• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB IV"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA

Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus

utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya

dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan,

hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi sumber integrasi bagi seluruh

komponen warga negara.

Dengan kata lain, kajian agama sipil yang top-down adalah suatu

penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman

warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang

disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil religion.

Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya rasa keberagamaan itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir orang Jawa.1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam

bagian ini.

Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari

Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar

negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.

Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam

bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil

yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan

Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas

1 Paul Stange, The Logic of Rasa in Java , Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134.

(2)

keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas

Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam

pembukaan UUD 1945 alinea 3.

Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,

bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama

adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)

dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).

Yang Maha Kuasa di Alinea Tiga: Kajian Terhadap Pembukaan UUD 1945

Kajian tentang identitas agama dalam bab ini akan diulas dengan

menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. UUD 1945 yang menjadi rujukan adalah

pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya. Meski menjadikan UUD 1945

sebagai rujukan, bahasan dalam sub bab ini juga akan menyinggung perubahan

dasar negara yang juga sempat menggunakan UUD Sementara Republik

Indonesia (RI) 1950 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

17 Agustus 1945 memberikan dua hal yang pokok dalam sejarah

kehidupan bangsa Indonesia.2 Pertama, pernyataan di depan penjajah bahwa

umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan

Indonesia. Kedua, kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka

memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan

Republik Indonesia.

2 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Jogjakarta: Ombak dan Media

(3)

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara

saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Atas nama Bangsa Indonesia

Soekarno-Hatta

Semangat yang tercermin dalam proklamasi adalah pernyataan bahwa hari

itu semua bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Teks

proklamasi merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.3 Soekarno

dan Hatta didaulat mewakili bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan

Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan

Hatta mewakili bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya

diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas

agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya

terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan

itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama

yang dianut oleh penduduknya.

Tentang kedudukan proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjelaskan

bahwa ia tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah

proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of independence.4 Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan

bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman

3 Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet: Tafsir Postkolonial atas

Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48.

4 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan

(4)

tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui

tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin

yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa

kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi,

tidak memiliki arti.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18

Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang

membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang

Dasar 1945.

Sebagai sebuah teks, pembukaan UUD 1945 baru terumuskan pada tanggal

18 Agustus 1945. Tapi, teks ini tentu saja bukanlah suatu yang begitu saja

muncul. Ia hadir dari sebuah rangkaian proses dalam perdebatan sidang

BPUPKI. Setidaknya hal itu bisa kita tangkap sejak Soekarno mengucapkan

pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Pidato itulah yang kemudian

memantik BPUPKI membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari sembilan

orang untuk mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan

Indonesia.

Panitia kecil itulah yang kemudian berhasil membuat naskah pembukaan,

preambule yang kemudian dianggap sebagai gentlemen agreement antara paham nasionalisme dan pendukung Islam. Muhammad Yamin kemudian mengusulkan

agar kesepakatan yang dibuat oleh tim kecil itu sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Naskah ini yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memancing perdebatan, terutama yang berkaitan dengan tujuh kata di alinea

empat.

Dari naskah yang sederhana itu, kemudian tersusunlah naskah baru yang

diberi nama Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM). PIM merupakan perluasan

dari Piagam Jakarta. Tiga alinea pertama dari Piagam Jakarta dikembangkan

(5)

kemudian disiapkan menjadi pembukaan dari UUD 1945. Jadi, kalau proklamasi

kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan PIM, maka Pembukaan UUD 1945

yang kita miliki hanyalah alinea keempat saja dari Piagam Jakarta.

Dalam perjalanannya, BPUPKI yang telah mempersiapkan baik PIM

maupun UUD 1945, ternyata tidak dapat melaksanakan rencananya sesuai

dengan yang diharapkan. Ini disebabkan karena sejak tanggal 15 Agustus 1945,

teks proklamasi yang digunakan tidak menggunakan PIM akan tetapi suatu teks

yang disusun kemudian oleh Soekarno-Hatta dengan para pemuda tanggal 17

Agustus 1945 jam 03.00 pagi hari dalam bentuk dua kalimat yang sederhana.

Sesudah proklamasi dibacakan, PPKI bersidang untuk kali yang pertama.

Karena proklamasi sudah dilakukan dengan teks yang pendek, maka seluruh

naskah yang bernama Piagam Jakarta itu kemudian hendak dijadikan

Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya alinea keempat dari Piagam Jakarta.

Dalam proses itulah, muncul keberatan dari para wakil Protestan dan Katolik

yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Indonesia Timur terhadap

tujuh kata dari naskah tersebut.

Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat diusahakan

penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan wakil pemimpin Islam sebelum sidang

PPKI, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan yang dilakukan

terjadi pada alinea ketiga dan keempat. Perubahan dalam alinea keempat terjadi dengan dihapuskannya tujuh kata dari …berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya… dan dirumuskan kembali menjadi …berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,… . Perubahan alinea ketiga dilakukan dengan kata Allah dengan kata Tuhan.5

5 John A. Titaley, Nilai-nilai Dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang

(6)

Setelah melihat perjalanan historisnya, kita mengamati nilai yang

tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.6 Alinea pertama memuat

kalimat Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Konsep kunci dalam alinea pertama

adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan dan penjajahan. Jika diamati

secara mendalam, nilai ini hanya akan terlaksana kalau tidak ada penjajahan.

Segala bentuk penjajahan akan menghilangkan perikemanusiaan dan keadilan.

Hanya kemerdekaan sajalah yang dapat memulihkan harga diri kemanusiaan.

Dalam alinea kedua, kita akan menemukan konsep kunci yakni perjuangan

kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur

adalah konsep yang berkaitan dengan alinea pertama. Yang perlu diperhatikan

adalah perjuangan kemerdekaan dan pintu gerbang kemerdekaan. Perjuangan

ini menunjuk kepada upaya mencapai kemerdekaan oleh bangsa Indonesia.

Kemerdekaan itu bukanlah hadiah Belanda atau Jepang atau siapa-siapa,

melainkan perjuangan. Pintu gerbang kemerdekaan Indonesia itu bukanlah

negara Indonesia, karena negara Indonesia saat itu belum memiliki aturan

hukum. Karenanya nilai yang ditekankan dalam alinea kedua ini adalah karya

nyata manusia Indonesia yang punya kesadaran tinggi terhadap berlakunya

hukum.

Alinea ketiga, Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan

didorongkan oleh Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang

bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Konsep

kunci dalam alinea ini adalah pernyataan pengakuan bahwa adanya rakhmat

dan pengakuan kemerdekaan. Jika alinea pertama dan kedua menekankan pada

6 Kajian ini telah ditulis dengan baik dalam, Ibid., 9-24. Penjabaran tentang nilai-nilai

(7)

kerja manusia, alinea ketiga ini adalah pengakuan bangsa Indonesia akan adanya

campur tangan Yang Maha Kuasa dalam kemerdekaan Indonesia.

