• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Puisi

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry

yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.

(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara baik, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

(2)

(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).

(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

(3)

2.1.1Unsur-unsur Puisi

Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.

(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.

(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.

(3) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.

(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.

(4)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards (dalam Waluyo, 2007:95) dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).

Berdasarkan pendapat Richards (dalamRoekhandan Siswanto, 1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.

2.1.1.1 Struktur Fisik Puisi

Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.

(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(5)

semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)

(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

(6)

(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutardji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

2.1.1.2 Struktur Batin Puisi

Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.

(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

(7)

wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

2.2 Syair Sebagai Struktur, Sistem Tanda, dan Jalinan Teks yang Fungsional

Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum.

(8)

Fansuri dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.

Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan, sebagai berikut. 1. Syair Panji

Syair panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan orang-orang yang berada atau berasal dari dalam istana. Contoh syair panji adalah Syair Ken Tambuhan yang menceritakan tentang seorang putri bernama Ken Tambuhan yang dijadikan persembahan kepada Sang Ratu Kauripan.

2. Syair Romantis

Syair romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Contoh syair romantis yakni Syair Bidasari yang menceritakan tentang seorang putri raja yang telah dibuang ibunya. Setelah beberapa lama ia dicari Putra Bangsawan (saudaranya) untuk bertemu dengan ibunya. Pertemuan pun terjadi dan akhirnya Bidasari memaafkan ibunya, yang telah membuang dirinya.

3. Syair Kiasan

Syair kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan. Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Contoh syair kiasan adalah Syair Burung Pungguk yang isinya menceritakan tentang percintaan yang gagal akibat perbedaan pangkat, atau seperti perumpamaan “seperti pungguk merindukan bulan”.

(9)

Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan Belanda. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling tua di Nusantara adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al Saleh di Aceh, bertarikh 1297 M.

5. Syair Agama

Syair agama merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu: (a) syair sufi, (b) syair tentang ajaran Islam, (c) syair riwayat cerita nabi, dan (d) syair nasihat. Perlu diketahui, setiap syair pasti mengandung pesan tertentu. Pesan tersebut dapat kita simpulkan setelah memahami isi sebuah syair.

(10)

2.2.1 Struktur Fisik Syair

Yang dimaksud dengan struktur fisik syair ialah unsur-unsur yang membentuk sebuah syair. Unsur tersebut dapat dirasakan melalui indra. Istilah struktur fisik ini sama dengan istilah metode puisi sebagaimana yang dikatakan oleh Tarigan (1984: 9). Pendapat ini sejalan dengan pendekatan struktural yang dikemukakan Culler (1983: 259). Dia memandang karya sastra sebagai unsur-unsur yang tidak otonom, tetapi bersistem dan koheren. Unsur tersebut beroleh makna dari sistem hubungan tadi. Selanjutnya Tarigan menjelaskan bahwa unsur struktur fisik puisi itu terdiri atas diksi, imaji, kata konkret, majas, ritme, dan irama. Unsur-unsur tersebut pun terkandung dalam sebuah Syair.

Jika ditinjau dari segi jumlah baitnya, syair terdiri atas beberapa jenis. Menurut Al-Kina', dalam buku Majmu' Muhimmatil Mutun, syair yang terdiri atas satu bait disebut ”mufrad", yang terdiri atas 2 bait disebut "nutfah" yang terdiri dari 3 hingga 6 bait disebut "qit'ah", dan yang terdiri atas 7 bait atau lebih disebut "gurinda," (Piah, 1989:125-130). Struktur syair sebelum periode modern hanya menganut struktur terikat. Struktur ini mengikuti pola tertentu dan sistem yang baku. Pola yang diikuti penyair ialah dalam hal pembaitan, jenis sampiran dan isi.

2.2.2 Struktur Batin Syair

(11)

membentuk kesatuan makna sebuah karya sastra. Tarigan (1984: 10) menyimpulkan pendapat Richards bahwa unsur struktur isi puisi itu adalah tema, rasa, nada, dan amanat.

