BAB IV
PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA
Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus
utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya
dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan,
hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi sumber integrasi bagi seluruh
komponen warga negara.
Dengan kata lain, kajian agama sipil yang top-down adalah suatu
penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman
warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang
disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil religion.
Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya rasa keberagamaan itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir orang Jawa.1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam
bagian ini.
Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari
Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar
negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.
Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam
bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil
yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan
Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas
1 Paul Stange, The Logic of Rasa in Java , Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134.
keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas
Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea 3.
Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,
bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama
adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)
dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).
Yang Maha Kuasa di Alinea Tiga: Kajian Terhadap Pembukaan UUD 1945
Kajian tentang identitas agama dalam bab ini akan diulas dengan
menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. UUD 1945 yang menjadi rujukan adalah
pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya. Meski menjadikan UUD 1945
sebagai rujukan, bahasan dalam sub bab ini juga akan menyinggung perubahan
dasar negara yang juga sempat menggunakan UUD Sementara Republik
Indonesia (RI) 1950 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
17 Agustus 1945 memberikan dua hal yang pokok dalam sejarah
kehidupan bangsa Indonesia.2 Pertama, pernyataan di depan penjajah bahwa
umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Kedua, kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka
memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan
Republik Indonesia.
2 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Jogjakarta: Ombak dan Media
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara
saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Semangat yang tercermin dalam proklamasi adalah pernyataan bahwa hari
itu semua bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Teks
proklamasi merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.3 Soekarno
dan Hatta didaulat mewakili bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan
Hatta mewakili bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas
agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya
terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan
itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama
yang dianut oleh penduduknya.
Tentang kedudukan proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjelaskan
bahwa ia tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah
proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of independence.4 Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan
bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman
3 Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet: Tafsir Postkolonial atas
Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48.
4 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui
tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin
yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa
kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi,
tidak memiliki arti.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang
membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang
Dasar 1945.
Sebagai sebuah teks, pembukaan UUD 1945 baru terumuskan pada tanggal
18 Agustus 1945. Tapi, teks ini tentu saja bukanlah suatu yang begitu saja
muncul. Ia hadir dari sebuah rangkaian proses dalam perdebatan sidang
BPUPKI. Setidaknya hal itu bisa kita tangkap sejak Soekarno mengucapkan
pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Pidato itulah yang kemudian
memantik BPUPKI membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari sembilan
orang untuk mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan
Indonesia.
Panitia kecil itulah yang kemudian berhasil membuat naskah pembukaan,
preambule yang kemudian dianggap sebagai gentlemen agreement antara paham nasionalisme dan pendukung Islam. Muhammad Yamin kemudian mengusulkan
agar kesepakatan yang dibuat oleh tim kecil itu sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Naskah ini yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memancing perdebatan, terutama yang berkaitan dengan tujuh kata di alinea
empat.
Dari naskah yang sederhana itu, kemudian tersusunlah naskah baru yang
diberi nama Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM). PIM merupakan perluasan
dari Piagam Jakarta. Tiga alinea pertama dari Piagam Jakarta dikembangkan
kemudian disiapkan menjadi pembukaan dari UUD 1945. Jadi, kalau proklamasi
kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan PIM, maka Pembukaan UUD 1945
yang kita miliki hanyalah alinea keempat saja dari Piagam Jakarta.
Dalam perjalanannya, BPUPKI yang telah mempersiapkan baik PIM
maupun UUD 1945, ternyata tidak dapat melaksanakan rencananya sesuai
dengan yang diharapkan. Ini disebabkan karena sejak tanggal 15 Agustus 1945,
teks proklamasi yang digunakan tidak menggunakan PIM akan tetapi suatu teks
yang disusun kemudian oleh Soekarno-Hatta dengan para pemuda tanggal 17
Agustus 1945 jam 03.00 pagi hari dalam bentuk dua kalimat yang sederhana.
Sesudah proklamasi dibacakan, PPKI bersidang untuk kali yang pertama.
Karena proklamasi sudah dilakukan dengan teks yang pendek, maka seluruh
naskah yang bernama Piagam Jakarta itu kemudian hendak dijadikan
Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya alinea keempat dari Piagam Jakarta.
Dalam proses itulah, muncul keberatan dari para wakil Protestan dan Katolik
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Indonesia Timur terhadap
tujuh kata dari naskah tersebut.
Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat diusahakan
penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan wakil pemimpin Islam sebelum sidang
PPKI, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan yang dilakukan
terjadi pada alinea ketiga dan keempat. Perubahan dalam alinea keempat terjadi dengan dihapuskannya tujuh kata dari …berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya… dan dirumuskan kembali menjadi …berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,… . Perubahan alinea ketiga dilakukan dengan kata Allah dengan kata Tuhan.5
5 John A. Titaley, Nilai-nilai Dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang
Setelah melihat perjalanan historisnya, kita mengamati nilai yang
tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.6 Alinea pertama memuat
kalimat Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Konsep kunci dalam alinea pertama
adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan dan penjajahan. Jika diamati
secara mendalam, nilai ini hanya akan terlaksana kalau tidak ada penjajahan.
Segala bentuk penjajahan akan menghilangkan perikemanusiaan dan keadilan.
Hanya kemerdekaan sajalah yang dapat memulihkan harga diri kemanusiaan.
Dalam alinea kedua, kita akan menemukan konsep kunci yakni perjuangan
kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
adalah konsep yang berkaitan dengan alinea pertama. Yang perlu diperhatikan
adalah perjuangan kemerdekaan dan pintu gerbang kemerdekaan. Perjuangan
ini menunjuk kepada upaya mencapai kemerdekaan oleh bangsa Indonesia.
Kemerdekaan itu bukanlah hadiah Belanda atau Jepang atau siapa-siapa,
melainkan perjuangan. Pintu gerbang kemerdekaan Indonesia itu bukanlah
negara Indonesia, karena negara Indonesia saat itu belum memiliki aturan
hukum. Karenanya nilai yang ditekankan dalam alinea kedua ini adalah karya
nyata manusia Indonesia yang punya kesadaran tinggi terhadap berlakunya
hukum.
Alinea ketiga, Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan
didorongkan oleh Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Konsep
kunci dalam alinea ini adalah pernyataan pengakuan bahwa adanya rakhmat
dan pengakuan kemerdekaan. Jika alinea pertama dan kedua menekankan pada
6 Kajian ini telah ditulis dengan baik dalam, Ibid., 9-24. Penjabaran tentang nilai-nilai
kerja manusia, alinea ketiga ini adalah pengakuan bangsa Indonesia akan adanya
campur tangan Yang Maha Kuasa dalam kemerdekaan Indonesia.