Sementara dalam alinea keempat kita melihat gagasan-gagasan

implementasi kemerdekaan itu. Konsep-konsep kunci yang terkandung di

dalamnya adalah pemerintah negara, UUD, negara yang berkedaulatan rakyat

dan Pancasila. Pemerintah negara ini bertugas untuk melindungi segenap

bangsa seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum bukan pribadi,

keluarga atau kelompok tertentu; mencerdaskan kehidupan bangsa dan

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. UUD menjadi konsep yang penting bagi suatu negara

modern yang demokratis.

Karena itu, nilai-nilai yang dimiliki dalam pembukaan UUD 1945 adalah

kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, kerja keras, intervensi Tuhan, yang

seluruhnya bersumber dari kesederajatan kemanusiaan sebagai makhluk

ciptaan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat merubah (transform) perilaku bangsa Indonesia dari kecenderungan untuk berperilaku primordialnya

kepada perilaku nasionalnya.

Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan

di alenia ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan

Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,

Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada

redaksi pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang

kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah

dirubah dengan Tuhan. Kata Pudja, Ayat Atas berkat Rahmat Allah diganti

Tuhan saja, Tuhan Yang Maha Kuasa .7 Usul Pudja ditangkap Soekarno yang

kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan

7 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

(8)

Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat

Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan .8 Setelah itu, Soekarno kemudian

membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata Tuhan pada sidang

Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7

yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis

Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa . Editor buku Risalah Sidang BPUPK) mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu.9

Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari

1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang

BPUPKI, terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal

kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara no. tahun halaman , alinea ketiga tertulis Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa . )ni berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian

Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPK) yakni, Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa .10

Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati

perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam

beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam

Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni

8 Ibid.

9 Ibid., 538.

10 Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945 (Bandung:

(9)

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI

1950.

Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa . Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta. Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu

sama-sama memunculkan kata Tuhan . Dalam Konstitusi RIS, kalimat

lengkapnya berbunyi Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai

kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur . Dalam UUD Sementara,

kalimat di alinea berbunyi Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah

tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur .11

Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan

Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada

perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar

kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan

dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak

menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan

Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu

menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada

di Indonesia.12 Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna

untuk kelompok tertentu saja.

Sebutan Allah sebagai identitas Yang Maha Kuasa, sangat khas dengan tiga

kelompok agama, Islam, Kristen dan Katolik. Memasukan Allah dalam

pembukaan UUD 1945, seolah-olah hanya ingin menunjukan bahwa perjuangan

kemerdekaan itu hanya dilakukan oleh tiga kelompok itu saja. Padahal

11 Kutipan Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara diambil dari ____, 3

Undang-undang Dasar Republik Indonesia (Pustaka Mahardika, tt), 43 dan 104.

12 Putu Setia, Refleksi Agama-agama atas 50 tahun Kemerdekaan: Perspektif Hindu,

(10)

hakikatnya kemerdekaan ini adalah karya bersama dari semua rakyat Indonesia

yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan.

I Gusti Ketut Pudja datang sebagai wakil dari wilayah Sunda Kecil (Bali)

yang beragama Hindu-Bali. Dalam tradisi Hindu-Bali, Allah itu sesuatu yang

tidak dikenal. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, tradisi tidak secara jelas

dibedakan dari agama.13 Tradisi yang dalam beberapa bagian kehidupan

masyarakat Bali menjadi religious worldview, merujuk pada tatanan kosmis yang ilahi dan aturan kemasyarakatan seperti yang diajarkan oleh para leluhur.14

Tidak seperti halnya agama-agama dunia yang memiliki dasar kepercayaan

serta simbol yang memberikan makna bagi orang dari berbagai latar belakang

kebudayaan, agama Bali benar-benar bersifat lokal seperti yang terwujud dalam

upacara yang dikhususkan bagi kelompok tertentu, leluhurnya dan

wilayahnya.15 Bagi mereka, tujuan utama bukanlah pada kebenaran dogma

(orthodoxy) tetapi kebenaran perilaku (orthopraxy). 16

Karena agama yang diekspresikan masyarakat Bali sangatlah lokal, maka

penyebutan terhadap identitas Yang Maha Kuasa pun berbeda-beda. Dalam kitab

suci Weda sendiri Yang Maha Esa ini disebut dengan banyak nama antara lain,

Agni, Indra, Vayu, Surya, Mitra, Varuna, Prajapati, Amsa, Daksa, Parjanya,

Vivasvat, Visvakarma, Savitri dan lain-lain. 17 Kalau di Bali sendiri penamaan

terhadap Yang Maha Kuasa itu tidak tunggal. Tuhan itu satu, hanya orang

bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya

sebagai Sinaring Jagad (Penyinar Bumi), juga Sang Hyang Widhi Wasa.

13 Michael Picard, What s in A Name?: Agama (indu Bali in the Making , dalam Martin

Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 62.

14 Ibid.

15 Ibid. Wawancara Ari Dwipayana, 10 September 2012, I Ketut Sumartha, 7 November

2012.

16 Ibid. Wawancara I Putu Gelgel, 8 November 2012.

17 Made Titib, Tuhan Yang Maha Esa , dalam Ketut Wiana, Bagaimana Umat Hindu

(11)

Penamaan Widhi Wasa itu sendiri dipopulerkan oleh para zending (penyebar Kristen) di Bali. Ketika Kristen masuk Bali, ada pendekatan kultural terhadap

masyarakat, penerjemahan Alkitab dan mereka mempopulerkan nama yang

sudah ada dalam tradisi masyarakat Bali itu. 18

Penyebutan nama Tuhan itu penting untuk masyarakat tertentu, tapi bagi

yang lain tentu tidak. Sebutan itu jelas menjadi identitas sebuah komunitas.

Ketika bersepakat untuk membentuk satu negara, mencari formula yang lebih

umum tentang siapa itu Yang Maha Kuasa, jauh lebih penting. Usulan Pudja itu

strategis untuk negara, bukan kepentingan Hindu-Bali semata. Itu sebagai

identitas keindonesiaan yang disepakati untuk mengatasi sekian penamaan.19

Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari

agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. )a dinarasikan dalam nama Tuhan . Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah

mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat

diterima oleh semua agama dan pemeluknya.

Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara

agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang

politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu,

ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa

Indonesia.

Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi

keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol

agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah

konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk

(12)

menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan

klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.