Tema merupakan konsep sentral yang dikembangkan di dalam sebuah puisi. Dengan ungkapan lain, tema merupakan konsep abtsrak yang kemudian menjadi konkret melalui sarana retorika dan pencitraan. Tema ini merupakan refleksi dari gagasan, cita-cita, keinginan, dan harapan penyair. Dengan demikian, tema itu dipengaruhi oleh berbagai unsur yang meliputi seluruh kehidupan penyair.

Adapun rasa merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada dalam puisinya (Tarigan, 1984: 11). Tentu saja sikap penyair yang satu berbeda dengan penyair lainnya. Bagi seseorang, kematian anak dihadapinya dengan sikap tabah. Tidak demikian halnya dengan Ibnu Rumi yang menuduh Allah telah membunuh buah hatinya dengan sengaja dan melemparkannya dari kerumunan orang. Jadi, sikap Ibnu Rumi terhadap kematian anaknya yang diungkapkan dalam sya’irnya disebut rasa di dalam hakikat puisi.

Adapun nada ialah sikap penyair terhadap pembacanya (Tarigan, 1094: 18). Sikap itu berupa nada mencela, memuji, sinis, dan menasihati. Karya yang dibuat penyair memiliki nada tertentu terhadap pembacanya. Nada dalam sebuah sya’ir akan menimbulkan suasana tertentu. Antara nada dan suasana ada hubungan yang erat.

(12)

2.2.3 Syair sebagai Sistem Tanda

Eco (2004: 7) mengartikan tanda sebagai sesuatu yang menggantikan sesuatu atau sesuatu sebagai pengganti sesuatu. Dengan demikian, di balik sesuatu itu, yaitu tanda, senantiasa ada sesuatu yang lain yang disebut arti. Sesuatu yang menjadi tanda disebut penanda atau signifier, dan sesuatu yang menjadi arti tanda disebut petanda atau signified.

Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992: 7) makna tanda yang sebenarnya ialah mengemukakan sesuatu (representamen). Sesuatu yang dikemukakan, diacu dan ditunjukan oleh tanda diistilahkannya dengan objek. Tanda tersebut berfungsi merepresentasikan sesuatu.

Adapun sistem tanda utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol tersebut ditentukan oleh konvensi masyarakat penuturnya. Kemudian Pradopo (1990: 122) mengemukakan bahwa bahasa pada umumnya merupakan sistem tanda tingkat pertama. Dalam kajian semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Adapun karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua dan artinya ditentukan oleh konvensi sastra. Oleh karena itu, muncullah arti baru yakni arti sastra. Arti sastra ini merupakan arti dari bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. Meskipun demikian seorang satrawan tidak boleh melepaskan diri dari sistem tanda tingkat pertama atau dari konvensi bahasa karena hal itu dapat membuat karyanya tidak dapat dipahami.

(13)

Pendekatan yang mengasumsikan karya sastra sebagai jalinan teks disebut intertekstual. Pendekatan ini dipandang efektif untuk mengungkapkan makna suatu karya. Bahkan Riffaterre (1978: 149) menegaskan bahwa ketuntasan interpretasi terhadap sebuah puisi hanya dapat dicapai melalui cara interteks. Culler (dalam Riffaterre, 1978: 139) menatakan sebuah karya hanya dapat dipahami oleh pembacanya dengan mempertentangkkannya dengan karya lain.

Intertekstual dipandang oleh Beckson dan Gauz (dalam Riffaterre, 1978: 129) sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan beberapa persoalan seperti pengaruh, sumber, sitiran, dan arketipe. Persoalan tersebut mengemukakan "gaung" beberapa teks yang terdapat dalam sebuah karya. Tidaklah mengherankan apabila Julia Cristeva, yang telah menggunakan istilah tersebut secara luas, memandang sebuah teks itu sebagai bangunan mosaik kutipan; "setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari teks lain".

