• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANESTESIA SPINAL UNTUK SECTIO CAESAREA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANESTESIA SPINAL UNTUK SECTIO CAESAREA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

ANESTESIA SPINAL UNTUK SECTIO CAESAREA

Sectio caesarea pada pasien yang sadar tidak diragukan lagi adalah tes mayor untuk anestesia regional. Operasi dapat terjadi secara berkepanjangan, blokade dalam pada banyak saraf mungkin diperlukan, terdapat stimulasi visceral yang kuat, terdapat perubahan kardiovaskular dadakan yang dipengaruhi oleh postur,dan kesejahteraan fetus dapapt dipengaruhi beberapa variabel fisiologis dan obat. Anestesia spinal mungkin mencerminkan pendekatan yang paling elegan untuk tantangan ini. Dengan satu jarum kecil, dan jumlah obat yang nyaris homeopatik, anestesiolog dapat segera memberikan anestesia yang dalam dan kondisi operasi yang baik untuk pembedahan intra-abdominal mayor.

Secara historis, anestesia spinal telah digunakan secara intermiten dalam obstetrik sejak 1900. Di masa lampau, insidensi hipotensi yang tinggi dan risiko sakit kepala meminimalisir aplikasi tehnik ini. Pada awal 1980an, sebagian besar ahli lebih merekomendasikan blokade epidural ketimbang blokade spinal sebagai anestetik regional pilihan untuk sectio caesarea. Saat ini, anestesia spinal mendapat popularitas lagi. Anestesiolog obstetrik sekarang mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai jalan-jalan untuk mencegah dan menanganai hipotensi. Produsen telah membuat jarum spinal gauge kecil yang membatasi risiko sakit kepala post pungsi dural. Di banyak institusi, blokade spinal merupakan anestetik yang paling lazim digunakan untuk persalinan caesar elektif.

Bab ini meninjau peranan blokade spinal saat ini untuk persalinan caesar. Tulisan ini membahas efek hemodinamik maternal dan fetal dari anestesia spinal. Kemudian tulisan ini membahas insidensi dan efek hipotensi maternal. Akhirnya, bab ini membicarakan maalah mengenai pemilihan dan dosis obat.

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN Keunggulan

Anestesia spinal menawarkan beberapa keuntungan dibanding blokade epidural untuk sectio caesarea. Ia menawarkan kesederhanaan dan kecepatan. Ketika anda telah menemukan ruang subaraknoid dan menginjeksikan sejumlah anestetik lokal dengan jumlah tepat, anda mendapatkan jaminan blokade sensorik yang baik, menyeluruh, dan bilateral. Operasi dapat dimulai dalam 10 menit. Sebaliknya, anestesia epidural adalah prosedur yang kompleks secara

(2)

teknis, yang menempatkan wanita pada risiko pungsi dural dengan jarum gauge-besar. Blokade epidural juga menghabiskan waktu; induksi aman untuk sectio caesarea memerlukan 30 hingga 45 menit.

Anestesia spinal menawarkan lebih dari kemudahan. Ia menawarkan keamanan. Anestesia epidural untuk sectio caesarea memerlukan injeksi anestetik lokal dalam jumlah yang nyaris toksik. Injeksi semua atau sebagian dosis obat ini secara tidak sengaja ke dalam sistem vaskular ibu atau ruang subaraknoid dapat berakibat lethal. Sebaliknya, blokade spinal menghasilkan anestesia ekstensif hanya dengan sejumlah kecil obat. Anestesia spinal memerlukan hanya 5% hingga 10% obat dari yang dipakai dalam anestesia epidural. Absorpsi sistemik maternal menghasilkan konsentrasi obat dalam darah sekitar 5% dari kadar yang didapati setelah blokade epidural (gambar 24-1). Sehingga baik fetus maupun ibu terpapar hanya pada sejumlah kecil obat.

Kelemahan

Walaupun saya mendapati anestesia spinal sebagai tehnik anestetik yang aman dan dapat dipercaya, para ahli lain memberikan banyak pendapat lain. Blokade sensorik terkadang dapat naik ke bagian servikal. Blok tingkat tinggi ini dapat mengganggu respirasi maternal; namun yang paling sering terjadi adalah fungsi diafragma tetap utuh dan hanya terjadi perubahan minor dalam kemampuan respirasi. Blok sensorik yang naik cukup tinggi sehingga intubasi endotrakheal harus dilakukan untuk membatasi risiko aspirasi maternal jarang terjadi. Di Rumah Sakit Universitas Thomas Jefferson, kejadian ini terjadi kurang dari sekali dalam tiap 500 persalinan caesar yang menggunakan anestesia spinal.

Risiko sakit kepala spinal tampak tidak dapat dipisahkan dari tehnik anestesia ini. Untung saja pengalaman preeliminer dengan jarum spinal gauge-kecil atraumatik tampak menyakinkan (Arkoosh VS, data tidak dipublikasikan). Jarum ini nyaris berhasil dalam menghilangkan sakit kepala sebagai komplikasi pungsi dural yang dimaksudkan.

Hipotensi maternal sering mengikuti injeksi anestetik lokal ke dalam subaraknoid. Hipotensi nyata yang berlangsung lama dapat membahayakan baik ibu maupun bayi. Untung saja baik keparahan maupun konsekuensi hipotensi maternal dapat dibatasi. Prehidrasi adekuat, perhatian yang ketat terhadap penempatan uterus kiri, dan penggunaan efedrin yang tepat dapat meminimalisir masalah ini.

(3)

Akhirnya, suatu injeksi subaraknoid tunggal hanya menyediakan periode anestesia yang terbatas. Seseorang harus selalu mempertimbangkan kemungkinan bahwa operasi berlangsung lebih lama dari anestetik. Pemilihan dan penentuan dosis obat yang hati-hati dapat menyediakan kondisi operasi yang baik selama 2 jam. Anestesia spinal kontinu menyediakan alternatif yang masuk akal untuk prosedur-prosedur yang memiliki kemungkinan terjadi secara berkepanjangan.

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI

Terdapat beberapa kontraindikasi absolut untuk anestesia spinal (tabel 24-1). Beberapa kontraindikasi ini antara lain adalah penolakan obu, hipovolemia tidak terkoreksi, koagulopati, dan infeksi pada tempat pungsi jarum. Banyak anestesiolog juga ragu untuk menginduksi anestesia spinal dalam berbagai situasi lain (lihat tabel 24-1). Bab-bab lain dalam buku ini akan membicarakan masalah-masalah ini.

Kontroversi signifikan juga mengelilingi penggunaan anestesia spinal dalam kehadiran denyut jantung fetus yang tidak baik. Walaupun beberapa ahli berpendapat untuk melakukan induksi cepat untuk anestesia umum dalam keadaan ini, beberapa kepingan bukti menunjukkan bahwa anestesia spinal dapat menjadi alternatif yang aman dalam situasi semacam ini. Induksi anestesia spinal pada pasien bersalin mengurangi konsentrasi katekolamin sirkulasi maternal. Efek ini dapat membantu mengurangi spasme arteri uterina dan memperbaiki aliran oksigen fetal. Sebaliknya, induksi anestesia umum meningkatkan konsentrasi katekolamin serum maternal dan mengurangi aliran darah uterus. Hipotensi maternal yang dikarenakan blokade spinal dapat memperburuk kondisi fetus. Namun pada wanita bersalin komplikasi ini kurang mungkin terjadi. Satu kelompok peneliti melaporkan insidensi hipotensi sebesar 50% selama induksi blokade spinal pada wanita yang tidak sedang bersalin. Sebaliknya, tidak ada wanita bersalin yang mereka amati (n = 14) yang mengalami penurunan signifikan pada tekanan darah.

Sekresi katekolamin fetal memainkan peran penting dalam adaptasi terhadap kehidupan ekstrauterin. Bayi yang dilahirkan melalui sectio caesarea memiliki konsentrasi katekolamin plasma yang lebih rendah dibanding bayi yang dilahirkan per vaginam. Namun bayi yang ibunya menerima anestesia regional untuk sectio caesarea memiliki konsentrasi katekolamin plasma yang lebih tinggi dibanding mereka yang ibunya menerima anestesia umum.

