BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat,
alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja
serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses produksi (UU Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja). Menurut Suma’mur (1987) keselamatan kerja
menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun jasa. Salah
satu aspek penting sasaran keselamatan kerja, mengingat risiko bahayanya adalah
penerapan teknologi, terutama teknologi yang lebih maju dan mutakhir.
Tarwaka (2016) menyatakan bahwa keselamatan kerja merupakan sarana
utama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan
kerugian yang berupa luka/cidera, cacat atau kematian, kerugian harta benda dan
kerusakan perawatan/mesin, dan lingkungan secara luas.
Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ditetapkan untuk :
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
3. Mencegah dan mengurangi peledakan
4. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
9
6. Memberikan alat-alat perlindungan diri pada pekerja
7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran
8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik,
maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan
9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
10. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
11. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
12. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, binatang, tanaman
atau barang
13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman
atau barang
14. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan
15. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan
penyimpanan barang
16. Mencegah terkena aliran listrik berbahaya
17. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi
Menurut Suma’mur (1987) yang menjadi sasaran dari keselamatan kerja
1. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas,
peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan
kecelakaan
2. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau
disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi
3. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan
pembongkaran gedung, rumah, atau bangunan lainnya termasuk bangunan
pengairan, saluran atau terowongan di bawah dan sebagainya atau
dilakukan pekerjaan persiapan
4. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan
hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan
dan lapangan kesehatan
5. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau
bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik
di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan
6. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan,
melalui terowongan, di permukaan air, dalam air, maupun udara
7. Dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok,
stasiun atau gudang
8. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda atau pekerjaan lain di dalam
11
9. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah
10. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau
terpelanting
11. Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur, atau lobang
12. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara, ataupun getaran
13. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah
14. Dilakukan pendidikan atau pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset
(penelitian) yang menggunakan alat teknis
15. Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air
16. Dilakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang berbahaya
2.2 Bahaya (Hazard)
Menurut OHSAS 18001 bahaya adalah sumber, kondisi atau tindakan yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan, atau
gangguan lainnya. Frank Bird-Loss Control Management dalam Ramli (2011)
mendefinisikan bahwa bahaya merupakan sumber yang berpotensi menciderai
manusia, sakit, kerusakan properti, lingkungan ataupun kombinasinya.
Tarwaka (2016) menambahkan bahwa bahaya adalah sesuatu yang berpotensi
dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan sistem kerja.
Bahaya (hazard) mempunyai potensi untuk mengakibatkan kerusakan dan kerugian
kepada :
1) Manusia, baik bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap
pekerjaan
2) Properti termasuk peralatan kerja dan mesin-mesin
3) Lingkungan, baik lingkungan di dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan
4) Kualitas produk barang dan jasa
5) Nama baik perusahaan (Company’s Public Image)
Definisi diatas selaras dengan pendapat Ramli (2011) yang menyatakan
bahwa bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan
lainnya. Hadirnya bahaya maka diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut
tidak menimbulkan akibat yang merugikan. Bahaya merupakan sifat yang melekat
(inherent) dan menjadi bagian dari suatu zat, sistem, kondisi, atau peralatan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahaya adalah sumber terjadinya kecelakaan
atau insiden baik yang berhubungan dengan manusia, properti dan lingkungan.
Proses produksi juga menimbulkan terjadinya kontak antara manusia dengan
mesin, material, lingkungan kerja yang diakomodir oleh proses atau prosedur kerja.
Oleh karena itu, sumber bahaya dapat berasal dari unsur-unsur produksi tersebut,
13
a) Manusia
Manusia berperan dalam menimbulkan bahaya di tempat kerja yaitu pada
saat melakukan aktivitasnya masing-masing.
b) Peralatan
Di tempat kerja akan digunakan berbagai peralatan kerja seperti mesin,
pesawat uap, alat angkut, dan lain sebagainya. Semua peralatan tersebut
dapat menjadi sumber bahaya bagi manusia yang menggunakannya.
c) Proses
Kegiatan produksi menggunakan berbagai jenis proses baik yang bersifat
fisik atau kimia.
d) Sistem dan prosedur
Proses produksi dikemas melalui suatu sistem dan prosedur operasi yang
diperlukan sesuai dengan sifat dan jenis kegiatan. Secara langsung sistem
dan prosedur tidak bersifat bahaya, namun dapat mendorong timbulnya
bahaya yang potensial.