Sementara dalam alinea keempat kita melihat gagasan-gagasan
implementasi kemerdekaan itu. Konsep-konsep kunci yang terkandung di
dalamnya adalah pemerintah negara, UUD, negara yang berkedaulatan rakyat
dan Pancasila. Pemerintah negara ini bertugas untuk melindungi segenap
bangsa seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum bukan pribadi,
keluarga atau kelompok tertentu; mencerdaskan kehidupan bangsa dan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. UUD menjadi konsep yang penting bagi suatu negara
modern yang demokratis.
Karena itu, nilai-nilai yang dimiliki dalam pembukaan UUD 1945 adalah
kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, kerja keras, intervensi Tuhan, yang
seluruhnya bersumber dari kesederajatan kemanusiaan sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat merubah (transform) perilaku bangsa Indonesia dari kecenderungan untuk berperilaku primordialnya
kepada perilaku nasionalnya.
Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan
di alenia ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan
Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,
Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada
redaksi pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang
kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah
dirubah dengan Tuhan. Kata Pudja, Ayat Atas berkat Rahmat Allah diganti
Tuhan saja, Tuhan Yang Maha Kuasa .7 Usul Pudja ditangkap Soekarno yang
kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan
7 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan .8 Setelah itu, Soekarno kemudian
membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.
Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata Tuhan pada sidang
Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7
yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis
Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa . Editor buku Risalah Sidang BPUPK) mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu.9
Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari
1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang
BPUPKI, terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal
kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara no. tahun halaman , alinea ketiga tertulis Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa . )ni berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian
Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPK) yakni, Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa .10
Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam
beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam
Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni
8 Ibid.
9 Ibid., 538.
10 Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945 (Bandung:
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI
1950.
Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa . Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta. Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu
sama-sama memunculkan kata Tuhan . Dalam Konstitusi RIS, kalimat
lengkapnya berbunyi Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai
kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur . Dalam UUD Sementara,
kalimat di alinea berbunyi Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah
tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur .11
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan
Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada
perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar
kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan
dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak
menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan
Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu
menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada
di Indonesia.12 Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna
untuk kelompok tertentu saja.
Sebutan Allah sebagai identitas Yang Maha Kuasa, sangat khas dengan tiga
kelompok agama, Islam, Kristen dan Katolik. Memasukan Allah dalam
pembukaan UUD 1945, seolah-olah hanya ingin menunjukan bahwa perjuangan
kemerdekaan itu hanya dilakukan oleh tiga kelompok itu saja. Padahal
11 Kutipan Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara diambil dari ____, 3
Undang-undang Dasar Republik Indonesia (Pustaka Mahardika, tt), 43 dan 104.
12 Putu Setia, Refleksi Agama-agama atas 50 tahun Kemerdekaan: Perspektif Hindu,
hakikatnya kemerdekaan ini adalah karya bersama dari semua rakyat Indonesia
yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan.
I Gusti Ketut Pudja datang sebagai wakil dari wilayah Sunda Kecil (Bali)
yang beragama Hindu-Bali. Dalam tradisi Hindu-Bali, Allah itu sesuatu yang
tidak dikenal. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, tradisi tidak secara jelas
dibedakan dari agama.13 Tradisi yang dalam beberapa bagian kehidupan
masyarakat Bali menjadi religious worldview, merujuk pada tatanan kosmis yang ilahi dan aturan kemasyarakatan seperti yang diajarkan oleh para leluhur.14
Tidak seperti halnya agama-agama dunia yang memiliki dasar kepercayaan
serta simbol yang memberikan makna bagi orang dari berbagai latar belakang
kebudayaan, agama Bali benar-benar bersifat lokal seperti yang terwujud dalam
upacara yang dikhususkan bagi kelompok tertentu, leluhurnya dan
wilayahnya.15 Bagi mereka, tujuan utama bukanlah pada kebenaran dogma
(orthodoxy) tetapi kebenaran perilaku (orthopraxy). 16
Karena agama yang diekspresikan masyarakat Bali sangatlah lokal, maka
penyebutan terhadap identitas Yang Maha Kuasa pun berbeda-beda. Dalam kitab
suci Weda sendiri Yang Maha Esa ini disebut dengan banyak nama antara lain,
Agni, Indra, Vayu, Surya, Mitra, Varuna, Prajapati, Amsa, Daksa, Parjanya,
Vivasvat, Visvakarma, Savitri dan lain-lain. 17 Kalau di Bali sendiri penamaan
terhadap Yang Maha Kuasa itu tidak tunggal. Tuhan itu satu, hanya orang
bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya
sebagai Sinaring Jagad (Penyinar Bumi), juga Sang Hyang Widhi Wasa.
13 Michael Picard, What s in A Name?: Agama (indu Bali in the Making , dalam Martin
Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 62.
14 Ibid.
15 Ibid. Wawancara Ari Dwipayana, 10 September 2012, I Ketut Sumartha, 7 November
2012.
16 Ibid. Wawancara I Putu Gelgel, 8 November 2012.
17 Made Titib, Tuhan Yang Maha Esa , dalam Ketut Wiana, Bagaimana Umat Hindu
Penamaan Widhi Wasa itu sendiri dipopulerkan oleh para zending (penyebar Kristen) di Bali. Ketika Kristen masuk Bali, ada pendekatan kultural terhadap
masyarakat, penerjemahan Alkitab dan mereka mempopulerkan nama yang
sudah ada dalam tradisi masyarakat Bali itu. 18
Penyebutan nama Tuhan itu penting untuk masyarakat tertentu, tapi bagi
yang lain tentu tidak. Sebutan itu jelas menjadi identitas sebuah komunitas.
Ketika bersepakat untuk membentuk satu negara, mencari formula yang lebih
umum tentang siapa itu Yang Maha Kuasa, jauh lebih penting. Usulan Pudja itu
strategis untuk negara, bukan kepentingan Hindu-Bali semata. Itu sebagai
identitas keindonesiaan yang disepakati untuk mengatasi sekian penamaan.19
Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari
agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. )a dinarasikan dalam nama Tuhan . Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah
mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat
diterima oleh semua agama dan pemeluknya.
Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara
agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang
politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu,
ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa
Indonesia.
Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi
keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol
agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah
konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk
menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan
klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.