Marx et al membandingkan anestesia regional dan umum pada 126 parturien yang menjalani sectio caesarea gawat darurat. Semua wanita melahirkan fetus yang mengalami distress akut

(4)

(perlambatan denyut jantung persisten, berat, lanjut, pH kulit kepala <7.20 atau pH turun secara tetap) (tabel 24-2). Pada semua kasus, pembedahan dimulai dalam 20 menit pengukuran pH kulit kepala terakhir. Para wanita memilih salah satu dari anestesia umum atau regional. Mereka yang memilih anestesia umum menerima ketamin atau tiopental yang diikuti oleh 40% nitrogen oksida di dalam oksigen. 55 parturien memilih anestesia regional. Pada 22 pasien dengan kateter epidural terpasang, peneliti memperpanjang blok sensorik dengan 3% 2-kloroprokain. 33 wanita menerima anestetik spinal berupa tetrakain. Semua injeksi spinal dilakukan oleh individu paling senior yang tersedia menggunakan jarum gauge 22. Semua wanita dalam kelompok regional menerima sekurangnya 800 mL kristaloid selama induksi anestesia dan 6 L oksigen/menit, hingga persalinan. Tidak terdapat wanita di dalam kelompok regional yang mengalami tekanan darah di bawah 100 mm Hg. Bayi dari kedua klompok memiliki nilai gas darah umbilikus yang setara. Bayi dalam kelompok regional mempunyai skor Apgar 1 menit yang lebih baik (tabel 24-3). Para peneliti mengajukan bahwa efek anestesia regional yang menguntungkan pada sekresi katekolamin maternal dan aliran darah uterus menjelaskan hasil yang mereka dapat.

Halaman 423 tidak dijumpai!

Para peneliti yang menggunakan termografi untuk mengukur peningkatan temperatur sebagai tanda blokade simpatis menemukan zona yang jauh lebih luas. Para peneliti ini menemukan perbedaan 6 hingga 10 segmen antara batas atas blok sensorik dan batas atas elevasi temperatur. Penelitian kedua ini mendapati blokade simpatis yang tidak komplit, sedangkan penelitian Greene menjumpai blokade komplit. Namun para pasien Greene mengalami penurunan tekanan darah tanpa takikardia kompensatorik. Respon ini menunjukkan bahwa blokade serabut kardioakselerator (T1-T4) telah terjadi. Walaupun para pasien ini memiliki sebagian fungsi simpatis di atas T3 (pembedaan temperatur), mereka juga menunjukkan tanda-tanda (tidak adanya takikardia) bahwa blokade fungsi simpatis lain berlanjut ke tingkat spinal yang lebih tinggi. Maka; blokade sensorik tingkat apapun di atas T6-T8 mungkin akan menghasilkan tanda-tanda simpatektomi total dengan sekurang-kurangnya blokade parsial pada serabut kardioakselerator.

Efek hemodinamik blokade spinal untuk sectio caesarea juga menunjukkan bahwa blokade simpatis komplit sering terjadi. Denyut jantung dapat sedikit meningkat, jika ya, seiring tekanan darah turun. Denyut jantung turun seiring tekanan darah turun lebih sering terjadi.

(5)

Selama onset anestesia spinal, blokade simpatis menyebabkan peningkatan akut kapasitansi vena dengan penurunan tekanan vena sentral (CVP) yang menyertai. Setelah CVP jatuh, cardiac output, volume sekuncup, dan, maka, tekanan darah juga jatuh (gambar 24-4). Semua efek ini lebih nyata pada ibu yang berbaring terlentang tanpa penempatan uterus di kiri (gambar 24-5).

Insidensi

Insidensi hipotensi maternal bervariasi berdasarkan definisi, frekuensi pengukuran, metode pengukuran (cuff manual vs automatik), dan terapi profilaktik (jika ada). Sebagai tambahan, hipotensi terjadi kurang sering pada wanita yang sedang bersalin dibanding wanita yang tidak sedang bersalin.

Efek fetal dari hipotensi maternal

Efek dari hipotensi maternal pada fetus atau neonatus bervariasi dengan beratnya dan durasi hipoperfusi. Sebagai tambahan, posisi maternal, status volume, dan terapi obat juga mengubah konsekuensi dari hipotensi pada fetus.

Jika berkepanjangan, jenis hipotensi berat yang terjadi pada parturien terlentang dengan hidrasi buruk dapat membahayakan fetus. Ebner melaporkan bahwa ketika tekanan sistolik maternal turun di bawah 50 mm Hg selama lebih dari 12 menit, bradikardia fetal akan menyusul. Suatu penelitian follow up menyelidiki lebih lanjut hubungan antara hipotensi maternal dan bradikardia fetal. 29 wanita menerima anestetik spinal untuk persalinan caesar elektif. Para peneliti mengawasi tekanan darah maternal dan elektrokardiogram fetus selama 15 menit setelah induksi blokade. Tidak terdapat bradikardia fetal yang terjadi pada 13 wanita yang tekanan darah sistoliknya tetap di atas 70 mm Hg. Di antara para wanita yang mengalami tekanan darah sistolik di bawah 70 mm Hg, suatu korelasi yang signifikan secara statistik hadir baik antara beratnya maupun durasi hipotensi maternal dan insidensi bradikardia fetal (tabel 24-4). Maka hipotensi maternal berat yang berkepanjangan dapat menyebabkan bradikardia fetal yang signifikan. Namun, para peneliti ini menyimpulkan bahwa hipotensi maternal yang cepat dikenali dan ditangani tidak memberikan bahaya terhadap fetus. Hipotensi berkelanjutan juga dapat berujung pada tes neurobehavioral abnormal yang bertahan 2 hingga 7 hari setelah kelahiran.

Marx et al melaporkan bahwa hipotensi maternal (tekanan darah sistolik <96 mm Hg, durasi tidak didefinisikan) juga dapat menyebabkan waktu berkepanjangan hingga respirasi yang

(6)

bertahan. Bayi dari ibu nonhipotensif mengembangkan respirasi yang bertahan dalam 20.0 detik. Bayi yang dilahirkan dari ibu hipotensif tidak bernapas secara konsisten hingga 48.8 detik setelah kelahiran. Bayi dalam kelompok hipotensif juga memiliki nilai pH arteri umbilikus yang lebih rendah. Para wanita dalam penelitian ini hanya menerima sejumlah kecil prehidrasi (≤1 L) dan sejumlah efedrin yang terbatas. Ketika hipotensi terjadi, hipotensi mungkin signifikan dan berkepanjangan.

Bahkan hipotensi maternal transien dapat menyebabkan asidosis fetal. Datta dan Brown melaporkan suatu penelitian yang melibatkan 15 parturien sehat aterm. Semua menerima 1 L kristaloid sebelum induksi anestesia. Semua ditempatkan terlentang dengan penempatan uterus kiri dan menerima oksigen melalui masker wajah. Para peneliti mendefinisikan hipotensi sebagai tekanan darah sistolik di bawah 100 mm Hg atau turunnya tekanan darah lebih dari 30 mm Hg dari baseline. Jika hipotensi terjadi, mereka segera menatalaksananya dengan efedrin sebagaimana diperlukan untuk menjaga tekanan darah di atas 100 mm Hg. Hipotensi timbul pada 8 dari 15 wanita. Pada semua kasus, hipotensi berlangsung kurang dari 3 menit. Bahkan dengan periode hipotensi yang singkat ini, pH arteri uterina adalah 7.26 pada neonatus dari ibu hipotensif namun adalah 7.30 pada bayi dari ibu normotensif.