2.3 Risiko (Risk)
2.3.1 Pengertian Risiko
Risiko menurut Ramli (2011) adalah kombinasi dari kemungkinan dan
keparahan dari suatu kejadian. Semakin besar potensi terjadinya suatu kejadian dan
semakin besar dampak yang ditimbulkannya, maka kejadian tersebut dinilai
Sugandi (2003) dalam Socrates (2013) menyebutkan bahwa risiko adalah
manifestasi atau perwujudan potensi bahaya (hazard event) yang mengakibatkan
kemungkinan kerugian menjadi lebih besar.
2.3.2 Jenis-jenis risiko
Risiko yang dihadapi oleh suatu organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik internal maupun ekternal. Faktor eksternal misalnya berkaitan
dengan finansial, kebijakan pemerintah, tuntutan pasar, regulasi dan lainnya. Risiko
yang bersumber dari internal misalnya berkaitan dengan operasi, proses atau pekerja.
Menurut Kolluru (1996) dalam Ramdani (2013) ada 5 macam jenis risiko :
1) Risiko Keselamatan
Risiko keselamatan memiliki probabilitas rendah, tingkat paparan dan
konsekuensi tinggi, bersifat akut, dan jika terjadi kontak akan langsung terlihat
efeknya. Penyebab risiko keselamatan lebih dapat diketahui serta lebih berfokus
kepada keselamatan manusia dan pencegahan kecelakaan di tempat kerja.
2) Risiko Kesehatan
Risiko kesehatan memiliki probabilitas tinggi, tingkat paparan dan konsekuensi
rendah dan bersifat kronis. Penyebab risiko kesehatan sulit diketahui dan berfokus
kepada kesehatan manusia.
3) Risiko Lingkungan dan Ekologi
Fokus risiko ekologi lingkungan dan ekologi lebih kepada dampak yang
15
4) Risiko Finansial
Risiko finansial memiliki risiko jangka panjang dan jangka pendek dari kerugian
properti terkait dengan perhitungan dan pengembalian asuransi. Fokus dari risiko
finansial lebih kepada kemudahan pengoperasian dan aspek keuangan.
5) Risiko terhadap Masyarakat
Risiko terhadap masyarakat berfokus pada penilaian masyarakat terhadap kinerja
organisasi dan produksi
2.3.3 Risiko K3
Menurut OHSAS 18001, risiko K3 adalah kombinasi dari kemungkinan
terjadinya kejadian berbahaya atau paparan dengan keparahan dari cidera atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh paparan tersebut.
Risiko K3 adalah risiko yang berkaitan dengan sumber bahaya yang timbul
dalam aktivitas bisnis yang menyangkut aspek manusia, peralatan, material, dan
lingkungan kerja (Ramli, 2011).
2.4 Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan sering
kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda
atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses kerja industri
atau yang berkaitan dengannya (Tarwaka, 2016).