Secara teoritis, John (ick mengatakan bahwa Tuhan adalah The Eternal One .20 Penggambaran ini dibedakan dalam dua bentuk asosiasi. Pada satu sisi

menyatakan satu dari tradisi mistis, dimana itu bisa merupakan satu dari tradisi

Plotinus atau satu tanpa yang kedua dari Upanishad, dan di sisi lain adalah Yang

Suci dari pengalaman teistik, dimana itu bisa merupakan Yang Suci bangsa Israel

atau pemujaan teistik India.21

The Eternal One , bagi (ick, menjadi dasar bersama dari semua tradisi

agama besar.22 Realitas Tuhan ini tidak terhingga dan melampaui batas

pemikiran manusia, bahasa dan pengalaman. Kenyataan ini kemudian direspon,

dikonseptualisasi, dan diekspresikan secara beragam karena keterbatasan jalan

yang dimungkinkan karena dasar manusia yang terbatas pula.

Kepercayaan terhadap adanya the Eternal One , sudah berkembang pada agama-agama primitif. Cuma, penggambaran terhadap the Eternal One itu

berbeda dengan yang diajarkan Yesaya, Yesus, Gautama, Muhammad, Kabir atau

Nanak. Tuhan, dalam kepercayaan mereka lebih ditekankan pada pengertian

kekuatan gaib yang ada di sekeliling untuk ditakuti atau wujud yang tak dapat

diduga.23

Catatan penting dari Hick adalah bahwa tuntutan kesadaran primitif

tentang Tuhan yang dibuat atas kehidupan manusia adalah untuk memelihara

dan memajukan manusia dari kelompok kecil ke negara besar. Tuhan itu sendiri

sebenarnya dikonsepsikan berbeda antara agama Teistik dan non Teistik.

Agama Teistik lebih menekankan konsep tentang Tuhan dalam artian personal.

20 John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 42 21 Ibid.

(13)

Sementara di sisi lain, agama non-Teistik, trans-Teistik dan a-Teistik

menggambarkan Tuhan sebagai non-personal.

Dengan meminjam kerangka Immanuel Kant, Hick membedakan antara

nomena (noumenon) dan fenomena (phenomena).24 Nomena merupakan Tuhan

yang dalam kediriannya melampau lingkup bahasa dan pikiran manusia.

Fenomena sifatnya pluralistik, karena ia merupakan respon manusia terhadap

realitas mutlak itu. Pluralitas fenomena terdiri dari personae Tuhan dalam agama-agama Teistik dan konkretisasi konsep Yang Mutlak dalam agama-agama

non Teistik.25

Wajar jika kemudian (ick mengatakan bahwa God Has Many Names . Atau dalam bahasanya mistikus muslim, Sayyed (ussein Nasr, The One in The Many .26 Noumena ditanggapi oleh fenomena yang plural. Apa yang absolut itu

dipahami secara berbeda, sehingga dibahasakan secara plural pula dalam aspek

budaya manusia yang berlainan.

Seperti dikutip oleh Joy Mills dalam The One and The Many , Nasr mengatakan, The doctrine of oneness is unique. There cannot be two Absolutes. There is only the One within a particular sacred universe .27 Lalu Nasr menambahkan We thirst for the Absolute, that reality which constitutes deep

down the essence of human nature. Human beings cannot live with pure relativity, which is why, when they are cut off from the real Absolute, they absolutize the relative .28

24 Ibid., 52-53.

25 Hick mencontohkan bahwa kesadaran tentang Tuhan dari Agama Teistik itu biasa

disebut Yahweh, Allah, dan Allah dan Bapa Yesus Kristus, Krishna, Shiva dan lainnya. Sementara dalam agama non-Teistik misalnya tentang kesadaran non personal tentang Tuhan dalam Brahman dari Hindu Advaitik, Nirvana dari Budha Theravada dan Sunyata dari Buddha Mahayana. Ibid., 53.

26Seyyed (ossein Nasr, The One in The Many , Artikel dipresentasikan pada Parliament

of the World’s Religionsdi Chicago, September dikutip Joy Mills, The One and The Many ,

Makalah dipresentasikan pada European Congress, Bosön Sport Center, Sweden, July 1995.

(14)

Apakah kemudian Tuhan bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam

alinea tiga pembukaan UUD 1945 itu teis ataukah non-teis? Penganut

agama-Agama Abrahamik tentu akan menafsirkannya dengan model teistik. Tetapi

penganut Buddha atau Hindu lebih cenderung menafsirkannya secara

non-teistik. Sehingga, Tuhan yang dimaksud dalam alinea tiga tidak semata-mata

merujuk pada salah satu dari teistik atau non-teistik.

Pancasila Sebagai Agama Sipil: Integrasi, Legitimasi dan Suara Kenabian

Beberapa karya tentang agama sipil di Indonesia, pada umumnya

menyimpulkan Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Ini bisa dilihat

misalnya dalam tulisan Matti Justus. Schindehütte,29 Susan Selden Purdy,30 atau

Karel A. Steenbrink.31 Beberapa penulis di Indonesia juga kurang lebih

mengungkapkan kesimpulan yang sama.32 Dengan menggunakan pendekatan

Jose Casanova, Benjamin Fleming Intan melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya

sebagai public religion.33 Dengan begitu maka penemuan Pancasila sebagai

agama sipil sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa penulis. Dengan

begitu, maka tulisan ini hanyalah menuliskan kembali posisi Pancasila sebagai

agama sipil itu seperti yang telah dikemukakan penulis sebelumnya.

29Matti Justus. Schindeh“tte, Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens, Thesis (Ph.D, Hamburg University, 2005).

30 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:

Pancasila and civil religion in Indonesia , Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

31Karel A. Steenbrink, The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of

Religion dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999).

32 Elma (aryani, Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi

Agama , Tesis Universitas Gajah Mada, 2005, Nafisul Atha, Pancasila dan Agama Sipil , Tesis UIN Jogjakarta, 2005.

33 Benyamin Fleming Intan, Public Religion and the Pancasila-based State of

(15)

Diskursus mengenai agama sipil di Indonesia, dalam pengertian Bellah,

salah satunya tergaris dari dasar negara Pancasila. Pancasila sendiri tidak dapat

dipisahkan dari UUD 1945. Lima pilar yang menjadi dasar negara Indonesia, bisa

ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4.

Seperti yang tergambar dari komposisi yang menjadi kerangkanya,

Pancasila tidaklah merefleksikan satu arus semata. Meski ada aspek keagamaan

dalam Pancasila, tetapi agama apa yang menjadi dasar dari Pancasila tidaklah

dirumuskan secara spesifik. Itu artinya, setiap pemeluk keyakinan keagamaan

bisa mengambil sudut pandang imannya atau theologizing dalam menghayati Pancasila.