Kelompok yang sama ini melakukan penelitian follow up menggunakan protokol yang sama. Para ibu menerima cairan yang sedikit lebih banyak (1-1.5 L), dan para peneliti mengevaluasi status neurobehavioral neonatus. Mereka menemukan bahwa “bayi yang dilahirkan dari ibu dengan hipotensi secara signifikan lebih asidotik dibanding kontrol, walaupun kadar asam-basa masih berada dalam ambang normal.” Pemeriksaan neurobehavioral adalah normal dalam kedua kelompok.

Tidak semua peneliti telah menemukan korelasi ini antara hipotensi maternal transien yang ditangani cepat dan asidosis neonatus. Dalam satu penelitian semacam ini, parturien menerima 1 L kristaloid sebelum induksi anestesia spinal untuk sectio caesarea. Mereka yang mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mm Hg) menerima tambahan efedrin 10 mg. Para peneliti ini tidak menemukan adanya perbedaan antara bayi dari ibu hipotensif dan normotensif dalam nilai pH arteri atau vena uterina.

(7)

Pencegahan dan penatalaksanaan hipotensi maternal

Anestesiolog telah menggunakan berbagai strategi untuk mengurangi insidensi dan efek hipotensi maternal. Beberapa peneliti telah mencoba memberikan lebih banyak cairan. Yang lain telah mencoba untuk meminimalisir ukuran sirkulasi maternal dengan alat-alat kompresi-kaki. Vasopressor telah digunakan dalam upaya baik untuk mencegah maupun menangani perubahan tekanan darah maternal.

VOLUME. Banyak penelitian telah menginvestigasi peranan prehidrasi maternal dalam pembentukan hipotensi. Penelitian-penelitian awal menyelidiki keamanan maternal dari bolus cairan yang diinfusikan secara cepat. Wollman dan Marx menjawab masalah ini dalam suatu penelitian yang melibatkan 19 parturien aterm. Semua parturien mengalami insersi kateter CVP sebelum induksi anestesia spinal. 14 dari para wanita ini menerima 1 L kristaloid infus cepat sebelum induksi anestesia. Hidrasi menyebabkan sedikit peningkatan CVP namun secara nyata mengurangi insidensi hipotensi setelah induksi anestesia spinal. Setelah persalinan, CVP adalah sama tanpa memandang pemberian bolus cairan (gambar 24-6).

Menarik untuk diketahui bahwa dalam penelitian yang disebutkan sebelum ini, uterus tidak ditempatkan ke kiri hingga setelah hipotensi terjadi. Ini ditinggalkan bagi para peneliti setelahnya untuk menunjukkan bahwa penempatan uterus ke kiri juga dapat mencegah hipotensi maternal. Clarc et al membuktikan ini dalam suatu penelitian besar yang melibatkan 247 parturien. Hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mm Hg) kurang sering terjadi dengan penempatan uterus ke kiri ditambah prehidrasi cairan dibanding dengan pemberian cairan saja (gambar 24-7).

Peningkatan volume cairan yang diinfusikan mengurangi baik frekuensi maupun reperkusi (implikasi) hipotensi maternal. Suatu penelitian yang menarik oleh Caritis et al menemukan bahwa peningkatan volume prehidrasi tidak mengubah insidensi hipotensi namun mengurangi insidensi asidemia umbilikal (pH vena uterina <7.20) (tabel 24-5). Mereka mengalokasikan 64 parturien aterm ke dalam salah satu dari dua kelompok. Satu kelompok menerima 500 hingga 999 mL kristaloid sebelum induksi anestesia spinal. Kelompok lain menerima 1000 hingga 1500 mL. Hipotensi maternal, sebagaimana didefinisikan oleh tekanan sistolik di bawah 80% baseline, terjadi dengan frekuensi setara dalam kedua kelompok. Dalam kelompok yang kurang mendapat hidrasi, semakin rendah tekanan maternal, semakin rendah pH vena uterina dan semakin besar defisit basa vena uterina. Sebaliknya, hipotensi maternal tidak berhubungan dengan keadaan

(8)

asam-basa umbilikal dalam kelompok yang mendapat hidrasi lebih. Dalam kelompok yang kurang mendapat hidrasi, 20% neonatus dijumpai asidotik. Hanya 8% bayi dalam kelompok yang mendapat hidrasi lebih yang didapati asidotik (lihat tabel 24-5). Hipotensi berat (tekanan darah sistolik <70 mm Hg) juga terjadi dengan frekuensi yang setara dalam kedua kelompok, namun berat dan durasinya adalah kurang dalam kelompok yang mendapat hidrasi lebih. Sebagai tambahan, asidemia neonatal yang mengikuti hipotensi berat adalah lebih sedikit dalam kelompok yang mendapat hidrasi lebih (tabel 24-6). Para peneliti ini berkesimpulan bahwa walaupun volume prehidrasi yang lebih besar tidak mampu mencegah hipotensi postspinal, tindakan ini dapat meringankan konsekuensi biokimia fetal.

Pada para wanita yang menerima anestesia epidural untuk sectio caesarea, bahkan kristaloid yang lebih banyak (2 L) masih mengurangi insidensi dan beratnya hipotensi. Tidak ada wanita yang menerima 2 L kristaloid yang mengalami penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30% dari baseline. Sebaliknya, 25% wanita yang menerima hanya 1 L kristaloid mengalami hipotensi yang signifikan. Tidak ada wanita yang dijumpai memiliki tanda atau gejala kelebihan cairan (overload) (gambar 24-8).

Penelitian terkini lainnya juga menyelidiki efek volume prehidrasi yang besar pada outcome neonatal. 35 parturien menerima 1.5 hingga 2.0 L kristaloid sebelum induksi anestesia spinal. Mereka tetap menerima cairan yang diberikan secara cepat hingga tekanan darah stabil (hingga 3.3 L saat kelahiran). Lebih dari separuh wanita dalam penelitian ini mengalami hipotensi transien (tekanan darah sistolik <100 mm Hg). Tidak ada hipotensi ringan maupun moderat yang memberikan pengaruh buruk terhadap keadaan asam-basa neonatus (gambar 24-9).

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa hidrasi maternal yang berlimpah menguntungkan baik ibu maupun bayi. Pada ibu, ia mengurangi insidensi dan beratnya hipotensi. Pada bayi, hidrasi maternal juga menumpulkan atau menghilangkan efek buruk hipotensi transien.

Sebagian anestesiolog menyarankan penggunaan koloid ketimbang larutan kristaloid untuk hidrasi maternal. Satu penelitian membandingkan volume albumin dan kristaloid yang sama. Tidak ada ibu dalam kelompok albumin (n = 24) yang menderita hipotensi. Sebaliknya, 25% wanita dalam kelompok kristaloid mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mm Hg). Sebagai tambahan, para peneliti ini melaporkan skor Apgar yang lebih baik secara signifikan dalam kelompok albumin. Pada sisi lain, Gibbs et al menunjukkan tidak adanya manfaat

(9)

prehidrasi dengan albumin. Mereka membandingkan wanita yang menerima 15 mL/kg albumin 1.2% dalam kristaloid (50 mL albumin 50% ditambahkan ke dalam 1.0 L ringer laktat) terhadap mereka yang menerima 15 atau 30 mL/kg kristaloid saja. Insidensi dan beratnya hipotensi adalah setara dalam kedua kelompok yang menerima 15 ataupun 30 mL/kg kristaloid saja. Pemberian infus 30 mL/kg kristaloid saja adalah paling efektif dalam menjaga stabilitas hemodinamik maternal. Dengan mengingat harga albumin yang tinggi dan bahwa pemberian kristaloid yang berlimpah tampak sama efektifnya, saya tidak melihat perlunya penggunaan solusi koloid untuk hidrasi maternal sebelum anestesia spinal.