Kecelakaan kerja mengandung unsur-unsur berikut :
1) Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak
2) Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan
selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental
3) Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya akan
dapat menyebabkan gangguan proses kerja
Ada dua golongan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Golongan
pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain
faktor manusia. Sedangkan golongan kedua adalah faktor manusia itu sendiri yang
merupakan penyebab kecelakaan. Faktor mekanis dan lingkungan yang
dikelompokkan menurut keperluan dengan suatu maksud tertentu. Misalnya di
perusahaan penyebab kecelakaan dapat dikelompokkan menurut pengolahan bahan,
mesin penggerak dan pengangkat, terjatuh di lantai dan tertimpa benda jatuh,
pemakaian alat atau perkakas yang dipegang dengan tangan (manual), menginjak atau
terbentur barang, luka bakar oleh benda pijar, dan transportasi (Sumar’mur : 2013)
Menurut Dupont dalam Ramli (2011), rasio kecelakaan adalah :
1 : 30 : 300 : 3000 : 30.000
Artinya, untuk setiap 30.000 bahaya atau tindakan tidak aman atau kondisi
tidak aman, akan terjadi 1 kali kecelakaan fatal, 30 kali kecelakaan berat, 300 kali
kecelakaan serius dan 3000 kecelakaan ringan. Berdasarkan rasio ini dapat dilihat
bahwa dengan mengurangi sumber penyebab kecelakaan yang menjadi dasar dari
17
1 Fatal
30 Kecelakaan Berat
300 Kecelakaan Serius
3000 Kecelakaan Ringan
30.000 Tindakan dan Kondisi Tidak Aman
Gambar 2.1 Rasio kecelakaan menurut Dupont
2.5 Analisis Keselamatan Kerja
Menurut National Safety Council USA dalam Tarwaka (2014) mendefinisikan
bahwa analisa keselamatan kerja adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
meninjau ulang metode dan mengidentifikasi praktek kerja yang tidak selamat yang
selanjutnya dapat dilakukan suatu tindakan korektif sebelum kecelakaan benar-benar
terjadi. Secara lebih detail dapat dijelaskan bahwa analisa keselamatan kerja adalah
suatu metode untuk meninjau ulang suatu pekerjaan melalui :
1) Identifikasi potensi bahaya yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan
terkait dengan masing-masing tahapan pekerjaan
2) Pengembangan langkah-langkah yang selamat untuk meniadakan,
mengendalikan atau mencegah potensi bahaya terjadinya kecelakaan melalui
penilaian dan pengendalian risiko.
2.5.1 Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)
Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dalam melaksanakan analisis
keselamatan kerja. Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui
identifikasi bahaya, suatu pekerjaan dapat dipisah-pisahkan ke dalam suatu langkah-
langkah dasar dan masing-masing langkah untuk menentukan apakah potensi bahaya
dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan gangguan kesehatan kepada pekerja
(Tarwaka, 2014).
Manfaat dari identifikasi bahaya antara lain :
a) Memberikan pemahaman bagi semua pihak (pekerja-manajemen dan pihak terkait
lainnya) mengenai potensi bahaya dari aktivitas perusahaan sehingga dapat
meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan
b) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi pencegahan dan
pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan mengenal bahaya yang ada,
manajemen dapat menentukan skala prioritas penanganannya sesuai dengan
tingkat risikonya sehingga diharapkan hasilnya akan lebih efektif
c) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam
perusahaan kepada semua pihak khususnya kepada pemangku kepentingan
19
Gambar 2.2 Bagan Proses Identifikasi Bahaya ( Hazard Identification) Menurut
Tarwaka (2014)
Ada beberapa hal yang mendukung keberhasilan identifikasi bahaya, yaitu :
1) Identifikasi bahaya harus sejalan dan relevan dengan aktivitas perusahaan
sehingga dapat berfungsi dengan baik.
2) Identifikasi bahaya harus dinamis dan selalu mempertimbangkan adanya
teknologi dan ilmu terbaru
3) Keterlibatan semua pihak terkait dalam proses identifikasi bahaya
4) Ketersediaan metoda, peralatan, referensi, data dan dokumen untuk
mendukung kegiatan identifikasi bahaya
Identifikasi bahaya merupakan landasan dari upaya pencegahan kecelakaan atau
sehingga upaya pencegahan dan pengendalian tidak dapat dilaksanakan. Identifikasi
bahaya hendaknya mampu menjangkau seluruh potensi bahaya yang ada dalam
kegiatan perusahaan. Bahaya yang terdapat dalam suatu aktivitas sangat banyak jenis
dan jumlahnya. Semakin banyak bahaya yang dapat diidentifikasi maka semakin kecil
peluang untuk terjadinya kecelakaan.