Pembahasan ini akan melihat posisi Pancasila dari dua sudut pandang. Jika

mengikuti alur sejarah yang telah berjasa melahirkan Pancasila, maka penulis

melihat bahwa ada dua asas mendasar yang menjadi tiang penyangganya.

Pertama, landasan politik. Kedua, prinsip etika.34 Secara politik Pancasila bisa

digambarkan sebagai landasan kehidupan bernegara yang memayungi berbagai

kepentingan ideologi dan politik yang berbeda. Sementara prinsip etika berarti

Pancasila adalah sumber moralitas bahwa yang menunjukkan bahwa kehidupan

bangsa Indonesia tidaklah merupakan sebuah proyeksi berbangsa dan

bernegara yang lepas dari moralitas.

Secara politik, peran Pancasila sebagai civil religion dikarenakan ia telah berhasil menjadi solusi atas persoalan relasi agama dan negara yang sangat

rumit di Indonesia. Sementara secara etika, Pancasila menjadi landasan bahwa

bangsa Indonesia memiliki fundamen yang kuat berakar dalam tradisi dan

budaya bangsa yang kemudian menjadi Indonesia.

Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena

agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Hipotesa awal yang hendak

34 Penulis kemudian menemukan paparan serupa tentang hal ini dalam Faisal Ismail,

(16)

dibangun dalam sub bab ini bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Dalam

kajian agama sipil (terutama yang disinggung Bellah) agama sipil adalah sejenis

elemen pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial.

Pancasila menjadi pemersatu dari elemen-elemen agama maupun non agama.

Penjelasan tentang posisi Pancasila sebagai agama sipil bisa dilihat

pertama-tama dari statusnya sebagai dasar negara dan ideologi. Sebagai

ideologi, Pancasila tentu saja tidak merepresentasikan kelompok primordial

tertentu. Ia memayungi semua kelompok primordial tersebut. Hubungan

konstitusional antara agama dan negara di Indonesia sebenarnya jelas, dimana

agama dan negara berada di ruang yang berbeda tapi tidak terpisah.

Anasir-anasir mengenai agama, jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia. Tetapi,

meski memuat anasir-anasir tersebut, konstitusi tidak menjadikan agama

tertentu sebagai dasar negara. Ruang antara agama dan negara itu, selain

membangun konsensus juga menyisakan perdebatan serta tarik menarik tafsir

atas hubungan agama dan negara di Indonesia.

Secara umum, gagasan agama sipil muncul untuk menjalankan tiga

fungsinya; alat integrasi, legitimasi dan memunculkan suara kenabian.35

Klaim integratif dari agama sipil seperti yang digambarkan Bellah pada

kasus Amerika merupakan fungsi yang sangat mendasar. Integrasi menghendaki

hadirnya harmoni dan ketertiban. Agama sipil menjadi lem perekat kelompok

masyarakat yang berbeda kepentingan. Gagasan Durkheim menjadi sangat

relevan untuk menakar Pancasila sebagai agama sipil. Mereka yang berbeda

keyakinan, suku dan klannya ini memiliki kesadaran bersama, yang itu

kemudian menjadi otoritas moral.

Dalam skema Durkhemian ini, Pancasila membutuhkan pra kondisi

struktural bagi sebuah bentuk integrasi yang efektif; tingkat perbedaan yang

35 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:

(17)

berdampak pada kebutuhan kerjasama dalam masyarakat yang lebih luas.36

Tapi, lanjut Purdy, memahami apa yang digagas oleh Durkheim tidak hanya pada

soal integrasinya semata, tapi komponen moral yang ada di dalamnya.37

Perspektif Durkheimian ini digunakan Bellah saat mencermati Agama Tokugawa

di Jepang. Kata Bellah, masyarakat Jepang dicirikan oleh kesetiaan kelompok di

satu sisi dan pencapaian individual serta kolektif di sisi lain.38 Keseragaman

budaya dan keyakinan akan kesetaraan yang merupakan prasyarat bagi sebuah

negara modern, sudah disiapkan oleh Jepang di era Tokugawa.39

Dalam kasus Pancasila, fungsi integrasi ini diperankan untuk mengatasi

perbedaan etnis, etos kebudayaan dan pluralitas agama. Perbedaan-perbedaan

itu disatukan dalam wadah negara-bangsa di bawah satu kode moral bersama.

Mencari dasar filosofis bersama itu tentu tidak mudah karena Indonesia harus

memulainya dengan melewati berbagai tantangan seperti perang kemerdekaan,

tarikan ideologi dan lainnya.

Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila mendapatkan klaim

sebagai integrasionis. Pancasila mengakui adanya keragaman. Namun,

bersamaan dengan pengakuan terhadap adanya keragaman, Pancasila menilai

bahwa kemajemukan itu ada dalam bingkai yang satu.

Pancasila, jika kita mengaitkan dengan ide Durkheim (juga Rousseau)

merupakan solusi untuk memecahan masalah ketertiban.40 Khusus untuk

Durkheim problem tentang ketertiban itu kemudian dihubungkan dengan

moralitas. Bagi Durkheim, sebagaimana dikutip Cristi, sebuah negara demokratis

merupakan kendaraan utama dimana nilai-nilai individualisme moral

36 Ibid., 16.

37 Ibid.

38 Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-industrial Japan, terj. Wardah

(afidz dan Wiladi Budiharga, Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), xxi.

39 Ibid.

40 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and

(18)

diimplementasikan.41 Durkheim menggambarkan negara sebagai organ

pemikiran sosial , ego kesadaran bersama.42 Pancasila hadir untuk

pengembangan moral dari anggota-anggota individualnya. Sebagai agen moral,

Pancasila berperan untuk menjamin dan memajukan hak-hak yang menyatu

dalam moral individu.43

Selain sebagai alat integrasi, fungsi Pancasila sebagai agama sipil terlihat

dari perannya sebagai legitimator. Weber menunjukan bahwa hubungan positif

antara pemimpin dan yang dipimpin, menempati posisi penting bagi kinerja

efektif sebuah sistem sosial.44

Legitimasi sebuah aturan dapat dijamin dalam dua prinsip. Pertama, jaminan bisa bersifat subjektif murni, baik itu bersifat afektual, value-rational

ataupun bersifat keagamaan. Kedua, legitimasi sebuah aturan juga bisa dijamin oleh harapan dampak eksternal yang spesifik, atau oleh situasi kepentingan.45

Dasar dari legitimasi itu sendiri bisa muncul dari tradisi, afektual (khususnya

emosi), iman, nilai-rasional, dan hukum.

