangsungkan kehidupannya.

Gambar 3.3. Peta Kerentanan Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014.

(12)

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

a. Kerentanan sosial dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas kerentanan sedang karena mempunyai nilai kerentanan sosial yaitu 0,46663.

b. Kerentanan ekonomi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas kerentanan rendah karena mempunyai nilai kerentanan ekonomi yaitu 0,3333.

4.2. Saran

Informasi dan mitigasi tentang bencana kebakaran hutan dan lahan gambut sangat penting disampaikan kepada masyarakat Kabupaten Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko bencana tersebut.

Penelitian lebih lanjut tentang analisis kerentanan sosial ekonomi dan kebakaran hutan dan lahan gambut sangat penting untuk dilakukan dan dikembangkan dengan penambahan indikator dan pendetailan pada unit analisis kajian.

Pemetaan dan analisis kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut perlu diperbarui secara berkelanjutan karena bencana ini bersifat dinamis.

Diperlukan upaya mitigasi yang cepat dan tepat oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan masyarakat setempat dalam rangka menghadapi kebakaran hutan dan lahan gambut.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

a. Program magang IPN (Indonesia Peatland

Network), yang diprakarsai oleh ICCC

(Indonesian Climate Change Center) dan CIFOR (Center for International Forestry

Research).

b. Prof. Dr. H. A. Sudibyakto, M. S. selaku ketua program minat studi Geo Information

for Spatial Planning and Disaster Risk Management, Sekolah Pascasarjana, UGM.

c. Prof. Daniel Murdiarso, selaku Principal

Scientist, Forest, and Environment, CIFOR. DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W. C., I N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut.

Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

BNPB. 2010. Rencana Nasional

Penanggulangan Bencana 2010-2014.

Jakarta: Direktorat Mitigasi BNPB. BNPB dan BIG. 2012. Atlas Kebencanaan

Indonesia 2011. Badan Nasional

Penanggulangan Bencana & Badan Informasi Geospasial.

BPS Kabupaten Bengkalis. 2013. Kabupaten

Bengkalis dalam Angka 2013. Bengkalis:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bengkalis.

ICCC. 2012. Lembar Fakta. November 2012. www. iccc-network.net.

Darjono. 2003. Pengalaman Penegakan

Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut. Dalam Prosiding

Semiloka. Editor: Suyanto. Chokkalingan, U., Wibowo, P. Diterbitkan: CIFOR. Giyarsih, S.R., Listyaningsih, U., Budiani, S.R.

2014. Aspek Sosial Banjir Lahar.

Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Irawan, F. 2013. Rencana Kontinjensi Nasional

Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan.

Jakarta: BNPB.

ISDR. 2005. Hyogo Framework for Action

(13)

Nations and Communities to Disasters.

World Conference on Disaster Reduction 18-22 January 2005, Kobe, Hyogo, Japan.

ISDR. 2009. UNISDR Terminology Disaster

Risk Reduction. Genewa, Switzerland:

UNISDR.

Kurniawan, L., Yunus, R., Amri, MR. Pramudiarta, N. 2011. Indeks Rawan

Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010, tentang mekanisme

pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

Perka (Peraturan Kepala) BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Nomor 02 Tahun 2012, Tentang:

Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Putri, R. 2004. Bencana Tahunan Kabut Asap

Riau dalam Pandangan Politik Hijau.

Jurnal Phobia, Journal Issue: vol. 1/ No.03/ 20 March 2014.

Saharjo, B.H., Syaufina, L., Putra, E.I., Bahruni., Sunarti, E., Nurhayati A.D. 2013. Penanggulangan Kebakaran

Hutan dan Lahan di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013.

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana. 2011. Pengurangan Risiko

Bencana melalui Analisis Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana. Sumekto, D.R.

Yogyakarta: UII.

Westen, C.J. Van.., Alkema, D., Damen, M.C.J., Kerle, N., Kingma, N.C. 2011.

Multi Hazard Risk Assessment. United

Nation University-ITC School on Disaster Geoinformation Management (UNU-ITC DGIM).

Zhang, YL dan You, W.J. 2013. Social

Vulnerability to Foods: a Case Study of Huaihe River Basin. Journal:

Nat Hazards (2014) 71:2113–2125. DOI 10.1007/s 11069-013-0996-0. Received: 1 October 2013/ Accepted: 7 December 2013/ Published online: 19 December 2013.

http://fokusriau.com/berita-hampir-2000-hektare-hutan-dan-lahanterbakar.html

(diunduh pada hari Senin, 18 Agustus 2014, jam 15:13 WIB).

Gambar

Gambar 1.1.  Peta Hotspot Provinsi Riau
Tabel 2.2.  Variabel Penelitian
Tabel 2.4.1  Parameter Kerentanan Sosial
Gambar 3.1.  Peta Administrasi Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014
+6

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hasil observasi saat melakukan penelitian pada lokasi taman baca, untuk dimensi pencahayaan terlihat pada tabel III.29 bahwa persepsi pemustaka mengenai

Ibid, hal.. 1) Untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam hukuk pidana, maka persyaratan pada umumnya menyangkut segi perbuatan dan segi orang (sebagai pelaku atau

Sekarang saya minta anda tutup mata anda… dan tetap tutup mata anda sampai nanti saya minta membuka mata anda… perlahan bayangkan sebuah layar yang sangat besar berwarna

However, with new high resolution Digital Terrain Model (DTM) from bathymetric and airborne LiDAR (Light Detection and Ranging) surveys and precise tidal data

Pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal laporan posisi keuangan konsolidasian interim dan yang

Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kurangnya keberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu,

Mereka percaya bahwa feng shui dapat dijadikan acuan dalam memilih lokasi bisnis sehingga lokasi yang baik mendatangkan keuntungan bagi bisnis, misalnya lebih banyak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk partisipasi politik yang terjadi di Kecamatan Bajeng yaitu bentuk Partisipasi Politik Konvensional, yaitu meliputi Ikut Serta