• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENI KASMITA A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENI KASMITA A"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BEBERAPA SAMPEL TANAH DI BOGOR, NUSA TENGGARA

BARAT (NTB), DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

RENI KASMITA

A14051794

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

RINGKASAN

RENI KASMITA. Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Molekuler Bakteri

Pelarut Fosfat (BPF) dari Beberapa Sampel Tanah di Bogor, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di bawah bimbingan FAHRIZAL

HAZRA dan ETTY PRATIWI.

Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding nitrogen (N), kalium (K), dan kalsium (Ca). Pemupukan fosfat sering tidak efisien karena fosfat terikat dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat, saat ini mulai dikembangkan pemanfaatan mikroba pelarut fosfat, salah satunya adalah bakteri pelarut fosfat (BPF). Pemanfaatan BPF dinilai dapat dijadikan sebagai suatu alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam mencari pemecahan masalah efektivitas ketersediaan unsur P di dalam tanah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk melakukan isolasi, karakterisasi, dan identifikasi BPF dari beberapa lokasi di Bogor, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki kemampuan melarutkan P tertinggi serta mengetahui jenis bakteri tersebut melalui identifikasi molekuler berdasarkan amplifikasi gen 16S rRNA.

Sampel tanah yang digunakan sebagai sumber isolat BPF diperoleh dari areal Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor, Jawa Barat), Citeureup (Bogor, Jawa Barat), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu isolasi BPF dalam medium Pikovskaya, karakterisasi dan pengujian BPF dalam melarutkan P, pengujian BPF dalam menghasilkan enzim fosfatase dan zat pemacu tumbuh indole acetic acid (IAA), serta pewarnaan Gram. Tiga isolat unggul terpilih, yaitu P 3.5 (NTT), P 6.2 (NTB), dan P 10.1 (Citeureup, Bogor). Selanjutnya terhadap ketiga isolat terpilih tersebut dilakukan beberapa pengukuran, yaitu pengukuran pertumbuhan populasi, perubahan pH pada medium Pikovskaya cair, pengujian BPF dalam menghasilkan enzim fosfatase, dan identifikasi molekuler.

Berdasarkan hasil isolasi sampel tanah Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Citeureup, NTB, dan NTT diperoleh 29 isolat BPF. Isolat P 10.1 memiliki kemampuan melarutkan P tertinggi dengan indeks pelarutan (IP) terbesar, yaitu 1.80, enzim fosfatase tertinggi (120.40 ppm), dan penurunan pH tertinggi pada setiap pengamatan. Isolat P 3.5 dan isolat P 10.1 merupakan bakteri Gram negatif berbentuk kokus atau bulat, sedangkan isolat P 6.2 merupakan bakteri Gram negatif berbentuk basilus atau batang. Hasil amplifikasi DNA BPF menggunakan primer F-63 CAGGCCTAACACATGCAAGTC) dan primer R-1387 (5’-GGGCGGCGTGTACAAGGC) menghasilkan satu amplikon atau produk PCR berukuran sekitar 1300 bp. Hasil analisis sekuen gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat P 3.5 dan isolat P 10.1 memiliki kemiripan sebesar 98% dengan

Gluconacetobacter sp. strain Rh1-MS-CO sedangkan isolat P 6.2 memiliki

kemiripan sebesar 97% dengan Enterobacter sp. strain pp9c.

Kata kunci : isolasi, bakteri pelarut fosfat (BPF), enzim fosfatase, indole acetic acid (IAA), identifikasi 16S rRNA

(3)

SUMMARY

RENI KASMITA. Isolation, Characterization, and Molecular Identification of

Phosphate Solubilizing Bacteria (PSB) from Some Soil Samples in Bogor, West Nusa Tenggara, and East Nusa Tenggara. Supervised by FAHRIZAL HAZRA and ETTY PRATIWI.

Phosphorus (P) is one of the macro nutrients essential for plant growth, but its contents in the plants was lower than nitrogen (N), potassium (K), and calcium (Ca). Phosphate fertilization is often inefficient because the phosphate are fixed by soil so that is not available for plants. To transform the insoluble forms of phosphorus into soluble forms, phosphate solubilizing bacteria (PSB) would be essential. These soil bacteria are capable of solubilizing insoluble compounds and release phosphorus to soil solution.

The objectives of this research are: (i) to isolate and characterize of PSB and (ii) to identify of these bacteria based on molecular amplification of 16S rRNA gene. Soil samples were collected from rhizosphere in Bogor, West Nusa Tenggara, and East Nusa Tenggara. Several stages in this research are: (i) isolation PSB in Pikovskaya agar, (ii) morphological and biochemical characterization of PSB, (iii) measurement of phosphatase enzymes, and (iv) measurement of secreting indole acetic acid phytohormone.

We have collected 29 isolates of PSB and three isolates of them, namely: P 3.5 (East Nusa Tenggara), P 6.2 (West Nusa Tenggara), and P 10.1 (Citeureup, West Java) were chosen for further study. There are many characteristics of isolate P 10.1: (i) it has capable to solubilize P with the value of highest solubilization index (1.80), (ii) it has the highest phosphatase enzyme (120.40 ppm), and (iii) it has the highest pH decrease at each observation for six days. Isolates P 3.5 and P 10.1 are the Gram-negative bacteria with coccus shapes and isolate P 6.2 is a Gram-negative bacteria with bacillus shape. DNA amplification of these bacteria employing 16S rRNA primers generated the 1300bp-PCR product. The results of the analysis of 16S rRNA gene sequences showed that isolates P 3.5 and P 10.1 has 98% similarity with Gluconacetobacter sp. strains Rg1-MS-CO and isolate P 6.2 has 97% similarity with Enterobacter sp. pp9c strains.

Keywords : isolation, phosphate solubilizing bacteria (PSB), phosphatase enzymes, indole acetic acid, identification 16S rRNA

(4)

ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN IDENTIFIKASI

MOLEKULER BAKTERI PELARUT FOSFAT (BPF) DARI

BEBERAPA SAMPEL TANAH DI BOGOR, NUSA TENGGARA

BARAT (NTB), DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

RENI KASMITA

A14051794

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(5)

Judul Skripsi : Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dari Beberapa Sampel Tanah di Bogor, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

Nama : Reni Kasmita NIM : A14051794

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Fahrizal Hazra, M.Sc) (Dr. Ir. Etty Pratiwi, M.Si) NIP. 19631120 198903 1 002 NIP. 19630419 199203 2 001

Mengetahui : Ketua Departemen

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc) NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 September 1987. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan Bapak Zubir Siak dan Ibu Yusmarni.

Penulis mengawali pendidikan di SD Negeri Cakung Barat 013 Pagi, Jakarta Timur pada tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 144 Jakarta Timur. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 89 Jakarta Timur pada tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006, melalui program Mayor-Minor penulis diterima di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi, yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) pada tahun 2007 sampai 2008. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan menjadi panitia berbagai kegiatan diantaranya, yaitu Seminar Nasional “Evaluasi Sewindu Reformasi”, Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa (PPKM), Workshop Penulisan Karya Tulis Ilmiah, panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan pada tahun 2007, panitia Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Pertanian pada tahun 2007, panitia Seminar Nasional ”Soil and Mining” pada tahun 2008, dan panitia kegiatan bakti lingkungan “Water Concervation

Campaign” dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia. Selama menjadi

mahasiswa penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Bioteknologi Tanah pada tahun 2008.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul ”Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dari Beberapa Sampel Tanah di Bogor, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)” ini bisa diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada :

1. Ir. Fahrizal Hazra, M.Sc dan Dr. Ir. Etty Pratiwi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik.

2. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, M.Sc selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukkan bagi penulis. 3. Papa dan Mama tercinta, Bang Indra dan Mba Diyah, Bang Andre dan

Mba Fany, Kak Ita, adikku Ibnu, dan keponakanku Queenza serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik. A’Eko untuk perhatian, dukungan, semangat, serta kesabarannya hingga penelitian dan skripsi ini selesai.

4. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Seluruh staf Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB.Biogen) : Ibu Susi, Ibu Selly, Ibu Titi, Ibu Aminah, Pak Jajang, Pak Eep, Ibu Yuli, dan Mas Alam yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Seluruh staf Laboratorium Bioteknologi Tanah dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan : Ibu Asih, Ibu Julaeha, Pak Sarjito, Mba

(8)

Hesti, Mba Iko, Ibu Tini atas dukungan dan bantuannya. Semua teman-teman Laboratorium Bioteknologi Tanah dan teman-teman-teman-teman MSL khususnya MSL ’42 : Dena, Ali, dan lainnya terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

7. Sahabat-sahabatku : Shanty, Linda, Rizma, dan Nana. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. Teman seperjuangan penelitian dan satu pembimbing : Xenia, Andri, dan Adi. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun. Teman-teman kostan Mega : Mba Ririn, Mba Mona, Mba Tuti, Mba Vivin, Eno, Mpit, Mila, Esti, dan Della yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatiannya selama ini. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang dapat menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Februari 2010

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2. 1. Senyawa P di Dalam Tanah ... 3

2. 1. 1. P-Organik ... 4

2. 1. 2. P-Anorganik ... 4

2. 2. Peranan P Dalam Tanaman ... 5

2. 3. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) ... 6

2. 4. Deoxyribonucleic Acid (DNA) ... 8

2. 5. Identifikasi Molekuler melalui Amplifikasi Gen 16S rRNA ... 8

2. 6. Elektroforesis Gel Agarosa ... 9

2. 7. Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 10

III. BAHAN DAN METODE ... 13

3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

3. 2. Bahan dan Alat ... 13

3. 3. Metode Penelitian ... 14

3. 3. 1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat dari Tanah di sekitar Perakaran (Rizosfer) ... 14

3. 3. 2. Karakterisasi dan Pengujian Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P ... 14

3. 3. 3. Pengujian Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim Fosfatase ... 15

3. 3. 4 Pengujian Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Zat Pemacu Tumbuh Indole Acetic Acid (IAA). ... 16

3. 3. 5 Pengujian Pewarnaan Gram Bakteri Pelarut Fosfat ... 17

3. 3. 6. Pengukuran Pertumbuhan Populasi, pH, dan Kandungan Enzim Fosfatase Bakteri Pelarut Fosfat ... 17

3. 3. 7. Identifikasi Molekuler ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4. 1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat ... 21

4. 2. Karakteristik dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P ... 22

(10)

4. 3. Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim Fosfatase dan Zat Pengatur Tumbuh Indole Acetic Acid

(IAA) serta Karakterisasi Pewarnaan Gram ... 25

4. 4. Pertumbuhan Populasi, pH, dan Kandungan Enzim Fosfatase Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih ... 30

4. 5. Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat ... 34

4. 5. 1. Isolasi DNA ... 34

4. 5. 2. Elektroforesis Gel Agarosa ... 36

4. 5. 3. Amplifikasi Gen 16S rRNA ... 36

4. 5. 4. Sekuensing DNA Bakteri Pelarut Fosfat ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5. 1. Kesimpulan ... 41

5. 2. Saran ... 41

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 45

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Karakteristik Morfologi Koloni dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P pada Medium Pikovskaya Padat Selama 7 Hari

Inkubasi ... 22 2. Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim

Fosfatase dan Indole Acetic Acid (IAA) Selama 3 Hari Inkubasi

serta Pewarnaan Gramnya ... 25 3. Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih Berdasarkan Kandungan Enzim

Fosfatase dan IAA Tertinggi pada Masing-masing Daerah Asal

Sampel Tanah ... 28 4. Beberapa Ciri Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif ... 28

5. Jumlah Populasi Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada Medium Pikovskaya Padat dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P ... 30

6. Beberapa Ciri Pertumbuhan Bakteri pada Setiap Fase Pertumbuhan ... 31 7. Nilai pH Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada Medium Pikovskaya Cair dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P ... 32

8. Kandungan Enzim Fosfatase (ppm) Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada Medium Pikovskaya Cair dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P ... 33

Lampiran

1. Daftar Sampel Tanah Rizosfer Sumber Isolat Bakteri Pelarut

Fosfat ... 50

2. Komponen Reaksi Untuk Proses PCR ………..……….... 51 3. Hasil Pengukuran Kurva Standar p-nitrophenol (kandungan enzim

fosfatase) ……... 52 4. Hasil Pengukuran Kurva Standar Indole Acetic Acid (IAA) ... 53

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Siklus fosfor di alam ... 3

2. Siklus PCR ... 12

3. Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat dari rizosfer ... 21

4. Pemurnian bakteri pelarut fosfat pada medium Pikovskaya padat ... 22

5. Hasil pewarnaan Gram dari sel bakteri pelarut fosfat; (a) isolat P 3.5, (b) isolat P 6.2, dan (c) isolat P 10.1 yang dilihat dibawah mikroskop (perbesaran 100 x 10) ... 29

6. Pertumbuhan populasi bakteri pelarut fosfat terpilih pada medium Pikovskaya padat dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P ... 30

7. Perubahan nilai pH isolat bakteri pelarut fosfat terpilih pada medium Pikovskaya cair dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P... 32

8. Kandungan enzim fosfatase bakteri pelarut fosfat terpilih pada medium Pikovskaya cair dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P ... 33

9. DNA yang telah dililit di ujung tip mikro ... 35

10. Hasil elektroforesis DNA genom bakteri pelarut fosfat ... 36

11. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA bakteri pelarut fosfat ... 37

Lampiran 1. Kurva standar p-nitrophenol ... 52

2. Kurva standar Indole Acetic Acid (IAA) ... 53

3. Metode penelitian; (a) larutan standar IAA, (b) larutan standar p-nitrophenol, (c) perubahan warna pada medium Pikovskaya setelah diinokulasikan bakteri pelarut fosfat, (d) pengukuran enzim fosfatase dan IAA menggunakan Spectrophotometer, (e) inokulasi bakteri pelarut fosfat pada medium Pikovskaya padat dengan cara disebar ... 54

4. Peralatan penelitian; (a) perangkat elektroforesis (Mupid-2plus), (b) perangkat PCR (SwiftTM Maxi Thermal Cycler Blocks-”ESCO”), (c) Scope UV Transilluminator (Dekstop Gel Imager-SCOPE 21), (d) mikroskop (Olympus) ... 55

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Komposisi medium pertumbuhan bakteri pelarut fosfat ... 46 2. Komposisi bufer untuk pengukuran kandungan enzim fosfatase ... 47 3. Komposisi dan cara pembuatan bahan untuk identifikasi molekuler ... 48

(14)

1.1. Latar Belakang

Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding nitrogen (N), kalium (K), dan kalsium (Ca). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- yang

terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4- lebih banyak dijumpai pada tanah yang

lebih masam, sedangkan pada pH alkali bentuk HPO42- lebih dominan. Disamping

ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin, dan fosfohumat (Havlin et al., 1999).

Pemupukan fosfat sering tidak efisien karena fosfat terikat dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Masalah utama dalam pemupukan fosfat pada lahan pertanian adalah efisiensinya yang rendah, karena hanya 10-30% saja yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hal ini terjadi karena adanya proses pengikatan atau fiksasi P yang cukup tinggi oleh tanah terhadap pupuk yang diberikan. Pada tanah yang bersifat basa (pH tinggi), fiksasi P dilakukan oleh kalsium (Ca) dan terbentuk ikatan Ca-P yang bersifat sukar larut, sehingga bentuk P ini sukar atau bahkan tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang bersifat masam (pH rendah), fiksasi P dilakukan oleh besi (Fe) atau aluminium (Al) dan terbentuk ikatan Fe-P atau Al-P yang juga sukar larut dan tidak tersedia bagi tanaman (Anonim, 2008).

Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat, saat ini mulai dikembangkan pemanfaatan mikroba pelarut fosfat sebagai pupuk hayati, salah satunya adalah bakteri pelarut fosfat (BPF). Penggunaan mikroba pelarut fosfat sebagai pupuk hayati memiliki keunggulan antara lain hemat energi, tidak mencemari lingkungan, mampu membantu meningkatkan kelarutan P yang terjerap, menghalangi terjerapnya P oleh unsur-unsur penjerap, dan mengurangi toksisitas Al3+, Fe3+, dan Mn2+ terhadap tanaman pada tanah masam (Elfiati, 2005). Pemanfaatan BPF dinilai dapat dijadikan sebagai suatu alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam mencari pemecahan masalah efektivitas ketersediaan unsur P di dalam tanah.