Secara teoritis, John (ick mengatakan bahwa Tuhan adalah The Eternal One .20 Penggambaran ini dibedakan dalam dua bentuk asosiasi. Pada satu sisi
menyatakan satu dari tradisi mistis, dimana itu bisa merupakan satu dari tradisi
Plotinus atau satu tanpa yang kedua dari Upanishad, dan di sisi lain adalah Yang
Suci dari pengalaman teistik, dimana itu bisa merupakan Yang Suci bangsa Israel
atau pemujaan teistik India.21
The Eternal One , bagi (ick, menjadi dasar bersama dari semua tradisi
agama besar.22 Realitas Tuhan ini tidak terhingga dan melampaui batas
pemikiran manusia, bahasa dan pengalaman. Kenyataan ini kemudian direspon,
dikonseptualisasi, dan diekspresikan secara beragam karena keterbatasan jalan
yang dimungkinkan karena dasar manusia yang terbatas pula.
Kepercayaan terhadap adanya the Eternal One , sudah berkembang pada agama-agama primitif. Cuma, penggambaran terhadap the Eternal One itu
berbeda dengan yang diajarkan Yesaya, Yesus, Gautama, Muhammad, Kabir atau
Nanak. Tuhan, dalam kepercayaan mereka lebih ditekankan pada pengertian
kekuatan gaib yang ada di sekeliling untuk ditakuti atau wujud yang tak dapat
diduga.23
Catatan penting dari Hick adalah bahwa tuntutan kesadaran primitif
tentang Tuhan yang dibuat atas kehidupan manusia adalah untuk memelihara
dan memajukan manusia dari kelompok kecil ke negara besar. Tuhan itu sendiri
sebenarnya dikonsepsikan berbeda antara agama Teistik dan non Teistik.
Agama Teistik lebih menekankan konsep tentang Tuhan dalam artian personal.
20 John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 42 21 Ibid.
Sementara di sisi lain, agama non-Teistik, trans-Teistik dan a-Teistik
menggambarkan Tuhan sebagai non-personal.
Dengan meminjam kerangka Immanuel Kant, Hick membedakan antara
nomena (noumenon) dan fenomena (phenomena).24 Nomena merupakan Tuhan
yang dalam kediriannya melampau lingkup bahasa dan pikiran manusia.
Fenomena sifatnya pluralistik, karena ia merupakan respon manusia terhadap
realitas mutlak itu. Pluralitas fenomena terdiri dari personae Tuhan dalam agama-agama Teistik dan konkretisasi konsep Yang Mutlak dalam agama-agama
non Teistik.25
Wajar jika kemudian (ick mengatakan bahwa God Has Many Names . Atau dalam bahasanya mistikus muslim, Sayyed (ussein Nasr, The One in The Many .26 Noumena ditanggapi oleh fenomena yang plural. Apa yang absolut itu
dipahami secara berbeda, sehingga dibahasakan secara plural pula dalam aspek
budaya manusia yang berlainan.
Seperti dikutip oleh Joy Mills dalam The One and The Many , Nasr mengatakan, The doctrine of oneness is unique. There cannot be two Absolutes. There is only the One within a particular sacred universe .27 Lalu Nasr menambahkan We thirst for the Absolute, that reality which constitutes deep
down the essence of human nature. Human beings cannot live with pure relativity, which is why, when they are cut off from the real Absolute, they absolutize the relative .28
24 Ibid., 52-53.
25 Hick mencontohkan bahwa kesadaran tentang Tuhan dari Agama Teistik itu biasa
disebut Yahweh, Allah, dan Allah dan Bapa Yesus Kristus, Krishna, Shiva dan lainnya. Sementara dalam agama non-Teistik misalnya tentang kesadaran non personal tentang Tuhan dalam Brahman dari Hindu Advaitik, Nirvana dari Budha Theravada dan Sunyata dari Buddha Mahayana. Ibid., 53.
26Seyyed (ossein Nasr, The One in The Many , Artikel dipresentasikan pada Parliament
of the World’s Religionsdi Chicago, September dikutip Joy Mills, The One and The Many ,
Makalah dipresentasikan pada European Congress, Bosön Sport Center, Sweden, July 1995.
Apakah kemudian Tuhan bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam
alinea tiga pembukaan UUD 1945 itu teis ataukah non-teis? Penganut
agama-Agama Abrahamik tentu akan menafsirkannya dengan model teistik. Tetapi
penganut Buddha atau Hindu lebih cenderung menafsirkannya secara
non-teistik. Sehingga, Tuhan yang dimaksud dalam alinea tiga tidak semata-mata
merujuk pada salah satu dari teistik atau non-teistik.
Pancasila Sebagai Agama Sipil: Integrasi, Legitimasi dan Suara Kenabian
Beberapa karya tentang agama sipil di Indonesia, pada umumnya
menyimpulkan Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Ini bisa dilihat
misalnya dalam tulisan Matti Justus. Schindehütte,29 Susan Selden Purdy,30 atau
Karel A. Steenbrink.31 Beberapa penulis di Indonesia juga kurang lebih
mengungkapkan kesimpulan yang sama.32 Dengan menggunakan pendekatan
Jose Casanova, Benjamin Fleming Intan melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya
sebagai public religion.33 Dengan begitu maka penemuan Pancasila sebagai
agama sipil sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa penulis. Dengan
begitu, maka tulisan ini hanyalah menuliskan kembali posisi Pancasila sebagai
agama sipil itu seperti yang telah dikemukakan penulis sebelumnya.
29Matti Justus. Schindeh“tte, Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion
als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens, Thesis (Ph.D, Hamburg University, 2005).
30 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:
Pancasila and civil religion in Indonesia , Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).
31Karel A. Steenbrink, The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of
Religion dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999).
32 Elma (aryani, Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi
Agama , Tesis Universitas Gajah Mada, 2005, Nafisul Atha, Pancasila dan Agama Sipil , Tesis UIN Jogjakarta, 2005.
33 Benyamin Fleming Intan, Public Religion and the Pancasila-based State of
Diskursus mengenai agama sipil di Indonesia, dalam pengertian Bellah,
salah satunya tergaris dari dasar negara Pancasila. Pancasila sendiri tidak dapat
dipisahkan dari UUD 1945. Lima pilar yang menjadi dasar negara Indonesia, bisa
ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4.
Seperti yang tergambar dari komposisi yang menjadi kerangkanya,
Pancasila tidaklah merefleksikan satu arus semata. Meski ada aspek keagamaan
dalam Pancasila, tetapi agama apa yang menjadi dasar dari Pancasila tidaklah
dirumuskan secara spesifik. Itu artinya, setiap pemeluk keyakinan keagamaan
bisa mengambil sudut pandang imannya atau theologizing dalam menghayati Pancasila.
