• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Agama Negara di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relasi Agama Negara di Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Relasi Agama-Negara di Indonesia (Perspektif Sejarah) Oleh: Fitrah Bukhari

Pendahuluan

Sejarah mencatat, masuknya Islam di Indonesia melalui “penetrasi damai”, tanpa desing peluru maupun ceceran darah. Arnold dalam Muhammad Iqbal1 mengungkapkan, pedagang Arab, persia maupun India yang beragama Islam mengembangkan agamanya kepada penduduk asli dengan pendekatan terhadap adat istiadat penduduk asli, mengawini wanita-wanitanya, menembus para budak dan menjalin kerjasama dengan para raja negeri (pribumi untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Selain itu penggunaan harta dan kekayaan mereka juga dipergunakan sebagai alat dakwah.

Namun proses islamisasi ini tidaklah berjalan dalam satu corak, setelah Islam benar-benar telah membumi, Islam masuk dan menyatu dalam proses kerajaan Islam yang menghasilkan Islam politik. Fase ini menandai dimulainya Islam sebagai agama kerajaan, kita bisa melihat seperti yang terjadi pada kerajaan Gowa-Tallo yang menjadikan syari’at Islam sebagai sistem hukumnya.

Pada sekitar tahun 1500-an, kerajaan tumbuh subur di sekitar pantai utara jawa, diwarnai oleh hubungan kerajaan Islam satu dengan yang lain dan melahirkan tipe kepemimpinan Islam yang khas antar satu kerajaan dengan kerajaan lain. Di saat yang sama, para wali menjelma menjadi elit politik-religius yang sama pengaruhnya ketika menyangkut hal agama maupun pemerintahan. Kecenderungan berikutnya raja nusantara gemar menggunakan simbolisasi agama dalam kepemimpinannya. Salah satunya ialah dibumikannya gelar Sultan. Gelar ini tidak hanya melambangkan satu aspek (pemerintahan) namun juga sekaligus perlambang kewibaan dalam hal agama.

Tahap selanjutnya terjadi ketika Islam menjadi semangat melawan kolonialisme penjajah. Islam semakin tumbuh subur di bumi nusantara, seiring waktu datang bangsa asing yang mencoba untuk menguasai kekayaan alam nusantara. Pada fase ini Islam dijadikan sebagai antitesa untuk selanjutnya menjadi elan vital bagi perlawanan terhadap penjajah. Isu yang coba diangkat para penganut Islam adalah kolonial memiliki misi ganda, selain mencoba menguasai kekayaan alam nusantara, sekaligus juga menyebarkan agama kristen yang berkembang subur di dataran eropa. Konsolidasi Islam mulai memasuki masa kristalisasi di sekitar tahun 1900-an, ditandai dengan dibentuknya berbagai organisasi Islam modern seperti syarikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam (1923). Menurut Haedar Nashir, organisasi ini tidak hanya memainkan peran dakwah, namun juga sekaligus memiliki orientasi

1 Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 241.

(2)

ekonomi, politik dan yang lebih penting lagi menularkan semangat akan perlawanan terhadap penjajah secara lebih terorganisir.2

Melihat kecenderungan di atas, dimana Islam terkadang hadir sebagai gerakan politik, digunakan anak bangsa untuk mencapai tujuannya pada saat itu. Kehadiran Islam sebagai gejala politik tersebut para era belakangan memunculkan gejala yang unik dan terus berkembang sesuai zamannya. Hal ini membuat pemakalah tertarik untuk mencoba mengelaborasi gejala yang terjadi dalam hubungan Islam-Indonesia sebagai gejala politik di era kontemporer.

Masa Awal kemerdekaan Republik Indonesia

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dimulai babak baru hubungan Islam dan negara. Hal ini bisa kita amati dari dialektika yang terjadi pada perumusan dasar negara oleh para pendiri bangsa. Pembahasannya dimulai dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik usaha-usaha Persiapan kemerdekaan) yang diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945. Ahmad Syafii Maarif menggambarkan komposisi dan konstelasi yang ada dalam badan tersebut. Anggota BPUPK terdiri dari 68 orang, menurut Syafii yang benar-benar murni mewakili aspirasi golongan Islam hanyalah 15 orang. Wakil golongan Islam membentang dari anggota/perwakilan organisasi PUI, Muhammadiyah, NU, PII, dan PSII. Syafii berujar sebenarnya hanya 20% saja yang mewakili aspirasi politik untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.3