2.3 Teori Semiotik

Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani

(14)

mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Ahli sastra Teeuw (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh. Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 -1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebutkan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).

(15)

dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah

arbitrer.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Sudjiman dan Zoest, 1991:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya. Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.

(16)

Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks.

Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.

Pierce (dalam Van Zoest, 1996: 8-9) membagi hubungan penanda dan acuannya atas tiga konsep: (1) ikon, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang memiliki hubungan kemiripan. Kemiripan yang dimaksudkan adalah kemiripan secara alamiah. Misalnya, kesamaan potret dengan orang yang diambil fotonya, kesamaan peta dengan wilayah geografi yang digambarkannya, dan gambar kuda menandai kuda yang nyata; (2)

indeks, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang timbul karena ada kedekatan eksistensi. Dapat dikatakan terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang bersifat alamiah. Misalnya, asap menandakan adanya api, dan arah angin menunjukkan cuaca; (3)

simbol, yakni hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Maksudnya, tanda itu mengacu pada sesuatu yang telah mendapat kesepakatan masyarakat. Misalnya, lampu merah menandakan berhenti, dan mengangguk mena ndakan menyetujui atau membenarkan.

Menurut Peirce kata „semiotika‟, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan

(17)

mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan (interpretant).

Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda yang utama yaitu ikon, indeks, dan simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang nampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tanda-tanda yang dipalsukan. Pemalsuan tanda-tanda dalam kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai dua sisi, sisi baik dan sisi tidak baik. Sisi baik dari pemalsuan tanda-tanda umumnya adalah untuk tujuan kebaikan bersama sedangkan sisi tidak baik umumnya bertujuan untuk kepentingan pihak pertama saja.

2.3.1 Semiotika Sastra

(18)

diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.

Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti(signifiant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra biasanya diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).

Ada beberapa aliran semiotik dalam ilmu sastra, yang diwakili oleh Saussure (Perancis), Jurij Lotman (Rusia), dan C.S. Pierce (Amerika). Kesamaan utama pandangan mereka adalah bahwa bahasa merupakan salah satu di antara sekian banyak sistem tanda. Ada kalanya ditekankan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental. Pokok-pokok pandangan ketiga teoretisi itu diuraikan berikut ini.

Pierce (1839-1914) adalah seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi sebuah bidang studi yang disebtu semiotik. Pierce menyebutkan tiga macam tanda sesuai dengan jenis hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan.

(19)

2. Indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan bakal turun hujan.

3. Simbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misalnya bahasa.

Saussure adalah ahli linguistik asal Swiss yang memperkenalkan studi tentang tanda sebagai semiologi. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda. Tanda memiliki ciri arbitrer, konvensional, dan sistematik. Arbitrer atau manasuka misalnya dalam urutan bunyi k-a-c-a-n-g tidak ada pemikiran atau motif menghubungkan bunyi itu dengan tanaman tertentu. Kombinasi aspek formal dan konseptual (bunyi “kacang” dengan wujud kacang sebenarnya) hanya terjadi berdasarkan konvensi sosial yang berlaku dalam bahasa tertentu saja. Jika kita menyebut “kacang”, orang Inggris menyebutnya “bean” sesuai dengan konvensi bahasa masing-masing.

(20)

mempergunakan sistem tanda primer seperti terdapat dalam bahasa alamiah tetapi tidak terbatas pada tanda-tanda primer saja.

Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan , yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.

Dalam lapangan semiotik, yang penting yaitu lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Hubungan antara ketiga tanda ini bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang menggunakan lambang adalah bahasa.

Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra konvensi bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra.dalam karya sastra kata-kata ditentukan oleh konvensi sastra, sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi arti sastra itu merupakan arti dari arti, untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertamadsisebut meaning dan arti sastra disebut makna (significance).