PERSALINAN. Clark et al menyadari bahwa pasien yang sedang bersalian cenderung kurang mengalami hipotensi dibanding wanita yang tidak sedang bersalin. Kelompok peneliti lain telah mengkonfirmasi observasi ini. Terdapat beberapa penjelasan yang mungkin untuk fenomena ini. Wanita yang sedang bersalin lazimnya menerima cairan intravena ketika dirawat; maka, para pasien ini memiliki hidrasi yang lebih baik dibanding mereka yang ada untuk persalinan caesar elektif. Namun cairan mungkin bukanlah penjelasan satu-satunya. Para pasien terhidrasi yang sedang bersalin dalam penelitian oleh Clark et al mungkin menerima lebih banyak cairan total dibanding pasien terhidrasi yang tidak sedang bersalin. Walaupun dengan cairan ekstra ini, insidensi hipotensi dalam kedua kelompok adalah sama (lihat gambar 24-7).

Efek protektif persalinan paling nyata berkenaan dengan penempatan uterus ke kiri. Penurunan kepala fetus ke dalam pelvis mengurangi kompresi aorto-kaval. Perkembangan ini dapat memperbaiki efikasi yang menyertai penempatan uterus ke kiri. Sebagai tambahan, penempatan uterus ke kiri memungkinkan darah (300 mL) didorong dari uterus dengan tiap konstraksi untuk mencapai sirkulasi sentral maternal dan membantu mendukung tekanan darah maternal.

KOMPRESI KAKI (leg). Beberapa kelompok telah menginvestigasi efikasi kompresi kaki sebagai jalan untuk mengurangi insidensi hipotensi maternal selama anestesia spinal. Kompresi sistem vena di kaki akan mengalirkan sekitar 500 mL darah kembali ke sirkulasi sentral. “Autotransfusi” ini dapat kemudian membantu mendukung tekanan darah maternal di hadapan vasodilatasi sistemik.

(10)

Satu kelompok menyelidiki sepatu boot yang dapat dikembungkan. Mereka menggembungkan boot jari-hingga-paha hingga 90 mm Hg segera setelah injeksi tetrakain ke dalam ruang subaraknoid. Patut disayangkan, 60% wanita dalam kedua kelompok mengalami hipotensi.

Kelompok lain menggunakan “splint yang dapat dikembungkan” untuk menyediakan kompresi kaki. Walaupun pendekatan ini mengurangi insidensi hipotensi hingga setengah, 48% parturien dalam kelompok penelitian masih mengalami penurunan signifikan dalam tekanan darah.

Baru-baru ini, kelompok peneliti ketiga menggunakan perban Esmarch untuk tujuan ini. Mereka membungkus kaki pasien secara ketat dengan perban segera setelah blokade. Hipotensi terjadi pada 83% kelompok kontrol namun pada hanya 17% wanita dengan perban.

VASOPRESOR. Efedrin adalah vasopresor pilihan dalam obstetrik. Obat ini telah digunakan baik untuk menangani maupun untuk mencegah hipotensi maternal. Beberapa penelitian dilakukan untuk menemukan penempatan waktu dan rute yang optimal untuk pemberian efedrin.

Efedrin profilaktif intramuskular tidak selalu mencegah hipotensi maternal. Moys dan Smith meninjau pengalaman klinis mereka dengan efedrin profilaktik. Para pasien mereka menerima injeksi efedrin intramuskular, 50 mg, sekitar 10 menit sebelum induksi anestesia spinal. Namun, 46% parturien mereka mengalami penurunan tekanan darah lebih dari 20% dari baseline (gambar 24-10). Penelitian ini diselesaikan sebelum keuntungan prehidrasi dan penempatan uterus ke kiri diterima luas. Para peneliti terkini, yang menaruh perhatian pada masalah ini, tetap menemukan bahwa injeksi efedrin profilaktik intramuskular sebanyak 25 mg gagal untuk mencegah hipotensi secara dapat diandalkan.

Pada sisi lain, efedrin prolilaktik intravena memang mencegah hipotensi maternal maupun asidosis neonatal. Datta et al merekomendasikan pemberian 10 hingga 30 mg efedrin intravena “segera setelah penurunan tekanan darah dari tekanan baseline” terjadi. Tehnik ini “secara pasti melenyapkan segala hipotensi.” Para peneliti ini membandingkan terapi efedrin profilaktik ini terhadap pemberian efedrin terapetik hanya setelah tekanan darah turun sebesar lebih dari 30 mm Hg atau hingga kurang dari 100 mm Hg. Para wanita dalam kelompok profilaktik mengalami lebih sedikit nausea dan muntah. Neonatus dalam kelompok profilaktik memiliki skor Apgar dan

(11)

parameter asam-basa yang lebih baik secara signifikan dibanding neonatus dalam kelompok terapetik.

Patut disayangkan bahwa kedua kelompok ini tidak disetarakan secara ketat. Mereka dipelajari dalam urutan, bukan sebagai bagian dari protokol random buta. Perubahan simultan lain dalam praktik klinis mungkin terjadi sehingga menginduksi perbedaan yang diamati. Kelompok profilaktik menyertakan pasien yang tekanan darahnya sedikit turun namun yang tidak akan menjadi hipotensif secara bermakna. Sebaliknya, kelompok terapetik terdiri hanya dari para wanita yang benar-benar mengalami hipotensi.

Sebagai tambahan, para bayi dalam penelitian ini tampak terutama sensitif terhadap hipotensi maternal. Dalam kelompok terapetik, 8.3% neonatus mempunyai skor Apgar 1-menit kurang dari 7. Penelitian lain belum menemukan efek apapun dari hipotensi maternal transien terhadap skor Apgar 1-menit. Walaupun efedrin profilaktik tampak membatasi efek samping maternal, kebutuhan untuk menggunakannya dalam menjamin outcome neonatal yang baik masihlah tidak jelas.

Walaupun sebagian besar anestesiolog memberikan efedrin melalui bolus intravena, sebagian menggunakan infus efedrin. Kang et al mencampurkan 50 mg efedrin dengan 500 mL kristaloid. Mereka menginfusikan solusi ini pada 50 mL/menit selama 2 menit pertama setelah induksi blokade spinal. Setelah itu, mereka menyesuaikan kecepatan infus sebagaimana dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah maternal di atas 100 mm Hg. Ketika tekanan darah stabil, mereka menghentikan infus. Mereka membandingkan kelompok infus ini terhadap kelompok kontrol para wanita yang menerima bolus 20 mg efedrin jika tekanan darah mereka turun di bawah 80% dari baseline. Hipotensi maternal, nausea, dan muntah lebih jarang terjadi dalam kelompok infus. Neonatus dalam kedua kelompok memiliki skor Apgar dan nilai asam-basa yang baik.

Efedrin, walaupun efektif dan tampak aman, melewati plasenta. Ia menyebabkan takikardia fetal. Ia meningkatkan konsentrasi katekolamin fetus, dan, pada neonatus, ia secara transien meningkatkan aktivitas gelombang delta ECG.

(12)

Uterus dan aliran darah plasental

Karena potensi untuk hipotensi maternal yang signifikan, kita harus peduli akan efek anestesia spinal pada aliran darah uterus dan plasenta. Walaupun parameter-parameter ini tidak dapat diukur secara langsung pada manusia, mereka dapat dievaluasi secara tidak langsung menggunakan tracer radioaktif atau ultrasonik.

Para peneliti di Swedia telah menyelidiki aliran darah intervillous (IVBF) selama anestesia spinal menggunakan xenon. Para pasien mereka menerima 1.5 hingga 2.0 L kristaloid sebelum anestesia spinal. Para peneliti menatalaksana hipotensi “insipien” dengan infus efedrin. Hanya pada satu dari sembilan pasien mereka, tekanan darah turun lebih dari 30 mm Hg. IVBF tidak berubah secara signifikan pada tujuh parturien mereka (gambar 24-11). Pada satu pasien dengan preeklamsia, IVBF meningkat sebesar 193%. Pada wanita lain, yang menderita diabetes, IVBF turun sebesar 72%. Para peneliti menemukan tidak adanya korelasi antara perubahan IVBF dan perubahan tekanan darah maternal. Mereka mengajukan bahwa, peningkatan volume darah maternal mengkompensasi perubahan-perubahan kecil dalam tekanan darah. Tanpa tambahan volume ini, blokade spinal dapat menginduksi hipovolemia maternal relatif dan mengurangi IVBF.

Aliran darah fetal

Respon hemodinamik maternal terhadap anestetik subaraknoid juga dapat mempengaruhi aliran darah fetal secara tidak langsung. Dengan menggunakan pengukuran USG dan Doppler terpulsasi, Lindblad et al mengukur diameter pembuluh dan kecepatan aliran darah dalam aorta descendent fetus dan arteri dan vena umbilikus. Mereka membuat pengukuran ini sebelum dan 15 dan 30 menit setelah induksi anestesia spinal pada 15 parturien aterm. Semua wanita menerima 2.0 L kristaloid sebelum blokade. Sebagai tambahan, suatu infus efedrin mempertahankan tekanan darah. Anestesia spinal maternal tidak menghasilkan perubahan aliran darah aortik fetal ataupun umbilikus. Rising slope (kurva naik), suatu ukuran kontraktilitas miokardium, juga tidak berubah. Pada menit ke 30, suatu penurunan moderat pada indeks pulsatilitas umbilikus terjadi. Indeks pulsatilitas mencerminkan resistensi perifer, dan mungkin, resistensi plasental. Hasil ini menunjukkan bahwa sedikit vasodilatasi plasental terjadi setelah anestesia spinal maternal. Karena perubahan ini terjadi secara lambat (30 menit setelah induksi), para peneliti ini berpostulasi bahwa ini mencerminkan suatu efek dari efedrin. Penelitian lain

(13)

yang berkutat mengenai bentuk gelombang kecepatan aliran arteri umbilikus melaporkan tidak adanya perubahan signifikan 15 menit setelah blokade spinal.

Kesimpulan

Anestesia spinal dapat menghadirkan ancaman signifikan terhadap kesejahteraan ibu dan fetus. Blokade sensorik tingkat tinggi, sakit kepala, dan hipotensi adalah risiko yang signifikan, namun ancaman-ancaman ini dapat dihindari. Bab-bab mengenai komplikasi intraoperatif dan postoperatif mendiskusikan blok tinggi dan sakit kepala post pungsi dural. Hidrasi yang berlimpah, perhatian yang cermat dalam penempatan uterus ke kiri, dan penggunaan efedrin yang tepat dapat membatasi insidensi dan reperkusi hipotensi. Dengan memahami konsekuensi hemodinamik potensial blokade subaraknoid pada parturien dan dengan perhatian yang cermat terhadap tindakan preventif dan terapetik, anestesiolog obstetrik dapat secara aman menggunakan tehnik yang dapat diandalkan ini.

BEBERAPA MASALAH TEHNIS

Bagian ini membahas secara detail bagaimana untuk melakukan anestesia spinal untuk sectio caesarea. Ini berpusat terutama pada empat masalah. Pertama, kita mempertimbangkan pilihan larutan kritaloid untuk prehidrasi. Kedua, kita memeriksa seberapa tinggi tingkat blokade sensorik yang diperlukan. Masalah ini berkaitan dengan baik kenyamanan pasien maupun respon hemodinamik. Ketiga, suatu diskusi mengenai obat-obatan digelar. Pertanyaan yang dijawab dalam bagian ini antara lain adalah:

• Obat yang mana? • Seberapa banyak?

• Obat apa lagi yang mungkin ditambahkan untuk memperbaiki kualitas blokade sensorik?

Keempat, kita secara singkat membahas posisi apa yang harus dilakukan pasien selama induksi blokade.

(14)

Persiapan pasien Akses vena

Pasien yang dipresentasikan untuk sectio caesarea harus mempunyai kateter intravena besar yang berfungsi baik di tempatnya. Walaupun kateter gauge 18 mungkin adekuat, saya lebih suka menginsersikan kateter 16 gauge. Ingatlah, sectio caesarea adalah operasi intra abdominal mayor dengan potensi kehilangan darah cepat dan signifikan. Bahkan wanita yang menjalani persalinan caesar elektif rutin, rata-rata, kehilangan 1000 mL darah. Suatu kateter intravena yang besar adalah esensial untuk memungkinkan respon cepat terhadap situasi klinis yang berubah.

Profilaksis aspirasi

Para wanita ini harus menerima semacam profilaksis aspirasi-asam. Saya memberikan 30 mL natrium sitrat per oral saat dalam perjalanan menuju kamar operasi.

Prehidrasi

Prehidrasi adekuat memainkan peran penting dalam meminimalisir konsekuensi hemodinamik blokade spinal. Semua wanita yang tidak sedang bersalin harus menerima 1.5 hingga 2.0 L kristaloid dalam 15 menit induksi blokade. Suatu kantung bertekanan atau alat infus dapat membantu mengantarkan cairan ini secepat-cepatnya. Pilihan kritaloid yang diberikan dapat memiliki efek signifikan pada outcome neonatal.

Pemberian infus maternal akut sesedikit 10 g glukosa menyebabkan hiperglikemi maternal, dan, sebagai konsekuensinya, hiperglikemi fetal. Fetus mensekresikan insulin sebagai respon terhadap hiperglikemia ini. Setelah kelahiran, dengan insulin namun tanpa glukosa, hipoglikemia fetal dapat terjadi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa hipoglikemia maternal dapat terjadi jika parturien yang berpuasa tidak menerima glukosa. Di Jefferson, konsentrasi glukosa puasa maternal berkisar dari 60 hingga 100 mg/dL (mean ± SD: 80.5 ± 13.1). Saya jarang memberikan glukosa untuk parturien sehat selama sectio caesarea.

Bahkan tanpa gula, pilihan larutan kristaloid masih dapat mempengaruhi outcome neonatal. Natrium klorida, walaupun bebas glukosa, mengandung sejumlah besar ion klorida tanpa buffer. Infusi akut sejumlah besar natrium klorida 0.9% secara akut menginduksi asidosis metabolik hiperkloremik maternal dan meningkatkan risiko asiodis neonatal. Larutan kristaloid lain yang tersedia mengandung laktat dan asetat sebagai buffer. Kenepp telah menyuarakan perhatian

(15)

bahwa campuran-campuran ini dapat mengganggu metabolisme karbohidrat maternal dan fetal, namun suatu perbandingan klinis Plasmalyte dan natrium klorida 0.9% sebagai terapi cairan sebelum dan selama sectio caesarea mengungkapkan tidak adanya perbedaan dalam konsnetrasi glukosa maternal maupun fetal.

Seberapa tinggi tingkat blokade?

Suatu tingkat blokade sensorik di atas T10 akan memblok sensasi somatik sectio caesarea. Pelenyapan nyeri visceral yang diakibatkan stimulasi peritoneal dan manipulasi uterus membutuhkan blokade yang lebih ekstensif. Dalam beberapa laporan, lebih dari 70% wanita yang menjalani sectio caesarea dengan anestesia spinal melaporkan sedikit sensasi nyeri. Pasien sering akan mentolerir presedur dengan tingkat blokade sensorik T6-T8, namun mereka akan lebih mungkin untuk memerlukan analgesik sistemik suplemental dibanding para pasien yang mengalami blok sensorik yang lebih tinggi. Walaupun sebagian besar ahli merekomendasikan sekurang-kurangnya tingkat blokade sensorik T4 untuk sectio caesarea, bahkan dengan tingkat blokade ini, lebih dari 50% pasien dapat merasakan nyeri. Blokade sensorik dengan tingkat lebih tinggi (T1) tidak meningkatkan risiko hipotensi (para wanita ini telah mengalami blokade simpatis komlit dengan blokade tingkat T4) namun meningkatkan kenyamanan pasien. Saya berjuang untuk tingkat blokade sensorik antara T4 dan T1. Saya lebih menyukai blokade yang menyebar sedikit lebih tinggi dibandingkan blokade yang tidak cukup tinggi. Terkadang, tingkat blokade sensorik merayap hingga dermatom servikal. Kemudian saya menempatkan bantal tambahan di bawah kepala sang wanita dalam upaya untuk membatasi persebaran lebih lanjut ke arah kepala. Saya juga menyelidiki fungsi motorik dengan memeriksa kekuatan genggaman dan fungsi respirasi dengan meminta pasien untuk berbicara dan bernapas dalam-dalam. Jika blokade menyebar terlalu tinggi sehingga pasien tidak dapat berbicara atau mempertahankan saturasi oksigennya di atas 95%, saya memberikan tekanan krikoid dan mengamankan jalan napas untuk melindungi terhadap aspirasi. Untung saja komplikasi ini jarang terjadi (<1/100 anestesia spinal).