(15)

Menurut Subba-Rao (1982) di dalam tanah banyak bakteri yang memiliki kemampuan melepas P dari ikatan Fe, Al, Ca, dan Mg sehingga P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Beberapa bakteri yang memiliki kemampuan melarutkan P antara lain Bacillus, Pseudomonas, Arthrobacter,

Micrococcus, Streptomyces, dan Flavobacterium. Beberapa mekanisme pelarutan

P pada BPF antara lain melalui kemampuan menghasilkan enzim fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme seperti asam asetat, propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartarat, sitrat, laktat, dan ketoglutarat. Sekresi asam-asam organik tersebut dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah yang pada akhirnya akan menurunkan pH dan memecahkan ikatan pada beberapa bentuk senyawa fosfat sehingga akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam larutan tanah (Subba-Rao, 1982).

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan isolasi, karakterisasi, dan identifikasi BPF dari beberapa lokasi di Bogor, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki kemampuan melarutkan P tertinggi serta mengetahui jenis bakteri tersebut melalui identifikasi molekuler berdasarkan amplifikasi gen 16S rRNA.

(16)

2.1. Senyawa P di Dalam Tanah

Tanah-tanah di wilayah tropika yang bereaksi asam ditandai kahat hara fosfat. Sebagian besar bentuk fosfat diikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada kebanyakan tanah tropika diperkirakan hanya 25 % fosfat yang diberikan dalam bentuk superfosfat yang diserap tanaman dan sebagian besar atau 75 % diikat tanah (Sutanto, 2008).

Fosfor (P) di dalam tanah dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu P-organik dan P-anP-organik. Kandungannya sangat bervariasi tergantung pada jenis tanah, tetapi pada umumnya rendah. P-organik berasal dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer atau pengurai menjadi P-anorganik. Sedangkan P-anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk P-anorganik terlarut di air tanah dan laut. P-anorganik ini kemudian akan diserap kembali oleh akar tumbuhan, dan siklus ini berulang terus menerus (Anonim, 2000). Siklus P dapat dilihat pada Gambar 1.

Tanaman Hewan

Materi organik mati (Fosfat Organik) Melalui Penyerapan oleh akar

mikoriza Mineralisasi

Ortofosfat

Immobilisasi

Mikroorganisme pelarut P Fosfor anorganik yang tidak tersedia

(17)

2.1.1. P-organik

Bentuk-bentuk P-organik berasal dari sisa tanaman, hewan, dan jasad renik. P-organik terdapat sebagai senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu inositol fosfolipida, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat. Inositol, fosfolipida, dan asam nukleat terdapat paling banyak di dalam tanah (Tisdale et al., 1985).

Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat bergantung pada aktivitas mikroba untuk memineralisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini segera bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh mikroba tanah, terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik, tetapi juga dipengaruhi oleh pH, kelembaban, temperatur, dan faktor lainnya. Dalam kebanyakan tanah, total P-organik sangat berkorelasi dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya total C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik, maka semakin meningkat immobilisasi P. P-anorganik dapat diimmobilisasi menjadi P-organik oleh mikroba dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100% (Havlin et al., 1999).

Asam organik yang dihasilkan bakteri pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah (a) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif; (b) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan komplek logam organik; (c) modifikasi muatan tapak jerapan oleh ligan organik (Havlin et al., 1999).

2.1.2. P-anorganik

Menurut Soepardi (1983) ketersediaan P-anorganik sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (i) pH tanah; (ii) besi, aluminium, dan mangan larut; (iii) adanya mineral yang mengandung besi, aluminium, dan mangan; (iv) tersedianya kalsium; (v) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik; dan (vi) kegiatan

(18)

jasad mikro. Empat faktor pertama berhubungan satu sama lain, karena semuanya bergantung dari kemasaman tanah.

P-anorganik dalam bentuk padat biasanya dibagi menjadi tiga bagian aktif dan dua bagian yang nisbi tak aktif. Bagian yang aktif dapat dikelompokkan ke dalam fosfat terikat kalsium (Ca-P), fosfat terikat aluminium (Al-P), dan fosfat terikat besi (Fe-P). Bagian yang nisbi tak aktif adalah yang terdapat dalam bentuk terserap dan dalam bentuk larut dalam pereduksi (Sanchez, 1992). P-anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral flour apatit {Ca10(PO4)6F2}.

Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit, dan lain-lain sesuai dengan lingkungannya. Selain itu, ion-ion fosfat dengan mudah dapat bereaksi dengan ion Fe3+, Al3+, Mn2+, Ca2+, ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksida hidrat besi, aluminium, dan liat (Premono, 1994).

Pada tanah masam, kelarutan Al dan Fe menjadi tinggi. Dengan demikian, ion fosfat (H2PO4-, HPO42-, PO43-) akan segera terikat membentuk

senyawa P yang kurang tersedia bagi tanaman. Bila pH tanah dinaikkan, maka P akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH di atas netral, P juga kurang tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang tersedia. Unsur tersebut akan tersedia kembali bila pH diturunkan. Jadi ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Havlin et al., 1999).

2.2. Peranan P Dalam Tanaman

Fosfor (P) yang diserap tanaman tidak direduksi, melainkan berada di dalam senyawa-senyawa organik dan anorganik dalam bentuk teroksidasi. P-anorganik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai komponen sistem penyangga tanaman. Dalam bentuk organik, P terdapat sebagai : (i) fosfolipida, yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas; (ii) fitin, yang merupakan simpanan fosfat dalam biji; (iii) gula fosfat, yang merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolisme tanaman; (iv) nukleoprotein, komponen utama DNA dan RNA inti sel; (v) ATP, ADP, AMP dan senyawa sejenis, sebagai senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme; (vi) NAD dan NADP, keduanya adalah koenzim penting dalam proses reduksi dan oksidasi; (vii)

(19)

FAD dan berbagai senyawa lain, yang berfungsi sebagai pelengkap enzim tanaman (Salisbury dan Ross, 1995).

Soepardi (1983) mengemukakan peranan P antara lain penting untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat jerami agar tanaman tidak mudah rebah, memperbaiki kualitas tanaman, pembentukan bunga, buah, dan biji serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Gejala kekurangan P dapat diamati secara visual, yaitu daun-daun yang tua akan berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesis protein. Gejala lain adalah nekrosis atau kematian jaringan pada pinggir atau helai dan tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman.

2.3. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)

Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan kelompok bakteri tanah yang memiliki kemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman. Beberapa bakteri yang dapat melarutkan fosfat diantaranya Pseudomonas sp., Bacillus sp.,

Escherichia sp., dan Actinomycetes sp. (Anonim, 2009). Genus Pseudomonas sp.

dan Bacillus sp. memiliki kemampuan yang paling besar dalam melarutkan fosfat tak larut menjadi bentuk larut dalam tanah. Pelarutan ini disebabkan oleh adanya sekresi asam organik bakteri tersebut seperti asam formiat, asetat, propionat, laktat, glikolat, glioksilat, fumarat, tartarat, ketobutirat, suksinat, dan sitrat (Subba-Rao, 1982).

Mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak dikaitkan dengan aktivitas mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme. Tetapi pelarutan P dapat pula dilakukan oleh mikroba yang tidak menghasilkan asam organik, yaitu melalui (i) mekanisme pelepasan proton (ion H+) pada proses respirasi; (ii) asimilasi amonium (NH4+); dan (iii) adanya kompetisi antara anion organik dengan

(20)

ortofosfat pada permukaan koloid (Illmer dan Schinner, 1995). Menurut Narsian dan Patel (2000) pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat selain terjadi karena proses kelasi dan reaksi pertukaran, juga disebabkan oleh menurunnya pH rizosfer akibat adanya asam organik.

Meningkatnya asam-asam organik biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang diikat oleh Ca. Penurunan pH juga dapat disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1978). Reaksi pelarutan P oleh penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat, secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :

Selain enzim fosfatase yang dihasilkan oleh BPF yang dapat menghasilkan fosfat bebas, ada pula enzim lain, yaitu fitase, firofosfatase, dan metafosfatase (Anonim, 2009). Reaksi pelarutan oleh berbagai enzim pelarut P dapat ditulis sebagai berikut :

Ester fosfat + H2O ROH + fosfat (tersedia)

fosfatase

Heksafosfat inositol + 6 H2O Inositol + 6 fosfat (tersedia)

fitase

Firofosfat + H2O 2 Ortofosfat (tersedia)

firofosfatase

Metafosfat Ortofosfat (tersedia)

metafosfatase

Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+ 10Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4

-OH OH

M OH + R – COO- M OH + H2PO4

-H2PO4- OC – R

(21)

2.4. Deoxyribonucleic Acid (DNA)

Asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid atau DNA) adalah substansi kimiawi yang berperanan dalam penerusan informasi yang turun-temurun. Di dalam struktur DNA terkodekan (tersandikan) informasi bagi sintesis semua protein sel. DNA adalah sebuah molekul yang panjang menyerupai tali, biasanya terdiri dari dua utas, saling membelit membentuk heliks ganda. Setiap utas heliks DNA terdiri dari nukleotida-nukleotida yang tergabung membentuk rantai polinukleotida (Pelczar, 1986).