Weber berargumen, validitas klaim legitimasi didasarkan pada salah satu atu kombinasi lebih dari satu dari tiga model ideal types otoritas legitimasi. Dalam tipologinya itu, Weber membagi otoritas dalam 3 jenis klasifikasi analitis:

Pertama, otoritas rasional-legal yang dilegitimasi oleh suatu kepercayaan pada legalitas peraturan-peraturan yang diundangkan dan pada

hak orang-orang yang diberi otoritas memimpin di bawah peraturan-peraturan

tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah ;

Kedua, otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari suatu kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada

41 Ibid.

42 Dikutip Ibid. 43 Ibid.

44 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power . . . 22.

45 Max Weber, Economy and Society, edited by Gunther Roth and Claus Wittich; trans.

(19)

dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas

kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu ;

Ketiga, otoritas karismatik dengan legitimasinya terletak pada ketaatan dan kesetiaan terhadap seorang individu yang dipandang memiliki karakter

yang patut diteladani, heroik dan memiliki kesucian luar biasa, yang juga

terdapat pada pola-pola atau tatanan normatif yang disingkapkan atau

ditahbiskan olehnya . Menurut Weber, karisma dan otoritas karismatik menunjuk pada suatu sifat tertentu dari seorang individu pribadi, yang karena sifatnya ini dia dipandang luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang

dikarunia kemampuan-kemampuan adikodrati dan adi-insani, atau setidaknya

dikaruniai kuasa atau sifat yang khas dan luar biasa. Kuasa dan sifat ini sangat

luar biasa sehingga tidak dapat diperoleh orang biasa, tetapi dipandang sebagai

teladan yang berasal dari Yang Ilahi, dan berdasarkan kuasa dan sifat ini pribadi yang bersangkutan diperlakukan sebagai seorang pemimpin. 46

Dalam sebuah negara yang mengalami krisis akibat perang dan

pertarungan ideologi, maka diperlukan satu alat legitimasi. Agama sipil

diperlukan untuk mengisi ruang dimana legitimasi diperlukan untuk

membangun kepercayaan masyarakat. Pancasila dihadirkan dalam kapasitasnya

untuk menempati posisi demikian.

Dimensi terakhir dari agama sipil adalah profetis. Bellah menyatakan

agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam

seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.47 Dimensi keagamaan itu ada dalam

kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman

sejarahnya dalam terang realitas transenden.48

46 Ibid.

47 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World

(University of California Press, 1980), 171.

48 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial

(20)

Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan

agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society

Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih

dekat dengan prinsip Katolik. Dalam Habits of the Heart dan The Good Society, Bellah berbicara mengenai public church , term yang dia pinjam dari Martin

Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan

kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan

Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.

Kalau kita melihat kembali gagasan utama dari agama sipil, maka

nomenklatur agama menempati posisi yang utama. Mengutip Marty, Bellah

menuturkan kalau agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai

fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan

Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui

tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik menugaskan para pemimpin dan

kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan

ilahiah bagi bangsa Amerika. Peter L. Berger menyebut agama menunjukan perannya sebagai world-maintaining dan world-shaking force.49

Dalam situasi ini, Pancasila terbangun dari banyak elemen yang salah

satunya adalah agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu prophetic dimension dari Pancasila. Pancasila adalah kalimatun sawa (titik temu) warga Indonesia yang berbeda asal-usul suku bangsa dan agamanya.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan eksplisit menyebut bahwa

kemerdekaan bangsa Indonesia ini tak hanya karena kekuatan fisik, tapi juga

49 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion,

(21)

Atas Berkat Rahmat Tuhan. Ada kuasa transenden yang turut campur dalam

kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai agama sipil, tentu saja penting untuk melihat isi dari Pancasila

tersebut. Elemen apa saja yang terkandung dalam Pancasila. Dan apakah posisi

Pancasila sebagai common denominator di Indonesia selaras dengan pengertian Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Percakapan pertama tentang dasar negara muncul saat berlangsungnya

sidang BPUPKI. Dalam perbincangan mengenai apa yang menjadi dasar bersama

bangsa Indonesia, Soekarno menawarkan lima pilar dalam pidato 1 Juni 1945,

yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Tetapi, jauh sebelumnya,

hemat penulis, penelusuran terhadap akar ideologi Pancasila ini mengantar kita

pada masa di mana Soekarno melontarkan ide tentang Nasionalisme, Islamisme

dan Marxisme.50

Soekarno mula-mula memperkenalkan ketiga akar ideologis yang

membentuk Pancasila (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme), pada tahun yang ia tulis di Suluh )ndonesia Muda dengan judul yang sama. Soekarno mengatakan bahwa sebagai negara jajahan, negara Indonesia memiliki tiga sifat,

Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.51

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan,

bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna jika berseteru satu

dengan yang lainnya.52 Ketiga gelombang ini bisa bekerjasama menjadi satu

gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat

ditahan terjangnya. Dan itulah kewajiban yang mesti dipikul oleh bangsa

Indonesia.

Berhasil atau tidaknya bangsa Indonesia menjalankan kewajiban yang

berat itu bukanlah sebuah tujuan. Tetapi itu bukan berarti bahwa bangsa ini

50 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005). 51 Ibid., 2.

(22)

harus putus asa, melainkan harus terus berupaya menyatukan tiga gelombang

tadi. Sebab persatuanlah yang kelak akan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dari tiga ideologi itu, Soekarno kemudian mengembangkannya menjadi

lima dasar (Pancasila) yang ia kenalkan saat Sidang BPUPKI 1Juni 1945. Pada

sidang itu, Soekarno memberikan pidato tentang dasar negara Indonesia. Dalam

kesempatan itu, Soekarno memperluas spektrum ideologi yang ia tulis pada

1926, meski sokogurunya tetap pada tiga fondasi awal. Lima prinsip dasar itu

adalah Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat,

Kesejahteraan dan Ketuhanan.53

Soekarno kemudian menjelaskan masing-masing dari dasar negara itu.

Kebangsaan Indonesia, menurut Soekarno bukanlah satu golongan yang hidup

dengan perasaan bersama dan ingin bersatu di atas tanah kecil Minangkabau,

Madura, Jogja atau Sunda saja. Tetapi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia dari ujung Utara Sumatera hingga )rian. Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada le desir d etre ensemble sudah terjadi Charaktergemeinschaft ! Natie )ndonesia, bangsa )ndonesia, umat )ndonesia orangnya adalah 70.000.000 tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,

sekali lagi satu .

Dasar kedua yang ditawarkan Soekarno adalah internasionalisme. Tapi,

kata Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar

dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur

bersama-sama dengan internasionalisme. Jadi prinsip yang pertama (nasionalisme) dan

kedua (internasionalisme) ini saling berkait erat.

