• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Tes HIV Orang yang Mendapatkan Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Rambung Binjai Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Tes HIV Orang yang Mendapatkan Layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Rambung Binjai Tahun 2016"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Human Immunodeficiency Virus

(HIV) adalah virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami

penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi penyakit lain

(Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

Menurut Dwi (2007), Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh

yang disebabkan oleh infeksi virus HIV.

2.2 Etiologi HIV/AIDS

Etiologi

AIDS

ialah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

Human

Immunodeficiency Virus

(HIV). Pada infeksi HIV, sel yang diserang oleh HIV

antara lain limfosit T4 yang membuat sel tersebut rusak. Limfosit T memainkan

peranan dalam kekebalan tubuh seluler. Sel limfosit T-helper memiliki peranan

sentral di dalam kekebalan tubuh seluler. Sel T-Helper dan limfosit T4 berperan

dalam pengaturan respon imun, merangsang pembentukan antibodi dan

pematangan beberapa jenis sel sistem imun, dengan penurunan jumlah sel

T-Helper menimbulkan defisiensi imun (Ucke, 2008).

(2)

merupakan rintangan berat untuk pengembangan antivirus terhadap HIV.

Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia (sebagai hospes) untuk

mengeluarkan antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya pengembangan

vaksinasi yang efektif terhadap HIV (Dwi, 2007).

2.3 Riwayat Alamiah Penyakit HIV/AIDS

2.3.1 Tahap Pragejala (Sub-Klinis) HIV/AIDS

Sasaran utama virus HIV adalah sekumpulan limfosit yang berasal dari

thymus yaitu sel helper. Pada permukaan sel ini terdapat molekul glikoprotein

disebut CD4. HIV yang sudah masuk ke dalam sel limfosit CD4 tersebut akan

mengadakan multiplikasi dengan cara menumpang dalam proses pertumbuhan sel

inangnya. Di dalam sel limfosit CD4, virus HIV mengadakan replikasi dan

merusak sel tersebut dan apabila sudah matang virus-virus baru keluar dan

selanjutnya masuk ke dalam sel limfosit CD4 yang lainnya, berkembang biak, dan

selanjutnya merusak sel tersebut. Sel limfosit CD4 berperan sebagai pengatur

utama respon imun. Ketika sel ini diaktifkan oleh kontak dengan antigen, maka

sel limfosit CD4 akan merespon melalui pembelahan sel dan menghasilkan

limfokin. Limfokin ini berfungsi sebagai hormon lokal yang mengendalikan

pertumbuhan dan maturasi sel limfosit tipe lainnya, terutama sel T sitotoksik /

supresor (CD8) dan limfosit B penghasil antibodi (Dwi, 2007).

(3)

disebabkan berkurangnya limfokin yang dikeluarkan sel limfosit CD4 untuk

memicu sel CD8. Seseorang akan tetap seropositif dan sehat untuk jangka waktu

yang lama. Pertanda progresivitas dari penyakit ini ditunjukkan dengan cepatnya

penurunan jumlah sel limfosit CD4. Sel limfosit CD8 juga bisa ikut berkurang.

Infeksi progresif HIV akhirnya akan menyebabkan penurunan imunitas yang

progresif (Dwi, 2007).

2.3.2 Tahap Klinis HIV/AIDS

Menurut Soedarto (2009), penderita yang terinfeksi HIV dapat

dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu:

(4)

2.

Penderita asimtomatik yaitu tidak adanya gejala yang terjadi pada masa

inkubasi yang berlangsung 7 bulan sampai 7 tahun lamanya. Pada anak-anak

masa infeksi asimtomatik ini lebih pendek daripada orang dewasa. Beberapa

bayi menjadi sakit dalam beberapa minggu pertama. Kebanyakan anak-anak

menjadi sakit sebelum usia 2 tahun. Meskipun penderita tidak menunjukkan

keluhan, pemeriksaan darah penderita akan menunjukkan seropositif. Hal ini

sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV pada orang

lain.

3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)

Jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan HIV. Pembesaran

limfonodi menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan.

Menurut Dwi (2007), gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS

terdapat pada penderita dalam 4 sub-

grup stadium yang disebut “full blown

AIDS”, yaitu:

1.

Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut sebagai AIDS related complex. Penderita

mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau

lebih. Gejala tersebut berupa:

a.

Demam terus-menerus lebih dari 37

o

C

b.

Kehilangan berat badan 10% atau lebih

(5)

d.

Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

e.

Berkeringat banyak pada malam hari yang terus-menerus

2. Gejala Neurologis

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti

kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,

halusinasi, mudah lupa, psikosis, dan radang otak yang menyebabkan koma.

3. Gejala infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi daya tahan tubuh penderita sudah

sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi bahkan terhadap

patogen yang normal di dalam tubuh manusia. Infeksi yang paling sering

ditemukan antara lain:

a.

Pneumocystic Carinii Pneumonia (PCP)

Pada penderita AIDS, penyakit ini disebabkan oleh protozoa yang

menyerang paru-paru dan menyebabkan terjadinya pneumonia.

b.

Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium Tuberculosis pada penderita AIDS sering mengalami

penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten

terhadap obat anti-TBC dan gambaran klinis TBC pada penderita AIDS

tidak khas karena tubuh tidak mampu bereaksi dengan kuman.

c.

Toksoplasmosis

(6)

d.

Infeksi Mukokutan

Infeksi mukokutan ini terdiri dari herpes simpleks, herpes zoster,

kandidiasis. Infeksi mukokutan timbul bisa satu jenis atau beberapa jenis

secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respon terhadap

pengobatan lambat sehingga sulit dalam melakukan penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

Tumor yang sering menyertai penderita AIDS adalah sarkoma Kaposi dan

limfoma maligna non-Hodkin. Gambaran klinis sarkoma Kaposi adalah bercak

merah coklat, ungu atau kebiruan pada kulit yang disertai rasa nyeri.yang akan

meluas ke seluruh tubuh dan meluas ke selaput lendir mulut, faring, esofagus,

dan paru-paru. Gambaran klinis limfoma maligna non-Hodkins adalah

pembesaran massa limfa dan menyebar yang disertai dengan demam dan

penurunan berat badan.

Penderita yang terdapat dalam fase “Full Blown AIDS” akhirnya

(7)

Infeksi primer

Kematian

(8)

2.4 Epidemiologi HIV/AIDS

2.4.1 Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS

a. Berdasarkan Orang

Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut kelompok umur tahun 2010

sampai dengan September 2014 dengan jumlah tertinggi adalah pada kelompok

umur 25

49 tahun dengan jumlah kasus pada Tahun 2010 sebanyak 15.648

orang, pada Tahun 2011 sebanyak 15.490 orang, pada Tahun 2012 sebanyak

15.133, pada Tahun 2013 sebanyak 20.976 orang, dan pada Tahun 2014 sebanyak

16.421 orang (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

Persentase kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut kelompok umur

tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah dengan persentase tertinggi

pada kelompok umur 20 – 29 yaitu 32,9%. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut

jenis kelamin adalah dengan jumlah tertinggi pada jenis kelamin laki-laki

sebanyak 30.001 orang. Pada jenis kelamin perempuan, jumlah kasus kumulatif

AIDS adalah sebanyak 16.149 orang dan jumlah kasus yang tidak dilaporkan

adalah sebanyak 9.649 orang (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

(9)

Persentase kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut jenis kelamin Tahun

1987 sampai dengan September 2014 adalah dengan persentase tertinggi pada

jenis kelamin laki-laki yaitu 54%. Persentase pada jenis kelamin perempuan

adalah 29% dan persentase yang tidak melaporkan jenis kelamin yaitu 17%

(Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

b. Berdasarkan Tempat

Jumlah infeksi HIV tertinggi yang dilaporkan menurut provinsi di

Indonesia Tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah terdapat pada tujuh

provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta sebanyak 32.782 kasus, Provinsi Jawa Timur

sebanyak 19.249 kasus, Provinsi Papua sebanyak 16.051 kasus, Provinsi Jawa

Barat sebanyak 13.507 kasus, Provinsi Bali sebanyak 9.637 kasus, Provinsi

Sumatera Utara sebanyak 9.219 kasus, dan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 9.032

kasus (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

(10)

Berdasarkan data Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, tiga

daerah tertinggi penderita baru HIV/AIDS Tahun 2013 di Sumatera Utara terdapat

di Kota Medan yang memiliki jumlah kasus penderita baru HIV/AIDS sebanyak

421 kasus atau 37,79%, Kabupaten Deli Serdang sebanyak 189 kasus (16,96%),

dan Kota Pematangsiantar sebanyak 100 kasus (8,97%) dari 29 kabupaten/kota

yang melaporkan ditemukannya kasus baru HIV/AIDS.