Menurut Lehninger (1994) DNA merupakan molekul yang amat panjang, terdiri dari ribuan deoksiribonukleotida yang bergabung dalam suatu urutan yang bersifat khas bagi tiap organisme. Molekul ini adalah material kromosom yang membawa informasi genetik sel hidup dan umumnya berbentuk untai ganda (double helix). Baik RNA maupun DNA tersusun atas komponen-komponen nukleotida yang terdiri dari gula (pentosa), basa nitrogen, dan asam fosfat. Basa nitrogen pada nukleotida bergabung secara kovalen dalam ikatan N-glikosil dengan atom karbon 1’ pada pentosa sementara residu asam fosfat berikatan ester dengan atom karbon 5’. Basa nitrogen merupakan turunan dari senyawa heterosiklik purin dan pirimidin.

DNA berfungsi untuk menyimpan informasi genetik secara lengkap yang diperlukan untuk mencirikan struktur semua protein dan RNA tiap-tiap spesies organisme, untuk membuat program pada saat yang tepat dan menempatkan biosintesis sel dan komponen jaringan secara teratur, untuk menentukan aktivitas organisme sepanjang siklus hidupnya, dan untuk menentukan kekhususan organisme tertentu (Lehninger, 1994).

2.5. Identifikasi Molekuler melalui Amplifikasi Gen 16S rRNA

Pendekatan analisis pada tingkat molekuler (genomik) dapat diaplikasikan pada spesies yang belum dapat dikulturkan di laboratorium. Berbagai metode dapat dilakukan untuk menganalisis DNA, diantaranya AFLP, ARDRA, PFGE, dan lain-lain. Namun dari berbagai metode yang digunakan, rRNA paling banyak digunakan sebagai marka molekuler. Pada prokariot terdapat tiga macam ribosomal RNA (rRNA), yaitu 5S rRNA, 16S rRNA, dan 23S rRNA. Molekul 5S

(22)

rRNA tersusun dari 120 basa. Urutan basa molekul tersebut sangat pendek, sehingga molekul 5S rRNA tidak ideal dari segi analisis statistika. Molekul 23S rRNA tersusun dari 2900 basa. Molekul ini menyulitkan analisis karena memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang. Prosedur yang telah baku yang sudah digunakan untuk menentukan hubungan filogenetik dan mendefinisikan spesies adalah melalui amplifikasi gen 16S rRNA (Jusuf, 2001).

Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang relatif konservatif dan daerah yang variatif. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi ekologi bumi. Sebaliknya urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies (Pangastuti, 2006).

Gen 16S rRNA merupakan komponen penting dalam sel dan sangat menguntungkan di dalam analisis filogenetik, karena terdiri atas daerah yang konservatif yang mutasinya terbatas (Madigan et al., 1997). Komponen rRNA bersifat stabil pada semua sistem hidup dan tidak ada transfer gen rRNA antar spesies. Sekuen ini dapat digunakan untuk mengukur jarak filogenetik antar organisme walaupun hubungan kekerabatannya jauh. Urutan basa gen 16S rRNA juga dapat menunjukkan nenek moyang dan kekerabatan organisme, akan tetapi organisme yang berkerabat belum tentu memiliki kesamaan aktivitas fisiologis (Atlas, 1997).

2.6. Elektroforesis Gel Agarosa

Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan (Yuwono, 2005). Teknik elektroforesis selalu memiliki dua komponen utama, yaitu medium penyangga (kertas atau gel) dan larutan bufer. Fungsi medium penyangga adalah sebagai reseptor titik dari senyawa-senyawa yang akan dipisahkan dan menyediakan jalur bagi migrasi komponen. Sedangkan fungsi bufer sebagai konduktor arus, yaitu jembatan konduksi di antara dua elektroda, sehingga memungkinkan terjadinya aliran medan listrik dan menstabilkan pH. Untuk

(23)

elektroforesis DNA dapat digunakan bufer asetat-EDTA (TAE) dan Tris-borate-EDTA (TBE) (Sari, 2006).

Elektroforesis DNA akan lebih baik menggunakan medium penyangga berupa gel buatan seperti poliakrilamida atau agarosa. Gel agarosa lebih mudah dalam preparasinya daripada poliakrilamida. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan dalam elektroforesis bervariasi antara 0.5%-2%. Biasanya gel agarosa dengan konsentrasi 0.8%-1% sangat baik untuk memisahkan fragmen DNA berukuran 1-20.000 pasang basa. Gel agarosa dengan konsentrasi kurang dari 0.5% sangat rapuh dan sulit ditangani. Hasil elektroforesis DNA dapat divisualisasikan dengan mewarnai gel (staining) yang berisi DNA menggunakan Etidium Bromida (EtBr) selama 5-10 menit kemudian dilanjutkan dengan pencucian dalam akuades (destaining) selama 5-10 menit yang bertujuan untuk menghilangkan EtBr yang berikatan secara tidak spesifik pada bagian gel yang tidak terdapat DNA. Selanjutnya pita-pita DNA dapat dilihat dengan sinar ultraviolet (UV). Etidium Bromida dapat menangkap sinar UV, sehingga DNA yang terikat dengan EtBr dapat terlihat pendarannya di transilluminator (Sari, 2006).

Asam deoksiribonukleat merupakan molekul bermuatan negatif, sehingga jika diletakkan di medan listrik, DNA akan bermigrasi dari kutub negatif ke kutub positif. Sebelum dilakukan elektroforesis, suspensi DNA harus dicampur dengan muatan pewarna (loading buffer). Pewarna yang biasa digunakan adalah bromofenol biru dan xilen sianol yang mengandung sukrosa sebagai pemberat (Sari, 2006).

2.7. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) atau disebut reaksi rantai polimerase adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu atau DNA dengan cara in vitro (Yuwono, 2006).

Sejak ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983, teknik ini telah melahirkan bermacam teknik berbasis PCR lainnya yang sangat bervariasi. Protokol dasar PCR menurut Anonim (2008) adalah sebagai berikut :

(24)

1. DNA utas ganda didenaturasi pada suhu 95°C sehingga membentuk DNA utas tunggal yang berfungsi sebagai cetakan.

2. DNA utas tunggal yang pendek (disebut primer) berikatan dengan DNA cetakan pada temperatur rendah. Ikatan primer terjadi pada utas yang komplementer dengan cetakan pada daerah ujung batas sekuen DNA target. 3. Suhu ditingkatkan menjadi 72°C sehingga enzim DNA polimerase dapat

melakukan sintesis DNA membentuk utas ganda DNA baru.

4. Utas ganda DNA yang baru disintesis, didenaturasi pada suhu tinggi dan siklus berulang.

Tujuan dari PCR adalah untuk membuat sejumlah besar duplikasi suatu gen. Hal ini diperlukan agar diperoleh jumlah DNA cetakan awal yang cukup untuk sekuensing DNA ataupun untuk memperoleh material genetik yang diperlukan dalam proses rekayasa genetik. Tahapan pengerjaan PCR secara umum terdiri dari isolasi DNA/RNA, pengecekan integritas isolat DNA/RNA secara spektrofotometri atau elektroforesis, pencampuran komponen reaksi PCR pemrograman mesin PCR pada kondisi optimum, amplifikasi reaksi dan deteksi atau evaluasi hasil reaksi (Sari, 2006).