2.5.2 Penilaian Risiko (Risk Assesment)
Setelah semua risiko dapat diidentifikasi, maka dilakukan penilaian risiko.
Penilaian Risiko (Risk Assessment) adalah upaya untuk menghitung besarnya suatu
risiko (Ramli, 2011). Untuk dapat menentukan besarnya risiko di dalam pekerjaan
maka harus ditentukan terlebih dahulu tingkat risiko. Tingkat risiko adalah perkalian
antara tingkat kekerapan (probability) dan keparahan (consequence) dari suatu
kejadian yang dapat menyebabkan kerugian, kecelakaan atau cidera dan sakit yang
mungkin timbul dari pemaparan suatu bahaya di tempat kerja (Tarwaka, 2014)
21
Penilaian risiko harus dilakukan secara sistematis dan terencana dengan
mengikuti tahapan-tahapan proses penilaian risiko. Proses penilaian risiko dilakukan
untuk menilai tingkat risiko kecelakaan atau cidera maupun sakit. Proses penilaian
risiko memiliki beberapa tahapan, yaitu :
1) Estimasi Tingkat Kekerapan (Probability)
Estimasi terhadap tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya kecelakaan harus
mempertimbangkan tentang berapa sering dan berapa lama seorang pekerja terpapar
potensi bahaya. Dengan demikian harus membuat keputusan tentang tingkat
kekerapan kecelakaan atau sakit yang terjadi untuk setiap potensi bahaya yang
diidentifikasi. Untuk dapat membuat estimasi terbaik maka yang harus
mempertimbangkan :
a) Jumlah orang yang terpapar potensi bahaya
b) Berapa sering mereka terpapar dan berapa lama waktu pemaparan dalam
setiap harinya
c) Laporan kecelakaan yang lalu, laporan kejadian hampir celaka, dan laporan
yang dibuat oleh pekerja dan supervisor
d) Laporan pertolongan pertama pada kecelakaan
e) Laporan kompensasi jaminan sosial tenaga kerja yang berhubungan dengan
kecelakaan dan sakit akibat kerja
g) Informasi yang didapat selama proses identifikasi potensi bahaya
Gambar 2.4 Bagan Proses Penilaian Risiko (Risk Assessment) Menurut Tarwaka
(2014)
Tingkat kekerapan atau keseringan (probability) kecelakaan atau sakit
dikategorikan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :
a) Sering (Frequent) adalah kemungkinan terjadinya sangat sering dan
berulang (Nilai : 4)
b) Agak sering (Probable) adalah kemungkinan terjadinya beberapa kali
(Nilai : 3)
c) Jarang (Occasional) adalah kemungkinannya jarang terjadi atau terjadinya
sekali waktu (Nilai : 2)
d) Jarang sekali (Remote) adalah kemungkinan terjadinya kecil tetapi tetap
23
Dari kategori diatas, kita dapat memilih salah satu kategori yang paling tepat
untuk mengestimasi tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya kecelakaan dan
sakit dari setiap potensi bahaya yang telah diidentifikasi.
1) Estimasi Tingkat Keparahan (Consequence)
Penentuan tingkat keparahan (consequence) memerlukan pertimbangan
tentang berapa banyak orang yang ikut terkena dampak akibat kecelakaan dan bagian-
bagian tubuh mana saja yang terpapar potensi bahaya.
Tingkat keparahan (consequence) kecelakaan atau sakit dapat dikategorikan
menjadi 5 (lima) kategori, yaitu :
a) Bencana (Catastrophic) adalah kecelakaan yang banyak menyebabkan
kematian (Nilai : 5)
b) Fatal adalah kecelakaan yang menyebabkan kematian tunggal (Nilai : 4)
c) Cidera berat (Critical) adalah kecelakaan yang menyebabkan cidera atau
sakit yang parah untuk waktu yang lama tidak mampu bekerja atau
menyebabkan cacat tetap (Nilai : 3)
d) Cidera ringan (Marginal) adalah kecelakaan yang menyebabkan cidera
atau sakit ringan dan segera dapat bekerja kembali atau tidak
menyebabkan cacat tetap (Nilai : 2)
e) Hampir cidera (Negligible) adalah kejadian hampir celaka yang tidak
mengakibatkan cidera atau tidak memerlukan perawatan kesehatan (Nilai :
Berdasarkan kelima kategori diatas, kita dapat memilih salah satu kategori yang
paling tepat untuk mengestimasi tingkat keparahan terjadinya kecelakaan dan sakit
dari setiap potensi bahaya yang telah diidentifikasi.