Prinsip ketiga yang disinggung oleh Soekarno adalah mufakat, perwakilan

dan permusyawaratan. Indonesia, kata Soekarno bukanlah negara untuk satu

orang saja. Negara Indonesia bukan untuk satu orang, bukan satu negara untuk

(23)

satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua

buat semua, satu buat semua, semua buat satu, terang Soekarno.

Dasar yang keempat adalah kesejahteraan. Soekarno memimpikan tidak

ada kemiskinan di negara Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa di

Barat kaum Kapitalis begitu merajalela. Meski ada demokrasi disitu, tetapi tidak

ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi sama sekali.

Yang terakhir, Soekarno menyinggung tentang ide Ketuhanan. Bagi

Soekarno bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang

Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya negara Indonesia

adalah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara

yang leluasa. Segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama . Dan hendaknya Negara Indonesia Negara yang bertuhan, kata Soekarno.54

Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan

pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat

menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan

yang lainnya.

Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara

yang ber-Ketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan

yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan

yang hormat-menghormati satu sama lain.55 Dengan menggunakan azas itulah

segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.56

54 Ibid., 101.

55 Ibid.

56 Ibid., 102. Setelah menawarkan kelima dasar itu, Soekarno kemudian menawarkan

(24)

Dengan menggunakan kata Ketuhanan dan tidak merujuk pada agama

tertentu, Soekarno bermaksud untuk menjadikan Pancasila (terutama

Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi semua warga negara Indonesia tanpa

membedakan identitas agamanya. Jadi Ketuhanan menjadi semacam prinsip

moral-etis dimana kehidupan bersama yang dilandaskan atas semangat

kekeluargaan adalah merupakan pengeJawantahan dari prinsip pengabdian

kepada Tuhan.

Soekarno menggunakan kata Tuhan dengan maksud memberikan

keleluasaan kepada siapapun untuk menafsirkan kata ini. Bisa jadi ia adalah

Tuhan yang telah menurunkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam keyakinan

umat Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Ia adalah sumber dari

segala kebaikan.

Istilah Ketuhanan yang diungkapkan Soekarno, secara prinsipil bukanlah

konsep Ketuhanan yang rumit, melainkan konsep yang sangat sederhana dan

berusaha untuk dijaga jaraknya dari anasir-anasir monotheistik itu. Soekarno

menyadari bahwa beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang

berbeda-beda adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah

makna terdalam dari apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ...hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri .57 Hemat penulis, rumusan Pancasila dengan melihat

penggambarannya terhadap ide Ketuhanan tersebut menjadi salah satu ide

dasar yang ditransformasikan dalam religiusitas sipil.

Setelah Soekarno mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu pilar negara,

tim kecil yang berjumlah sembilan orang kemudian merumuskan menjabarkan

Ketuhanan itu dengan menambahkan tujuh kata setelahnya. Sehingga sila tersebut berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari at )slam bagi pemeluknya .

(25)

Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus

1945 malam, Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut

Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia

Timur. Mereka tidak bisa menerima dimuatnya Piagam Jakarta pada

Mukaddimah Undang-undang Dasar. Jika tidak dirubah, mereka siap untuk tidak

bergabung dengan Republik yang baru berumur sehari itu.

Tanggal 18 Agustus, Hatta kemudian memanggil empat anggota PPKI yang

dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku

Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim.58 Hatta menyampaikan keberatan dari

masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah

Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan

tujuah kata itu diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga sila pertama itu menjadi

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lima prinsip yang disampaikan Soekarno sempat ditawarkan untuk

menjadi tiga, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan

internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, sosio-demokrasi dan

Ketuhanan. Kata Soekarno ia menginginkan konsep demokrasi yang bukan

demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan yang kemudian dinamakannya sebagai sosio-demokrasi.

Penjelasan sederhananya bisa dilihat di bawah ini.59

58 Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS,

1999), 34. B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 35.

59 Dikutip dari John A. Titaley, Pola Pemikiran Sosial dan Politik Aliran di Indonesia,

(26)

1926 1945

Islamisme Nasionalisme

Ketuhanan Kesejahteraan

Demokrasi

Internasionalisme Nasionalisme

Ketuhanan

Sosio-Demokrasi Sosio-Nasionalisme

Pancasila Trisila

Marxisme

Ekasila

Gotong -Royong

Sebagai agama sipil, Pancasila berbeda dengan uraian agama sipil di

Amerika yang dikaji Bellah. Kita melihat bahwa unsur yang ada di dalamnya

begitu kaya. Pancasila tidak hanya berbicara tentang masalah agama semata.

Seperti yang kita cermati dari usulan Soekarno, agama menjadi salah satu unsur

pembentuk saja. Ada faksi lain seperti ideologi Marxisme dan nasionalisme.

Elemen-elemen Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan agama inilah

yang membentuk Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Dalam pidato

1 Juni 1945, Soekarno menekankan tentang pentingnya pertautan antara satu

dengan lainnya.

Konseptualisasi ide tentang Pancasila berpokok pada moralitas dan haluan

kebangsaan yang bisa dijelaskan melalui lima penegasan.60

Pertama, religiositas sebagai sumber etika dan spiritualitas begitu penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ia tak pernah lepas dari kenyataan hidup.

Bangsa Indonesia selalu berusaha mendefinisikan perilakunya dengan takaran

agama dan keyakinannya. Disini konsep pemisahan secara ketat antara agama

60 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,

(27)

dan negara tidak berlaku. Dalam konstitusi, negara didaulat untuk menjamin hak

tiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Penegasan kedua adalah bahwa kemanusiaan universal bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi elan bagi etika

politik kehidupan bangsa dalam membangun hubungan dunia. Dua tujuan

ditempuh melalui dasar ini. Ke luar, bangsa Indonesia dituntut untuk

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan

memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Etika yang jadi prasyaratnya adalah adil dan beradab.

Ketiga, aktualisasi nilai Pancasila itu didasarkan atas semangat kebangsaan yang kuat. Di sini, Indonesia dipahami sebagai negara persatuan kebangsaan

yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Penghargaan terhadap

pluralisme atau keragaman agama, budaya dan bahasa menjadi landasan pokok

dari negara persatuan ini. Tetapi dalam keragamannya itu, Indonesia berupaya

mencari titik temu yang termanifestasi dalam Pancasila.

Keempat, dalam kosmologi Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam kenyataaannya harus menjunjung

tinggi semangat kedaulatan dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan. Visi ini hendak menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tidak

merupakan sebentuk mayoritarianisme, tetapi kerangka etika politik yang

dibingkai oleh hikmat/kebijaksanaan. Ia tidak hanya sekadar demokrasi, tetapi

sosial-demokrasi.