(21)

konvensi sastra, misalnya tipografi, enjabement, sajak, barik sajak, ulangan, dan lainnya lagi.

Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensisastra yang bersangkutan. Memberi makna sajak berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka menganalisis sajak itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda, dikemukakan oleh Culler.

Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger, 1974: 981). Maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.

2.3.2 Tanda: Penanda dan Petanda

Wardoyo (2005: 1) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimana tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.

(22)

dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.

Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004: 90).

Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol (Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental.

(23)

rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep pragmatisme.

Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain (qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness).

Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai” (legisigns, thirdness/in-betweenness) (Lihat Christomy, 2004: 115-116).

2.4 Semiotika Budaya

Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu

(24)

yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44).

Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).

The core of Saussurres contribution to semiotics is the project for a general theory of sign systems which he called semiology. The term semiologie was apparently coined by Saussure himself to designate the “not yet exiting” general science of sign (cf. Engler 1980). An alternative term suggested in a different context was signologie. Semiology is not to be confounded with semantics, the study of meaning in language. Saussurre gave the following out line of his project of a future semiology: a science that studies the life of sign within society is conceivable:[….] I shall call it semiology (from Greek semeion „sign). Semiology would show what constitutes signs, what laws govern them. Since the science does not yet exist, no one can say what it would be: but it has a right to existence, a place staked out in advance (North, 1990:57).

(25)

[……] saya akan menyebutnya sebagai semiologi (berasal dari bahasa Yunani semion “tanda”) semiologi akan menunjukkan apakah yang mendasari tanda-tanda itu, apakah hukum/undang-undang yang mengaturnya. Semenjak ilmu pengetahuan belum eksis tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan apakah yang akan terjadi: tapi dia memiliki eksistensi yang bagus, sebuah tempat yang mengintai kemajuan (North, 1990: 57).

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on anything that so act the title of sign (North,1990:42)

(26)

Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat.

Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man is a sign” (North, 1990: 41)

Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya. Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa lalu. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa “kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda, diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (North, 1990: 41)

(27)

konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).

Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.

(28)

menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Hal ini dijelaskan Pradopo (2005:120) sebagai berikut.

”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother,

Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai berikut. ”

Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara semiotik dan strukturalisme.

a) Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural.

(29)

Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat memisahkan diri dari strukturalisme, ia memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu teks secara strukturalisme.” Keterangan di atas menunjukkan bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.

Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik.

(30)

adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya tadi.

Dalam bukunya, Semiotics of Poetry, Reffaterre (1978) menjelaskan teorinya tentang semiotika budaya dalam puisi. Buku ini terbagi ke dalam lima bab: The Poem s Significance , Sign Production , Text Production , Interpretant , Textual Semiotics , dan

Conclusion . Untuk keperluan makalah ini empat bab yang pertama sudah mencukupi. Empat bab tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

a. Significance

Reffaterre membedakan antara meaning (arti) dan significance (makna). Ciri-ciri puisi adalah kepaduannya, secara formal dan semantik. Dia menyebut kepaduan formal dan semantik ini significance. From the standpoint of significance text is one semantic unit. From the standpoint of meaning text conveys a string of successive information

units, the language is referential . Arti adalah yang dirujuk oleh teks pada tataran mimetic. Ciri dasar mimesis adalah bahwa ia menghasilkan urutan semantik yang terus-menerus berubah. Puisi mentranrsformasikan teks pada tataran ini ke tataran yang tinggi, yaitu ke tataran semiosis yang di dalamnya yang semula merupakan kompleks pemaknaan ditransformasikan ke unit pemaknaan.