Reaksi PCR suatu fragmen DNA dimulai dari tahap denaturasi DNA cetakan. Denaturasi ini akan menyebabkan DNA yang semula rantai ganda akan terpisah menjadi DNA rantai tunggal. Denaturasi DNA menggunakan pemanasan pada suhu 900C hingga 950C. Kemudian dilanjutkan dengan tahap penempelan primer pada DNA cetakan yang rantai tunggal. Penempelan primer terjadi pada DNA target untuk mendefinisikan sekuen yang diinginkan. Suhu pada tahap ini dipengaruhi oleh jumlah G+C dan A+T di dalam primer yang digunakan dan konsentrasi amplifikasi primer. Setelah dilakukan penempelan primer, suhu inkubasi dinaikkan hingga 720C. Pada suhu ini akan terjadi polimerisasi rantai DNA yang baru pada DNA target. DNA baru hasil polimerisasi tersebut akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerisasi selanjutnya. Tiga prinsip tahap reaksi tersebut dapat dilakukan 20 hingga 40 kali sehingga pada akhir dari PCR akan didapatkan DNA baru dalam jumlah banyak (Yuwono, 2006). Siklus PCR dapat dilihat pada Gambar 2.

(25)
(26)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB. Biogen) Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember 2009.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel tanah dari Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor, Jawa Barat), Citeureup (Bogor, Jawa Barat), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), medium Pikovskaya (dengan 2 sumber P yang berbeda, yaitu Ca3(PO4)2 atau

trikalsium fosfat dan Ca5(PO4)3OH atau hidroksi apatit), larutan fisiologis 0.85%,

Modified Universal Buffer (MUB) 1x, 0.5 N NaOH, 0.115 M p-nitro phenyl phosphate (p-NPP), 1 mg/ml p-nitrophenol (p-NP), larutan standar indole acetic acid (IAA), pereaksi Salkowski (400 ml H2SO4 pekat; 20 ml FeCl3 0.1 M; 580 ml

akuades), akuades, ungu kristal, safranin, iodium, alkohol 95%, medium LB (Luria Bertani), bufer STE (100 mM NaCl; 10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA pH 8), larutan SDS 10%, proteinase-K 10 mg/ml, larutan fenol, larutan kloroform, etanol absolut 95%, aquabidest steril, 10x bufer TAE, agarosa, larutan loading buffer, primer F-63 CAGGCCTAACACATGCAAGTC) dan primer R-1387 (5’-GGGCGGCGTGTACAAGGC) (Marchesi et al., 1998), 10 mM dNTP (deoxynucleotide triphosphates), 10x bufer Polymerase Chain Reaction (PCR), 50 mM MgSO4, enzim Taq DNA polimerase, dan Etidium Bromida (EtBr).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berbagai macam peralatan gelas (cawan Petri, batang penyebar, erlenmeyer, tabung reaksi), neraca analitik, pH meter, shaker, autoklaf, ruang laminar, mikropipet, tip mikro, magnetik stirer, inkubator, tabung Eppendorf, vorteks, waterbath, sentrifuse, Hitachi Spectrophotometer tipe 150-20, mikroskop, kaca preparat, microvawe, refrigerator, perangkat elektroforesis (Mupid-2plus), perangkat PCR (SwiftTM Maxi Thermal Cycler Blocks-”ESCO”), dan Scope UV Transilluminator (Dekstop Gel Imager-SCOPE 21).

(27)

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat dari Tanah di sekitar Perakaran (Rizosfer)

Sebanyak 10 gram tanah dari setiap sampel tanah dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer yang berisi 90 ml medium Pikovskaya cair pH 6.8, dishaker (120 rpm) selama 7-10 hari pada suhu ruang, kemudian dibuat serial pengenceran sampai 10-4. Sebanyak 50 µl dari pengenceran 10-3 dan 10-4 dituang di atas permukaan medium Pikovskaya padat secara steril, kemudian disebar merata menggunakan batang penyebar, dan diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu ruang. Adanya pertumbuhan bakteri pelarut fosfat ditandai dengan zona berwarna terang jernih atau zona bening di sekeliling koloni. Koloni yang dikelilingi zona berwarna terang jernih atau zona bening menunjukkan adanya pelarutan fosfat. Koloni-koloni bakteri pelarut fosfat yang diinginkan selanjutnya dimurnikan dengan metode cawan gores dan disimpan di dalam medium agar-miring Pikovskaya.

3.3.2. Karakterisasi dan Pengujian Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P

Setelah terpilih bakteri pelarut fosfat (BPF) hasil isolasi dari beberapa sampel tanah, kemudian dilakukan karakterisasi secara morfologi dengan melakukan pengamatan terhadap koloni BPF meliputi bentuk, tepian, elevasi, dan warna sesuai prosedur Hadioetomo (1993). Selain itu, dilakukan pula pengujian kemampuan BPF dalam melarutkan P pada medium Pikovskaya padat dengan mengukur diameter zona bening dan indeks pelarutan (IP) fosfat.

Pengujian karakterisasi dan kemampuan BPF dalam melarutkan P dilakukan dengan membuat larutan fisiologis 0.85%, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf sebanyak 20 µl. Sebanyak 1 ose kultur isolat BPF yang telah ditumbuhkan pada medium Pikovskaya padat, dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang telah berisi larutan fisiologis dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian dihomogenkan. Setelah itu, diambil sebanyak 10 µl menggunakan mikropipet kemudian diteteskan di atas medium Pikovskaya padat secara steril, dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan selama 7 hari inkubasi dengan mengamati bentuk, tepian, elevasi, dan warna serta

(28)

mengukur diameter zona bening dan indeks pelarutan (IP) fosfat koloni BPF yang menghasilkan zona bening di sekeliling koloni.

3.3.3. Pengujian Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim Fosfatase

Bakteri pelarut fosfat (BPF) yang telah terpilih dari hasil isolasi beberapa sampel tanah dan pengujian karakterisasi dan kemampuan BPF dalam melarutkan P pada medium Pikovskaya padat dengan Ca3(PO4)2 atau trikalsium fosfat sebagai

sumber fosfatnya, kemudian dilakukan pengujian BPF tersebut dalam menghasilkan enzim fosfatase. Pengujian ini dilakukan dengan membuat kurva standar p-nitrophenol (p-NP) dan mengukur kandungan enzim fosfatase BPF.

Pembuatan kurva standar p-nitrophenol (p-NP). Sebanyak 0.02 gram p-nitrophenol (p-NP) dilarutkan dengan akuades 20 ml (konsentrasi = 1000 ppm), kemudian dibuat beberapa tingkat pengenceran menjadi konsentrasi 800 ppm, 400 ppm, 200 ppm, 100 ppm, dan 50 ppm di dalam tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi uji dimasukkan 2 ml masing-masing konsentrasi larutan standar p-nitrophenol (p-NP) dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan standar p-nitrophenol berwarna kuning. Larutan standar p-nitrophenol diukur absorbansinya pada panjang gelombang (λ) = 410 nm menggunakan Hitachi

Spectrophotometer tipe 150-20 dan dibuat kurva standar yang menunjukkan

hubungan antara konsentrasi larutan standar p-nitrophenol (x) dan absorbansi (y).

Pengukuran kandungan enzim fosfatase. Pengukuran kandungan

enzim fosfatase dilakukan sesuai prosedur Tabatabai dan Bremner (1969). Sebanyak 10 ml kultur sel BPF yang ditumbuhkan selama 3 hari pada suhu ruang di dalam medium Pikovskaya cair (dengan 2 sumber P yang berbeda, yaitu Ca3(PO4)2 atau trikalsium fosfat dan Ca5(PO4)3OH atau hidroksi apatit)

disentrifugasi (10000 rpm, 15 menit) untuk memisahkan koloni bakteri dari medium. Supernatan hasil sentrifugasi tersebut dipindahkan ke dalam tabung reaksi bersih dan steril sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan 4 ml Modified Universal Buffer (MUB) 1x, dan 1 ml 0.115 M p-nitro phenyl phosphate (p-NPP), kemudian diinkubasi selama 60 menit di dalam waterbath pada suhu 37ºC. Setelah diinkubasi selama 60 menit, ditambahkan 5 ml 0.5 N NaOH untuk menghentikan reaksi. Larutan akan berubah menjadi warna kuning, hal ini

(29)

menandakan bahwa bakteri menghasilkan enzim fosfatase. Semakin pekat warna kuning yang terbentuk, maka semakin tinggi enzim fosfatase yang dihasilkan. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang (λ) = 410 nm menggunakan Hitachi Spectrophotometer tipe 150-20.

3.3.4. Pengujian Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Zat Pemacu Tumbuh Indole Acetic Acid (IAA)

Selain dilakukan pengujian bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam menghasilkan enzim fosfatase, dilakukan pula pengujian BPF dalam menghasilkan zat pemacu tumbuh IAA dengan 2 sumber P yang berbeda, yaitu Ca3(PO4)2 atau trikalsium fosfat dan Ca5(PO4)3OH atau hidroksi apatit. Pengujian

ini dilakukan dengan membuat kurva standar IAA dan mengukur kandungan IAA BPF.

Pembuatan kurva standar IAA. Sebanyak 10 ml larutan standar IAA

100 ppm dibuat beberapa tingkat pengenceran menjadi konsentrasi 80 ppm, 40 ppm, 20 ppm, 10 ppm, dan 5 ppm di dalam tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 ml masing-masing konsentrasi larutan standar IAA kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi Salkowski (perbandingan 1 : 1) dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang. Setelah penambahan pereaksi Salkowski dan inkubasi selama 60 menit, larutan akan berubah menjadi warna merah muda. Larutan standar IAA diukur absorbansinya pada panjang gelombang (λ) = 530 nm menggunakan Hitachi Spectrophotometer tipe 150-20 dan dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi larutan standar IAA (x) dan absorbansi (y).

Pengukuran kandungan IAA. Pengukuran kandungan IAA dilakukan

sesuai prosedur Gordon dan Weber (1993). Sebanyak 10 ml kultur sel BPF yang ditumbuhkan selama 3 hari pada suhu ruang di dalam medium Pikovskaya cair (dengan 2 sumber P yang berbeda, yaitu Ca3(PO4)2 atau trikalsium fosfat dan

Ca5(PO4)3OH atau hidroksi apatit) disentrifugasi (10000 rpm, 15 menit) untuk

memisahkan koloni bakteri dari medium. Supernatan hasil sentrifugasi tersebut dipindahkan ke dalam tabung reaksi bersih dan steril sebanyak 2 ml, kemudian ditambahkan pereaksi Salkowski sebanyak 2 ml (perbandingan 1 : 1). Campuran supernatan dan pereaksi Salkowski diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang.

(30)

Larutan akan berubah menjadi warna merah muda, hal ini merupakan indikasi adanya kandungan IAA. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang (λ) = 530 nm menggunakan Hitachi Spectrophotometer tipe 150-20.

3.3.5. Pengujian Pewarnaan Gram Bakteri Pelarut Fosfat

Setelah dilakukan pengujian bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam menghasilkan zat pemacu tumbuh IAA, kemudian dilakukan pengujian pewarnaan Gram (Hadioetomo, 1993). Sebanyak 1 ose kultur isolat BPF, dioleskan di kaca preparat yang telah diberi setetes air dan difiksasi dengan panas (dilewatkan di atas api). Kemudian diteteskan ungu kristal selama 1 menit, kelebihan zat warna dibuang dan dibilas dengan akuades. Selanjutnya diteteskan iodium selama 2 menit, kelebihan zat warna dibuang dan dibilas dengan akuades. Tahap berikutnya pemucatan dengan meneteskan alkohol 95% selama 30 detik dan dibilas dengan akuades. Kemudian diteteskan safranin selama 30 detik, kelebihan zat warna dibuang dan dibilas dengan akuades. Sisa-sisa air diserap dengan kertas serap kemudian preparat diamati tanpa kaca penutup di bawah mikroskop. Bakteri Gram positif akan tampak berwarna ungu, sedangkan bakteri Gram negatif akan tampak berwarna merah muda.

3.3.6. Pengukuran Pertumbuhan Populasi, pH, dan Kandungan Enzim Fosfatase Bakteri Pelarut Fosfat

Setelah dilakukan karakterisasi dan pengujian kemampuan bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam melarutkan P secara kualitatif, pengujian BPF dalam menghasilkan enzim fosfatase dan zat pemacu tumbuh IAA, serta karakteristik pewarnaan Gram, kemudian dipilih tiga isolat BPF berdasarkan kandungan enzim fosfatase dan zat pengatur tumbuh IAA tertinggi pada masing-masing daerah asal sampel tanah (Bogor, NTB, dan NTT). Isolat terpilih tersebut selanjutnya akan dilakukan pengujian lebih lanjut, yaitu pengukuran pertumbuhan populasi, perubahan pH pada medium Pikovskaya cair, dan pengukuran kandungan enzim fosfatase. Pengukuran kandungan enzim fosfatase tersebut dilakukan dengan metode yang sama dengan metode pengukuran kandungan enzim fosfatase sebelumnya, yaitu sesuai dengan prosedur Tabatabai dan Bremner (1969), tetapi

(31)

pada pengukuran kali ini dilakukan selama 7 hari inkubasi (sebelumnya 3 hari inkubasi).

Pengukuran perubahan pH pada medium Pikovskaya cair tiap isolat BPF dilakukan menggunakan pH meter. Pengukuran pertumbuhan populasi BPF dilakukan dengan membuat serial pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7. Sebanyak 25 µl dari setiap pengenceran tersebut dituang di atas permukaan medium Pikovskaya padat secara steril dan disebar merata menggunakan batang penyebar, kemudian diinkubasi pada suhu ruang sampai terbentuk zona bening di sekeliling koloni. Ketiga pengukuran tersebut dilakukan selama 7 hari inkubasi, dimulai dari hari ke-0 sampai hari ke-6.

3.3.7. Identifikasi Molekuler

Selain dilakukan pengukuran pertumbuhan populasi, perubahan pH pada medium Pikovskaya cair, dan pengukuran kandungan enzim fosfatase, dilakukan pula identifikasi molekuler terhadap tiga isolat BPF terpilih dari masing-masing daerah asal sampel tanah (Bogor, NTB, dan NTT). Identifikasi molekuler ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut, yaitu isolasi DNA genom bakteri, elektroforesis DNA, Polymerase Chain Reaction (PCR), dan sekuensing DNA.

Isolasi DNA Genom Bakteri. Isolasi total DNA genom yang digunakan

merupakan modifikasi dari metode Lazo et al. (1987). Sebanyak 10 ml kultur sel BPF yang ditumbuhkan selama 3 hari pada suhu ruang di dalam medium LB (Luria Bertani) disentrifugasi (8000 rpm, 10 menit) untuk memisahkan koloni bakteri dari medium. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan pelet dicuci dengan 1 ml bufer STE (100 mM NaCl; 10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA pH 8), kemudian pelet diresuspensi menggunakan mikropipet. Hasil resuspensi disentrifugasi (8000 rpm, 10 menit) kembali kemudian supernatan dibuang dan pelet diresuspensi dengan 200 µl bufer STE dan ditambahkan 40 µl larutan SDS 10%. Selanjutnya suspensi diinkubasi dalam waterbath (65ºC, 90 menit). Kemudian suspensi didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan 4 µl proteinase-K 10 mg/ml.

(32)

Suspensi DNA disimpan dalam inkubator 37ºC selama ± 4 jam. Hasil inkubasi ditambahkan larutan fenol dan kloroform masing-masing 120 µl sampai terbentuk emulsi, kemudian tabung Eppendorf yang berisi campuran DNA dibolak-balik secara halus. Suspensi yang telah teremulsi disentrifugasi (8000 rpm, 10 menit) dan supernatan yang mengandung DNA dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf steril dan dipresipitasi dengan etanol absolut 95% yang dingin (-20ºC) sebanyak 2 kali volume supernatan yang diperoleh, kemudian diinkubasi pada suhu -20ºC selama 30 menit. DNA dililit keluar menggunakan ujung tip mikro ukuran 200 µl yang steril kemudian dikeringudarakan. Hasil isolasi DNA tersebut dilarutkan ke dalam tabung Eppendorf steril yang berisi 40 µl aquabidest steril. DNA yang telah dicairkan tersebut siap digunakan untuk elektroforesis atau disimpan sebagai stock pada suhu -20ºC.

Proses Elektroforesis DNA. Larutan 10x bufer TAE diencerkan menjadi

0.5x bufer TAE. Kemudian dibuat gel agarosa 0.8%, yaitu 0.8 gram agarosa dalam 100 ml 0.5x bufer TAE yang selanjutnya dituang ke dalam cetakan gel agarosa. Setelah gel membeku diletakkan ke dalam tangki elektroforesis yang telah diisi 0.5x bufer TAE sehingga gel terendam.