Pembahasan ini akan melihat posisi Pancasila dari dua sudut pandang. Jika
mengikuti alur sejarah yang telah berjasa melahirkan Pancasila, maka penulis
melihat bahwa ada dua asas mendasar yang menjadi tiang penyangganya.
Pertama, landasan politik. Kedua, prinsip etika.34 Secara politik Pancasila bisa
digambarkan sebagai landasan kehidupan bernegara yang memayungi berbagai
kepentingan ideologi dan politik yang berbeda. Sementara prinsip etika berarti
Pancasila adalah sumber moralitas bahwa yang menunjukkan bahwa kehidupan
bangsa Indonesia tidaklah merupakan sebuah proyeksi berbangsa dan
bernegara yang lepas dari moralitas.
Secara politik, peran Pancasila sebagai civil religion dikarenakan ia telah berhasil menjadi solusi atas persoalan relasi agama dan negara yang sangat
rumit di Indonesia. Sementara secara etika, Pancasila menjadi landasan bahwa
bangsa Indonesia memiliki fundamen yang kuat berakar dalam tradisi dan
budaya bangsa yang kemudian menjadi Indonesia.
Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena
agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Hipotesa awal yang hendak
34 Penulis kemudian menemukan paparan serupa tentang hal ini dalam Faisal Ismail,
dibangun dalam sub bab ini bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Dalam
kajian agama sipil (terutama yang disinggung Bellah) agama sipil adalah sejenis
elemen pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial.
Pancasila menjadi pemersatu dari elemen-elemen agama maupun non agama.
Penjelasan tentang posisi Pancasila sebagai agama sipil bisa dilihat
pertama-tama dari statusnya sebagai dasar negara dan ideologi. Sebagai
ideologi, Pancasila tentu saja tidak merepresentasikan kelompok primordial
tertentu. Ia memayungi semua kelompok primordial tersebut. Hubungan
konstitusional antara agama dan negara di Indonesia sebenarnya jelas, dimana
agama dan negara berada di ruang yang berbeda tapi tidak terpisah.
Anasir-anasir mengenai agama, jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia. Tetapi,
meski memuat anasir-anasir tersebut, konstitusi tidak menjadikan agama
tertentu sebagai dasar negara. Ruang antara agama dan negara itu, selain
membangun konsensus juga menyisakan perdebatan serta tarik menarik tafsir
atas hubungan agama dan negara di Indonesia.
Secara umum, gagasan agama sipil muncul untuk menjalankan tiga
fungsinya; alat integrasi, legitimasi dan memunculkan suara kenabian.35
Klaim integratif dari agama sipil seperti yang digambarkan Bellah pada
kasus Amerika merupakan fungsi yang sangat mendasar. Integrasi menghendaki
hadirnya harmoni dan ketertiban. Agama sipil menjadi lem perekat kelompok
masyarakat yang berbeda kepentingan. Gagasan Durkheim menjadi sangat
relevan untuk menakar Pancasila sebagai agama sipil. Mereka yang berbeda
keyakinan, suku dan klannya ini memiliki kesadaran bersama, yang itu
kemudian menjadi otoritas moral.
Dalam skema Durkhemian ini, Pancasila membutuhkan pra kondisi
struktural bagi sebuah bentuk integrasi yang efektif; tingkat perbedaan yang
35 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:
berdampak pada kebutuhan kerjasama dalam masyarakat yang lebih luas.36
Tapi, lanjut Purdy, memahami apa yang digagas oleh Durkheim tidak hanya pada
soal integrasinya semata, tapi komponen moral yang ada di dalamnya.37
Perspektif Durkheimian ini digunakan Bellah saat mencermati Agama Tokugawa
di Jepang. Kata Bellah, masyarakat Jepang dicirikan oleh kesetiaan kelompok di
satu sisi dan pencapaian individual serta kolektif di sisi lain.38 Keseragaman
budaya dan keyakinan akan kesetaraan yang merupakan prasyarat bagi sebuah
negara modern, sudah disiapkan oleh Jepang di era Tokugawa.39
Dalam kasus Pancasila, fungsi integrasi ini diperankan untuk mengatasi
perbedaan etnis, etos kebudayaan dan pluralitas agama. Perbedaan-perbedaan
itu disatukan dalam wadah negara-bangsa di bawah satu kode moral bersama.
Mencari dasar filosofis bersama itu tentu tidak mudah karena Indonesia harus
memulainya dengan melewati berbagai tantangan seperti perang kemerdekaan,
tarikan ideologi dan lainnya.
Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila mendapatkan klaim
sebagai integrasionis. Pancasila mengakui adanya keragaman. Namun,
bersamaan dengan pengakuan terhadap adanya keragaman, Pancasila menilai
bahwa kemajemukan itu ada dalam bingkai yang satu.
Pancasila, jika kita mengaitkan dengan ide Durkheim (juga Rousseau)
merupakan solusi untuk memecahan masalah ketertiban.40 Khusus untuk
Durkheim problem tentang ketertiban itu kemudian dihubungkan dengan
moralitas. Bagi Durkheim, sebagaimana dikutip Cristi, sebuah negara demokratis
merupakan kendaraan utama dimana nilai-nilai individualisme moral
36 Ibid., 16.
37 Ibid.
38 Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-industrial Japan, terj. Wardah
(afidz dan Wiladi Budiharga, Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), xxi.
39 Ibid.
40 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and
diimplementasikan.41 Durkheim menggambarkan negara sebagai organ
pemikiran sosial , ego kesadaran bersama.42 Pancasila hadir untuk
pengembangan moral dari anggota-anggota individualnya. Sebagai agen moral,
Pancasila berperan untuk menjamin dan memajukan hak-hak yang menyatu
dalam moral individu.43
Selain sebagai alat integrasi, fungsi Pancasila sebagai agama sipil terlihat
dari perannya sebagai legitimator. Weber menunjukan bahwa hubungan positif
antara pemimpin dan yang dipimpin, menempati posisi penting bagi kinerja
efektif sebuah sistem sosial.44
Legitimasi sebuah aturan dapat dijamin dalam dua prinsip. Pertama, jaminan bisa bersifat subjektif murni, baik itu bersifat afektual, value-rational
ataupun bersifat keagamaan. Kedua, legitimasi sebuah aturan juga bisa dijamin oleh harapan dampak eksternal yang spesifik, atau oleh situasi kepentingan.45
Dasar dari legitimasi itu sendiri bisa muncul dari tradisi, afektual (khususnya
emosi), iman, nilai-rasional, dan hukum.