Puisi merupakan transformasi matrix, sebuah kalimat minimal dan literal, menjadi

(31)

pertama atau yang utama yang menjadi model aktualisasi. Matrix, model, dan teks adalah varian dari struktur yang sama. Matriks merupakan motor, generator bagi derivasi tekstual, sementara model menentukan cara (manner) derivasi itu

Pendeknya, pada tataran mimetik arti kata bergantung sepenuhnya pada sintaks dan posisi, kata-kata itu menambahkan informasi ke informasi sebelumnya, dan satu-satunya rujukan umumnya paling-paling adalah sistem deskriptif yang melayani distribusi representasi yang sesuai (compatible) sepanjang kalimat. Pada tataran semiotik, kebalikannya, kata-kata mengulang informasi yang sama, biasanya sebuah seme, .atau struktur tematik yang tak berbeda. Apabila teks mimetik bersifat sintagmatik, teks semiotik bersifat paradigmatik.

Sejalan dengan pembedaan antara arti dan makna itu, Reffaterre membedakan dua jenis pembacaan, yaitu pembacaan heuristic dan pembacaan retroactive (hermeneutic). Pembacaan heuristic adalah pembacaan pada tahap pertama. Pada pembacaan ini input

pembaca adalah kompetensi linguistik, termasuk asumsi bahasa bersifat referential, kemampuannya mencermati ketidaksesuaian (incompatibility) antara kata-kata bahwa ada kata atau frasa yang tidak dapat diartikan secara literal sehingga membutuhkan pemahaman secara kiasan, dan bahwa kompetensi linguistik bukan satu-satunya faktor yang terlibat. Pada tahap pembacaan ini mimesis dipahami secara penuh.

(32)

efek dari variasi atau modulasi satu strutkur tematik, simbolik, atau apa pun dan hubungan yang dipertahankan ke satu struktur ini membentuk significance. Dengan demikian, sementara unit arti mungkin kata, frasa, atau kalimat, unit makna adalah teks.

b. Produksi Tanda

Tanda puitik adalah kata atau frasa yang memiliki kaitan dengan significance. Tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik. Maksudnya, sebuah kata atau frasa menjadi puitis ketika merujuk ke (dan jika merupakan sebuah frasa, terpola berdasar) kelompok kata yang ada sebelumnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan berikut: hypogrammatic derivation: a word or phrase is poeticized when it refers to (and if a phrase , patterns itself upon) a preexistent word group. Hipogram dibentuk dari seme

kata dan/ atau presupposition-nya, sedangkan seme adalah inti dari arti sebuah kata, sebagaimana kata Reffaterre berikut: Hypogram is formed out of a word s seme and/or its presupposition. A seme is the very core of a word s meaning. Tanda puitik mengaktualisasikan sebagian dari hal ini. Kata inti hipogram itu sendiri mungkin diaktualisasikan mungkin pula tidak.

Sememe dari kata inti (kernel word) berfungsi seperti sebuah eksiklopedia representasi yang berhubungan dengan arti kata itu. Aktualisasainya mempunyai efek menyerap (saturating) urutan verbal derevatif dengan arti itu, secara terbuka menkonfirmasi apa yang telah dikumpulkan oleh kata itu. Seruling, misalnya, mengandaikan adanya seorang peniup seruling, memerlukan pendengar, mengandung

(33)

sebuah puisinya mengaktualisasikan sebagian dari hipogram dalam puisi itu persis seperti ini: Comme Properce,/ j entends/ Une flute tibicine/ Dans les branches du printemps

(Seperti Propertius, aku mendengar seruling tibicine di cabang-cabang musim Semi). Reffaterre menjelaskan bahwa kata tibicine adalah neologisme yang berasal dari kata

tibicen, peniup seruling . Sebagai sebuah neologisme (kata baru atau kata dengan arti baru) kata itu mempunyai keuntungan memaksa pembaca untuk men-decode-nya; dan sebagai sebuah kata yang dilatinkan, kata tibicine menciptakan hubungan tautology, (pengulangan yang tidak menambah kejelasan) dengan kata Propercee , eksemplar penyair lirik Roma kuno.

Hubungan antara tibicine dengan Properce dengan demikian tidak bersifat sintagmatik, melainkan bersifat paradigmatik. Hipogram mungkin juga dibentuk dari kata-kata klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini berbeda dari katagori sebelumnya dalam bahwa kata-kata klise dan sistem deskriptif telah teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk yang telah berada dalam benak pembaca. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini merupakan bagian dari kompetensi linguistik pembaca, dan konotasi kesastraan sering melekat padanya. Klise adalah contoh-contoh yang telah jadi, citra yang telah teruji, diucapkan pertama kali pada waktu lampau, dan senantisa mengandung kiasan (trope), perangkat stilistik yang tersimpan. Sistem deskriptif adalah kata-kata yang berasosiasi satu sama lain seputar kata inti, sesuai dengan sememe kata inti itu. Tiap komponen dari sistem itu berfungsi sebagai metonimi nucleus-nya.

(34)

Teks sebagai lokus dari significance dihasilkan oleh konversi dan ekspansi. Konversi dan ekspansi menetapkan (establish) ekivalen antara kata dan rangkaian kata: yakni antara lexeme dan syntagm. Ekspansi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan satu tanda ke beberapa tanda, dengan menderivasikannya dengan menggunakan fitur yang menentukan kata-kata.

Konversi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan beberapa tanda menjadi satu tanda kolektif , dengan memberi komponen rangkaian itu fitur ciri-ciri yang sama. Ekspansi mengintegrasikan aktualisasi porduksi tanda dari hipogram, mendiskusikan sebelumnya, dan mengikuti pola sistem deskripsitif. Hal ini tampak pada perifrasis dan metafora yang dikembangkan. Ekspansi merupakan agen utama tranformasi tanda tekstual dan teks, dan oleh karenanya merupakan penghasil significance yang utama, karena sebuah konstan hanya dapat diketahui di mana teks melebar ke varian yang berturutan dari given awal; yang kompleks keluar dari yang sederhana. Pendeknya, aturan ekspansi adalah mentranformasikan konstituen kalimat matriks ke bentuk yang lebih kompleks.

(35)

Konversi aturannya adalah mentransformasikan konstituen kalimat matriks dengan memodifikasi semuanya dengan faktor yang sama. Sebuah hipogram mungkin dibuat dari klise, atau kutipan dari teks lain, atau deskriptif sistem. Karena hipogram selalu memiliki orientasi positif atau negative, konstituen dari konversi selalu mengubah (transmute) penanda hipogram dalam beberapa kasus konversi terdiri atas tidak lain dari permutasi penanda.

Deskriptif sistem ditransformasikan ke kode dengan permutasi tanda-tandanya: inilah bagaimana konversi dapat mempengaruhi sekuen yang lebih panjang dari pada frasa atau kalimat dan menjadiakan seluruh teks satu tanda. Oleh karena sistem deskriptif merupakan grid metonimi yang bentuk seputar kata inti, komponennya memiliki penanda yang sama sebagaimana kata itu.

Di samping itu, teks bisa diproduksi oleh gabungan antara konversi dengan ekpanasi. Ada satu jenis konversi yang tak berkaitan dengan hipogram eskternal: tipe ini memodifikasi penghasilan teks dengan konvensi. Ketimbang memproduksi secara tak berbeda bentuk-bentuk yang lebih kompleks dari kesepadanannya dalam matriksnya, di sini ekspansi dibatasi ke bentuk-bentuk yang lebih kompleks yang juga mengulang fitur karakteristik matriks.

2.5Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre

(36)

pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua.

Riffaterre (1978: 166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.

Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah. a. Ketidaklangsungan Ekspresi

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124).

(37)

jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan

mimesis.

Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).

1) Penggantian arti (displacing of meaning)

Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori.

Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.

2) Penyimpangan arti (distorting of meaning)

(38)

hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense. Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.

Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.

Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi

nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi syair. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Biasanya nonsense banyak terdapat dalam syair atau puisi yang bergaya Syair. Di dalam syair, nonsense lebih cenderung bernada himbauan kepada sang anak, seperti penggalan syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.