(16)

Obat-obatan Obat yang mana?

Tetrakain telah lama menjadi obat yang paling umum digunakan untuk anestesia spinal untuk sectio caesarea. Agen ini sering gagal dalam menyediakan blokade sensorik maternal yang baik. Dalam satu laporan, 228 pasien menerima anestesia spinal tetrakain untuk sectio caesarea elektif dan darurat. Kurang dari 40% dari para wanita ini yang merasa nyaman dengan anestetik spinal saja. Pada 4% pasien, blokade gagal sepenuhnya. Suatu tambahan 6% pasien memerlukan anestesia umum karena blokade yang tidak adekuat, dan 65% memerlukan suplementasi analgesik.

Baru-baru ini, bupivakain telah mendapat popularitas dalam anestesia obstetrik, namun suatu penelitian awal mengenai bupivakain 0.5% hiperbarik tidak melaporkan hasil yang menjanjikan. 22 parturien aterm menerima 7.5 hingga 10 mg obat ini. Dua pasien tidak pernah mendapatkan tingkat blokade yang adekuat. 18 memerlukan kemiringan kepala 20 derajat ke bawah untuk menaikkan tingkat blokade di atas T8. Semua kecuali satu wanita memerlukan meperidin intravena suplemental karena nyeri intraoperatif. Pada sisi lain, bupivakain 0.75% hiperbarik bekerja jauh lebih baik. Dalam dosis sebesar 12 hingga 15 mg, sebagian besar pasien mengalami blokade sensorik yang baik hingga sekurang-kurangnya dermatom T6. Perubahan sensorik terjadi dalam 4 hingga 6 menit dan berpuncak pada 15 dan 20 menit. Obat ini menyediakan kenyamanan maternal yang baik selama 60 hingga 120 menit pembedahan intra abdominal.

Bupivakain hiperbarik menawarkan dua keunggulan signifikan dibanding tetrakain. Dalam dosis yang lazim dipakai, ia menyediakan analgesia intraoperatif yang lebih baik. Selain itu, blokade motorik beregresi jauh lebih cepat dibanding tetrakain (tabel 24-7). Moore pertama kali mengalami perbedaan ini ketika ia membandingkan larutan hiperbarik tetrakain dan bupivakain pada wanita tidak hamil. Pasien yang menjalani histerektomi vaginal dengan anestesia tetrakain mengalami lebih banyak nyeri intraoperatif dibanding mereka yang menerima bupivakain. Pada dosis yang sama, tetrakain menghasilkan blokade motorik yang lebih dalam dan lama.

Penelitian lain, juga dilakukan pada wanita tidak hamil, lagi-lagi melaporkan analgesia yang lebih baik dengan bupivakain. Concepcion et al membandingkan dosis tetrakain dan bupivakain yang setara pada 40 pasien yang menjalani operasi lutut dengan torniket. Tetrakain menghasilkan blokade motorik dan sensorik yang lebih lama, namun 60% pasien dalam kelompok tetrakain mengeluhkan nyeri torniket dibanding dengan hanya 25% dalam kelompok bupivakain yang

(17)

mengeluhkan nyeri yang sama. Para peneliti ini berpostulasi bahwa impuls frekuensi tinggi yang dibawa oleh serabut C konduksi lambat tidak bermielin menyebabkan nyeri torniket (dan visceral). Serabut-serabut ini dapat pulih lebih cepat dari blokade tetrakain dibanding bupivakain. Memang, in vitro, bupivakain menghambat pemulihan impuls frekuensi tinggi untuk waktu yang lebih lama dibanding tetrakain.

Lidokain juga dapat menghasilkan kondisi operasi yang baik untuk sectio caesarea. Keterbatasan utama obat ini adalah durasi kerjanya yang singkat. Blokade sensorik mulai beregresi dalam 60 menit injeksi. Saya menggunakan obat ini hanya dengan ahli bedah yang secara rutin menyelesaikan operasi mereka dalam 30 menit. Karena durasi kerjanya yang singkat, hanya sedikit institusi akademik yang dapat mempelajari lidokain untuk sectio caesarea. Literatur ini mengandung satu penelitin klinis yang melibatkan 30 parturien yang menerima 65 hingga 75 lidokain 5% dalam dekstrosa 7.5% untuk sectio caesarea. Suatu blokade sensorik tingkat T10 terjadi 3 hingga 6 menit setelah injeksi. Penyebaran maksimum terjadi dalam 11 hingga 15 menit. Rasa kebal turun ke T10 dalam 1 jam. Para peneliti ini mengeluhkan penyebaran lidokain yang tidak dapat diprediksi. Empat dari pasien mereka mengalami blokade sensorik tingkat servikal tinggi.

Seberapa banyak obat?

Dalam masa lampau, “akal sehat” dan “pengalaman klinis” mengarahkan banyak anestesiolog bahwa suatu dosis anestetik lokal akan menghasilkan blokade sensorik yang lebih tinggi pada pasien yang lebih pendek dibanding pada pasien yang lebih tinggi. Cara pikir ini beralasan bahwa suatu bolus anestetik loka hiperbarik mengalir dalam jarak tertentu dari tempat injeksi subaraknoid. Jika dua pasien menerima dosis anestetik lokal yang sama, dan, pada keduanya, obat bergerak dalam jarak yang sama di sepanjang kanalis spinalis, maka pasien yang lebih pendek seharusnya terkena blokade sensorik dengan tingkat dermatom yang lebih tinggi. Maka banyak peneliti merekomendasikan untuk memberikan variasi dalam dosis anestetik lokal menurut tinggi pasien. Namun beberapa penelitian terkini pada parturien telah menunjukkan tidak adanya korelasi antara tinggi pasien dan penyebaran blokade sensorik (gambar 24-13).

Jika jarak aliran anestetik lokal merupakan variabel yang penting, maka panjang kolumna vertebralis dan bukan tinggi yang seharusnya dapat memprediksikan penyebaran blokade sensorik dermatomal akhir. Dua penelitian pada parturien aterm telah membandingkan

(18)

penyebaran anestesia spinal terhadap panjang kolumna vertebralis. Satu penelitian yang melibatkan 52 parturien aterm yang menerima 15 mg bupivakain hiperbarik menemukan tidak adanya korelasi antara hilangnya sensasi terhadap tusukan jarum dan panjang kolumna vertebralis (gambar 24-14). Penelitian lain menemukan korelasi lemah antara “anestesia sensorik terhadap tusukan jarum” dan panjang kolumna vertebralis (gambar 24-15). Bahkan dalam penelitian kedua ini, perbedaan panjang tulang belakang pasien hanya memprediksikan 14% dari variasi penyebaran blok sensorik. Maka panjang kolumna vertebralis hanya berperan dalam sebagian kecil, jika ada, variasi penyebaran blokade sensorik. sehingga, penyesuaian dosis anestetik lokal tidak perlu dilakukan sebagai respon terhadap variabel ini.

Keterbatasan yang penting dalam penelitian-penelitian ini adalah kisaran tinggi pasien dan panjang kolumna vertebralis pasien yang relatif sempit. Pasien yang lebih pendek dari 147 cm atau lebih tinggi dari 174 cm dapat mengalami blok yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Saya pernah memberikan 15 mg bupivakain hiperbarik pada wanita sependek 145 cm tanpa komplikasi.

Suatu penjelasan mengenai fenomena ini mungkin terletak pada sifat fisika anestetik lokal yang diinjeksikan dan bentuk anatomis kolumna spinalis. Dengan menggunakan tabung kaca dan pewarna metil violet, Barker mendemostrasikan bahwa larutan anestetik lokal hiperbarik akan berkumpul dalam bagian-bagian tergantung kolumna spinalis. Kitahara et al mengukur penyebaran radioaktivitas setelah menginjeksikan anestetik lokal plus iodin. Radioaktivitas adalah paling tinggi pada bagian-bagian tergantung kolumna spinalis dan berkorelasi dengan penyebaran blokade sensorik (gambar 24-16). Ketika pasien berbaring terlentang, tulang belakang torakolumbal miring 8 hingga 12° pada arah kepala. Larutan hiperbarik berkumpul dalam bagian paling rendah kurvatura thorak (T5-T6). Mereka menghasilkan blokade sensorik pada dermatom thorak atas tanpa terpengaruh jarak antara tempat injeksi dan dasar kurva thorak.

Dalam kisaran dosis obat hiperbarik yang lazim digunakan dalam situasi klinis (7.5-12 mg bupivakain hiperbarik atau 7-15 mg tetrakain hiperbarik), tingkat blokade sensorik yang sama terjadi tanpa terpengaruh variasi dosis obat yang diinjeksikan (gambar 24-17A). Tekanan, bukan jumlah obat yang diinjeksikan, terutama menentukan persebaran anestetik lokal subaraknoid. Ketika dosis anestetik lokal meningkat lebih jauh (15 mg bupivakain atau 18 mg tetrakain), anestetik melebihi kapasitas kurvatura thorak atas, dan penyebaran dermatomal yang lebih lanjut dapat terjadi (gambar 24-17B dan 24-18; tabel 24-8).

(19)

Walaupun dosis anestetik lokal yang cukup besar memang mengubah penyebaran blokade, volume di mana obat dilarutkan tampak tidak memiliki efek. Van Zundert et al menginjeksikan 10 mL bupivakain 0.125% dengan epinefrin 1:800,000 (12.5 mg bupivakain). Seperti yang terjadi ketika bupivakain 0.5% diinjeksikan dalam volume biasa sebesar 2.5 mL (12.5 mg), suatu blokade sensorik tingkat T2 terjadi. Pada parturien aterm, Russell menginjeksikan 15 mg bupivakain yang dicampurkan dalam larutan yang lebih banyak (tabel 24-9). Semua larutan obat bekerja seperti obat hiperbarik. Selama injeksi obat, sebagian besar wanita mengalami blokade sensorik unilateral pada sisi tidak tergantung. Ketika mereka ditempatkan terlentang, distribusi blokade menjadi sama untuk kedua sisi. Volume obat yang diinjeksikan tidak mengubah tingkat blokade sensorik akhir yang diperoleh (pertengahan T2).

Menambah kualitas blok

Banyak peneliti, yang tidak puas dengan derajat kenyamanan pasien yang mereka peroleh dengan tehnik lazim mereka, telah mencoba berbagai cara untuk menambah kualitas anestesia selama sectio caesarea. Tetrakain dan dekstrosa saja seringkali terbukti tidak adekuat untuk sectio caesarea. Mencampurkan tetrakain dengan prokain 10% dengan volume yang sama dan bukan dekstrosa menaikkan tingkat blokade sensorik dan menambah kualitas analgesia (tabel 24-10). Para peneliti dalam penelitian ini mengajukan bahwa prokain menghasilkan blokade sensorik yang lebih baik dibanding tetrakain, yang menambah kenyamanan pasien. Namun, kelompok tetrakain-prokain mendapat lebih banyak anestetik lokal dibanding kelompok tetrakain-dekstrosa. Akankah injeksi tetrakain yang lebih banyak, dibanding menambahkan anestetik lokal kedua, memiliki efek yang sama? Pan et al menjawab pertanyaan ini dengan menginjeksikan 9, 12, 15, atau 18 mg tetrakain hiperbarik dalam suatu serial parturien. Mereka mendapati peningkatan kenyamanan pasien seiring dengan dosis tetrakain yang lebih besar (tabel 24-8).

Peneliti lain telah mencari jalan untuk menambah kenyamanan pasien ketika menggunakan bupivakain hiperbarik. Abouleish et al melaporkan bahwa bupivakain hiperbarik saja sering gagal menghilangkan sensasi nyeri visceral. Penambahan epinefrin atau morfin menambah kualitas analgesia intraoperatif bupivakain. Penambahan 0.2 mg epinefrin ke dalam 9.3 ± 0.1 mg bupivakain hiperbarik tidak mempengaruhi tingkat blokade sensorik. Penambahan ini menyebabkan blokade motorik yang sedikit lebih dalam dan waktu regresi dua-segmen yang

(20)

sedikit lebih lama. Epinefrin yang ditambahkan juga menyediakan analgesia intraoperatif yang lebih baik (gambar 24-19). Epinefrin mungkin menambah kualitas blok sensorik, bukan dengan menginhibisi absorpsi anestetik lokal dari ruang subaraknoid, namun dengan menambah potensi efek anestetik lokal melalui kerja termediasi-alfa-adrenergik di korda spinalis. Sama dengan ini, Abouleish et al melaporkan bahwa morfin intratekal, 0.2 mg, tidak hanya menyediakan penghilangan nyeri post operatif yang baik namun juga menyediakan analgesia intraoperatif (lihat gambar 24-19).

Kelompok peneliti lain menunjukkan bahwa penambahan fentanil ke dalam bupivakain hiperbarik juga membuat pasien merasa lebih nyaman. Hunt et al menginjeksikan sekurang-kurangnya 7.5 mg bupivakain hiperbarik ke dalam ruang subaraknoid 56 parturien aterm. Sebagai tambahan, para wanita ini menerima fentanil intratekal sebesar 0, 2.5, 5.0, 6.25, 12.5, 25, 37.5, atau 50 µg. 67% dari wanita dalam kelompok kontrol, 50% dalam kelompok 2.5 µg, dan 25% dalam kelompok 5.0 µg memerlukan opioid intravena suplemental selama pembedahan. Tidak ada pasien yang menerima sekurang-kurangnya 6.25 µg fentanil intratekal yang memerlukan analgesik suplemental. Para wanita yang menerima sekurang-kurangnya 25 µg fentanil mengeluhkan rasa gatal. Jumlah pasien yang kecil dalam tiap kelompok (n = 5-9) membatasi interpretasi data ini.

Sebagaimana dengan tetrakain, injeksi dosis bupivakain yang lebih besar dapat menambah kualitas blokade. Pederson et al menyelidiki insidensi nyeri visceral selama sectio caesarea dalam dua kelompok parturien. Satu kelompok yang terdiri dari 17 wanita menerima 7.5 hingga 10 mg bupivakain hiperbarik. Kelompok lain yang terdiri dari 19 wanita menerima 10 hingga 12.5 mg obat yang sama. (Para peneliti ini memvariasikan dosis bupivakain berdasarkan tinggi pasien.) Dua wanita dalam kelompok dosis rendah memerlukan anestetik umum karena blokade sensorik yang tidak adekuat. Selain itu, kedua kelompok menampilkan perubahan sensorik dan hemodinamik yang serupa. Walaupun kelompok dosis tinggi menerima bupivakain 25% lebih banyak, kedua kelompok mengalami blok sensorik dengan tingkat yang sama. 12 dari 17 wanita dalam kelompok dosis rendah mengalami nyeri moderat hingga berat setelah persalinan. Sebaliknya, hanya 6 dari 19 subjek dalam kelompok dosis tinggi yang menderita nyeri. Semua kecuali satu pasien mendapat blok sensorik di atas tingkat T4 pada saat mereka merasakan nyeri. Temuan ini menunjukkan bahwa dosis obat yang lebih besar, menghasilkan blokade sensorik

(21)

yang lebih dalam namun tidak lebih tinggi. Dalam kisaran dosis ini, tekanan, bukan dosis obat yang diinjeksikan, yang menentukan penyebaran akhir blokade (lihat gambar 24-17A).