Awalnya sidang BPUPK berjalan dengan mulus, dikarenakan pembahasan yang dibicarakan seputar bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara. Namun situasi forum berubah menghangat manakala pembicaraan bergeser mengenai dasar negara. Supomo sebagaimana dikutip Syafii Maarif mengungkapkan ada dua aliran politik yang mengerucut pada perbedaan faham yang muncul dalam BPUPK, pertama, paham pendirian suatu negara Islam di Indonesia, digaungkan oleh ahli-ahli agama. Kedua, paham pemisahan antara urusan negara dan urusan Islam, yang disarankan oleh Hatta.4

Paham ini terpola dalam dua bentuk, dikarenakan masing-masing “pembela” paham dibesarkan dalam pendidikan yang berbeda. Perlu diketahui, bahwa di masa kolonial Belanda dan Jepang, terjadi persaingan antara segitiga kelompok pemimpin, Status Quo di dukung oleh penjajah, pemimpin muslim dari gerakan Islam modern dan pemimpin nasional modern. Dua kelompok terakhir merupakan “anak emas” dari masing-masing lembaga pendidikan yang terdapat di bumi Nusantara. Pertama, jalur pendidikan Barat, yang intelektualis, rasional, dan

2 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,

(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), hlm. 213.

3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, (Jakarta: Pustaka LP3ES, edisi revisi cet. I Tahun 2006), hlm. 104.

4Ibid., hlm. 105.

(3)

orientasi birokrasi. Kedua, jalur pendidikan pesantren yang religius, dogmatis populis, namun menyebarkan virus gerakan perlawanan dalam politik.5 Karena itulah saat mereka di kemudian hari mencoba untuk duduk dalam satu “meja runding” pola fikir mereka cenderung bagai kutub utara dan selatan.

Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945, berawal dari panitia kecil yang diketuai Ir. Soekarno, sebuah kompromi politik berhasil dicapai dan diwadahi dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, untuk tidak mengatakan kontroversial. Piagam Jakarta dijadikan “pembukaan” bagi konstitusi yang sedang “alot” pembahasannya dalam sidang BPUPK. Dalam piagam ini Pancasila disepakati sebagai dasar negara dengan adanya “tujuh kata sakral” yang mengikuti Sila pertama, yakni Ketuhanan. Tujuh kata tersebut yakni “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini menandai sikap akomodatif yang coba dibangun panitia kecil untuk menjembatani perbedaan yang semakin meruncing antara kelompok nasionalis-sekuler dengan nasionalis-islam yang kiranya jika diteruskan dapat menjadi bumerang bagi rencana kemerdekaan Indonesia. Sekilas memang ideologi Islam terkesan “menang” dengan adanya jaminan dari konstitusi Negara untuk melaksanakan segala syari’atnya, namun “kemenangan” itu tidaklah berlangsung lama.

Tepat sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia, 18 Agustus 1945, terdengar kabar bahwa masyarakat yang memeluk agama minoritas yang tergabung dalam Republik memiliki keberatan tentang “tujuh kata sakral” tersebut. Hal ini ditandai dengan datangnya opsir Jepang pada Hatta yang mengatakan bahwa jika “tujuh kata sakral” tersebut masih tercantum dalam konstitusi RI, maka Indonesia Timur (yang mayoritas non muslim) memutuskan untuk pisah dari Republik. Hal itu memaksa Hatta melaksanakan “rapat mendadak”6 dengan Kasman Singodimejo dan Ki bagus Hadikusumo untuk menyetujui pencoretan “tujuh kata sakral” tersebut. Sebagai ganti “tujuh kata sakral” tersebut dirumuskanlah suatu term “yang Maha Esa”. Yang menurut Maarif diilhami oleh konsep tauhid.7 Konsep Piagam Jakarta yang “ber-Ketuhanan yang Maha Esa” inilah yang akhirnya disahkan sebagai Pembukaan (preambule) UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Sekilas seperti mampu meredam gejolak yang ada, namun pada ranah praksis, justru timbul gejolak baru yang siap membara.

Gejolak baru yang dimaksud pemakalah terjadi ketika hasil pemilu pertama, 1955 telah berhasil memilih anggota konstituante. Disinilah sebenarnya perdebatan sengit terjadi antara kelompok yang mengusung Pancasila dengan kelompok yang mengusung Islam sebagai dasar negara. Kelompok pengusung

5 M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia, suatu tinjauan sosial dan politik,

(Yogyakarta: PT Hanindita, cet. I, 1985), hlm. 169.

6 Haedar, Gerakan... hlm. 225.

7 Maarif, Islam..., hlm. 111.

(4)

Islam seperti Masyumi, NU, PSII, dan lainnya bersatu kata untuk mengusung Islam sebagai dasar negara, walau akhirnya di torpedo oleh dekrit Presiden Sukarno. Perjuangan kelompok Islam dalam Majelis Konstituante ini dapat mencuat ke permukaan sama halnya dengan yang terjadi dalam sidang BPUPK, karena memang dimungkinkan secara konstitusi. Hal ini sekaligus dicoba dijadikan trigger atas kekecewaan terpendam dari segolongan umat Islam yang merasa dikecewakan oleh penghapusan “tujuh kata sakral” di Piagam Jakarta.

Majelis ini dilantik pada 10 November 1956 yang bertujuan untuk membahas dasar negara, sebagai konsekuensi atas janji Soekarno saat sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 mengenai sifat kesementaraan UUD 1945 yang disahkan saat itu.8 Sidang Majelis konstituante berjalan kurun waktu 1957 sampai 1959 dengan tanpa hasil kecuali perdebatan sengit antara kutub yang menginginkan Islam sebagai dasar Negara dengan kutub yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Anti klimaks ini sebagaimana dijelaskan di awal merupakan “ulah” Presiden Soekarno yang mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Konstituante. Hal ini sekaligus mengantarkan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter atas dukungan kekuatan Nasakom (nasionalis, Agamis, Komunis). Komposisi pengusung Islam sebagai dasar Negara terdiri dari Masyumi (112 suara), NU (91), PSII (16), Perti (7) dan empat partai lainnya dengan total suara 230. Sedangkan komposisi pengusung pancasila sebagai dasar Negara, terdiri dari Partai Nasional Indonesia (16 suara), Partai Komunis Indonesia termasuk Fraksi Republik Proklamasi (80), Partai Kristen Indonesia (16) Partai Katholik (10), Partai sosialis Indonesia (10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (8) dan partai kecil lain sehingga total 273. Adapun pengusung Ideologi Sosial Ekonomi tidaklah terlalu mencolok karena hanya memperoleh 9 suara, yang terdiri Partai Buruh (5 suara) dan Partai Murba (4).9

Dikarenakan masing-masing kelompok pengusung dasar negara tidak mencapai 2/3 suara maksimal, maka sidang pun dinyatakan deadlock yang berujung pada keluarnya dekrit Presiden sukarno. Dekrit sekilas menggambarkan keadaan telah menjadi normal, hanya saja sesuatu yang sifatnya dipaksa, akan sulit bertahan dibandingkan situasi yang tercipta alami. Dekrit ini justru menjadi polemik di kemudian hari oleh sebagian orang yang mencoba untuk me”legal-formal”-kan Islam sebagai dasar negara. Karena perjuangan mereka tidak tuntas, baik tuntas kalah maupun menang, bisa juga dikatakan keadaan ini keadaan yang “menggantung”. Ditambah lagi salah satu konsideran dalam Dekrit yang dikeluarkan Sukarno mencantumkan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah

8 Haedar, Gerakan... hlm. 240.

9Ibid., 241.

(5)

merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”10. sekilas diktum ini seakan seperti mempersilahkan umat Islam di kemudian hari untuk membuka pintu guna memperjuangkan kembali Piagam Jakarta yang berisi “tujuh kata sakral”.

Masa Orde Baru

Kejatuhan Presiden Sukarno di tahun 1965 membawa harapan baru bagi umat Islam untuk kembali mengusahakan berlakunya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ditambah lagi sebelum Sukarno jatuh, Islam berada dalam tepi jurang marginalisasi yang dibuat penguasa, yang saat yang sama menjalin “bulan madu” dengan PKI. Penguasa Orde baru saat awal memerintah memiliki agenda untuk menumpas segala bentuk komunis, dan “memanfaatkan” Islam serta ABRI untuk mengonsolidasikan kekuatannya. Hal ini membuat harapan baru umat Islam untuk bisa lebih berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan, untuk selanjutnya dapat menanamkan pengaruh dan bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Namun itu semua hanyalah harapan, ternyata pemerintah Orde Baru justru melakukan soft pressure. Upaya yang mencoba mengebiri umat Islam tersebut dilakukan secara bertahap dan sistematis, amat sistematis bahkan hingga tanpa disadari Islam benar-benar telah masuk dalam “jeruji” orde baru.

Pemerintahan orde baru sebagaimana kita ketahui memiliki corak otoritarianisme, desposit, dan tidak menghendaki adanya “dua matahari” dalam zamannya. Orde baru menggunakan pancasila (menurut versinya) guna mengendalikan untuk tidak mengatakan mengebiri setiap faham yang dipandang bertentangan dengan Pancasila. Salah satu yang terkena imbas dari hal tersebut ialah umat Islam. Partai Politik bahkan hingga organisasi masa Islam pun “dipaksa” untuk menerima Pancasila sebagai asasnya, periode ini familiar disebut “asas tunggal”. Penerapan asas tunggal ini membuat posisi umat Islam semakin dilematis. Jangankah berfikir untuk mencoba mengungkit pemberlakuan syari’at Islam di bumi pertiwi, untuk mencantumkan Islam sebagai asas saja sudah tidak dibenarkan.

Upaya pemberlakuan asas tunggal ini menjadi pertanda periode marginalisasi Islam dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala yang ber-“bau” non pancasila dapat dikebiri dan bersiap untuk terkena UU Subversi dengan segala konsekuensinya. Masa marginalisasi islam ini, membuat umat disibukkan dengan pencarian formulasi penerimaan Pancasila sebagai asas kehidupannya, dengan tidak kehilangan identitas keislamaannya.

Rusli Karim membagi tiga reaksi golongan dalam menghadapi represi asas tunggal. Pertama golongan yang menerima tanpa reserve. Kedua, golongan yang menerima karena alasan terpaksa sambil menanti UU Ke-ormasan. Ketiga

10 Maarif, Islam..., hlm. 180.

(6)

golongan yang sama sekali menolak.11 Golongan pertama beranggapan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka menerima Pancasila sebagai asas dalam berkehidupan politik dan masyarakat tidak bertentangan. Ali Ma’sum, salah seorang Kiyai NU sebagaimana dikutip Rusli mengatakan, Sila-sila dalam pancaSila-sila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Nahdhatul ulama bahkan mengagendakan secara khusus masalah asas tunggal ini dalam Munas Ulama NU di situbondo yang memutuskan menerima Pancasila sebagai asas NU sebelum ada UU keormasan.12

Golongan kedua menurut pembagian Rusli ialah Muhammadiyah. Dalam menstrategi penerimaannya terhadap asas tunggal. Bagi Muhammadiyah sebenarnya pemberlakuan pancasila sebagai falsafah negara tidak perlu dipertanyakan, karena para tokohnya terlibat aktif dalam pembahasan Dasar negara pada sidang BPUPK. Namun yang jadi soal ialah mencantumkan asas tunggal dalam anggaran dasar. Oleh karenanya Muhammadiyah meresponnya secara hati-hati, terlalu hati-hatinya bahkan hingga memundurkan jadwal Muktamar Muhammadiyah dari seharusnya 1982 sampai pemerintah menyelesaikan UU Keormasan pada 1985. Watak muhammadiyah yang moderat-akomodatif mengharuskannya untuk melakukan lobi secara intensif dengan sejumlah pejabat pemerintahan, seperti Menteri Agama, Menteri dalam Negeri, Mentri Muda sekretaris kabinet, mentri Koordinator kesejahteraan rakyat, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta dengan Presiden.13 Selain melakukan lobi, Muhammadiyah juga memberikan pokok pikiran dalam rangka memperbaiki rumusan RUU keormasan.