Oii…oiii..oiii

Dengar olehmu wahai anak adam Asalnya wahi nurul izan

Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam

(SDSF, bait ke-4)

(39)

membangkitkan efek magis. Penggunaan nama-nama seperti yang terdapat dalam bait di atas memiliki makna yang sangat kuat kepada setiap pendengarnya untuk mendengarkan isi syair berikutnya.

3) Penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi

(Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah bait 15 dari Syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.

Ya iya, iya ya.. Ilahi

Waya junjungan waya Muhammad Kamilah ini minta selamat

Dari dunia sampai akhirat

Bait di atas berfungsi untuk memohon keselamatan yang diwakilkan dengan penggunaan kata-kata /ya iya, iya ya../ dan /waya/. Pada akhir larik hanya terdapat fonem /t/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti. Namun, dalam kesatuan isi syair, “t” mengandung makna konotatif, yaitu sebuah permohonan. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam syair di atas, “A” diartikan dengan “kembalilah ke asalmu”.

(40)

puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.

Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005: 131).

b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.

(41)

definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.

Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004: 234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2005: 137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.

Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993 :126) dapat diringkas sebagai berikut.

1) Membaca untuk arti biasa.

2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.

(42)

4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

c. Matriks dan Model

Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978: 13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model.

Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.

(43)

Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

d. Hubungan Intertekstual

Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Syair Dendang Siti Fatimah misalnya, syair ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.

(44)

Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983: 65).

Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain. Sebagai contoh, berikut adalah bait ke 16 dan 17 dari Syair Dendang Siti Fatimah yang secara intertekstual memiliki hubungan dengan hadits nabi Muhammad SAW.

Inilah nasihat ayahanda bunda Supaya ingat di dalam dada Kepada anakku usul sahda Sedikit jangan diberi lupa

Karena hadis yang menyatakan Barang katanya jangan dilawan Mintalah doa kepada Tuhan Turut taqwa sedia beriman

(45)

RasulullahSAW yang menganjurkan untuk mengistimewakan dan menghormati orang tua, seperti berikut ini.

Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam, Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

1.5.4 Fungsi Sosial Sastra

Ilmu sastra meneliti sifat-sifat teks sastra. Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui fungsi teks sastra dalam masyarakatnya. Ilmu sastra yang dimaksud di sini ialah ilmu sastra secara umum. Sifat-sifat sastra itu merupakan ciri khas yang terkandung dalam setiap jenis sastra yang berkaitan dengan fungsinya dalam masyarakat. dan fungsi utama sastra berkaitan dengan masalah kesetiaan kepada sifat-sifatnya sendiri (Wellek dan Warren, 1990: 36).

Fungsi ini merupakan apa yang dituju oleh pengarang dalam karangannya. Apakah maksud pengarang membuat karangan itu dan apa fungsi bagian-bagian karangan di dalam keseluruhannya?

(46)

Adapun fungsi sastra yang sejalan dengan penelitian ini adalah fungsi sosial sastra, dalam hal ini kasidah. Fungsi ini berhubungan dengan masalah kaitan antara nilai sastra dan nilai sosial serta pengaruh nilai sosial terhadap nilai sastra.

Hal tersebut menyangkut tiga aspek fungsi: (a) sastra berfungsi sebagai pembaharu dan pendobrak; dalam hal ini sastra dipandang sama dengan ucapan nabi, (b) sastra berfungsi menghibur semata , dan (c) sastra berfungsi mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 4).

Sementara itu Rusyana (1971: 7-8) mengemukakan fungsi sosial puisi secara khusus, yaitu fungsi yang berkaitan dengan masalah pengaruh puisi terhadap prilaku masyarakat umum dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Kedua fungsi itu diwujudkan dalam penggunaan puisi untuk mengungkapkan pujian dan cacian kepada pihak lain serta untuk mengekspresikan pandangan agama, sosial, dan politik seorang sastrawan.

Referensi

Dokumen terkait