Weber berargumen, validitas klaim legitimasi didasarkan pada salah satu atu kombinasi lebih dari satu dari tiga model ideal types otoritas legitimasi. Dalam tipologinya itu, Weber membagi otoritas dalam 3 jenis klasifikasi analitis:
Pertama, otoritas rasional-legal yang dilegitimasi oleh suatu kepercayaan pada legalitas peraturan-peraturan yang diundangkan dan pada
hak orang-orang yang diberi otoritas memimpin di bawah peraturan-peraturan
tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah ;
Kedua, otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari suatu kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada
41 Ibid.
42 Dikutip Ibid. 43 Ibid.
44 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power . . . 22.
45 Max Weber, Economy and Society, edited by Gunther Roth and Claus Wittich; trans.
dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas
kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu ;
Ketiga, otoritas karismatik dengan legitimasinya terletak pada ketaatan dan kesetiaan terhadap seorang individu yang dipandang memiliki karakter
yang patut diteladani, heroik dan memiliki kesucian luar biasa, yang juga
terdapat pada pola-pola atau tatanan normatif yang disingkapkan atau
ditahbiskan olehnya . Menurut Weber, karisma dan otoritas karismatik menunjuk pada suatu sifat tertentu dari seorang individu pribadi, yang karena sifatnya ini dia dipandang luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang
dikarunia kemampuan-kemampuan adikodrati dan adi-insani, atau setidaknya
dikaruniai kuasa atau sifat yang khas dan luar biasa. Kuasa dan sifat ini sangat
luar biasa sehingga tidak dapat diperoleh orang biasa, tetapi dipandang sebagai
teladan yang berasal dari Yang Ilahi, dan berdasarkan kuasa dan sifat ini pribadi yang bersangkutan diperlakukan sebagai seorang pemimpin. 46
Dalam sebuah negara yang mengalami krisis akibat perang dan
pertarungan ideologi, maka diperlukan satu alat legitimasi. Agama sipil
diperlukan untuk mengisi ruang dimana legitimasi diperlukan untuk
membangun kepercayaan masyarakat. Pancasila dihadirkan dalam kapasitasnya
untuk menempati posisi demikian.
Dimensi terakhir dari agama sipil adalah profetis. Bellah menyatakan
agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam
seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.47 Dimensi keagamaan itu ada dalam
kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman
sejarahnya dalam terang realitas transenden.48
46 Ibid.
47 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World
(University of California Press, 1980), 171.
48 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial
Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan
agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society
Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih
dekat dengan prinsip Katolik. Dalam Habits of the Heart dan The Good Society, Bellah berbicara mengenai public church , term yang dia pinjam dari Martin
Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan
kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan
Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.
Kalau kita melihat kembali gagasan utama dari agama sipil, maka
nomenklatur agama menempati posisi yang utama. Mengutip Marty, Bellah
menuturkan kalau agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai
fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan
Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui
tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik menugaskan para pemimpin dan
kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan
ilahiah bagi bangsa Amerika. Peter L. Berger menyebut agama menunjukan perannya sebagai world-maintaining dan world-shaking force.49
Dalam situasi ini, Pancasila terbangun dari banyak elemen yang salah
satunya adalah agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu prophetic dimension dari Pancasila. Pancasila adalah kalimatun sawa (titik temu) warga Indonesia yang berbeda asal-usul suku bangsa dan agamanya.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan eksplisit menyebut bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia ini tak hanya karena kekuatan fisik, tapi juga
49 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion,
Atas Berkat Rahmat Tuhan. Ada kuasa transenden yang turut campur dalam
kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai agama sipil, tentu saja penting untuk melihat isi dari Pancasila
tersebut. Elemen apa saja yang terkandung dalam Pancasila. Dan apakah posisi
Pancasila sebagai common denominator di Indonesia selaras dengan pengertian Bellah tentang agama sipil di Amerika.
Percakapan pertama tentang dasar negara muncul saat berlangsungnya
sidang BPUPKI. Dalam perbincangan mengenai apa yang menjadi dasar bersama
bangsa Indonesia, Soekarno menawarkan lima pilar dalam pidato 1 Juni 1945,
yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Tetapi, jauh sebelumnya,
hemat penulis, penelusuran terhadap akar ideologi Pancasila ini mengantar kita
pada masa di mana Soekarno melontarkan ide tentang Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme.50
Soekarno mula-mula memperkenalkan ketiga akar ideologis yang
membentuk Pancasila (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme), pada tahun yang ia tulis di Suluh )ndonesia Muda dengan judul yang sama. Soekarno mengatakan bahwa sebagai negara jajahan, negara Indonesia memiliki tiga sifat,
Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.51
Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan,
bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna jika berseteru satu
dengan yang lainnya.52 Ketiga gelombang ini bisa bekerjasama menjadi satu
gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat
ditahan terjangnya. Dan itulah kewajiban yang mesti dipikul oleh bangsa
Indonesia.
Berhasil atau tidaknya bangsa Indonesia menjalankan kewajiban yang
berat itu bukanlah sebuah tujuan. Tetapi itu bukan berarti bahwa bangsa ini
50 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005). 51 Ibid., 2.
harus putus asa, melainkan harus terus berupaya menyatukan tiga gelombang
tadi. Sebab persatuanlah yang kelak akan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Dari tiga ideologi itu, Soekarno kemudian mengembangkannya menjadi
lima dasar (Pancasila) yang ia kenalkan saat Sidang BPUPKI 1Juni 1945. Pada
sidang itu, Soekarno memberikan pidato tentang dasar negara Indonesia. Dalam
kesempatan itu, Soekarno memperluas spektrum ideologi yang ia tulis pada
1926, meski sokogurunya tetap pada tiga fondasi awal. Lima prinsip dasar itu
adalah Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat,
Kesejahteraan dan Ketuhanan.53
Soekarno kemudian menjelaskan masing-masing dari dasar negara itu.
Kebangsaan Indonesia, menurut Soekarno bukanlah satu golongan yang hidup
dengan perasaan bersama dan ingin bersatu di atas tanah kecil Minangkabau,
Madura, Jogja atau Sunda saja. Tetapi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia dari ujung Utara Sumatera hingga )rian. Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada le desir d etre ensemble sudah terjadi Charaktergemeinschaft ! Natie )ndonesia, bangsa )ndonesia, umat )ndonesia orangnya adalah 70.000.000 tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,
sekali lagi satu .