Kelima, dalam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan serta permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan sejauh dapat

mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial ini tereJawantah dalam

keseimbangan antara jasmani dan rohani, peran manusia sebagai makhluk

(28)

sosial dan budaya. Gagasan ini ada dalam diskusus sosial-demokrasi di Eropa

dan mengakar dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat

Indonesia. Prinsip keadilan dalam Pancasila seperti menjadi jalan ketiga dalam

membangun keadilan sosial.61 Jika dua aliran utama dalam keadilan adalah

liberal-individualisme dan egalitarian-sosialisme, maka sila kelima Pancasila

mendamaikan dua teori besar tersebut. Keadilan Pancasila menjadikan

kesejahteraan warga masyarakat sebagai titik pijak sekaligus tujuannya. Tetapi

ia berbeda dengan egalitarian-sosialisme yang mengekang kebebasan individual.

Kesederajatan (egalitarian-sosialisme) diperlakukan seimbang dengan

kebebasan (liberal-individualisme).

Dengan menegaskan tentang elemen pembentuk Pancasila, kita bisa

melihat bahwa dalam beberapa titik, agama sipil di Indonesia memiliki

kesamaan dengan ide Bellah. Ia berfungsi sebagai alat integrasi dari pluralitas

agama budaya, suku dan bahasa serta nilai-nilai lokal yang telah diwariskan

secara turun temurun. Pancasila juga ada dalam posisi sebagai alat legitimasi.

Dalam kapasitasnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala

sumber hukum. Segala produk perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh

bertentangan dengan payungnya, Pancasila. Di sisi lain Pancasila juga memiliki

dimensi profetiknya. Pancasila diyakini tidak hanya berdimensi kemanusiaan,

tetapi di dalamnya mengandung semangat transendensi yang luhur. Ada nilai

Ketuhanan yang menjadi fondasi etika bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai agama sipil agak sedikit berbeda dengan gagasan agama

sipil Bellah di Amerika. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,62

konteks ide Bellah berkaitan dengan konteks kesejarahan Amerika yang menjadi

tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi

Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya.

61 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Universitas Kristen

Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007), 220-221.

(29)

Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena

meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan. Kebebasan

beragama menjadi impian para imigran yang datang ke Amerika. Mereka

membutuhkan satu dasar bersama. Meski kemudian dirumuskan satu agama

sipil, tetapi fondasinya adalah agama, lebih khusus lagi Kekristenan.

Ide tentang Tuhan seperti yang diucapkan oleh Kennedy pada dasarnya

memang bukan suatu yang eksklusif. Tuhan disana tidak merujuk pada

denominasi tertentu. Namun, betapapun inklusifnya diskursus tentang Tuhan

seperti yang diungkapkan oleh Bellah, jelas ia masih merujuk pada pola teistik.

Situasi ini berbeda dengan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia. Shank

misalnya dengan baik menunjukan bahwa agama sipil itu merupakan ikatan

solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak

beriman, teis dan ateis. Di sini, pengertian Shank tentang agama sipil lebih dekat

dengan Pancasila. Ini relevan dengan Mc.Guire yang menyebut agama sipil

sebagai non-official religion atau Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-religion.

Penjelasan mengenai Pancasila sebagai agama sipil (sebagai hasil kontrak

sosial) juga berada dalam kerangka kontrak sosial yang berbeda dengan

pengertian Rousseau. Dalam garis kesejarahan, posisi Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, melainkan historis.

Kontrak sosial yang dibuat dengan Pancasila sebagai dasarnya, adalah kontrak

dari mereka yang mengalami penindasan dan perjuangan menuju

kemerdekaan.63

Indonesia berbeda dengan konsepsi kontrak sosial seperti ujarannya

Rousseau. Kontrak sosial Rousseau didasari oleh munculnya kesenjangan antara

mereka yang kaya dan miskin yang merupakan mayoritas. Kondisi ini membuat

hidup menjadi tidak nyaman. Yang kaya terus menerus melindungi hartanya dan

(30)

yang miskin berusaha merongrongnya. Dalam situasi ini tak ada kebebasan dan

kesamaan.64 Kontrak sosial muncul dalam situasi seperti ini. Kondisi ini berbeda

dengan Indonesia dimana kontrak terjadi antara mereka yang bersama-sama

menginginkan kemerdekaan.

Yang menyamakannya adalah tujuan akhir. Baik Rousseau maupun kontrak

sosial bangsa Indonesia sama-sama menghendaki kebebasan, kesederajatan,

saling peduli dan persatuan. Kesamaan yang lain adalah keduanya bersepakat

tentang kehendak bersama (general will) yang mendorong masyarakatnya menciptakan kebaikan bersama (common good).65

Pancasila dalam Analisis Budaya

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno, Georg Mc T. Kahin dan

Bernard Dahm mengemukakan hal yang sama. Menurut mereka, Soekarno

adalah seorang penganut sintesa. Kahin mengatakan bahwa tidak ada penjelasan

prinsip lain dimana disana ditemukan penjelasan yang memadai tentang

gagasan demokrasi barat, Islam modernis, Marxis dan ide demokratis dan

komunalistik desa asli, yang merupakan dasar umum pemikiran sosial dari

bagian yang besar dari elit politik Indonesia setelah perang.66 Sementara Dahm

menilai kalau pidato tersebut merupakan ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan

politik yang telah dikembangkannya hingga tahun 1945. Harry J. Benda

mentikberatkan analisis kalau pidato Soekarno itu lebih sebagai usaha untuk

merangkul kekuatan Islam Politik yang mulai menguat pada hingga tahun

1944-1945.67 Soekarno memberikan perhatiannya kepada kekuatan Islam agar

mereka tidak menuntut negara Islam untuk Indonesia. Usaha Soekarno untuk

64 Ibid.

65 Ibid., 176.

66 George Mc Turnar Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Jakarta: Sinar

Harapan, 1995), 155.

67 Hary J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese

(31)

merangkul kekuatan Islam dengan maksud menjelaskan tentang semua buat semua , sudah ia lakukan sebelum sidang BPUPKI.