Secara khusus ketua umum PP Muhammadiyah saat itu, KH. AR Fachruddin menemui Presiden Soeharto, Presiden memberi solusi untuk mencantumkan identitas Muhammadiyah dirumuskan di pasal-pasal permulaan di dalam AD/ART, sedangkan pasal berikutnya mencantumkan Pancasila sebagai asas. Saat itu Fachruddin mengatakan Muhammadiyah akan membawanya di kalangan Pimpinan pusat dan Muktamar.14 Akhrinya melalui Muktamar ke-41, Muhammadiyah menyatakan penerimaan Pancasila sebagai asasnya dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam. Ungkapan cerdas dari Ketua PP Muhammadiyah, AR Fachruddin, sebelum Muktamar, “penerimaan terhadap Pancasila, ibarat pengendara sepeda motor yang memakai helm demi keselamatan”.15 Sehingga di kalangan internal Muhammadiyah, penerimaan asas tunggal dikenal sebagai “politik helm”.

11 Rusli, Dinamika, hlm. 212.

12Ibid, hlm. 215.

13 Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 232.

14Ibid, hlm. 236.

15Ibid, hlm. 238.

(7)

Golongan ketiga, yakni yang sama sekali menolak asas tunggal ialah HMI. Bahkan akibat dari asas tunggal ini, HMI mengalami perpecahan, antara HMI yang menerima asas tunggal dan diakui eksistensinya oleh pemerintah dikenal dengan HMI-Dipo (karena berkantor di Jln. Diponegoro) dan HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang dikatakan sebagai organisasi terlarang. Selain HMI, tercatat organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) juga menolak asas tunggal, nasib PII bahkan lebih tragis karena dibekukan oleh pemerintah dengan Keputusan Menteri dalam Negeri No. 120 tanggal 10 Desember 1987.16

Selain penerapan asas tunggal, tidak ada sesuatu yang istimewa dari hubungan antara Islam dan Negara masa orde baru. Islam benar-benar di-“krangkeng” dalam Pancasila yang semakin menyulitkan gerak Islam, bahkan dalam menunjukkan simbol-simbolnya. Mungkin hal manis yang terjadi masa orde baru ialah saat digolkannya pemberlakuan UU NO. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan perjuangan umat Islam. Namun, menjelang akhir kekuasaan orde baru, Presiden Soeharo mencoba merangkul kelompok Islam. Sebagaimana di ketahui, dekade 1990-an Soeharto mulai kehilangan pengaruhnya, dan memaksanya untuk merangkul kelompok Islam. Hal ini ditandai dengan direstui berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dimana salah satu “putra mahkota” bapak pembangunan itu, BJ Habibie terpilih menjadi Ketua Umumnya. Selain itu merapatnya soeharto pada Islam ditandai juga dengan akomodasi negara di bidang pelembagaan ekonomi syari’at, bahkan hingga batas mengizinkan berdirinya bank Mu’amalat Indonesia yang pintu masuknya melalui UU perbankan.

Namun bulan madu Soeharto dengan Islam tidaklah terlalu lama dibandingkan bulan madunya dengan kekuatan-kekuatan militer, tepat di tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Sesaat setelahnya Wakil Presiden RI masa itu, BJ Habibie diambil sumpahnya untuk menjadi Presiden RI. Berakhir sudah masa “ijo royo-royo” yang menandai berakhirnya juga bulan madu antara Islam dan pemerintahan Soeharto.

Relasi Agama-Negara pada Masa Reformasi

Kejatuhan Presiden Soeharto merupakan pintu masuk bagi Indonesia untuk menghilangkan segala bentuk rezim otoritarian. Penggantinya, Presiden BJ Habibie langsung membuka seluas-luasnya keran demokrasi, terutama kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, kebebasan berkumpul dan berserikat. Hal ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya partai politik berdasar aliran baik dari agama Islam maupun golongan lain. Tidak hanya itu, kembalinya semangat untuk mengusung Piagam Jakarta dan penerapan syari’at Islam menjadi hal yang

16 Ibid, hlm. 240.

(8)

santer terdengar di awal Reformasi yang menjadi sesuatu yang “tabu” di era orde baru.