Peningkatan dosis bupivakain lebih lanjut terus menambah kenyamanan pasien, namun jika jumlah obat yang diinjeksikan melebihi kapasitas kurvatura thorak atas, blokade sensorik tingkat lebih tinggi dapat terjadi (gambar 24-17 B dan 24-20). De Simone et al memberikan anestesia spinal pada 28 parturien aterm. Mereka menginjeksikan 12 mg bupivakain hiperbarik pada 16 pasien, dan 15 mg pada 12 pasien. Blok sensorik terjadi pada lebih banyak dermatom dan bertahan lebih lama setelah 15 mg bupivakain diberikan. 13 dari 16 pasien dalam kelompok 12 mg melaporkan hilangnya nyeri intraoperatif baik-hingga-sangat baik. Semua wanita dalam kelompok 15 mg melaporkan blok yang baik atau sangat baik.

Walaupun bupivakain hiperbarik 15 mg menghasilkan tingkat blok yang sedikit lebih tinggi, ia menawarkan beberapa keunggulan. Durasi blokade sensorik yang lebih lama menyediakan kondisi operasi yang baik selama hingga 2 jam. Dengan 12 mg bupivakain, pasien mulai merasa tidak nyaman antara 60 hingga 90 menit setelah induksi. Sebagai tambahan, analgesia intraoperatif yang dihasilkan oleh 15 mg bupivakain menghilangkan keperluan penambahan obat adjuvan. Di Universita Thomas Jefferson, kami secara rutin menggunakan bupivakain hiperbarik, 15 mg, untuk anestesia sectio caesarea. Sebagai tambahan, banyak wanita menerima 0.15 mg morfin intratekal untuk analgesia postoperatif. Morfin diberikan menurut petunjuk residen atau staf anestesiolog yang memberikan anestetik. Suatu tinjauan retrospektif terkini dari 103 rekaman anestetik yang dipilih secara random mengungkapkan tidak adanya perbedaan dalam kebutuhan medikasi suplemental intraoperatif antara wanita yang menerima atau tidak menerima morfin intratekal (gambar 24-21).

Kesimpulan

Yang manapun dari ketiga anestetik lokal yang disebutkan dapat, dalam dosis yang cukup tinggi, menyediakan kenyamanan maternal yang baik selama persalinan caesar. Karena ia menyediakan blokade sensorik yang lebih baik pada dosis yang lazim digunakan dan menghasilkan durasi blok motorik yang lebih singkat, saya lebih menyukai bupivakain hiperbarik untuk sebagian besar sectio caesarea. Saya secara rutin menggunakan 15 mg bupivakain 0.75% dengan dekstrosa 8.25%. Mereka yang ingin menggunakan dosis anestetik lokal yang lebih kecil harus mempertimbangkan penambahan opioid atau epinefrin untuk

(22)

menambah kualitas blok. Lidokain dapat menjadi alternatif yang efektif jika anda bekerja dengan ahli bedah yang selalu cepat.

Posisi maternal

Baik posisi duduk ataupun lateral dekubitus tidak menawarkan keunggulan yang jelas selama induksi anestesia spinal. Ketika menginduksi blokade dalam posisi dekubitus lateral, sisi manapun yang digunakan pasien untuk berbaring memiliki pengaruh. Jika pasien mengambil posisi lateral kiri untuk induksi dan kemudian berbaring terlentang dengan miring ke kiri untuk penempatan uterus, blokade pada sisi kanan dapat tidak menyebar cukup tinggi untuk pembedahan. Sebaliknya, induksi anestesia dengan pasien pada posisi lateral kanan dan kemudian menempatkannya terlentang dengan miring ke kiri untuk penempatan uterus membantu menjamin blokade bilateral yang baik.

Fenomena yang sama terjadi ketika menggunakan bupivakain isobarik. Namun di sini, derajat blokade yang lebih besar terjadi pada sisi tidak tergantung (bupivakain 0.5% adalah sedikit hipobarik). Jika masalah ini timbul, menggulingkan pasien dari sisi ke sisi sering dilaporkan menyamakan penyebaran analgesia.

OUTCOME NEONATAL

Bagi bayi, anestesia spinal adalah lebih baik dibanding anestesia umum dan epidural. Bayi yang dilahirkan di bawah anestesia umum sering memiliki skor Apgar yang lebih rendah dibanding bayi yang dilahirkan dengan anestesia regional. Mereka juga memiliki nilai yang lebih rendah pada pemeriksaan neurobehavioral. Hodgkinson et al memeriksa perilaku neurologis neonatus selama 2 hari pertama kehidupan. Bayi yang dipelajari dilahirkan melalui sectio caesarea menggunakan anestesia umum atau spinal. Bayi dalam kelompok spinal memiliki nilai yang jauh lebih baik pada semua tes dibanding bayi dalam kelompok anestesia umum. Abboud et al juga menyelidiki masalah ini. Mereka mencari nilai kapasitas neurologis dan adaptif (Newborn Neurologic and Adaptive Capacity Score) pada bayi-bayi yang dilahirkan melalui sectio caesarea di bawah anestesia umum, epidural, atau spinal. Sebagaimana dalam penelitian oleh Hodgkinson et al, para bayi dalam kelompok anestesia umum memiliki nilai keseluruhan yang lebih rendah dibanding bayi dalam kelompok regional. Namun, bahkan anestesia epidural menekan beberapa nilai pada pengukurang 2-jam dibanding anestesia spinal. Semua bayi

(23)

memiliki nilai yang sama baik pada 24 jam kehidupan. Para peneliti ini berpostulasi bahwa dosis anestetik lokal yang besar yang diperlukan untuk blokade epidural menyebabkan perbedaan ini.

Hipotensi maternal, di samping memberikan risiko terjadinya asidosis umbilikal, dapat menekan nilai neurobehavioral. Bayi yang ibunya mengalami hipotensi 4 hingga 8 menit selama induksi anestesia epidural untuk sectio caesarea memiliki hasil tes neurobehavioral abnormal selama 2 hingga 7 hari. Namun dengan hidrasi maternal yang baik dan pengawasan tekanan darah yang cermat, episode hipotensi maternal singkat tidak memiliki efek buruk pada nilai neurobehavioral.

KESIMPULAN

Bab ini telah meninjau anestesia spinal untuk sectioa caesarea. Saya berharap para pembaca sekarang memahami masalah praktis dan teoretis yang mengelilingi penggunaannya secara aman (gambar 24-22) dan alasan dibalik penggunaannya. Dengan perhatian yang tepat pada hidrasi maternal dan pada pemilihan dan penentuan dosis obat, blokade spinal memberikan anestesia yang dalam, dapat diandalkan, dan aman bagi ibu dan fetus.

Referensi

Dokumen terkait

• Persiapan: Seluruh petugas pemulasaran jenazah harus menjalankan kewaspadaan standar ketika menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular dengan

Selanjutnya peneliti merancang RPP yang mengacu pada format dari Permendikbud 103 dimana di dalam RPP tersebut digunakan model Discovery Learning yang terdiri dari (

membujur pegunungan Meratus Utara dari barat ke timur yang juga menjadi.. batas wilayah Provinsi

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan

Hubungan kerja sama yang baik antar karyawan dalam suatu departemen di suatu hotel sangat diperlukkan karna agar tidak terjadi kesalahpahaman yang.. dapat menggangu

Laba yang diperoleh koperasi sering disebut sisa hasil usha (SHU), laba tersebut akan dikembalikan ayau dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa-jasanya. Akan

Sangkan museur kana masalah anu baris ditalungtik, ieu tésis téh diwatesanan kana perkara kasenian anu hirup di masarakat, bahasan utama dina ieu panalungtikan nyaéta

Dari empat subkelompok dalam kelompok ini, hanya satu subkelompok yang mengalami perubahan angka indeks, sementara tiga subkelompok lainnya tetap.. Perubahan indeks masing-