Dasar kedua yang ditawarkan Soekarno adalah internasionalisme. Tapi,
kata Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar
dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur
bersama-sama dengan internasionalisme. Jadi prinsip yang pertama (nasionalisme) dan
kedua (internasionalisme) ini saling berkait erat.
Prinsip ketiga yang disinggung oleh Soekarno adalah mufakat, perwakilan
dan permusyawaratan. Indonesia, kata Soekarno bukanlah negara untuk satu
orang saja. Negara Indonesia bukan untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua
buat semua, satu buat semua, semua buat satu, terang Soekarno.
Dasar yang keempat adalah kesejahteraan. Soekarno memimpikan tidak
ada kemiskinan di negara Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa di
Barat kaum Kapitalis begitu merajalela. Meski ada demokrasi disitu, tetapi tidak
ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi sama sekali.
Yang terakhir, Soekarno menyinggung tentang ide Ketuhanan. Bagi
Soekarno bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya negara Indonesia
adalah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
yang leluasa. Segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama . Dan hendaknya Negara Indonesia Negara yang bertuhan, kata Soekarno.54
Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan
pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat
menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan
yang lainnya.
Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara
yang ber-Ketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan
yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain.55 Dengan menggunakan azas itulah
segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.56
54 Ibid., 101.
55 Ibid.
56 Ibid., 102. Setelah menawarkan kelima dasar itu, Soekarno kemudian menawarkan
Dengan menggunakan kata Ketuhanan dan tidak merujuk pada agama
tertentu, Soekarno bermaksud untuk menjadikan Pancasila (terutama
Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi semua warga negara Indonesia tanpa
membedakan identitas agamanya. Jadi Ketuhanan menjadi semacam prinsip
moral-etis dimana kehidupan bersama yang dilandaskan atas semangat
kekeluargaan adalah merupakan pengeJawantahan dari prinsip pengabdian
kepada Tuhan.
Soekarno menggunakan kata Tuhan dengan maksud memberikan
keleluasaan kepada siapapun untuk menafsirkan kata ini. Bisa jadi ia adalah
Tuhan yang telah menurunkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam keyakinan
umat Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Ia adalah sumber dari
segala kebaikan.
Istilah Ketuhanan yang diungkapkan Soekarno, secara prinsipil bukanlah
konsep Ketuhanan yang rumit, melainkan konsep yang sangat sederhana dan
berusaha untuk dijaga jaraknya dari anasir-anasir monotheistik itu. Soekarno
menyadari bahwa beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang
berbeda-beda adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah
makna terdalam dari apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ...hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri .57 Hemat penulis, rumusan Pancasila dengan melihat
penggambarannya terhadap ide Ketuhanan tersebut menjadi salah satu ide
dasar yang ditransformasikan dalam religiusitas sipil.
Setelah Soekarno mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu pilar negara,
tim kecil yang berjumlah sembilan orang kemudian merumuskan menjabarkan
Ketuhanan itu dengan menambahkan tujuh kata setelahnya. Sehingga sila tersebut berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari at )slam bagi pemeluknya .
Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus
1945 malam, Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia
Timur. Mereka tidak bisa menerima dimuatnya Piagam Jakarta pada
Mukaddimah Undang-undang Dasar. Jika tidak dirubah, mereka siap untuk tidak
bergabung dengan Republik yang baru berumur sehari itu.
Tanggal 18 Agustus, Hatta kemudian memanggil empat anggota PPKI yang
dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku
Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim.58 Hatta menyampaikan keberatan dari
masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah
Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan
tujuah kata itu diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga sila pertama itu menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lima prinsip yang disampaikan Soekarno sempat ditawarkan untuk
menjadi tiga, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, sosio-demokrasi dan
Ketuhanan. Kata Soekarno ia menginginkan konsep demokrasi yang bukan
demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan yang kemudian dinamakannya sebagai sosio-demokrasi.
Penjelasan sederhananya bisa dilihat di bawah ini.59
58 Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS,
1999), 34. B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 35.
59 Dikutip dari John A. Titaley, Pola Pemikiran Sosial dan Politik Aliran di Indonesia,
1926 1945
Islamisme Nasionalisme
Ketuhanan Kesejahteraan
Demokrasi
Internasionalisme Nasionalisme
Ketuhanan
Sosio-Demokrasi Sosio-Nasionalisme
Pancasila Trisila
Marxisme
Ekasila
Gotong -Royong
Sebagai agama sipil, Pancasila berbeda dengan uraian agama sipil di
Amerika yang dikaji Bellah. Kita melihat bahwa unsur yang ada di dalamnya
begitu kaya. Pancasila tidak hanya berbicara tentang masalah agama semata.
Seperti yang kita cermati dari usulan Soekarno, agama menjadi salah satu unsur
pembentuk saja. Ada faksi lain seperti ideologi Marxisme dan nasionalisme.
Elemen-elemen Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan agama inilah
yang membentuk Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Dalam pidato
1 Juni 1945, Soekarno menekankan tentang pentingnya pertautan antara satu
dengan lainnya.
Konseptualisasi ide tentang Pancasila berpokok pada moralitas dan haluan
kebangsaan yang bisa dijelaskan melalui lima penegasan.60
Pertama, religiositas sebagai sumber etika dan spiritualitas begitu penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ia tak pernah lepas dari kenyataan hidup.
Bangsa Indonesia selalu berusaha mendefinisikan perilakunya dengan takaran
agama dan keyakinannya. Disini konsep pemisahan secara ketat antara agama
60 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
dan negara tidak berlaku. Dalam konstitusi, negara didaulat untuk menjamin hak
tiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Penegasan kedua adalah bahwa kemanusiaan universal bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi elan bagi etika
politik kehidupan bangsa dalam membangun hubungan dunia. Dua tujuan
ditempuh melalui dasar ini. Ke luar, bangsa Indonesia dituntut untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan
memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Etika yang jadi prasyaratnya adalah adil dan beradab.
Ketiga, aktualisasi nilai Pancasila itu didasarkan atas semangat kebangsaan yang kuat. Di sini, Indonesia dipahami sebagai negara persatuan kebangsaan
yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Penghargaan terhadap
pluralisme atau keragaman agama, budaya dan bahasa menjadi landasan pokok
dari negara persatuan ini. Tetapi dalam keragamannya itu, Indonesia berupaya
mencari titik temu yang termanifestasi dalam Pancasila.