Amandemen UUD 1945 dalam sidang Umum MPR pasca runtuhnya orde baru menjadi pintu masuk bagi golongan Islam Ideologis17 untuk mengusung kembali Piagam Jakarta dan penerapan syari’at Islam. Bentuk golongan ini bermacam-macam, bukan hanya berbentuk organisasi sosial (LSM dan Ormas) yang menggunakan simbol keislaman namun bergerak menuju arena politik formal. Metamorfosa mereka juga sampai berkamuflase dalam bentuk partai politik. Hal ini ditandai dengan maraknya partai-partai politik yang secara resmi berasas Islam dan memiliki tujuan yang sama, yakni terlaksananya syari’at Islam, walau dalam tafsirannya terhadap syari’at dan bobot pelaksanannya berbeda.18

Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa Amandemen UUD 1945 merupakan pintu masuk untuk memberlakukan Piagam Jakarta maupun penerapan syari’at Islam secara total, hal ini coba untuk dimanfaatkan oleh beberapa partai politik untuk mengusung hal tersebut. Namun kondisi saat itu Partai Islam tidak seluruhnya menjadikan Piagam Jakarta sebagi isu di Sidang Tahunan MPR. Haedar Nashir mengungkapkan, saat itu ada dua golongan partai politik Islam,

pertama, Partai yang berasas Islam secara formal seperti Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan (yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Keadilan Sejahtera). Kedua, Partai yang memiliki konstituen umat Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional.19

Namun usaha untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta di masa Reformasi tersebut mengalami nasib serupa ketika umat Islam mencoba memasukkan Islam sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante tahun 1955. Usaha ini gagal dikarenakan saat itu realitas politik tidak memungkinkan untuk memberlakukan syari’at Islam. Sebagaimana lazimnya di negara yang menganut Demokrasi, maka ketika ingin menempuh dengan cara konstitusional seharusnya Islam menjadi arus utama dalam parlemen. Namun hal demikian bertepuk sebelah tangan, partai Islam tidak terlalu signifikan keberadaannya dalam parlemen, selain itu tidak semua partai yang memiliki “kedekatan” dengan Islam mau mengusahakan Piagam Jakarta, sebagaimana diklasifikasikan oleh Haedar Nashir sebagai partai Islam golongan kedua.

Selain mengusahakan Piagam Jakarta yang lagi-lagi gagal di era Reformasi, dampak dari demokratisasi di segala lini juga memunculkan fenomena unik di masa awal reformasi. salah satunya kehadiran gerakan Islam yang mengusung

17 Istilah ini didapat dalam buku Haedar Nashir, yang menunjukkan arti, watak dan orientasi keagamaan suatu golongan berbasis pada Islam sebagai ideologi, yang mempertautkan secara langsung hubungan Islam dan negara atau politik serta memperjuangkan cita-cita politik Islam. Secara kontekstual istilah ini menunjuk mereka yang mengusahakan untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 di era Reformasi.

18Al-Zastrouw Ng., Gerakan Islam simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta: LkiS, 2006) hlm. 3.

19Ibid., hlm. 271.

(9)

Ideologi yang mempertautkan hubungan antara agama dan politik negara. Gerakan ini selain mengusung Islam sebagai ideologi, juga mempergunakan simbol-simbol agama Islam dalam ruang publik. Kelompok ini bermacam jenis tujuannya, ada yang mencitakan tentang pendirian kekhalifahan Islam, ada juga yang rela menjadi “relawan keamanan” manakala terjadi kemaksiatan. Yang kedua ini muncul biasanya saat mendekati bulan suci Ramadhan, Gerakan ini pada prakteknya gemar menggunakan simbol agama untuk dimanfaatkan guna mencari keuntungan politik para pemimpinnya. Sebagaimana diungkap Al-Zastrouw, bahwa gerakan ini tidak memiliki ideologi yang jelas, dan pada akhirnya tanpa mereka sadari mereka telah menjadi alat kelompok politik tertentu yang bisa digerakkan setiap saat untuk mencapai tujuan politik kelompok yang memelihara.20 Menurut Zastrow, mereka menawarkan tradisi dan kultur baru, namun hanya di tataran simbolik, yakni sebatas penggunaan simbol dan ritus Islam ketika melakukan interaksi sosial.

Kita melihat di era reformasi ini, negara sudah mulai mencoba untuk memberi kesempatan kepada agama untuk hadir di ruang publik dengan syarat penuh tanggung jawab. Jika peluang yang diberikan negara ini bisa dimanfaakan secara cerdas serta dengan penuh tanggung jawab dari pemeluk agama, niscaya relasi seperti ini menurut pemakalah sudah bergerak menuju ranah ideal. Jika dirunut menurut klasifikasi dari Munawir Sjadzali sudah mulai ada perubahan relasi antara agama dan negara, dimana agama sudah mulai diberikan kesempatan untuk mewarnai negara, meski belum secara sempurna dan holistik. Selain itu juga iklim demokratisasi yang diterapkan pemerintah juga berpengaruh sebagai pintu masuk untuk menampilkan agama ke epicentrum kehidupan bernegara.