2) Penentuan Tingkat Risiko
Setelah dilakukan estimasi atau penaksiran terhadap tingkat kekerapan dan
keparahan terjadinya kecelakaan atau penyakit yang mungkin timbul, selanjutnya
dapat ditentukan tingkat risiko dari masing-masing bahaya yang telah diidentifikasi
dan dinilai. Cara penentuan tingkat risiko dapat digunakan matriks berikut.
Tabel 2.1 Matriks Penilaian Risiko Menurut Tarwaka (2014)
25
3) Prioritas Risiko
Setelah dilakukan penentuan tingkat risiko, langkah selanjutnya harus dibuat
skala prioritas risiko untuk setiap potensi bahaya yang diidentifikasi dalam upaya
menyusun rencana pengendalian risiko. Potensi bahaya dengan tingkat risiko
“URGENT” harus menjadi prioritas utama, diikuti dengan tingkat risiko “HIGH”,
“MEDIUM” dan terakhir risiko “LOW”. Sedangkan untuk tingkat risiko “NONE”
untuk sementara dapat diabaikan dari rencana pengendalian risiko, namun tidak
menutup kemungkinan untuk tetap menjadi prioritas terakhir. Berikut Tabel 2.2
tentang klasifikasi tingkat risiko menurut Tarwaka (2014)
Tabel 2.2 Klasifikasi Tingkat Risiko Menurut Tarwaka (2014)
TINGKAT RISIKO TINGKAT BAHAYA KLASIFIKASI
URGENT Tingkat bahaya sangat tinggi Hazard kelas : A
HIGH Tingkat bahaya serius Hazard kelas : B
MEDIUM Tingkat bahaya sedang Hazard kelas : C
LOW Tingkat bahaya kecil Hazard kelas : D
NONE Hampir tidak ada bahaya Hazard kelas : E
2.5.3 Pengendalian Risiko (Risk Control)
Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola dengan
tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan (Ramli, 2011).
Pengendalian risiko dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hasil identifikasi
bahaya dan penilaian risiko. Oleh karena itu, pengendalian dapat lebih terfokus
kepada bahaya potensial yang dinilai memiliki risiko tinggi sehingga lebih efektif dan
mempertimbangkan apakah sarana pengendalian risiko tersebut dapat diterapkan dan
dapat memberikan manfaat kepada masing-masing tempat kerjanya.
Menurut Tarwaka (2014) terdapat hal-hal yang harus dipertimbangkan antara lain :
a) Tingkat keparahan potensi bahaya atau risikonya
b) Adanya pengetahuan tentang potensi bahaya atau risiko dan ccara
memindahkan atau meniadakan potensi bahaya atau risiko
c) Ketersediaan dan kesesuaian sarana untuk memindahkan/meniadakan potensi
bahaya
d) Biaya untuk memindahkan atau meniadakan potensi bahaya atau risiko
Pengendalian risiko dapat mengikuti Pendekatan Hierarki Pengendalian
(Hierarchy of Control). Hierarki pengendalian risiko adalah suatu urutan-urutan
dalam pencegahan dan pengendalian risiko yang mungkin timbul yang terdiri dari
beberapa tingkatan secara berurutan (Tarwaka, 2014). Di dalam hierarki pengendalian
risiko terdapat 2 (dua) pendekatan, yaitu :
1) Pendekatan “Long Term Gain”, yaitu pengendalian berorientasi jangka
panjang dan bersifat permanen dimulai dari pengendalian substitusi, eliminasi,
rekayasa teknik, isolasi pembatasan, administrasi dan penggunaan alat
pelindung diri (APD)
2) Pendekatan “Short Term Gain”, yaitu pengendalian berorientasi jangka
pendek dan bersifat temporari atau sementara. Pendekatan pengendalian ini
diimplementasikan selama pengendalian yang bersifat lebih permanen belum
27
pelindung diri (APD) menuju ke atas sampai dengan substitusi, seperti
dijelaskan pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Bagan Hierarki Pengendalian Risiko (Hierarchy of Control) Menurut
Tarwaka (2014)
Hierarki pengendalian risiko (hierarchy of control) dimulai dari :
1) Eliminasi
Hierarki teratas dalam pengendalian risiko adalah dengan melakukan eliminasi.