Keempat, dalam kosmologi Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam kenyataaannya harus menjunjung
tinggi semangat kedaulatan dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Visi ini hendak menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tidak
merupakan sebentuk mayoritarianisme, tetapi kerangka etika politik yang
dibingkai oleh hikmat/kebijaksanaan. Ia tidak hanya sekadar demokrasi, tetapi
sosial-demokrasi.
Kelima, dalam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan serta permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial ini tereJawantah dalam
keseimbangan antara jasmani dan rohani, peran manusia sebagai makhluk
sosial dan budaya. Gagasan ini ada dalam diskusus sosial-demokrasi di Eropa
dan mengakar dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat
Indonesia. Prinsip keadilan dalam Pancasila seperti menjadi jalan ketiga dalam
membangun keadilan sosial.61 Jika dua aliran utama dalam keadilan adalah
liberal-individualisme dan egalitarian-sosialisme, maka sila kelima Pancasila
mendamaikan dua teori besar tersebut. Keadilan Pancasila menjadikan
kesejahteraan warga masyarakat sebagai titik pijak sekaligus tujuannya. Tetapi
ia berbeda dengan egalitarian-sosialisme yang mengekang kebebasan individual.
Kesederajatan (egalitarian-sosialisme) diperlakukan seimbang dengan
kebebasan (liberal-individualisme).
Dengan menegaskan tentang elemen pembentuk Pancasila, kita bisa
melihat bahwa dalam beberapa titik, agama sipil di Indonesia memiliki
kesamaan dengan ide Bellah. Ia berfungsi sebagai alat integrasi dari pluralitas
agama budaya, suku dan bahasa serta nilai-nilai lokal yang telah diwariskan
secara turun temurun. Pancasila juga ada dalam posisi sebagai alat legitimasi.
Dalam kapasitasnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala
sumber hukum. Segala produk perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh
bertentangan dengan payungnya, Pancasila. Di sisi lain Pancasila juga memiliki
dimensi profetiknya. Pancasila diyakini tidak hanya berdimensi kemanusiaan,
tetapi di dalamnya mengandung semangat transendensi yang luhur. Ada nilai
Ketuhanan yang menjadi fondasi etika bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai agama sipil agak sedikit berbeda dengan gagasan agama
sipil Bellah di Amerika. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,62
konteks ide Bellah berkaitan dengan konteks kesejarahan Amerika yang menjadi
tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi
Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya.
61 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007), 220-221.
Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena
meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan. Kebebasan
beragama menjadi impian para imigran yang datang ke Amerika. Mereka
membutuhkan satu dasar bersama. Meski kemudian dirumuskan satu agama
sipil, tetapi fondasinya adalah agama, lebih khusus lagi Kekristenan.
Ide tentang Tuhan seperti yang diucapkan oleh Kennedy pada dasarnya
memang bukan suatu yang eksklusif. Tuhan disana tidak merujuk pada
denominasi tertentu. Namun, betapapun inklusifnya diskursus tentang Tuhan
seperti yang diungkapkan oleh Bellah, jelas ia masih merujuk pada pola teistik.
Situasi ini berbeda dengan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia. Shank
misalnya dengan baik menunjukan bahwa agama sipil itu merupakan ikatan
solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak
beriman, teis dan ateis. Di sini, pengertian Shank tentang agama sipil lebih dekat
dengan Pancasila. Ini relevan dengan Mc.Guire yang menyebut agama sipil
sebagai non-official religion atau Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-religion.
Penjelasan mengenai Pancasila sebagai agama sipil (sebagai hasil kontrak
sosial) juga berada dalam kerangka kontrak sosial yang berbeda dengan
pengertian Rousseau. Dalam garis kesejarahan, posisi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, melainkan historis.
Kontrak sosial yang dibuat dengan Pancasila sebagai dasarnya, adalah kontrak
dari mereka yang mengalami penindasan dan perjuangan menuju
kemerdekaan.63
Indonesia berbeda dengan konsepsi kontrak sosial seperti ujarannya
Rousseau. Kontrak sosial Rousseau didasari oleh munculnya kesenjangan antara
mereka yang kaya dan miskin yang merupakan mayoritas. Kondisi ini membuat
hidup menjadi tidak nyaman. Yang kaya terus menerus melindungi hartanya dan
yang miskin berusaha merongrongnya. Dalam situasi ini tak ada kebebasan dan
kesamaan.64 Kontrak sosial muncul dalam situasi seperti ini. Kondisi ini berbeda
dengan Indonesia dimana kontrak terjadi antara mereka yang bersama-sama
menginginkan kemerdekaan.
Yang menyamakannya adalah tujuan akhir. Baik Rousseau maupun kontrak
sosial bangsa Indonesia sama-sama menghendaki kebebasan, kesederajatan,
saling peduli dan persatuan. Kesamaan yang lain adalah keduanya bersepakat
tentang kehendak bersama (general will) yang mendorong masyarakatnya menciptakan kebaikan bersama (common good).65
Pancasila dalam Analisis Budaya
Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno, Georg Mc T. Kahin dan
Bernard Dahm mengemukakan hal yang sama. Menurut mereka, Soekarno
adalah seorang penganut sintesa. Kahin mengatakan bahwa tidak ada penjelasan
prinsip lain dimana disana ditemukan penjelasan yang memadai tentang
gagasan demokrasi barat, Islam modernis, Marxis dan ide demokratis dan
komunalistik desa asli, yang merupakan dasar umum pemikiran sosial dari
bagian yang besar dari elit politik Indonesia setelah perang.66 Sementara Dahm
menilai kalau pidato tersebut merupakan ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan
politik yang telah dikembangkannya hingga tahun 1945. Harry J. Benda
mentikberatkan analisis kalau pidato Soekarno itu lebih sebagai usaha untuk
merangkul kekuatan Islam Politik yang mulai menguat pada hingga tahun
1944-1945.67 Soekarno memberikan perhatiannya kepada kekuatan Islam agar
mereka tidak menuntut negara Islam untuk Indonesia. Usaha Soekarno untuk
64 Ibid.
65 Ibid., 176.
66 George Mc Turnar Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Jakarta: Sinar
Harapan, 1995), 155.
67 Hary J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese
merangkul kekuatan Islam dengan maksud menjelaskan tentang semua buat semua , sudah ia lakukan sebelum sidang BPUPKI.
Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno ini penulis akan membaca
dengan analisis budaya. Dahm, ketika menganalisis lima sila dari Soekarno ini, ia
mengaitkannya dengan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Tidak dapat
disangkal bahwasanya lima prinsip yang termuat dalam Pancasila itu sudah
hidup dan menjadi tulang punggung dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide
tentang nasionalisme ada dalam beberapa partai politik dan juga Budi Utomo,
perhimpunan-perhimpunan di daerah; internasionalisme yang
berperikemanusiaan bisa ditemukan dalam Islam dan komunis; gagasan
demokrasi dalam pengertian mufakat, yang mewakili semua golongan, terutama
minoritas, harapan akan keadilan sosial ada dalam benak kaum Marxis serta
kepercayaan akan Tuhan ada dalam golongan-golongan agama dan mereka yang memerlukan Tuhan.68
Meski ada sekian gagasan, menurut Dahm hanya ada satu saluran saja yang
dilalui oleh berbagai aliran itu. Dahm mengatakan
Tetapi hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu, di mana aliran-aliran itu diuraikan seperti oleh sebuah prisma dan kemudian digabungkan kembali secara harmonis untuk membentuk satu pola baru dan saluran itu adalah Soekarno sendiri.69
Konsepsi ini yang sesungguhnya mengakar dalam konsep kekuasaan
masyarakat Jawa. Benedict Anderson menggambarkan setidaknya empat
karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat
konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu
pengabsahan.70 Kekuasaan itu konkret dalam pengertian bahwa bagi orang Jawa
kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi realitas yang
benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba bersifat ilahi, ada
dalam setiap aspek dunia alami, batu, kayu, awan dan api. Kekuasaan juga
bersifat homogen, sama jenisnya sama sumbernya. Kekuasaan di tangan satu
individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di
tangan individu atau kelompok lain. Dalam pandangan orang Jawa alam semesta
tidak bertambah luas dan tidak juga bertambah sempit. Karena kekuassaan yang
terdapat di dalamnya selalu tetap. Dan yang terakhir, dalam pandangan Jawa,
karena kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan
itu sendiri lebih dahulu ada daripada hadirnya konsekuensi perbuatan; baik dan
buruk.71
Konsepsi ini yang membedakannya dengan ide kekuasaan Barat. Dalam
Habits of the Heart, Bellah menunjukan konstruksi kekuasaan yang multijalur itu dalam masyarakat Amerika. Menurut Bellah
Cultures are dramatic conversations about thing that matter to their participants, and American culture is no exception. From its early days, some Americans have seen the purpose and goal of the nation as the effort to realize the ancient biblical hope of a just and compassionate society. Others have struggled to shape the spirit of their lives and the laws of the nation in accord with the ideals of republican citizenship and participation. Yet others have promoted dreams of manifest destiny and national glory. And always there have been the proponents, often passionate, of the notion that liberty means the spirit of enterprise and the right to amass wealth and power for one-self.72
70 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia
(Cornell University Press, 1990), 22-23. Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986).
71 Bennedict Anderson, Language and Power . . . Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan
Jawa. . . 24-25
72 Robert N. Bellah, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life
Bellah melanjutkan bahwa tema-tema tentang kesuksesan, kebebasan dan
keadilan semuanya ditemukan dalam tiga sokoguru budaya bangsa Amerika,
Biblikal, Republikan dan Individualis modern yang satu dengan lainnya saling
bertukar makna dan melakukan percakapan sekarang.73 Model kekuasaan
seperti ini kontras dengan pemikiran orang Jawa.
Pernyataan Anderson tentang konsepsi kekuasaan dalam masyarakat Jawa
yang homogen itu, kata R. William Liddle, hanya memfokuskan pikiran kita pada
sebuah kepercayaan yang berkaitan dengan konsepsi kebatinan Jawa yang
menyisakan pertanyaan tentang kegunaannya pada masa sekarang.74 Ide
kekuasaan seperti itu berusaha untuk menjelaskan bahwa hanya ada satu jalur
dari sekian banyak jalur di dalam struktur budaya politik Indonesia.75
Dengan menggunakan pendekatan analisa budaya, Eka Darmaputera
menunjukan bahwa Pancasila tidak bisa dipahami kecuali dalam kerangka
keIndonesiaan, tidak dalam perspektif barat misalnya. Menurut Darmaputera,
Pancasila merupakan rumusan teoritis dan abstrak dari satu warisan budaya
yang dalam.76 Kebudayaan Indonesia yang berjasa melahirkan Pancasila itu, jika
kemudian dicarikan sentrumnya, maka kita akan bertemu dengan Jawa. Kata
Niels Mulder, Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung
halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara penduduk Indonesia yang amat beraneka.77
Dalam masyarakat Jawa, etika kekuasaan disarikan dari prinsip hidup
mereka yang sangat menekankan pada tiga konsep dasar; keserasian, cocok dan
rasa. Keserasian menekankan agar konflik bisa dihindari dengan menekankan
keseimbangan yang bersifat status-quo. Sementara cocok menekankan
73 Ibid, 28.
74 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 4. 75 Ibid., 5.
76 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK, 1988), 129. 77 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984),
pemeliharaan akan ketertiban78 yang kemudian membagi tindakan manusia
menjadi pantes dan ora pantes. Sementara konsep rasa menekankan pada aspek terdalam kehidupan manusia.79 Tiga konsepsi dasar itu yang menjadi faktor
integratif masyarakat Jawa yang sesungguhnya plural jika dilihat dari kategori
struktur sosialnya Clifford Geertz.
Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan
priyayi.80 Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara
seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai
inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha
mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang
juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang
akar-akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket
kraton itu.81 Geertz tidak menafikan bahwa kerap terjadi konflik dalam tiga
lapisan masyarakat ini. Ketegangan yang cukup kuat terjadi antara kaum santri
dan dua kelompok lainnya.82 Kebencian juga dikobarkan oleh petani terhadap
kaum aristokrasi yang eksploitatif serta kelompok pedagang santri. Berbeda
halnya dengan model konflik santri dan dua kelompok lain yang relatif terbuka,
pertentangan ideologi antara abangan dan priyayi cenderung lebih tertutup.
Para priyayi biasanya lebih menjaga jarak dari kelompok abangan meski mereka
menganggap praktek mistik abangan itu hanya takhayul dan menilai mereka
terlalu cepat mudah percaya. Sebaliknya, abangan menganggap bahwa teori
mistik kalangan priyayi itu sesuatu yang di luar pemahaman abangan. Respek
78 Tentang harmoni sosial di kampong Jawa bisa disimak dalam Patrick Guinnes,
Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung (Oxford University Press, 1986).
79 Eka Darmaputera, Pancasila . . . 92
80 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya), 1981.