Sebanyak 2 µl dari masing-masing DNA dicampur dengan 3 µl loading

buffer sebagai pemberat. Suspensi larutan DNA dengan loading buffer

diinjeksikan ke dalam sumur-sumur pada gel elektroforesis. Setelah semua sumur terisi, power supply perangkat elektroforesis dinyalakan dengan voltase sebesar 110 V selama ± 45 menit. Gel hasil elektroforesis diangkat dan selanjutnya direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 10 menit untuk pewarnaan (staining) dan destaining dalam akuades selama 5 menit. Selanjutnya DNA dapat dilihat dan difoto menggunakan perangkat UV Transilluminator yang dilengkapi dengan kamera digital.

Proses Polymerase Chain Reaction (PCR). Proses PCR diawali dengan

pembuatan campuran komponen reaksi untuk PCR sebanyak 75 µl dengan komposisi sebagai berikut : 7.50 µl 10x bufer PCR, 2.25 µl 10 mM dNTP, 1.50 µl 50 mM MgSO4, 0.75 µl 10 µM primer F, 0.75 µl 10 µM primer R, 1.00 µl

(33)

Running PCR dilakukan sebanyak 30 siklus dengan kondisi sebagai berikut, denaturasi siklus awal atau pra-denaturasi 94ºC selama 5 menit, diikuti denaturasi untuk siklus selanjutnya pada suhu 94ºC selama 30 detik. Penempelan primer (annealing) dilakukan selama 30 detik pada suhu 50ºC. Polimerisasi dilakukan selama 2 menit pada suhu 72ºC dan pada siklus terakhir, yaitu siklus ke-30 dilakukan perpanjangan waktu polimerisasi selama 7 menit. Terakhir dilakukan penurunan suhu ke 4ºC untuk menghentikan reaksi PCR. Produk hasil PCR divisualisasi dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1.0% dalam 0.5x bufer TAE dengan voltase 110 volt selama ± 45 menit.

Sekuensing DNA. Produk hasil PCR disekuen menggunakan piranti

Automated DNA Sequencer ABI PRISM 377 (Perkin Elmer Biosystem, USA).

Cycle sequencing DNA template dilakukan menggunakan kit BigDye® Ready

Reaction Mix (Perkin Elmer Biosystem, USA). Proses sekuensing dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya, Jakarta. Sekuen DNA yang diperoleh dibandingkan dengan sekuen pada database

European Bioinformatics Institute (EBI) menggunakan piranti WU-BLASTN 2.0

(34)

4.1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat

Sampel tanah rizosfer yang digunakan sebagai sumber isolat bakteri pelarut fosfat (BPF) diperoleh dari areal Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor, Jawa Barat), Citeureup (Bogor, Jawa Barat), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampel tanah tersebut diambil di dekat areal sungai, perkebunan, dan persawahan warga. Sampel tanah diambil di sekitar perakaran (rizosfer) pada beberapa tanaman.

Mikroba pada sampel tanah yang diinokulasikan ke dalam medium Pikovskaya cair kemudian diukur kemampuannya dalam melarutkan P pada medium Pikovskaya padat. Tidak semua mikroba tersebut menghasilkan zona berwarna terang jernih atau zona bening. BPF yang tumbuh pada medium Pikovskaya padat akan melarutkan P ditandai dengan adanya zona berwarna terang jernih atau zona bening yang mengelilingi koloni bakteri tersebut. Hal ini disebabkan adanya pelarutan fosfat dari Ca3(PO4)2 yang terdapat dalam medium.

Sebanyak 29 isolat BPF yang menghasilkan zona bening kemudian dimurnikan pada medium Pikovskaya padat dan disimpan dalam medium agar miring (stock culture) untuk digunakan dalam pengujian selanjutnya.

Gambar 3. Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat dari rizosfer

Koloni bakteri pelarut fosfat yang dikelilingi oleh zona bening

(35)

Gambar 4. Pemurnian bakteri pelarut fosfat pada medium Pikovskaya padat

4.2. Karakteristik dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P

Sebanyak 29 isolat bakteri pelarut fosfat (BPF) yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan pengamatan karakteristik morfologi koloni meliputi bentuk, tepian, elevasi, dan warna koloni bakteri sesuai prosedur Hadioetomo (1993), serta pengukuran indeks pelarutan fosfat (IP). Hasil pengamatan dan pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Morfologi Koloni dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Melarutkan P pada Medium Pikovskaya Padat Selama 7 Hari Inkubasi

No. Isolat Ciri Koloni IP

Kode Asal Warna Elevasi Tepian Bentuk

1. P 1.1 NTT Putih Timbul Licin Bundar dengan

tepian timbul 1.20 2. P 1.2 NTT Kuning Timbul Licin Keriput 1.50 3. P 1.3 NTT Putih Seperti

kawah Licin

Bundar dengan

tepian timbul 1.10 4. P 1.4 NTT Putih Timbul Licin Bundar 1.70 5. P 1.5 NTT Putih Seperti

kawah Licin

Bundar dengan

tepian timbul 1.08 6. P 2.1 NTT Putih Timbul Berombak Kompleks 1.10

(36)

Lanjutan Tabel 1...

No. Isolat Ciri Koloni IP

Kode Asal Warna Elevasi Tepian Bentuk

7. P 2.2 NTT Putih kekuningan Seperti

kawah Licin Bundar dengan tepian timbul 1.09 8. P 2.3 NTT Putih Seperti kawah Licin Bundar dengan tepian kerang 1.11 9. P 2.4 NTT Putih Seperti kawah Berombak Bundar dengan tepian kerang 1.22 10. P 3.1 NTT Kuning kecoklatan Timbul Tak beraturan Bundar dengan tepian kerang 1.27 11. P 3.2 NTT Kuning

kecoklatan Timbul Berombak

Bundar dengan tepian menyebar 1.50 12. P 3.3 NTT Kuning kecoklatan Timbul Tak beraturan Bundar dengan tepian menyebar 1.56 13. P 3.4 NTT Kuning kecoklatan Timbul Tak beraturan

Tak beraturan dan menyebar 1.25 14. P 3.5 NTT Coklat Timbul Tak

beraturan Bundar dengan tepian kerang 1.78 15. P 3.6 NTT Kuning Seperti kawah Berombak Bundar dengan tepian kerang 1.50 16. P 4.1 NTT Putih kekuningan Seperti

tetesan Licin Bundar 1.08 17. P 4.2 NTT Putih Seperti

kawah Licin

Bundar dengan

tepian timbul 1.08 18. P 4.3 NTT Putih kekuningan Seperti

kawah Licin

Bundar dengan

tepian timbul 1.09 19. P 4.4 NTT Putih Seperti

tetesan Licin Bundar 1.08 20. P 5.1 NTB Putih Seperti

kawah Berombak

Bundar dengan

tepian timbul 1.10 21. P 5.2 NTB Putih Timbul Berombak Bundar dengan

tepian timbul 1.42 22. P 5.3 NTB Putih Timbul Licin Bundar 1.57 23. P 6.1 NTB Putih kekuningan Seperti

(37)

Lanjutan Tabel 1...

No. Isolat Ciri Koloni IP

Kode Asal Warna Elevasi Tepian Bentuk

24. P 6.2 NTB Putih Seperti

kawah Licin

Bundar dengan tepian kerang 1.22 25. P 7.1 CK Kuning Timbul Berombak Bundar dengan

tepian menyebar 1.11 26. P 8.1 CK Putih Timbul Licin Bundar dengan

tepian kerang 1.67 27. P 8.2 CK Putih Datar Licin Bundar 1.10 28. P 9.1 CT Kuning

kecoklatan Timbul Licin Bundar 1.62 29. P 10.1 CT Kuning

kecoklatan Datar Licin Bundar 1.80 Keterangan :

IP = Indeks Pelarutan Fosfat NTB = Provinsi Nusa Tenggara Barat NTT = Provinsi Nusa Tenggara Timur CK = Cikabayan (Kebun Percobaan IPB)

CT = Citeureup (Bogor, Jawa Barat)

Berdasarkan Indeks Pelarutan (IP) yang dihasilkan dapat diketahui bahwa BPF memiliki kemampuan melarutkan P yang bervariasi. Menurut Rachmiati (1995) luas zona bening secara kualitatif diduga menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri melarutkan P dari fosfat tak larut. Pada pengamatan bentuk koloni yang mengacu kepada Hadioetomo (1993) menujukkan ke-29 isolat rata-rata berbentuk bundar, bundar dengan tepian timbul, bundar dengan tepian menyebar, dan bundar dengan tepian kerang. Sebagian besar isolat berwarna putih, putih kekuningan, dan kuning kecoklatan dengan tepian licin, berombak, tak beraturan serta elevasi timbul, datar, seperti kawah (cekung), dan seperti tetesan (cembung). loni diameterko zonabening loni diameterko IP= +