c. Berdasarkan Waktu

Di Indonesia, selama tiga tahun berturut-turut jumlah kasus HIV positif

mengalami perkembangan yang cukup stabil, yaitu jumlah kasus HIV positif

Tahun 2010 adalah 21.591 kasus. Pada Tahun 2011 dan Tahun 2012 jumlah kasus

HIV positif adalah 21.031 kasus dan 21.511 kasus. Akan tetapi, pada Tahun 2013

dan Tahun 2014 mengalami peningkatan jumlah kasus HIV positif di Indonesia,

yakni 29.037 kasus dan 32.711 kasus (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

(11)

2.5 Faktor Risiko HIV/AIDS

a.

Heteroseksual

Perempuan lebih rentan dibanding laki-laki terhadap infeksi HIV melalui

hubungan heteroseksual. Perempuan lebih banyak terpajan oleh penyakit IMS

yang menyebabkan peningkatan risiko infeksi HIV/ AIDS (Widihastuti, 2013).

Penelitian Rokhmah (2014) menunjukkan data penderita HIV/AIDS di Kabupaten

Jember mencapai 982 orang. Berdasarkan faktor risiko, terdapat 84,11% yang

ditularkan secara heteroseksual dan ibu rumah tangga (IRT) menempati urutan

pertama tertular HIV/AIDS yaitu 23,42% dan terendah adalah 15,58% pada

wanita penjaja seks.

b. Penggunaan Narkoba Suntik Bergantian

(12)

2.6 Pencegahan HIV/AIDS

2.6.1 Pencegahan Primer HIV/AIDS

a. Promosi Kesehatan Umum (General Health Promotion)

Menurut Kunoli (2012) dan Najmah (2016), upaya promosi kesehatan pada

pencegahan primer HIV/AIDS adalah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi

bagi remaja, khususnya di lingkungan sekolah dan bagi masyarakat yang harus

ditekankan agar tidak mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti.

b. Perlindungan Umum dan Spesifik (Specific and General Protection)

Upaya perlindungan umum dan spesifik pada pencegahan primer

HIV/AIDS menurut Kunoli (2012) adalah tidak melakukan hubungan seks atau

hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi

HIV. Upaya perlindungan umum dan spesifik lainnya menurut Najmah (2016)

adalah penggunaan jarum suntik steril bagi pengguna narkoba suntik dan tes darah

bagi donor darah.

2.6.2 Pencegahan Sekunder HIV/AIDS

a. Diagnosis Awal (Early Diagnosis)

Upaya diagnosis awal pada pencegahan sekunder HIV/AIDS menurut

Centers for Disease and Control and Prevention (2015) yang merekomendasikan

bahwa tes HIV/AIDS rutin secara sukarela dapat dilakukan sebagai bagian normal

dari praktik medis, seperti skrining untuk kondisi penyakit yang perlu diobati

lainnya.

(13)

untuk diagnosis selanjutnya sehingga pengobatan dapat ditawarkan sebelum

timbulnya gejala sehingga intervensi dapat diterapkan untuk mengurangi

kemungkinan penularan lanjutan (Centers for Disease and Control and

Prevention, 2015).

b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)

Upaya pengobatan segera pada pencegahan sekunder HIV/AIDS bagi

seseorang dengan HIV negatif yang memiliki faktor risiko tinggi menurut Centers

for Disease and Control and Prevention

(2016) adalah memberikan obat yaitu

Pre-exposure Prophylaxis (PrEP) dan Post-Exposure Prophylaxis (PEP).

Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP) adalah sebuah obat yang dikonsumsi

setiap hari yang dapat digunakan untuk mencegah terinfeksi HIV. PrEP adalah

untuk orang tanpa HIV yang memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi HIV dari

hubungan seksual atau penggunaan narkoba suntik. Pre-exposure prophylaxis

(PrEP) diperuntukkan bagi orang yang berisiko sangat tinggi terinfeksi HIV untuk

mengonsumsi obat setiap hari dalam upaya menurunkan peluang terinfeksi.

(14)

Konsumsi PrEP setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV dari

hubungan seksual dengan persentase lebih dari 90% sedangkan konsumsi PrEP

setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV di antara pengguna narkoba

suntik dengan persentase 70%. Penelitian telah menunjukkan bahwa PrEP sangat

efektif untuk mencegah HIV jika digunakan seperti yang ditentukan. PrEP jauh

kurang efektif jika tidak dikonsumsi secara konsisten. Orang yang menggunakan

PrEP diperiksa setiap 3 bulan untuk tindak lanjut, termasuk tes HIV dan isi ulang

resep (Centers for Disease Control and Prevention, 2016).

Post-exposure prophylaxis (PEP) adalah mengonsumsi obat-obatan

antiretroviral (ART) setelah berpotensi terkena HIV untuk mencegah terinfeksi.

PEP harus digunakan hanya dalam situasi darurat dan harus dimulai dalam waktu

72 jam setelah paparan HIV terjadi. PEP diperuntukkan bagi orang yang baru saja

terkena HIV selama melakukan hubungan seks atau melalui berbagi jarum dan

bekerja untuk mempersiapkan obat-obatan atau jika seseorang mengalami

kekerasan secara seksual.

(15)

2.6.3 Pencegahan Tersier HIV/AIDS

a. Pembatasan Ketidakmampuan (Disability Limitation)

Upaya pembatasan ketidakmampuan pada pencegahan tersier HIV/AIDS

adalah memberikan terapi dan pengobatan Anti-Retroviral Virus (ARV) bagi

seseorang yang sudah dinyatakan positif HIV dan pengobatan pencegahan dan

penanggulangan infeksi opurtunistik (Najmah, 2016).

b. Rehabilitasi (Rehabilitation)

Upaya rehabilitasi pada pencegahan tersier HIV/AIDS adalah memberikan

dukungan secara psikologis melalui memberikan motivasi pada ODHA,

merangkul ODHA dengan tidak menimbulkan stigma dan tidak melakukan

tindakan diskriminasi (Najmah, 2016).

2.7 Pengukuran Perilaku Tes HIV

Menurut Lawrence Green (1991) dalam Notoatmodjo (2010), Perilaku

manusia terkait tes HIV dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu faktor

predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Perilaku seseorang atau masyarakat dalam

operasionalnya ditentukan oleh pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan

tindakan atau praktik (practice).

a. Pengetahuan

(16)

diketahui oleh orang terkait HIV/AIDS sebelum melakukan tes HIV. Misalnya,

sebelum seseorang melakukan tes HIV seseorang tersebut sebaiknya mengetahui

tentang HIV/AIDS yaitu penyebab, cara penularan, cara pencegahan sehingga

seseorang tersebut dapat menentukan tindakan yang akan dilakukannya yaitu

melakukan tes HIV atau tidak melakukan tes HIV.

Pengetahuan terkait HIV/AIDS dapat diukur dengan cara menanyakan

secara langsung (wawancara, yaitu wawancara tertutup atau wawancara terbuka)

dengan menggunakan kuesioner, atau menanyakan secara tertulis (angket, yaitu

angket tertutup atau angket terbuka).

b. Sikap

Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

perilaku tertentu sehingga sikap merupakan proses kesadaran yang sifatnya

individual, artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap

individu. Sikap dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat atau penilaian

orang terkait HIV/AIDS sebelum melakukan tes HIV.

Sikap terkait HIV/AIDS dapat diukur menggunakan metode wawancara

yaitu menggali pendapat atau penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan

terkait HIV/AIDS dan menggunakan angket untuk menggali pendapat atau

penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan terkait HIV/AIDS dan

jawaban-jawaban secara tertulis.

c. Tindakan (Praktik)

(17)

pengobatan yang tepat, dan sebagainya. Tindakan (praktik) dalam penelitian ini

adalah perilaku tes HIV.

Pengukuran perilaku tes HIV dapat dilakukan dengan dua metode yaitu

mengukur perilaku tes HIV secara langsung berarti peneliti langsung mengamati

atau mengobservasi perilaku subjek yang diteliti dan secara tidak langsung yakni

dengan cara mengingat kembali (recall) yaitu subjek penelitian diminta untuk

mengingat kembali (recall) terhadap perilaku atau tindakan beberapa waktu yang

lalu, melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat dengan subjek yang diteliti,

dan melalui indikator (hasil perilaku) subjek yang diamati.

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak

tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Ketersediaan fasilitas

juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku tes HIV.

3. Faktor Pendorong atau Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku dukungan petugas

kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat, khususnya dalam perilaku tes HIV.