Refleksi

Perlu kiranya dicari jalan tengah antara Relasi Agama dan Negara konteks ke-Indonesiaan. Masa orde lama yang cenderung menjalankan demokrasi liberal tidak terlalu baik dalam menjalankan relasi agama negara. Di masa ini, agama terkesan menjadi barang dagangan politik untuk kemudian dimanfaatkan menjadi komoditas yang ujungnya mengakibatkan destabilisasi kehidupan bernegara. Orde baru tidak terlalu baik juga dalam menjalankan relasi agama negara, dengan semangat asas tunggal, hak dasar umat Islam untuk menampilkan simbol maupun ajaran luhurnya ke dalam kehidupan nyata, dikebiri oleh penguasa. Masa ini islam mengalami masa marginal, walau di penghujung kejatuhannya, Soeharto sudah mulai mengenakan “peci” nya, namun itu tidak berlangsung lama.

Reformasi yang digulirkan pasca kejatuhan soeharto mengalami kebablasan yang luar biasa. Ibarat pegas yang semakin ditekan semakin menghentak, sebagian umat Islam terkesan berlebihan dalam menampilkan ajarannya, hingga tak segan menjadi “polisi tanpa seragam”. Penggunaan simbol agama untuk

20 Al-Zastrouw, Gerakan, hlm. 170.

(10)

merusak fasilitas umum yang disinyalir melakukan kemaksiatan menjadi hal familiar di masa ini.

Dari pergulatan yang diamati, ternyata Negara tidak benar-benar dapat melepaskan Agama dalam semangat penyelenggaraannya. Hal ini membuktikan negara Indonesia merupakan negara yang religius, setidaknya itu dapat diungkap dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karenanya, relasi agama-negara yang berlaku sekarang ini menurut pemakalah sedang bergerak ke ranah ideal. Artinya Negara sudah memberikan kesempatan yang baik kepada agama untuk senantiasa memberikan warna moralnya pada peraturan perundang-undangan. Namun yang perlu digarap bersama oleh umat Islam, bagaimana umat Islam membumikan moral Islam tersebut ke dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Jangan sampai ada missing link antara kata dan laku yang sering kali tidak berjalan beriringan. Umat Islam Indonesia harus cerdas untuk mengisi kehidupan negara dengan hal yang baik karena potensi umat yang besar, bukan hanya secara kuantitas, namun juga secara kualitas ajaran amat mendukung untuk itu.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, 2006, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, Jakarta: Pustaka LP3ES, edisi revisi cet. I

Al-Zastrouw Ng., 2006, Gerakan Islam simbolik: Politik Kepentingan FPI, Yogyakarta: LkiS

(11)

Haedar Nashir, 2007, Gerakan Islam Syari’at, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP Muhammadiyah

Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, 2010, Pemikiran Politik Islam, Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana

M. Rusli Karim, 1985, Dinamika Islam di Indonesia, suatu tinjauan sosial dan politik, Yogyakarta: PT Hanindita, cet. I,

Syarifuddin Jurdi, 2010, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Referensi

Dokumen terkait

Meliputi mewujudkan rancangan silabus., mewujudkan rancangan modul yang berpedoman pada silabus, menentukan media pembelajaran serta mewujudkan rancangan power point

Backpropagation memiliki tiga layer dalam proses pelatihannya, yaitu input layer, hidden layer, dan output layer , dimana backpropagation ini merupakan

bakteri dari cincaluk pada media agar MRS setelah dilakukan pemurnian sebanyak 4 kali ditemukan sebanyak 12 isolat kandidat bakteri asam laktat dengan ukuran,

Capaian indikator kinerja pada kegiatan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah ini mencapai target 99.96 % dengan realisasi sebesar Rp 280.991.420, dari

[r]

Dari hasil pemotongan citra, kemudian dilakukan proses grayscale dan histogram untuk mendapatkan nilai piksel pada udang sehat dan udang sakit yang ditunjukkan dalam Tabel 1

Bila investigasi outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang menyebabkan outbreak, maka