(38)

4.3. Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim Fosfatase dan Zat Pengatur Tumbuh Indole Acetic Acid (IAA) serta

Karakterisasi Pewarnaan Gram

Setelah dilakukan pengujian karakteristik dan kemampuan bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam melarutkan P pada medium Pikovskaya padat, kemudian dilakukan pengujian kemampuan BPF dalam menghasilkan enzim fosfatase dan IAA serta pewarnaan Gram yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim Fosfatase dan Indole Acetic Acid (IAA) Selama 3 Hari Inkubasi serta Pewarnaan Gramnya

No. Isolat

Enzim Fosfatase (ppm) IAA (ppm)

Pewarnaan Gram

Ca3(PO4)2 Ca5(PO4)3OH Ca3(PO4)2 Ca5(PO4)3OH

1. P 1.1 42.78 17.13 0.04 8.83 Gram Negatif 2. P 1.2 * 17.57 * 5.78 Gram Negatif 3. P 1.3 28.65 43.44 * 16.22 Gram Negatif 4. P 1.4 30.61 8.44 2.24 3.61 Gram Negatif 5. P 1.5 30.39 14.96 * 11.87 Gram Negatif 6. P 2.1 5.39 21.26 * 8.39 Gram Negatif 7. P 2.2 24.74 17.35 * 14.04 Gram Negatif 8. P 2.3 24.09 18.44 * 1.00 Gram Negatif 9. P 2.4 42.57 24.96 * 10.57 Gram Negatif 10. P 3.1 63.00 9.30 7.59 45.35 Gram Negatif 11. P 3.2 34.74 242.13 5.27 4.04 Gram Negatif 12. P 3.3 98.22 2.13 38.99 1.87 Gram Negatif 13. P 3.4 92.35 3.44 74.45 18.83 Gram Negatif 14. P 3.5 76.70 144.52 3.06 97.52 Gram Negatif 15. P 3.6 50.83 6.04 37.59 13.61 Gram Negatif 16. P 4.1 36.70 31.48 * * Gram Negatif 17. P 4.2 9.52 21.48 * 1.87 Gram Negatif

(39)

Lanjutan Tabel 2…

No. Isolat

Enzim Fosfatase (ppm) IAA (ppm)

Pewarnaan Gram

Ca3(PO4)2 Ca5(PO4)3OH Ca3(PO4)2 Ca5(PO4)3OH

18. P 4.3 39.30 18.44 * 12.30 Gram Negatif 19. P 4.4 41.48 16.26 * 2.30 Gram Negatif 20. P 5.1 21.70 47.13 * 2.74 Gram Negatif 21. P 5.2 41.70 17.78 * * Gram Negatif 22. P 5.3 28.44 20.61 * 17.09 Gram Negatif 23. P 6.1 31.26 10.61 * 3.61 Gram Negatif 24. P 6.2 66.70 43.44 * 15.35 Gram Positif 25. P 7.1 0.17 14.09 * 1.44 Gram Negatif 26. P 8.1 21.70 14.52 * 8.39 Gram Negatif 27. P 8.2 29.52 21.48 * 2.74 Gram Negatif 28. P 9.1 31.26 70.39 7.96 1.44 Gram Negatif 29. P 10.1 30.17 100.17 20.13 94.04 Gram Negatif Keterangan * : Tidak Terdeteksi

Enzim fosfatase merupakan kompleks enzim penting di dalam tanah yang berfungsi memutuskan ikatan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Pada Tabel 2 terlihat bahwa isolat BPF yang menghasilkan enzim fosfatase tertinggi pada sumber fosfat Ca3(PO4)2

adalah isolat P 3.3 dengan kandungan enzim fosfatase sebesar 98.22 ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan enzim fosfatase terendah adalah isolat P 7.1, yaitu sebesar 0.17 ppm. Isolat P 3.3 dan P 7.1 masing-masing diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sampel tanah rizosfer tanaman kedelai di Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor, Jawa Barat).

Pada sumber fosfat Ca5(PO4)3OH, isolat yang menghasilkan enzim

fosfatase tertinggi adalah P 3.2 dengan kandungan enzim fosfatase sebesar 242.13 ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan enzim fosfatase terendah adalah isolat P 3.3, yaitu sebesar 2.13 ppm. Kedua isolat tersebut diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar sampel tanah yang

(40)

berasal dari Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kandungan enzim fosfatase yang tinggi.

Pada pengujian kemampuan BPF dalam menghasilkan IAA diketahui bahwa tidak semua isolat BPF mampu menghasilkan IAA (Tabel 2). Beberapa isolat diketahui tidak terdeteksi dalam menghasilkan IAA. Berdasarkan pengujian tersebut, diperoleh 10 isolat yang diketahui mampu menghasilkan IAA pada medium Pikovskaya cair dengan sumber fosfat Ca3(PO4)2, dan 27 isolat diketahui

dapat menghasilkan IAA pada medium Pikovskaya cair dengan sumber fosfat Ca5(PO4)3OH. Produksi IAA ditandai dengan adanya warna merah muda pada

larutan, hal ini karena adanya penambahan pereaksi Salkowski. Semakin pekat warna merah mudanya, maka konsentrasi IAA yang dihasilkan akan semakin tinggi.

Berdasarkan data pada Tabel 2 juga diketahui bahwa isolat BPF yang menghasilkan IAA tertinggi pada sumber fosfat Ca3(PO4)2 adalah isolat P 3.4,

yaitu sebesar 74.45 ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan IAA terendah adalah isolat P 1.1 dengan kandungan IAA sebesar 0.04 ppm. Isolat P 3.4 dan P 1.1 masing-masing diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sampel tanah rizosfer pohon mahoni, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada sumber fosfat Ca5(PO4)3OH, isolat yang menghasilkan IAA tertinggi adalah

isolat P 3.5, dengan kandungan IAA sebesar 97.52 ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan IAA terendah adalah isolat P 2.3, yaitu sebesar 1.00 ppm. Isolat P 3.5 dan P 2.3 masing-masing diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sampel tanah rizosfer tanaman padi sawah, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dari data pada Tabel 2, diseleksi tiga isolat BPF berdasarkan kandungan enzim fosfatase dan zat pengatur tumbuh IAA tertinggi pada masing-masing daerah asal sampel tanah (Bogor, NTB, dan NTT) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Isolat BPF terpilih tersebut selanjutnya dilakukan pengujian lanjut, yaitu pengukuran pertumbuhan populasi, perubahan pH pada medium Pikovskaya cair, dan pengukuran kandungan enzim fosfatase selama 7 hari inkubasi.

Gambar

Gambar 1.  Siklus fosfor di alam (Subba-Rao, 1994)
Gambar 2.  Siklus PCR (Carr, 2005)
Gambar 3.  Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat dari rizosfer
Tabel 1.  Karakteristik Morfologi Koloni dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat  dalam  Melarutkan  P  pada  Medium  Pikovskaya  Padat  Selama  7  Hari  Inkubasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apakah kualitas pelayanan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama Kota Ternate tahun 2015-2016 sudah memenuhi kepuasan jamaah haji2. Kementrian Agama RI, “Peningkatan

Obyek pembahasannya berupa hadits Rasulullah ρ yang tidak perlu diragukan lagi kapasitas beliau dalam dunia pendidikan Islam, sehingga hasilnya juga lebih memberikan solusi

Namun demikian penelitian ini tidak hendak untuk mengkaji kasus dugaan penistaan agama yang terjadi pada Ahok, apakah Ahok menistakan agama Islam atau tidak,

Perlindungan hukum bagi seorang pekerja seks Komersial dari gendre waria (wanita- Pria), bukanlah hal baru yang menjadi vokus pembicaraan, namun menjadi suatu

Ginogenesis adalah proses pemurnian dengan mengambil genetik murni yang berasal dari induk betina dengan cara merangsang terjadinya proses pembuahan tanpa adanya sumbangan

Bab ini meliputi bahagian kajian literatur yang mana akan membincang dan menerangkan dengan lebih jelas mengenai teoritikal ke atas kajian-kajian yang terdahulu yang

Literatur yang ada mengungkapkan bahwa pada umumnya peneliti menentukan kelimpahan fitoplankton dengan cara-1, yakni mengumpulkan contoh-air dengan menyaring air memakai