Eliminasi merupakan suatu pengendalian risiko yang bersifat permanen dan harus
dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas utama. Eliminasi merupakan upaya
untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu
sistem karena adanya kekurangan pada desain awal. Penghilangan bahaya merupakan
metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan perilaku pekerja
dalam menghindari risiko, namun demikian penghapusan benar-benar pada potensi
banyak mengalami kendala karena keterkaitan antara sumber bahaya dan potensi
bahaya saling berkaitan atau menjadi sebab akibat.
2) Substitusi
Substitusi adalah mengganti bahan-bahan dan peralatan yang lebih berbahaya
dengan bahan-bahan dan peralatan yang kurang berbahaya atau lebih aman, sehingga
pemaparannya selalu dalam batas yang masih dapat diterima.
3) Rekayasa Teknik (Engineering Control)
Rekayasa teknik yaitu merubah struktur objek kerja untuk mencegah seseorang
terpapar potensi bahaya. Rekayasa teknik bertujuan untuk memisahkan bahaya pada
pekerja serta mencegah kecelakaan pada manusia. Pengendalian ini terpasang dalam
suatu unit sistem mesin atau peralatan, seperti pemberian pengaman mesin,
pemberian absorber suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan kebisingan
tinggi, dll
4) Isolasi (Isolation)
Salah satu bentuk pengendalian teknis adalah isolasi. Isolasi artinya sumber
bahaya dengan penerima diisolir dengan penghalang (barrier) atau dengan pelindung
diri. Misalnya menjalankan mesin-mesin produksi dari tempat terutup (control room)
menggunakan remote control.
5) Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif dilakukan dengan menyediakan suatu sistem kerja
yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi bahaya. Metode
29
yang teratur untuk dipatuhinya pengendalian administratif ini. Pengendalian ini dapat
dilakukan dengan modifikasi pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, seperti
rotasi kerja, pelatihan, shift kerja, pengembangan standard kerja (SOP), dan
housekeeping.
6) Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Alat pelindung diri (APD) secara umum merupakan sarana pengendalian yang
digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara, bila mana sistem
pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan. APD merupakan
pilihan terakhir dari suatu sistem pengendalian risiko di tempat kerja. Hal ini
disebabkan penggunaan APD mempunyai beberapa kelemahan antara lain :
a) APD tidak menghilangkan risiko bahaya yang ada, tetapi hanya membatasi
antara terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang diterima. Apabila
penggunaan APD gagal, maka secara otomatis bahaya yang ada akan
mengenai tubuh pekerja
b) Penggunaan APD dirasakan tidak nyaman, karena ketidakleluasaan gerak
pada waktu bekerja dan dirasakan adanya beban tambahan karena harus
2.6 Kerangka Konsep
ANALISIS RISIKO KESELAMATAN KERJA
IDENTIFIKASI BAHAYA (HAZARD
IDENTIFICATION)
PENILAIAN RISIKO (RISK ASSESSMENT)
Kekerapan (Probability) Keparahan (Consequence)
Tingkat Risiko (Kekerapan x Keparahan)
Prioritas Risiko
PENGENDALIAN RISIKO (RISK CONTROL)