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno ini penulis akan membaca

dengan analisis budaya. Dahm, ketika menganalisis lima sila dari Soekarno ini, ia

mengaitkannya dengan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Tidak dapat

disangkal bahwasanya lima prinsip yang termuat dalam Pancasila itu sudah

hidup dan menjadi tulang punggung dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide

tentang nasionalisme ada dalam beberapa partai politik dan juga Budi Utomo,

perhimpunan-perhimpunan di daerah; internasionalisme yang

berperikemanusiaan bisa ditemukan dalam Islam dan komunis; gagasan

demokrasi dalam pengertian mufakat, yang mewakili semua golongan, terutama

minoritas, harapan akan keadilan sosial ada dalam benak kaum Marxis serta

kepercayaan akan Tuhan ada dalam golongan-golongan agama dan mereka yang memerlukan Tuhan.68

Meski ada sekian gagasan, menurut Dahm hanya ada satu saluran saja yang

dilalui oleh berbagai aliran itu. Dahm mengatakan

Tetapi hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu, di mana aliran-aliran itu diuraikan seperti oleh sebuah prisma dan kemudian digabungkan kembali secara harmonis untuk membentuk satu pola baru dan saluran itu adalah Soekarno sendiri.69

Konsepsi ini yang sesungguhnya mengakar dalam konsep kekuasaan

masyarakat Jawa. Benedict Anderson menggambarkan setidaknya empat

karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat

konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu

(32)

pengabsahan.70 Kekuasaan itu konkret dalam pengertian bahwa bagi orang Jawa

kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi realitas yang

benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba bersifat ilahi, ada

dalam setiap aspek dunia alami, batu, kayu, awan dan api. Kekuasaan juga

bersifat homogen, sama jenisnya sama sumbernya. Kekuasaan di tangan satu

individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di

tangan individu atau kelompok lain. Dalam pandangan orang Jawa alam semesta

tidak bertambah luas dan tidak juga bertambah sempit. Karena kekuassaan yang

terdapat di dalamnya selalu tetap. Dan yang terakhir, dalam pandangan Jawa,

karena kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan

itu sendiri lebih dahulu ada daripada hadirnya konsekuensi perbuatan; baik dan

buruk.71

Konsepsi ini yang membedakannya dengan ide kekuasaan Barat. Dalam

Habits of the Heart, Bellah menunjukan konstruksi kekuasaan yang multijalur itu dalam masyarakat Amerika. Menurut Bellah

Cultures are dramatic conversations about thing that matter to their participants, and American culture is no exception. From its early days, some Americans have seen the purpose and goal of the nation as the effort to realize the ancient biblical hope of a just and compassionate society. Others have struggled to shape the spirit of their lives and the laws of the nation in accord with the ideals of republican citizenship and participation. Yet others have promoted dreams of manifest destiny and national glory. And always there have been the proponents, often passionate, of the notion that liberty means the spirit of enterprise and the right to amass wealth and power for one-self.72

70 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia

(Cornell University Press, 1990), 22-23. Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986).

71 Bennedict Anderson, Language and Power . . . Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan

Jawa. . . 24-25

72 Robert N. Bellah, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life

(33)

Bellah melanjutkan bahwa tema-tema tentang kesuksesan, kebebasan dan

keadilan semuanya ditemukan dalam tiga sokoguru budaya bangsa Amerika,

Biblikal, Republikan dan Individualis modern yang satu dengan lainnya saling

bertukar makna dan melakukan percakapan sekarang.73 Model kekuasaan

seperti ini kontras dengan pemikiran orang Jawa.

Pernyataan Anderson tentang konsepsi kekuasaan dalam masyarakat Jawa

yang homogen itu, kata R. William Liddle, hanya memfokuskan pikiran kita pada

sebuah kepercayaan yang berkaitan dengan konsepsi kebatinan Jawa yang

menyisakan pertanyaan tentang kegunaannya pada masa sekarang.74 Ide

kekuasaan seperti itu berusaha untuk menjelaskan bahwa hanya ada satu jalur

dari sekian banyak jalur di dalam struktur budaya politik Indonesia.75

Dengan menggunakan pendekatan analisa budaya, Eka Darmaputera

menunjukan bahwa Pancasila tidak bisa dipahami kecuali dalam kerangka

keIndonesiaan, tidak dalam perspektif barat misalnya. Menurut Darmaputera,

Pancasila merupakan rumusan teoritis dan abstrak dari satu warisan budaya

yang dalam.76 Kebudayaan Indonesia yang berjasa melahirkan Pancasila itu, jika

kemudian dicarikan sentrumnya, maka kita akan bertemu dengan Jawa. Kata

Niels Mulder, Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung

halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara penduduk Indonesia yang amat beraneka.77

Dalam masyarakat Jawa, etika kekuasaan disarikan dari prinsip hidup

mereka yang sangat menekankan pada tiga konsep dasar; keserasian, cocok dan

rasa. Keserasian menekankan agar konflik bisa dihindari dengan menekankan

keseimbangan yang bersifat status-quo. Sementara cocok menekankan

73 Ibid, 28.

74 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 4. 75 Ibid., 5.

76 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK, 1988), 129. 77 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984),

(34)

pemeliharaan akan ketertiban78 yang kemudian membagi tindakan manusia

menjadi pantes dan ora pantes. Sementara konsep rasa menekankan pada aspek terdalam kehidupan manusia.79 Tiga konsepsi dasar itu yang menjadi faktor

integratif masyarakat Jawa yang sesungguhnya plural jika dilihat dari kategori

struktur sosialnya Clifford Geertz.

Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan

priyayi.80 Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara

seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai

inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha

mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang

juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang

akar-akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket

kraton itu.81 Geertz tidak menafikan bahwa kerap terjadi konflik dalam tiga

lapisan masyarakat ini. Ketegangan yang cukup kuat terjadi antara kaum santri

dan dua kelompok lainnya.82 Kebencian juga dikobarkan oleh petani terhadap

kaum aristokrasi yang eksploitatif serta kelompok pedagang santri. Berbeda

halnya dengan model konflik santri dan dua kelompok lain yang relatif terbuka,

pertentangan ideologi antara abangan dan priyayi cenderung lebih tertutup.

Para priyayi biasanya lebih menjaga jarak dari kelompok abangan meski mereka

menganggap praktek mistik abangan itu hanya takhayul dan menilai mereka

terlalu cepat mudah percaya. Sebaliknya, abangan menganggap bahwa teori

mistik kalangan priyayi itu sesuatu yang di luar pemahaman abangan. Respek

78 Tentang harmoni sosial di kampong Jawa bisa disimak dalam Patrick Guinnes,

Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung (Oxford University Press, 1986).

79 Eka Darmaputera, Pancasila . . . 92

80 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka

Jaya), 1981.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Di dalam BK SMP Negeri 2 Semarang juga memiliki struktur kepengurusan yang menjelaskan tenaga-tenaga pengisi BK di posisi tertentu yang memiliki rincian tugas-tugas

Pada beberapa kasus dapat ditemukan pada manusia walaupun jarang dengan gejala yang ditimbulkan menunjukkan kemiripan dengan penyakit difteri (Diphtheria-like Diseases

Sehubungan dengan Paket Pekerjaan PENYUSUNAN DED GEDUNG CRITICAL CARE DAN VIP RUMAH SAKIT(Lelang Ulang) dan sesuai dengan hasil evaluasi Kelompok Kerja IV Unit Layanan

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa program pascasarjana berikut ini adalah mahasiswa yang sedang aktif

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah