• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN INOVASI TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS JAMBU METE DI NUSA TENGGARA. Usman Daras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI DAN INOVASI TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS JAMBU METE DI NUSA TENGGARA. Usman Daras"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

S

ampai akhir tahun 1970, jambu mete (Anacardium occidentale) belum me-rupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi (IFAD 1994). Karakteristik tanam-an ytanam-ang mampu tumbuh pada lahtanam-an margi-nal menyebabkan jambu mete dipilih se-bagai tanaman penghijauan. Untuk tujuan tersebut maka jambu mete ditanam dengan jarak tanam rapat yaitu 3 m x 2 m (1.600 pohon/ha) agar secepat mungkin tajuknya menutupi permukaan tanah. Dengan kata lain, aspek produktivitas tanaman belum menjadi perhatian saat itu. Namun mulai awal Pelita II (1974−1979), penanaman jambu mete tidak hanya untuk tujuan kon-servasi tanah, tetapi juga sebagai sumber

pendapatan petani terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Harga mete yang cukup baik telah mendorong petani untuk mengusahakan tanaman tersebut.

Pengembangan jambu mete di Indo-nesia berlangsung sangat cepat. Pada periode 1990–1994, laju pertumbuhannya menduduki urutan ketiga setelah kakao dan kelapa sawit (Nogoseno 1996). Pada tahun 2003, luas areal jambu mete telah mencapai 581.641 ha dengan produksi 112.509 ton (Direktorat Jenderal Perkebun-an 2004). Meskipun luas areal terus meningkat, produktivitas jambu mete Indonesia masih rendah (200−350 kg/ha), jauh di bawah India atau Vietnam yang

masing-masing mencapai 1.000 dan 800 kg/ha (Chau 1998; Rao 1998).

Sentra produksi mete Indonesia ada-lah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Teng-gara, yang menghasilkan sekitar 80% mete Indonesia. Di Nusa Tenggara, pengem-bangan jambu mete dihadapkan pada berbagai kendala yang menyebabkan produktivitas rendah. Beberapa kendala tersebut adalah: 1) bahan tanaman, 2) lingkungan tumbuh, 3) hama-penyakit, dan 4) manajemen kebun. Apabila kendala tersebut dapat diatasi atau setidaknya dikurangi maka produktivitas mete dapat ditingkatkan.

STRATEGI DAN INOVASI TEKNOLOGI PENINGKATAN

PRODUKTIVITAS JAMBU METE

DI NUSA TENGGARA

Usman Daras

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Jalan Raya Pakuwon-Parungkuda km 2, Sukabumi 43357

ABSTRAK

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah pengembangan jambu mete di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan luas areal terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, produktivitasnya masih rendah. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penggunaan bahan tanaman asalan, kondisi biofisik lahan, gangguan hama dan penyakit, serta manajemen kebun yang bersifat tradisional. Pemanfaatan teknologi seperti bahan tanaman unggul, perbaikan kondisi biofisik lahan, pengendalian hama-penyakit, dan perbaikan manajemen kebun diharapkan mampu meningkatkan produktivitas. Berdasarkan kondisi pertanaman jambu mete di lapangan, produktivitas dapat ditingkatkan melalui dua pendekatan, yaitu 1) intensifikasi dengan menerapkan teknologi yang tersedia dan 2) perluasan areal tanam pada lahan dengan tingkat kesesuaian sekurang-kurangnya kelas III (agak sesuai). Usaha tani jambu mete di Nusa Tenggara masih mampu memberikan pendapatan kepada petani pada musim kemarau, saat tanaman lain tidak memberikan hasil sama sekali.

Kata kunci: Jambu mete, produktivitas, lahan marginal, Nusa Tenggara

ABSTRACT

Strategy and innovation of technology to increase cashew productivity in Nusa Tenggara

West and East Nusa Tenggara are the important cashew growing areas in the eastern parts of Indonesia. The planted areas increase from year to year, however the average yield is low due to some factors like unselected planting materials used, infertile soils, pest and disease constraints, and low crop management. Cashew productivity may be increased by applying available technologies such as high yielding planting materials, amendment of soil fertility, pest and disease control, and improvement of cashew orchad management. To increase cashew productivity, two approaches could be implemented, namely, intensification by applying available technologies and development of cashew plantation areas merely having suitability rate from fair to highly suitable. In fact, growing cashew enables farmers to obtain return during dry season while other crops do not.

(2)

Tujuan penulisan ini adalah meng-identifikasi ketersediaan inovasi teknologi dan strategi peningkatan produksi mete di Nusa Tenggara. Pemilihan wilayah tersebut sebagai objek kajian didasarkan atas tiga alasan utama, yaitu: 1) merupakan daerah pengembangan baru dengan laju perluasan yang sangat cepat, 2) usaha tani jambu mete menjanjikan pendapatan kepada petani pada musim kemarau saat tanaman lain tidak memberikan hasil sama sekali, dan 3) di daerah tersebut telah tersedia data atau informasi tentang budi daya jambu mete dan permasalahannya meskipun masih terbatas.

LUAS AREAL DAN

PRODUKTIVITAS

Sentra produksi utama jambu mete di Indonesia adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara (NTB dan NTT). Kelima daerah tersebut memiliki areal jambu mete seluas 461.789 ha atau hampir 80% total luas areal jambu mete Indonesia yang pada tahun 2003 mencapai 581.641 ha (Direktorat Jenderal Perkebun-an 2004).

Sejak tahun 2001, Provinsi NTT memiliki areal jambu mete terluas, yaitu 145.878 ha, diikuti Sulawesi Tenggara dengan luas areal 116.319 ha, Sulawesi Selatan 767.706 ha, Jawa Timur 57.192 ha, dan NTB 54.985 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2004). Dengan demikian, pertanaman jambu mete di Nusa Tenggara telah mencapai lebih dari 200.000 ha atau 35% dari total luas areal jambu mete Indonesia. Padahal, pada tahun 1984 luas areal jambu mete di NTT baru 25.016 ha, urutan ke-4 setelah Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (Direktorat Jenderal Perkebunan 1989). Sementara NTB belum masuk kelompok lima besar penghasil mete Indonesia, yang saat itu tercatat 7.418 ha. Pada tahun 2003, luas areal jambu mete di Nusa Tenggara me-ningkat menjadi 202.791 ha (NTT 147.093 ha dan NTB 55.698 ha) dengan produksi 27.353 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Berarti dalam dua dekade, luas areal jambu mete di daerah tersebut telah meningkat lebih dari enam kali lipat. Namun demikian, produktivitasnya hampir sama dengan daerah lain dan dinilai masih rendah, yaitu NTB 366 kg/ha dan NTT 303 kg/ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Produktivitas jambu mete dipenga-ruhi oleh banyak faktor, yaitu mutu benih yang digunakan, sumber daya alam (lingkungan), sumber daya manusia, dan manajemen kebun. Sulit untuk mengetahui faktor yang paling dominan mempengaru-hi produktivitas, karena adanya keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Namun, rendahnya produktivitas diduga berawal dari persepsi umum bahwa jambu mete tidak menuntut persyaratan tumbuh yang ketat, dan mampu beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah tanpa ber-kurang produktivitasnya (Ohler 1988). Akibatnya, jambu mete banyak dikembang-kan pada tanah-tanah marginal di mana tanaman lain tidak mampu memberikan ke-untungan. Persepsi ini telah tersosialisasi di Indonesia. Dengan pola pikir yang sederhana, petani mengharapkan tanaman jambu mete dapat memberikan hasil se-banyak mungkin dengan biaya produksi rendah, tanpa memperhatikan persyaratan tumbuh dan pemeliharaan tanaman.

Provinsi NTB dan NTT, dengan jumlah bulan basah 3−4 bulan (bulan kering 8−9 bulan) per tahun, dan lahan marginal 4,20 juta ha (Suwardjo et al. 1996), diyakini sesuai untuk jambu mete. Namun fakta memperlihatkan produktivitas mete di wilayah tersebut masih jauh di bawah potensi produksinya. Banyak faktor yang diperkirakan menjadi kendala, mulai dari bahan tanaman, kondisi biofisik lahan sampai manajemen kebun. Kombinasi faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan menentukan produktivitas tanaman.

PENYEBAB RENDAHNYA

PRODUKTIVITAS

Di daerah pengembangan jambu mete di Nusa Tenggara, terdapat empat faktor

dominan yang diperkirakan berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas tanam-an, yaitu bahan tanamtanam-an, lingkungan tumbuh, hama-penyakit, dan pengelolaan kebun. Untuk memudahkan pemahaman, faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi faktor fisik, biologi, dan pengelola-an (mpengelola-anajemen) kebun.

Faktor Fisik

Lingkungan tumbuh tanaman khususnya kondisi tanah diperkirakan mempunyai kontribusi besar terhadap rendahnya rata-rata hasil mete di Nusa Tenggara. Di wilayah tersebut, jambu mete banyak ditanam pada tanah-tanah yang secara teknis tidak dianjurkan, misalnya tanah dangkal dengan lapisan tanah (solum) sangat tipis (20−30 cm), bahkan kadang-kadang di atas batuan induk atau tanah berbatu. Tanah yang dianjurkan untuk jambu mete adalah yang mempunyai solum paling kurang 45−90 cm (Nair et al. 1979). Solum tanah yang tipis menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat berkem-bang dan menembus ke lapisan tanah lebih dalam untuk menjangkau air dan hara lebih banyak. Akibatnya, pada musim kemarau tanaman tumbuh tidak normal seperti batang kurus, kerdil, daun menguning dan kaku (Gambar 1) karena kekurangan air dan kahat hara yang berasosiasi dengan kelembapan tanah rendah.

Solum tanah sangat berpengaruh terhadap produksi mete (Ohler 1988). Pada umur 5 tahun, jambu mete yang ditanam pada tanah dengan solum < 1 m menghasil-kan gelondong 120 kg/ha. Hasil tersebut hampir sama banyak (117 kg/ha) dengan tanaman berumur 3 tahun yang ditanam pada tanah yang bersolum lebih tebal. Hal ini menunjukkan bahwa jambu mete dapat berproduksi dengan baik apabila faktor

(3)

lingkungan tumbuh khususnya tebal solum tanah mendukung.

Untuk tanaman mete yang terlanjur ditanam pada tanah yang bersolum dangkal, tanaman harus dirawat sebaik mungkin sehingga masih memberikan keuntungan. Namun konsekuensinya, biaya perawatan tanaman menjadi mahal. Dengan harga gelondong mete Rp5.000− Rp7.000/kg atau harga kacang mete Rp30.000−Rp40.000/kg, petani tetap me-nanam mete dengan biaya pemeliharaan tanaman minimal.

Inovasi teknologi budi daya yang di-perlukan adalah teknologi yang mampu meningkatkan daya simpan tanah terhadap air selama musim hujan yang pendek, dan mampu menekan evapotranspirasi berlebih pada musim kemarau. Penggunaan mulsa berupa serasah hasil pembersihan gulma atau bahan lain yang mudah diperoleh di daerah sekitar dianjurkan untuk mengu-rangi evapotranspirasi. Mulsa tersebut perlu ditutup tanah untuk mencegah ba-haya kebakaran kebun. Setelah melapuk, mulsa dapat menjadi sumber bahan orga-nik tanah dan memperbaiki struktur tanah sehingga tanah mampu menyimpan air lebih baik. Sumber bahan organik lain yang mudah diperoleh adalah pupuk kandang. Jenis-jenis tanah di daerah pengem-bangan jambu mete umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan dalam budi daya jambu mete di lahan marginal. Di Lombok Barat, beberapa kelompok tani mete telah berhasil membangun unit pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2003). Ternak sapi dikandangkan secara bersama (berkelompok) pada malam hari dan kotoran yang terkumpul diproses menjadi pupuk organik, baik untuk men-cukupi keperluan sendiri maupun dijual sebagai penghasilan tambahan. Perluasan atau pengembangan jambu mete ke depan disarankan lebih memperhatikan per-syaratan teknis, yaitu kesesuaian lahan dan iklim (Nair et al. 1979; Abdullah dan Las 1985), agar produktivitas tanaman tinggi dan biaya perawatan tanaman minimal.

Faktor Biologi

Berbagai hama dan penyakit dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil pada

jambu mete (Rao 1969; Agnolini dan Giuliani 1977; Nambiar 1978; Ohler 1988). Bagian tanaman yang dirusak beragam, mulai dari daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang sampai akar. Menurut Wikardi et al. (1996), setidaknya ada delapan jenis hama yang menyerang jambu mete di Indonesia, yaitu Cricula trifenestrata, Helopeltis spp., Acrocercops spp., Lawana candida (kemudian di-identifikasi sebagai Sanurus indecora), Aphid sp., trips (Selanotrips sp.), Pseudococcus sp., dan Adoretus spp. Di samping itu, di daerah tertentu ditemukan hama penggerek buah seperti Nephotettix sp. dan penggulung daun. Di antara hama tersebut, hama yang paling dominan dan potensial menyebabkan kehilangan hasil adalah Helopeltis sp., trips (S. rubrocinc-tus), dan C. trifenestrata.

Wiratno et al. (2000) melaporkan spesies Helopeltis yang menyerang jambu mete di Indonesia adalah Helopeltis antonii Signoret, H. theivora Waterhouse, dan H. bradyi Waterhouse. Hama tersebut dapat ditemukan sepanjang tahun, dengan daerah penyebaran hampir meliputi seluruh wilayah pengembangan jambu mete di Indonesia. Ada indikasi tingkat kerusakan yang lebih besar dijumpai pada tanaman yang ditanam rapat (Supriadi et al. 2003). Bagian tanaman yang diserang adalah daun muda, tunas, bunga, dan buah muda. Gejala serangan berupa pucuk dan tangkai bunga mengering, serta buah tidak normal atau gugur. Menurut Karmawati dan Mardiningsih (2005), hama tersebut tergolong paling dominan dan paling cepat menimbulkan kerugian, serta mempunyai kisaran tanaman inang yang luas (lebih 35 spesies dari 24 famili tumbuhan). Pada tahun 2002, sekitar 12.217 ha tanaman jambu mete di NTB terserang hama tersebut, sehingga menurunkan hasil 10% dengan kerugian sekitar Rp13,80 miliar (Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat 2002).

S. rubrocinctus menyerang tanaman mete di Amerika Latin, Afrika, dan Asia (Ohler 1988), biasanya pada musim kemarau. Bagian tanaman yang dirusak adalah bagian bawah daun sepanjang tulang daun serta tunas dan bunga. Nimfa dan serangga dewasa merusak dengan cara menusuk dan mengisap cairan jaringan tanaman. Selain jambu mete, hama ini juga menyerang kacang tanah, jarak pagar, kakao, dan kenari.

C. trifenestrata, disebut juga ulat kenari atau ulat kipat, dilaporkan pernah

menyerang tanaman jambu mete di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Teng-gara (Abdullah 1994). Selain jambu mete, ulat tersebut juga menyerang kayu manis, kedondong, dan alpokat.

Menurut Supriadi dan Sitepu (1996), setidaknya ada lima jenis penyakit yang menyerang jambu mete, yaitu layu bakteri, gumosis, busuk tangkai bunga dan buah, antraknosa, dan rebah bibit. Penyakit layu bakteri pertama kali ditemukan pada tanaman mete di KP Cikampek (Jawa Barat) tahun 1976, serta di Muktiharjo (Jawa Tengah) dan Lampung tahun 1979 (Sitepu dan Adhi 1990). Penyebab penyakit ter-sebut adalah Pseudomonas solanacearum biovar 3 ras 1 (Shiomi et al. 1989). Cara pe-nanggulangan yang dianjurkan adalah se-cara terpadu, seperti penggunaan varietas toleran serta sanitasi kebun dengan mem-bongkar dan membakar tanaman yang sakit (terserang) untuk mengurangi pe-nyebaran penyakit.

Penyakit gumosis ditandai dengan bagian tanaman (batang, cabang, ranting, tangkai bunga) mengeluarkan cairan kental berwarna coklat atau putih. Pe-nyebabnya adalah Botryodiplodia theo-bromae. Penyakit ini dilaporkan pernah menyerang tanaman mete di Nigeria. Di Indonesia, penyakit tersebut ditemukan pada tanaman mete di Cikampek (Jawa Barat), Bali, Sumbawa, Kupang dan Sumba. Pada pembibitan, pemakaian fungisida kaptafol dan benomil cukup efektif menekan perkembangan jamur tersebut (Supriadi et al. 1996, tidak diterbit-kan).

Penyakit busuk tangkai bunga dan buah dicirikan oleh matinya tangkai bunga secara perlahan mulai dari ujung tangkai bunga sampai bunga. Akibatnya, bunga gugur, tidak berhasil membentuk buah. Penyakit ini disebabkan oleh asosiasi beberapa jamur seperti Botryodiplodia sp., Colletotrichum sp., Pestalotia sp., dan Fusarium sp. (Nair et al. 1979; Sitepu dan Adhi 1990). Pada tanaman mete di Nigeria, Olunloyo dan Esuruoso (1979) menyim-pulkan floral dieback disebabkan oleh Lasiodiplodia theobromae (syn. B. theobromae).

Penyakit antraknosa disebabkan oleh jamur dengan gejala daun bercak tak beraturan, warna coklat kemerahan mulai dari pinggir daun kemudian bergabung menjadi lebih lebar, dan akhirnya daun gugur. Apabila yang terserang tangkai bunga, bunga dan buah maka bagian yang terinfeksi menjadi busuk dan buah gugur.

(4)

Penyakit lain pada jambu mete adalah busuk akar yang disebut jamur akar putih (JAP). Penyakit ini diketahui pertama kali menyerang tanaman mete di Bali, dan penyebabnya diidentifikasi sebagai jamur Rigidoporus microporus (Arya dan Temaja 1996). Namun, berdasarkan hasil uji patogenitas, penyebab penyakit belum berhasil dibuktikan secara memuaskan (Supriadi et al. 2003). Tombe et al. (1996; 1997) menyimpulkan penyebabnya adalah Fusarium solani. Penyakit tersebut juga telah menyerang pertanaman mete muda dan dewasa di NTB (Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat 2000). Supriadi et al. (2003) menyimpulkan penyakit busuk akar yang ditemukan pada pertanaman jambu mete di Dompu Sumbawa berasosiasi dengan jamur akar coklat (JAC), yang penyebabnya adalah Phellinus noxius. Kedua jenis jamur penyebab penyakit busuk akar tersebut dapat mengancam produktivitas tanaman mete di NTB dan NTT. Oleh karena itu, perlu segera dicari-kan teknologi penanggulangannya agar penyakit tersebut tidak menyebar luas ke sentra-sentra produksi mete di Indonesia.

Pengelolaan Kebun

Bahan tanaman

Sebagian besar benih mete yang diguna-kan petani di Nusa Tenggara berasal dari pohon induk (tetua) yang tidak jelas asal-usulnya, baik yang diambil dari daerah sekitar atau dari luar daerah. Benih mete (seedlings) yang disediakan melalui sejumlah proyek pemerintah, antara lain P2WK, TCSDP, SADP, UFDP, dan EISCDP (Alauddin 1996), umumnya berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Walaupun benih diambil dari individu pohon atau blok penghasil tinggi (BPT), tetapi karena tanaman mete menyerbuk silang (Nair et al. 1979; Ohler 1988), tetap tidak ada jaminan bahwa hasilnya akan sama dengan induknya. Dengan kata lain, seluruh tanaman mete yang diusahakan petani saat ini berasal dari bibit asalan.

Di India, petani mete telah meng-gunakan varietas atau klon unggul (klonal) dengan produktivitas lebih dari 1 t/ha (Rao 1998). Di Vietnam, sebelum tahun 1987 seluruh pertanaman mete dikembangkan dari bibit asalan sehingga hasilnya rendah (Chau 1998). Namun sejak 1988, Vietnam telah menggunakan bibit unggul yang diperbanyak secara klonal

atau hasil seleksi secara bertahap, yaitu 5,80% tahun 1988−1990, 28,30% tahun 1991−1993, dan naik lagi 46,50% pada tahun 1994−1996. Pada tahun 1996, de-ngan luas areal 250.000 ha, produksi mete Vietnam lebih dari 122.000 ton. Di Indone-sia, dengan luas areal 568.641 ha (tahun 2003), produksi mete hanya 112.000 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan 2004). Dengan demikian, produktivitas mete Indonesia baru mencapai setengah dari produktivitas mete Vietnam.

Belum diperoleh informasi mengenai cara negara-negara penghasil mete utama seperti India, Brasil, dan beberapa negara Afrika menyebarluaskan varietas unggul jambu mete kepada petani. Namun, me-nurut Mr. Chau (komunikasi pribadi), Direktur Long Dihn Fruit Center, Vietnam, para petani memperoleh bahan tanaman unggul secara gratis dari perusahaan swasta. Perusahaan tersebut memberikan pelayanan kepada petani mulai dari penyediaan bahan tanaman unggul, pe-nyuluhan sampai pemasaran hasil. Peran pemerintah lebih bersifat ke arah fasilitasi dan pembuatan perangkat peraturan.

Di Indonesia, petani belum meng-gunakan varietas atau klon unggul mete karena beberapa kendala. Pertama, jumlah bahan tanaman unggul masih terbatas. Kedua, teknologi perbanyakan tanaman secara klonal mungkin dianggap tidak atau belum penting, sehingga penelitian di bidang itu masih kurang mendapat prioritas. Ketiga, adanya persepsi yang

kuat bahwa jambu mete adalah tanaman lahan marginal yang tidak perlu dirawat secara baik sebagaimana layaknya komo-ditas yang bernilai ekonomi.

Perawatan kebun

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah perawatan kebun. Hingga saat ini, tanaman mete umumnya diusahakan secara tradisional. Sebelum tanaman mete berumur 5−6 tahun, petani biasanya memanfaatkan lahan di antara pohon mete untuk tanaman sela seperti padi gogo, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, dan wijen (Gambar 2). Setelah tajuk (kanopi) tanaman mete bersinggungan, dan cahaya matahari yang masuk ke bawah tajuk mulai berkurang, petani tidak dapat mengusahakan tanaman sela lagi sehingga tanaman mete diusahakan secara mono-kultur (Gambar 3).

Tanaman mete umumnya tidak di-pupuk, atau kalaupun didi-pupuk, jumlahnya sangat sedikit. Pemberian pupuk secara tidak langsung biasanya melalui peme-liharaan tanaman sela. Dengan demikian, praktis tanaman mete tidak atau sedikit diberi hara tambahan (pupuk) meskipun tanahnya tidak subur. Padahal hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupuk-an dapat memperbaiki pertumbuhpemupuk-an dpemupuk-an hasil jambu mete (Dhalimi et al. 1996; Lubis 1996; Syafruddin et al. 1996; Rao 1998; Daras 2002). Oleh karena itu, sulit

(5)

kan tanaman dapat memberikan hasil yang optimal bila kondisi tanahnya kurang subur, meskipun tanaman memiliki potensi produksi yang tinggi.

KETERSEDIAAN INOVASI

TEKNOLOGI

PENINGKATAN

PRODUKTIVITAS

Teknologi budi daya jambu mete, terutama hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia masih terbatas. Meskipun demikian, apabila diterapkan secara benar, teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas. Beberapa teknologi budi daya jambu mete yang telah siap untuk disosialisasikan atau setidaknya dapat ditindaklanjuti (kaji ulang) dengan mem-perhatikan kondisi lokasi setempat (spesifik lokasi) diuraikan berikut ini.

Penetapan Lokasi

Agar produktivitas tanaman mete optimal atau mendekati potensi genetiknya, maka kondisi lingkungan tumbuh harus mendukung keluarnya potensi genetik tersebut. Namun, pengalaman empiris me-nunjukkan hal tersebut sering terabaikan. Program pengembangan jambu mete umumnya kurang memperhatikan

per-syaratan teknis (kondisi lingkungan) sehingga sering berakhir dengan kegagal-an. Artinya, meskipun tanaman mete telah memasuki masa produktif, tingkat produk-tivitasnya masih rendah, bahkan tidak menghasilkan sama sekali. Oleh karena itu, penetapan lokasi pengembangan atau perluasan areal perlu memperhatikan aspek kesesuaian lingkungan tumbuh tanaman, khususnya lahan dan iklim (Nair et al. 1979; Abdullah dan Las 1985 ) (Tabel 1).

Varietas Unggul

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), sekarang Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Badan Litbang Pertanian yang menangani komoditas mete, baru menghasilkan tiga varietas unggul nasional, yaitu GG1, PK 36, dan MR 851 dengan potensi produksi pada umur 5 tahun berkisar 6−8 kg/pohon atau 900− 1.250 kg/ha (populasi 156 pohon/ha) (Departemen Pertanian 2001; 2004). Namun, karena jumlah pohon masing-masing varietas unggul tersebut sangat terbatas, sulit diharapkan dapat tersebar luas ke daerah-daerah pengembangan jambu mete. Oleh karena itu, diperlukan program atau usaha penyediaan bahan tanaman unggul dalam jumlah banyak,

baik yang berasal dari hasil seleksi (varietas) maupun bibit sambungan (grafted seedlings) dengan batang atas (entres) unggul lokal.

Perakitan varietas unggul tanaman tahunan seperti jambu mete bukan pekerja-an mudah dpekerja-an memerlukpekerja-an waktu lama. Namun demikian, varietas unggul merupa-kan kunci peningkatan produktivitas disertai aplikasi teknologi pendukung. Sebagai contoh, apabila teknologi per-banyakan secara vegetatif (klonal) dapat dikuasai secara baik maka varietas (klon) unggul yang jumlahnya terbatas tersebut dimungkinkan untuk diperbanyak secara klonal (Suryadi dan Zaubin 1999) se-hingga bahan tanaman yang digunakan mempunyai potensi hasil tinggi. Pen-dekatan ini diterapkan Vietnam dalam upaya meningkatkan produktivitas tanam-an mete (Chau 1998). Ytanam-ang menjadi per-tanyaan, dapatkah pendekatan serupa dilakukan di Indonesia. Barangkali ber-pulang pada ada tidaknya kerja sama yang sinergis di antara instansi terkait dalam menyikapi komoditas tersebut. Karena faktor SDM petani dan lingkungan biofisik yang berbeda dengan Vietnam, yang hanya membutuhkan 8 tahun untuk mengganti hampir 50% pertanaman mete dengan benih hasil seleksi, Indonesia mungkin memerlukan waktu lebih lama (10− 15 tahun) untuk mencapai prestasi yang sama. Meskipun membutuhkan jangka waktu lebih lama, program peningkatan produktivitas mete sudah berada pada jalur yang benar.

Selain tiga varietas unggul yang telah dilepas, Balittri juga mempunyai sejumlah plasma nutfah mete yang berpotensi produksi tinggi yang dapat dimanfaatkan dalam program perbaikan bahan tanaman (Tabel 2). Di samping itu, di beberapa daerah sentra produksi telah tersedia nomor-nomor unggul lokal atau blok penghasil tinggi (Markamin 1996; Djisbar 1999). Oleh karena itu, dari segi keter-sediaan bahan tanaman produktivitas mete Indonesia, khususnya di NTB dan NTT berpeluang besar untuk ditingkat-kan.

Balittri telah melakukan penelitian penyediaan bahan tanaman unggul yang diperbanyak secara vegetatif. Moko et al. (1998) memperoleh keberhasilan penyam-bungan 86,70% sampai umur 12 minggu di pembibitan, dan turun menjadi 70% pada minggu ke-14. Juga di pembibitan, dengan perlakuan defoliasi daun sebelum penyambungan, Djazuli et al. (2005) Gambar 3. Tanaman jambu mete dewasa dengan tajuk yang rapat sehingga tanaman

(6)

memperoleh keberhasilan sekitar 54−89% sampai umur 2 bulan, sedangkan Rusmin et al. (2006) hanya mampu mencapai keberhasilan penyambungan tertinggi 50%. Di lapangan atau skala produksi massal, keberhasilan penyambungan diperkirakan lebih rendah lagi. Meskipun belum memuaskan, hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa per-banyakan massal bahan tanaman secara vegetatif (klonal) mempunyai peluang besar untuk mengatasi masalah penyedia-an bahpenyedia-an tpenyedia-anampenyedia-an bermutu.

Penyambungan secara langsung di lapangan masih menghadapi hambatan, yaitu penutupan luka bekas tebangan yang lambat. Akibatnya, kambium (kayu) melapuk dan membentuk lubang sehingga mudah patah. Jika kendala itu dapat diatasi maka 2−3 tunas yang tumbuh di sekeliling bidang potong dapat disambung dengan entres dari pohon induk mete terpilih. Pendekatan ini diharapkan mampu me-ningkatkan produktivitas dalam program rehabilitasi atau penjarangan tanaman. Untuk itu, ke depan perlu dicarikan tekno-logi yang mampu mengatasi masalah ter-sebut.

Tabel 2. Nomor induk harapan jambu mete sebagai sumber benih dan entres.

Kultivar

Potensi hasil Rendemen Jumlah

Keterangan (kg/pohon) (kg/ha) (%) gelondong/kg

Jepara F2-101 9,98 1.380 2 9 263 Landras

Madura M4-2 7,59 1.027 2 9 263 Landras

Jatiroto III/4-5 7,83 1.392 3 0 200 Landras Gunung Gangsir 293 (GG1) 7 1.636 2 7 229 Landras Gunung Gangsir 180 7,11 1.632 2 8 251 Landras

Wonogiri C6-5 8,76 933 3 0 2 0 0 Landras

Madura L3-3 7,30 760 3 0 2 2 7 Landras

Mojokerto XIII/8 15,80 850 3 0 190 Landras Yogya Putih XII/8 9,65 990 3 2 2 0 0 Landras Tegineneng A3-2 10,04 829 3 0 2 6 0 Landras Tegineneng A3-1 9,94 822 3 0 2 2 7 Landras Cikampek B02 (21 tahun) 20,87 2.087 2 7 1 3 5 Balakrisnan Segayung (21 tahun) S102 2 0 1.800 3 0 100 India

Segayung (17 tahun) S21 2 1 1.900 3 1 7 8 Srilanka

Muna LK 193 14,82 1.400 3 2 109 Srilanka

Muna LG53 13,17 1.200 2 8 1 0 8 Landras

Muna AL17 10,35 1.250 2 7 1 0 6 Landras

Menini (25 tahun) B154 5 0 1.300 3 6 2 3 0 Landras

Menini (25 tahun) A 264 4 5 1.000 3 5 2 2 0 Landras

Sambi E (20 tahun) 014 4 0 1.100 3 5 1 9 8 Landras

Lokomumbu 2124 1 4 1.100 3 2 1 9 5 Landras

Lokomumbu 2024 11,50 1.100 3 2 1 9 6 Landras

Sumber: 1Koerniati dan Hadad (1996a), 2Koerniati dan Hadad (1996b), 3Hadad et al. (1995), 4Hadad dan Baharudin(2002).

Tabel 1. Petunjuk umum pemilihan lahan untuk tanaman jambu mete.

Kondisi biofisik lahan Nilai

Karakteristik tanah Sangat baik (Kelas I) Baik (Kelas II) Sedang (Kelas III) Buruk (Kelas IV) Tidak cocok (Kelas V) Ketebalan tanah (m) > 1,50 0,90−1 0,45−0,90 0,23−0,45 < 0,23

Tekstur Lempung Pasir berlempung Lempung berliat Lempung liat Liat berkerikil Lempung berpasir Lempung berdebu Lempung liat berkerikil Liat berpasir

Pasir pantai berdebu Lempung debu Liat berdebu Lempung liat berkerikil Liat berpasir Lempung pasir

berkerikil

Kemasaman (pH) 6,30−7,30 6−6,30 5,60−5,90 5,10−5,50 < 5 atau > 7,80 Ciri-ciri lahan

Kemiringan (%) < 3 3−5 5−15 15−25 > 25

Permukaan air tanah (m) 2−5 1,50−2 8−10 10−13 > 13

Tingkat erosi Tidak ada Ringan Sedang Berat Sangat berat

Ringan

Drainase Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk

Fisiografi Dataran pantai Dataran aluvial Plato Berbukit dengan Rawa Berbukit lapisan tanah Bergunung

dangkal

Curam berundulasi dengan tingkat erosi berat Faktor iklim dan lingkungan

Ketinggian (m dpl) < 20 20−120 120−450 450−750 > 750 Curah hujan (mm/tahun) 1.500−2.500 1.300−1.500 1.100−1.300 900−1.100 > 2.500 Kelembapan (%) 70−80 65−70 60−65 50−60 < 50 atau > 80 Sumber: Nair et al. (1979).

(7)

Pemupukan

Umumnya petani jarang atau bahkan tidak melakukan pemupukan tanaman mete dengan berbagai alasan, mulai dari ma-salah finansial (kemiskinan) sampai ketidaktahuan bahwa tanaman mete me-merlukan tambahan hara apalagi pada lahan marginal. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa pemupumenunjuk-kan dapat meningkat-kan hasil mete (Rai 1969; Westergaard dan Kayumbo 1970; Daras 2002; Daras dan Pitono 2006). Di India, Rao (1998) menganjurkan pemupukan mete 500 g N, 125 g P2O5, dan 125 K2O g/pohon/tahun, di samping pemberian pupuk kandang 10− 15 kg/pohon. Di Madagaskar, Lefebvre dalam Ohler (1988) menyatakan unsur N dan P mempunyai peran penting pada tanaman mete muda, sedangkan peran K kurang. Namun sebaliknya, unsur K semakin diperlukan pada tanaman dewasa. Di Sulawesi Tenggara, Lubis (1996) mem-peroleh pertumbuhan terbaik tanaman jambu mete yang dipupuk 1,05 kg NPK/ pohon/tahun, terdiri atas 450 g N, 225 g P2O5, dan 330 g K2O.

Penanggulangan Hama dan

Penyakit

Hama

Di beberapa daerah pengembangan di Indonesia, tanaman mete diserang se-jumlah hama dan penyakit yang meng-akibatkan kehilangan hasil yang cukup serius. Hama penting yang menyerang pertanaman mete adalah Helopeltis spp., S. rubrocinctus, dan S. indecora.

Helopeltis spp. dapat dikendalikan dengan insektisida. Damodaran dan Nair (1969) melaporkan penggunaan DDT 0,20%, sevin 0,10%, endrin 0,03% atau dieldrin 0,05% dengan interval 15 hari sangat efektif menekan Helopeltis. Peng-gunaan insektisida kontak lebih efektif dibanding insektisida sistemik. Luka bekas tusukan serangga pengisap cairan tersebut sering menjadi tempat masuknya jamur seperti Colletotrichum sp. dan Gloeosporium mangifera (Nair et al. 1979), L. theobromae (Syn. B. theobromae) (Olunloyo dan Esuruoso 1975), dan Pestalotiopsis sp. (Adhi et al. 2000), yang menimbulkan penyakit mati pucuk (dieback). Oleh karena itu, cara pe-ngendalian yang dianjurkan adalah

penyemprotan kombinasi fungisida dan insektisida. Karmawati dan Mardiningsih (2005) menyarankan pengendalian secara terpadu dengan tujuh komponen, yaitu: 1) penggunaan bahan tanaman yang relatif tahan (toleran), yakni aksesi Mojokerto XIII-8 dan B-O2 (Amir et al. 2004), 2) monitoring siklus hidup hama, 3) sanitasi kebun dan pemangkasan cabang jika terlalu rimbun terutama pada musim hujan, 4) penimbunan serasah di bawah tajuk agar tidak menjadi tempat berlindung hama terutama pada musim kemarau, 5) stimulasi kehadiran predator (semut rangrang atau semut hitam) dengan menyemprotkan air yang mengandung gula, 6) pemanfaatan agens hayati Beauveria bassiana, dan 7) penggunaan pestisida nabati mimba dengan konsentrasi 200−300 biji mimba/ 10 liter air atau daun mimba 1 kg/10 liter air. S. rubrocinctus dapat dikendalikan dengan penyemprotan insektisida seperti endosulfan dan thiodan (Abdullah 1994), dieldrin dan DDT (Pillai et al. 1976), HCH atau parathion (Araque dalam Nair et al. 1979). S. indecora, yang disebut juga hama wereng pucuk daun, dan sebelumnya di-kenal sebagai Lawana candida dilaporkan pernah menyerang pertanaman mete di NTB, dan mungkin juga sampai sekarang. Serangan dimulai menjelang musim ber-bunga (April−Mei) dan mencapai puncak-nya pada musim berbunga atau berbuah, sekitar Agustus−September (Siswanto et al. 2002). Serangan hama tersebut dapat menurunkan hasil sampai 57,80% (Mardiningsih et al. 2005).

Penyakit

Penyakit layu bakteri. Penyakit ini dise-babkan oleh Pseudomonas solanacearum biovar 3 ras 1 (Shiomi et al. 1989). Cara penanggulangan yang dianjurkan adalah secara terpadu, seperti penggunaan varietas toleran dan sanitasi kebun de-ngan membongkar dan membakar pohon mete yang sakit untuk mengurangi penyebaran penyakit.

Penyakit gumosis disebabkan oleh B. theobromae. Pada tingkat bibit, peng-gunaan fungisida kaptafol dan benomil cukup efektif menekan perkembangan jamur tersebut (Supriadi et al. 1996, tidak diterbitkan).

Penyakit antraknosa. Penyebabnya berasosiasi dengan C. gloeosporioides (Hill dan Waller dalam Supriadi dan Sitepu

1996). Penanggulangan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida seperti kaptafol 0,30% tiap bulan selama fase pertumbuhan tunas dan buah muda.

Jamur akar putih (JAP). Mikro-organisme biodekomposer Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae, yang juga berfungsi sebagai agens pe-ngendali hayati, cukup efektif menang-gulangi penyakit JAP (Tombe et al. 2005). Sejumlah pestisida nabati seperti ekstrak mimba dan eugenol (dari daun, bunga, dan gagang cengkeh) juga bersifat toksik terhadap beberapa jamur patogen.

Jamur akar coklat (JAC). Penyakit ini sangat sulit dikendalikan karena jamur tersebut dapat bertahan bertahun-tahun di dalam jaringan tanaman yang sakit di dalam tanah (Supriadi 2005). Oleh karena itu, sanitasi kebun merupakan keharusan. Kebun mete yang telah terserang jamur harus dimusnahkan, kemudian ditanami penutup tanah (cover crops) agar sisa-sisa tanaman cepat melapuk dan populasi patogen jamur akar menurun. Penggunaan agens hayati Trichoderma dan pengapur-an tpengapur-anah kurpengapur-ang efektif menekpengapur-an penyakit tersebut. Aplikasi fungisida berbahan aktif triadimefon 3 ml/l air tiga kali setahun mampu menurunkan serangan penyakit. Selain itu, kebun mete juga harus bebas dari tanaman inang JAC, yaitu kayu bantenan (Lannea coromandelica), kirinyuh (Euphatorium odorata), randu, dan jarak pagar.

STRATEGI PENINGKATAN

PRODUKTIVITAS

Berdasarkan identifikasi potensi sumber daya lahan, petani, teknologi budi daya yang tersedia, dan peran sosial-ekonomi mete di Nusa Tenggara yang semakin penting dan strategis, ada beberapa masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan produktivitas mete. Dengan memperhatikan kondisi riil dan permasalahan yang dihadapi maka peningkatan produktivitas dapat di-tempuh melalui intensifikasi tanaman dan perluasan areal.

Intensifikasi Tanaman

Tidak diperoleh data atau informasi tentang luas areal tanaman mete di Nusa

(8)

Tenggara yang terdapat pada lahan kelas III atau agak sesuai (Nair et al. 1979), namun diperkirakan cukup luas. Pada lahan seperti itu, biaya perawatan kebun men-jadi lebih mahal karena kendala yang di-hadapi lebih besar dibanding lahan kelas II dan I. Apapun kelas lahannya, tanaman mete harus dipelihara, setidaknya pada tingkat minimal agar petani masih mem-peroleh keuntungan.

Pemupukan organik dan

anorganik

Bahan organik yang banyak tersedia dan mudah diperoleh adalah kompos atau pupuk kandang. Pemakaian mulsa di se-keliling pohon mete juga dianjurkan namun harus ditimbun tanah agar tidak mudah terbakar, terutama pada musim kemarau. Mulsa selain dapat menekan evapotrans-pirasi, hasil pelapukannya dapat menjadi sumber bahan organik. Sumber lain adalah pupuk kandang, yang pemanfaatannya masih belum optimal. Nusa Tenggara dikenal sebagai sentra produksi ternak di Indonesia, sehingga potensi ini perlu diberdayakan secara optimal.

Pupuk organik umumnya mempunyai kandungan hara rendah sehingga pem-beriannya harus disertai dengan pe-nambahan pupuk kimia (anorganik), yang jumlah dan jenisnya disesuaikan dengan umur tanaman (Dhalimi et al. 1996; Lubis 1996; Rao 1998; Daras 2002; Daras dan Pitono 2006).

Pengaturan jarak tanam dan

penjarangan

Di daerah-daerah tertentu, tanaman mete ditanam sangat rapat (populasi tinggi) sehingga produktivitasnya rendah. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, jambu mete ditanam sangat rapat karena tujuan penanamannya untuk konservasi lahan (reboisasi). Akibatnya, rata-rata hasil yang dicapai juga sangat rendah (Syafruddin et al. 1996). Penjarangan tanaman yang disertai dengan pemupukan mampu meningkatkan produktivitas. Namun, teknologi penjarangan tanaman mete belum sepenuhnya dapat diterima petani karena berbagai alasan, antara lain pe-nurunan hasil. Oleh karena itu, perlu sosialisasi teknologi secara terus-menerus agar petani memahami manfaat pen-jarangan.

Di daerah-daerah yang tanahnya relatif subur dan tanaman mete ditanam rapat (6 m x 6 m), pada umur 6−7 tahun saat tanaman mete mulai meningkat produksinya, diameter tajuk sudah men-capai lebih dari 6 m dan bersinggungan (Daras dan Pitono 2006). Dengan demikian, hasil maksimal diperkirakan hanya ber-langsung 3 tahun, umur 6−8 tahun. Setelah periode tersebut, produksi mulai turun sejalan dengan makin menurunnya luas permukaan tajuk. Seperti diketahui, jambu mete tergolong tanaman berbunga termi-nal, yaitu bunga atau bakal buah terbentuk pada ujung tunas atau permukaan tajuk. Makin luas tajuk (kanopi) terkena langsung sinar matahari, makin besar peluang bunga dan buah terbentuk. Dengan kata lain, hasil per pohon makin turun dengan makin rapatnya jarak tanam (Ohler 1988).

Di Tanzania, Northwood dan Tsakiris dalam Ohler (1988) menyatakan bahwa dengan jarak tanam rapat (6,10 m x 6,10 m), hasil per pohon mulai turun pada panen tahun ketiga (umur 5 tahun). Sebaliknya, dengan jarak tanam lebih lebar (9,10 m x 9,10 m sampai 15,20 m x 15,20 m) produksi-nya terus naik tajam. Namun, dengan jarak tanam rapat hasilnya hampir tiga kali lipat lebih besar dibanding jarak tanam lebar. Implikasinya, jika pemahaman petani tentang budi daya tanaman mete telah cukup baik maka jarak tanam rapat lebih dianjurkan karena hasilnya lebih tinggi. Namun, setelah tanaman berumur lebih dari 10 tahun, populasinya dikurangi atau diperjarang agar produktivitasnya tidak turun akibat tanaman terlalu rapat.

Dalam praktek, petani umumnya belum dapat menerima teknologi pen-jarangan karena khawatir produksi ber-kurang. Oleh karena itu, bila petani masih sulit menerima inovasi teknologi maka dianjurkan menggunakan jarak tanam lebar, misalnya 9 m x 9 m sampai 10 m x 10 m. Penggunaan jarak tanam lebar juga memberi waktu lebih lama kepada petani untuk memanfaatkan lahan di antara tanaman mete untuk padi gogo atau tanaman sela lain. Di samping itu, petani akan memperoleh periode produksi mete optimal yang lebih panjang.

Pengendalian hama dan

penyakit

Teknologi penanggulangan hama dan penyakit pada jambu mete sebagian telah

tersedia, tetapi sebagian lagi masih dalam tahap identifikasi (belum tuntas) seperti teknologi pengendalian JAP dan JAC. Untuk pengendalian hama dan penyakit yang serangannya terjadi pada musim kemarau, teknologi penanggulangannya sebaiknya yang seminimal mungkin menggunakan air, karena pada musim kemarau petani pun membutuhkan air untuk kehidupan.

Rehabilitasi, pemangkasan, dan

perawatan tanaman

Tanaman mete yang mati atau rusak berat sebaiknya disulam atau diganti dengan menggunakan bahan tanaman (varietas) unggul. Cabang-cabang terbawah setinggi 60−100 cm di atas permukaan tanah di-potong atau dipangkas untuk memudah-kan pemupumemudah-kan, sanitasi kebun, pem-berantasan hama-penyakit, dan pe-ngumpulan hasil panen. Demikian pula cabang atau ranting tidak produktif yang tumbuh pada bagian dalam tajuk, seperti tunas air dan cabang ekstensif, dibuang.

Perluasan Areal

Pengembangan tanaman mete ke depan, selain harus menggunakan bahan tanaman atau varietas unggul dan teknologi budi daya yang tersedia, juga perlu memper-hatikan persyaratan lingkungan tumbuh (iklim dan lahan) tanaman agar biaya pemeliharaan dapat ditekan. Jika faktor-faktor tersebut diabaikan, akibatnya baru diketahui dan dirasakan setelah beberapa tahun kemudian. Kerugian tidak hanya dari segi biaya dan tenaga tetapi juga waktu.

Pengalaman empiris menunjukkan tanaman mete banyak diusahakan pada lahan marginal dengan solum tanah sangat tipis sampai tipis (20−30 cm), duduk di atas batuan induk yang pejal atau lapisan keras (hardpan) yang sulit ditembus akar sehingga hasilnya rendah atau bahkan tidak berproduksi. Untuk itu, penetapan lokasi pengembangan mete harus mem-perhatikan persyaratan tumbuh tanaman, khususnya lahan dan iklim (Nair et al. 1979). Hal ini penting agar usaha tani jambu mete mampu memberikan hasil dan ke-untungan optimal, dan sekaligus me-ningkatkan kesejahteraan petani.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 1994. Paket Teknologi Pengembangan Jambu Mente. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Abdullah, A. dan I. Las. 1985. Peta Kesesuaian Iklim dan Lahan untuk Pengembangan Tanaman Jambu Mete. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Biologi, Bogor.

Adhi, E.M., Supriadi, S. Rahayuningsih, D. Kilin, dan N. Karyani. 2000. Pestalotiopsis desse-minata pada jambu mete: Biologi dan inter-aksinya dengan Helopeltis antonii. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 6(3): 66−72. Agnolini, M. and F. Giuliani. 1977. Cashew

Cultiva-tion. Library of Tropical Agriculture, Ministry of Foreign Affairs. Institute Agronomic Per L’Olhemare. 168 pp.

Alauddin, C. 1996. Status dan pengembangan nasional komoditas jambu mete di Indonesia. hlm. 1−16. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Amir, A.M., E. Karmawati, dan E.A. Hadad. 2004. Evaluasi ketahanan beberapa aksesi jambu mete (Anacardium occidentale L.) terhadap hama Helopeltis antonii Sign. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(4): 149− 153.

Arya, N. dan G.R.M. Temaja. 1996. Penelitian pengendalian biologi penyakit jamur akar pada tanaman jambu mete. hlm. 224−235. Prosiding Pengendalian Penyakit Utama Tanaman Industri secara Terpadu. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. 2003. Kajian Sistem Usaha-tani Tanaman Ternak (CLS) pada Lahan Kering Berbasis Jambu Mete di Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Mataram.

Chau, N.M. 1998. Integrated production practices of cashew in Vietnam. Integrated production practices of cashew in Asia. RAP Publication, FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok Thailand 1998/12: 68−73. Damodaran, V. K. and M.P.B. Nair. 1969. Studies on the insecticidal control of Helopeltis

antonii Signoret on cashew. Agric. Res. J. Kerala 9: 28−30.

Daras, U. 2002. Pengaruh pupuk terhadap per-tumbuhan tanaman mete belum menghasilkan (TBM) di Bayan Lombok. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 8(4): 121−125. Daras, U. dan J. Pitono. 2006. Pengaruh

pemu-pukan terhadap pertumbuhan dan produksi jambu mete di Lombok. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12(1): 21−27.

Departemen Pertanian. 2001. Keputusan Menteri Pertanian No.110/Kpts/TP.240/2/2001 ten-tang pelepasan varietas jambu mete GG1 sebagai varietas unggul. Departemen Pertani-an, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2004. Keputusan Menteri Pertanian No. 63 dan 64/Kpts/SR.120/1/ 2004 tentang pelepasan varietas jambu mete PK36 dan MR851 sebagai varietas unggul. Departemen Pertanian, Jakarta.

Dhalimi, A., R. Zaubin, dan R. Suryadi. 1996. Pengaruh dosis dan agihan pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi jambu mente. hlm. 60−68. Laporan Teknis Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Buku IV). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat. 2000. Laporan Kegiatan Perlindungan Tanaman Perkebunan di NTB. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram. Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat. 2002.

Laporan pengamatan OPT tanaman per-kebunan, taksasi kehilangan hasil dan kerugian hasil akibat serangan OPT di NTB. Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat, Mataram. 10 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1989. Statistik Perkebunan Indonesia 1984−1988: Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 1999−2003: Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003−2005: Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Djazuli, M., J.T. Yuhono, R. Suryadi, dan E.A. Hadad. 2005. Pengaruh waktu defoliasi dan stadia entres terhadap keberhasilan sambung-an pucuk jambu mete. Jurnal Gakuryuko XI(1): 94−97.

Djisbar, A. 1999. Seleksi populasi dan klon blok penghasil tinggi (BPT) jambu mete di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. hlm. 17−28. Laporan Teknis Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Buku IV). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hadad, E.A. dan Baharudin. 2002. Eksplorasi

calon nomor unggul jambu mete di sentra produksi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Waralaba Benih Jambu Mete, Kerja Sama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat dengan Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Hadad, E.A., S. Kartosoewarno, dan S. Koerniati. 1995. Pemutihan Blok Penghasil Tinggi (BPT) Jambu Mete di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan Kerja Sama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat dengan Direktorat Jenderal Perkebunan. IFAD (International Fund for Agricultural

Development). 1994. Eastern Islands Small-holder Cashew Development Project (EISCDP) Indonesia. Appraisal Report Vol. II. International Fund for Agricultural Development.

Karmawati, E. dan T.L. Mardiningsih. 2005. Hama Helopeltis spp. pada jambu mete dan pengendaliannya. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XVII(1): 1−6. Koerniati, S. dan E.A. Hadad. 1996a.

Perkem-bangan penelitian bahan tanaman jambu mente. hlm. 104−114. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Koerniati, S. dan E.A. Hadad. 1996b. Karakter pohon induk jambu mete Segayung di Kebun Induk Wonorejo Batang. Review Hasil Plasma Nutfah Pertanian 1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Lubis, M.Y. 1996. Penelitian teknologi budi daya

tanaman jambu mente: Kasus Pulau Muna di Sulawesi Tenggara. hlm. 86−95. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai sentra produksi mete, wilayah Nusa Tenggara (NTB dan NTT) dihadap-kan pada berbagai kendala sehingga produktivitas yang dicapai masih rendah. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas adalah bahan tanaman, lingkungan tumbuh, hama-penyakit, dan manajemen kebun.

Berdasarkan potensi wilayah dan keter-sediaan teknologi, produktivitas mete di Nusa Tenggara masih berpeluang di-tingkatkan dengan menerapkan teknologi budi daya. Penerapan teknologi yang me-liputi varietas atau klon unggul, kesesuaian lingkungan tumbuh, penanggulangan hama-penyakit, dan pengelolaan kebun, dapat meningkatkan produktivitas mete di Nusa Tenggara.

Persepsi bahwa tanaman mete dapat ditanam di sembarang tempat perlu dikoreksi atau diluruskan. Untuk tanaman mete yang telah tumbuh di lahan marginal, perlu dicarikan teknologi yang sesuai (spesifik lokasi) meskipun mungkin lebih mahal. Sebaliknya, untuk pengembangan baru dianjurkan untuk memperhatikan persyaratan tumbuh tanaman mete se-hingga biaya pemeliharaannya murah.

(10)

Mente. Balai Penelitian Tanam-an Rempah dan Obat, Bogor.

Mardiningsih, T.L. 2005. Hama wereng pucuk jambu mete (Sanurus indecora Jacobi) dan pengendaliannya. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 12(1): 7−12. Markamin, S. 1996. Perbenihan jambu mete.

hlm. 46−54. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete. Balai Peneli-tian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Moko, H., Sukarman, I. Darwati, Rumiati, dan S.

Sufiani. 1998. Perbanyakan jambu mete secara penyambungan mini. hlm. 69−76. Laporan Teknis Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Buku V). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Nair, M.K., E.V.V. Bhasakara Rao, K.K.N. Nambiar, and M.C. Nambiar. 1979. Mono-graph on Plantation Crops-1: Cashew (Ana-cardium occidentale L.). Central Plantation Crops Research Institute, Kerala India. p. 43−65. Nambiar, K.K.K. 1978. Controlling cashew

diseases. Indian Fmg. 28(3): 17−18. Nogoseno. 1996. Pengembangan jambu mente

di Indonesia. hlm. 37−44. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Ohler, J.G. 1988. Cashew. Communication 71, De-partment of Agricultural Research, Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam. Olunloyo, O.A. and O.F. Esuruoso. 1975.

Lesidi-plodia floral shoot die back disease of cashew in Nigeria. Plant Dis. Reptr. 59: 176−179. Pillai, G.B., O.P. Dubai, and V. Singh. 1976. Pests

of cashew and their control in India. A review of current status. J. Plant. Crops 4: 37−50. Rai, B.G.M. 1969. Cashew - the dollar eaner.

Indian Cashew J. 6(3): 9−11.

Rao, M.R. 1969. Pests and diseases on cashew. Lal Bagh 14(4): 9−10.

Rao, B.E.V.V. 1998. Integrated production practices of cashew in India. Integrated production practices of cashew in Asia. RAP Publication 1998/12, FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Thailand: 15−25.

Rusmin, D., Sukarman, dan Melati. 2006. Pe-ngaruh batang atas dan bawah terhadap keberhasilan penyambungan jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12(1): 32−37.

Shiomi, T., K. Mulya, and M. Oniki. 1989. Bacterial wilt of cashew (Anacardium occidentale L.) caused by Pseudomonas solanacearum in Indonesia. Indust. Crops Res. J. 2(1): 29−39.

Siswanto, Supriadi, E.A. Wikardi, D. Wahyuno, Wiratno, M. Tombe, dan E. Karmawati. 2002. Hama dan Penyakit Utama Tanaman Jambu Mete serta Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya. Booklet. Bagian Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor. 48 hlm.

Sitepu, D. dan E.M. Adhi. 1990. Penyakit jambu mete di Indonesia. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat VI(2): 34−39. Supriadi. 2005. Teknologi pengendalian penyakit

jamur akar coklat (Phellinus noxius) pada jambu mete. Perkembangan Teknologi Tanam-an Rempah dTanam-an Obat XVII(1): 27−30. Supriadi dan D. Sitepu. 1996. Penyakit utama jambu

mete dan strategi penanggulangannya. hlm. 115−123. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Supriadi, Siswanto, Wiratno, dan M. Tombe. 2003. Analisis status penelitian dan pengem-bangan PHT pada pertanaman jambu mete. hlm. 147−160. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bagian Proyek PHT Tanaman Perkebunan. Suryadi, R. dan R. Zaubin. 1999. Penyediaan

bahan tanaman jambu mete berpotensi produksi tinggi melalui penyambungan. hlm. 145−151. Prosiding Simposium III Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dan Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. Suwardjo, H., Rb. Sunyoto, Wahyunto, dan A.

Dariah. 1996. Penyebaran lahan kritis dan teknologi penanggulangannya di Kawasan Timur Indonesia. hlm. 275−295. Prosiding

Temu Konsultasi Sumber Daya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Syafruddin, M., G. Kartono, dan M.T. Ratule. 1996. Keragaan pengembangan jambu mete di Sulawesi Tenggara. hlm. 96−103. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Tombe, M., D. Wahyuno, dan Zulhisnain. 2005. Pengendalian penyakit jamur akar putih (JAP) jambu mete secara terpadu. Per-kembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XVII(1): 13−26.

Tombe, M., E. Taufik, Supriadi, dan D. Sitepu. 1997. Penyakit busuk akar Fusarium pada bibit jambu mete. hlm. 183−190. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanam-an Rempah dTanam-an Obat. Balai PenelitiTanam-an Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Tombe, M., Sukamto, A. Rahmat, A. Nurawan, dan

S. Mogi. 1996. Penelitian jamur Fusarium

yang berasal dari tanaman jambu mete dengan gejala busuk akar. hlm. 210−217. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Westergaard, P.W. and H.Y. Kayumbo. 1970. The cashew nut industry in Tanzania. Economic Research Bureau, University of Dar es Salaam, Tanzania. 104 pp. Wikardi, E.A., Wiratno, dan Siswanto. 1996.

Beberapa hama utama tanaman jambu mete dan usaha pengendaliannya. hlm. 124−132. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komo-ditas Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Wiratno, E.A. Wikardi, dan Siswanto. 2000. Ke-anekaragaman Helopeltis spp. di Indonesia. hlm. 387−390. Prosiding Simposium Keaneka-ragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Perhimpunan Entomo-logi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Cipayung, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan jambu mete pada musim kemarau di Nusa Tenggara.
Gambar 2. Jagung yang ditanam di antara tanaman mete muda (&lt; 1 tahun).
Tabel 2. Nomor induk harapan jambu mete sebagai sumber benih dan entres.

Referensi

Dokumen terkait

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 30    TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR   30  TAHUN 2015

72 AKLE 1050309 NUSA TENGGARA TIMUR KUPANG Ds. Akle, Kec. Semau Selatan 73 BATAKTE 1050310 NUSA TENGGARA TIMUR KUPANG Ds. Batakte, Kec. Kupang Barat 74 OEMASI

Buku “Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2008” merupakan kumpulan data statistik yang setiap tahun diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR  36  TAHUN  2014 TENTANG

Undang undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat i Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran

Tahun 2018 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaga Negara Republik Indonesia tahun 1958 Nomor

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 37    TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR  37  TAHUN 2014