2.8 Perilaku Tes HIV Orang yang Mendapatkan Layanan VCT

(18)

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2010), perilaku tes

HIV seseorang dapat dilihat melalui tahapan layanan VCT yaitu :

1. Konseling Pra-Tes

Tujuan konseling pra-tes adalah membuat klien atau orang yang mengikuti

layanan VCT mampu memutuskan apakah dirinya perlu melakukan tes HIV atau

tidak melakukan tes HIV untuk memeriksakan status HIV, dengan segala

konsekuensinya. Hal yang dilakukan pada tahap konseling pra-tes dalam VCT

adalah informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus)

sehingga nama tidak ditanyakan, buat catatan rekam medik klien dan memiliki

kartu dengan nomor kode, membantu klien mengetahui faktor risiko dan

menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah, memberikan pengetahuan akan

implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang

cara menyesuaikan diri dengan status HIV, dan klien memberikan persetujuan

tertulisnya (informed consent) sebelum dilakukan testing HIV (Dinas Kesehatan

Provinsi Sumatera Utara, 2010).

2. Tes HIV

Tes HIV adalah uji adanya HIV atau tidak yang diperuntukkan bagi semua

orang dalam populasi tertentu yang memiliki faktor risiko seperti melakukan

heteroseksual, penggunaan narkoba suntik, donor darah, dan penularan dari ibu

kepada bayi (Centers for Disease and Control and Prevention, 2015).

(19)

serum. Penggunaan metode rapid testing memungkinkan klien mendapatkan hasil

tes pada hari yang sama.

Rapid test menggunakan serum sampel yang dicampur terlebih dahulu

dengan dilution buffer kemudian campuran tersebut diteteskan pada kartu uji.

Pengujian memerlukan waktu 10 – 15 menit untuk memperoleh hasil. Hasil positif

ditunjukkan dengan adanya dua garis merah pada bagian bertanda C (Control

Line) dan T (Test Line) sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan munculnya

satu garis merah pada bagian bertanda C. Bila tidak muncul garis merah atau

hanya muncul satu garis merah pada bagian bertanda T, menunjukkan hasil yang

tidak tepat atau tidak sah (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010).

Rapid test lebih banyak digunakan pada tempat pelayanan kesehatan yang

kecil yang hanya memproses beberapa contoh darah setiap hari. Rapid test

mempunyai sensitivitas dan spesivisitas di atas 99% dan 98%. Rapid Test dapat

memberikan hasil pemeriksaan pada hari yang sama (Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Utara, 2010).

Tujuan tes HIV ada empat yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis,

pengamanan darah donor, untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil tes yang

disampaikan kepada klien adalah benar milik klien (Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Utara, 2010).

3. Konseling Pasca-Tes dalam VCT

(20)

tahap konseling pasca-tes dalam VCT adalah memanggil klien secara wajar,

dengan tenang membicarakan hasil pemeriksaan, periksa kemungkinan terpapar

dalam periode jendela dengan faktor risiko tinggi (penyampaian jika hasil tes

negatif), periksa apa yang diketahui klien tentang hasil tes, menerangkan dengan

ringkas bahwa tersedianya fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan,

menerangkan bahwa adanya dukungan informasi verbal dan informasi tertulis

(Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010).

2.9 Kerangka Konsep

Variabel Independen

Variabel Dependen

1. Faktor Risiko HIV/AIDS

2. Pengetahuan terkait HIV/AIDS

3. Sikap terkait HIV/AIDS

4. Dukungan petugas kesehatan

Gambar

Gambar 2.1. Perjalanan Alamiah HIV/AIDS (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

KBSN-29/II/BSN-2015 Tanggal 20 Februari 2015, dengan ini menetapkan calon pemenang Seleksi Sederhana Jasa Konsultansi Badan Usaha Pengawasan Pembangunan Gedung Lantai 2

Peserta yang memasukan dokumen penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektonik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada Pokja Jasa Konsultansi ULP

Algoritma RSA adalah salah satu algoritma kunci publik yang dapat digunakan untuk sistem tanda tangan digital.. Mekanisme kerja algoritma RSA cukup sederhana dan mudah

Metode yang digunakan sistem dalam mengenkripsi dan mendekripsi pesan adalah metode enkripsi substitusi vigenere cipher dan implementasinya menggunakan bahasa pemrograman Java 2

Starting at the top of the diagram with the actual loss event (or the potential for a loss if MORT is being used to evaluate an existing safety program) and moving, in turn,

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan karuniaNya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul OPINI REMAJA SURABAYA MENGENAI

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu