1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.
Penjelasan dan Pengertian Judul
1.1.1 Pengertian ekosistem Mangrove
Beberapa ahli mendefinisikan "mangrove" secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefenisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu menurut Mastaller (1977) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Sementara Soerianegara (1987) mendefenisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri dari jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora, dan Nypa.
Secara umum, mangrove adalah istilah untuk segala jenis tanaman tropis yang mampu hidup di kondisi kandungan garam yang tinggi atau bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Jadi mangrove bukanlah nama sebuah tanaman melainkan penggolongan tanaman. Dalam sebuah ekosistem mangrove terdapat berbagai jenis tanaman dan hewan yang termasuk dalam ekosistem mangrove.
1.1.2 Pengertian Eco Park
Eco Park terdiri dari dua suku kata yaitu Eco dan Park. Eco atau ecology menurut oxforddictionaries adalah The branch of biology that deals with the relations of organisms to one another and to their physical surroundings. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, bagian dari ilmu biologi yang membahas hubungan antara organisme satu dengan organisme lainnya serta dengan lingkungan sekitarnya.
Park memiliki arti taman. Menurut kbbi, taman adalah tempat (yang menyenangkan dan sebagainya). Taman juga bisa diartikan sebagai suatu tempat berkumpul atau beraktivitas yang identik di lakukan di luar ruangan.
2 Sehingga Eco Park diartikan sebagai tempat bermain, beraktivitas, dan berkumpul yang memberikan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan organisme lain di habitat aslinya.
1.1.3 Pengertian Amphibious Architecture
Menurut Oxford Dictionary, amphibious is relating to, living in, or suited for both land and water, yaitu sesuatu yang terkait, berada, ataupun sesuai berada di daratan ataupun lautan. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, amphibious adalah amfibi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) amfibi diartikan sebagai benda yang dapat berfungsi di air dan di darat.
Architecture atau arsitektur adalah lingkungan binaan, lingkungan dengan cakupan tertentu yang sengaja ditata/ disusun/ dirancang untuk mencapai kondisi tertentu yang diharapkan. Ruang adalah aspek penting dalam arsitektur yang dijadikan sebagai objek desain. Sedangkan manusia sebagai subjek dari desain itu sendiri.
Jadi, Amphibious Architecture adalah sebuah adaptasi arsitektur yang mampu sesuai berada di kondisi daratan maupun lautan. Kondisi yang dimaksud lautan adalah kondisi dimana daratan tiba-tiba tergenang oleh air. Pada dasarnya, bangunan tetap dibangun diatas daratan yang kering. Ketika datang banjir yang secara tiba-tiba merendam daratan, bangunan tersebut mengapung, seolah-olah dibangun di atas air.
3
1. 2.
Latar Belakang
1.2.1. Kondisi Hutan Mangrove di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis khatulistiwa terpanjang di dunia. Kenampakan alam yang demikian menjadikan indonesia negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) dengan panjang 99.093 kilometer. Garis pantai tersebut memiliki topografi yang berbeda-beda. Ada yang berupa pantai berpasir, ada yang berupa dataran berlumpur. Daerah pesisir merupakan kondisi yang ideal bagi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, potensi ekosistem mangrove di Indonesia pun tinggi. Ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh Indonesia, karena negara Indonesia adalah negara kepulauan. Papua memiliki luas ekosistem mangrove terbesar dengan luas 1.158.268 ha (Bakosurtanal, 2009).
Tabel 1. 1 Pesebaran ekosistem mangrove di Indonesia
Sumber : https://firmans08.wordpress.com/category/eksplorasi/konservasi/ diakses pada 14 November 2015, pukul 13.08 WIB.
Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sebesar 5.209.543,16 ha pada tahun 1982 dan kemudian mengalami penurunan menjadi sekitar 2.496.185 ha pada tahun 1993, (Dahuri, 1996). Jumlah tersebut bergerak naik dan turun setiap tahunnya. Sekitar 3 juta hektar ekosistem mangrove tumbuh di sepanjang 95.000 kilometer garis pantai Indonesia
4 pada tahun 2011. Jumlah terssebut mewakili 23% dari jumlah keseluruhan ekosistem mangrove di dunia (Giri et al., 2011).
Tabel 1. 2 Penyusutan jumlah lahan mangrove di Indonesia
Sumber : Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dan Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan
Menurut data dari Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dan Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan pada tabel diatas dapat disimpulkan dalam kurun waktu 2007-2009 telah terjadi pengurangan jumlah lahan mangrove sebanyak 4,514,392.14 ha.
Menurut sumber lain1, sejak rentang 1999 hingga 2005, hutan bakau itu sudah berkurang sebanyak 5,58 juta hektare atau sekitar 64 persennya. Saat ini hutan mangrove di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal 3,6 juta hektar, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang. Menurunnya jumlah ekosistem mangrove di Indonesia merupakan yang tercepat di dunia.
1 dipaparkan di dalam diskusi dan workshop Pengembangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang digelar Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Selasa (29/5/2012) lalu di Banyuwangi, Jawa Timur.
5
1.2.2. Kondisi Hutan Mangrove di Bekasi
Bekasi merupakan salah satu daerah di pulau Jawa yang juga memiliki area pesisir pantai di sisi utaranya dengan panjang 72 kilometer. Terdapat tiga kecamatan yang memiliki area pesisir pantai tersebut yaitu Muara Gembong, Tarumajaya, serta Babelan. Kondisi pada awalnya daerah pesisir tersebut banyak terdapat ekosistem mangrove. Abrasi masih belum terjadi saat ekosistem mangrove masih dalam kondisi optimal. Perkampungan nelayan pun mulai tumbuh seiring dengan diketahuinya potensi daerah pesisir utara Bekasi tersebut.
Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan (DPKK) Kabupaten Bekasi memaparkan bahwa luas hutan mangrove di Kecamatan Muaragembong kini mencapai 10.481,15 hektar. Jumlah tersebut menyusut sekitar seribu hektar sejak 1997 lalu. Berdasarkan data yang dikeluaran oleh DISTANHUTBUN Pemkab Bekasi luas wilayah ekosistem mangrove yang tersisa adalah 16 %, artinya 84 % nya telah mengalami kerusakan, dengan angka kerusakan sebesar 7000 Ha hutan mangrove telah rusak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kab. Bekas, hutan mangrove di kabupaten itu tercatat sekitar 15.000 hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 10.000 hektare milik PT Perhutani. Sisanya yang membentang di tiga kecamatan, yakni Muara Gembong, Babelan, dan Tarumajaya adalah milik masyarakat. Namun pada kenyataanya, hampir tidak ada warga yang menyadari bahwa lahan di pesisir utara Bekasi adalah miik PT. Perhutani2. Pembabatan pohon-pohon bakau dilakukan oleh warga untuk membuka tambak-tambak baru.
Mangrove di Kecamatan Muara Gembong, lebih tepatnya di desa Muara Bendera menjadi salah satu habitat satwa endemik Lutung Jawa, Kera ekor panjang, burung hantu, serta burung Pecuk Ular yang telah masuk ke dalam hewan yang dilindungi dan terancam punah. Dari hasil wawancara dengan salah satu penjaga, jumlah lutung jawa saat ini hanya sekitar 20 ekor. Menurut warga sekitar, Lutung Jawa masih mudah ditemukan saat ekosistem mangrove juga masih dalam kondisi yang baik.
Gambar 1. 1. Lutung jawa yang masih tersisa(kiri) dan kera ekor panjang(kanan)
2
6 Sumber : Dokumen pribadi
1.2.3. Pentingnya Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove secara alami tumbuh dan berkembang di area pesisir pantai. Keberadaan ekosistem mangrove merupakan upaya alam untuk menjaga stabilitas area pesisir pantai yang memiliki ciri khasnya sendiri. Area pesisir memiliki topografi lahan yang cenderung basah dan air dengan salinitas yang masih cukup tinggi. Menjadi area yang menghubungkan antara lautan dan daratan. Rusaknya zona peralihan antara laut dan daratan akan berdampak pada keduanya.
Dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya ekosistem mangrove bermacam-macam. Abrasi, intrusi air laut, hilangnya satwa-satwa liar yang tinggal di ekosistem mangrove, memperburuk efek gas rumah kaca, serta dampak lainnya yang secara tidak langsung timbul akibat deforestasi ekosistem mangrove.
Pantai utara atau lebih dikenal dengan sebutan Pantura, menjadi salah satu daerah dengan kerusakan ekosistem mangrove terparah. Sekitar 98% lahan yang seharusnya menjadi ekosistem mangrove kini telah beralih fungsi menjadi tambak- tambak dan rumah warga. Ombak yang cenderung rendah dan potensi air payau yang baik menjadi surganya para peternak komoditi air payau seperti udang dan bandeng.
Abrasi kini menjadi permasalahan utama daerah-daerah di sekitar Pantura. Berbagai kerusakan data kerusakan didapatkan dari Kiara3. Di wilayah Pantai Widuri Pemalang abrasi telah merusak tanggul dan bronjongan4. Di Pantai Singadu Batang, daratan yang terkikis abrasi 25 meter dengan panjang 1 kilometer. Di Roban Barat, Batang, sebanyak 10 keluarga harus direlokasi akibat abrasi. Di Demak, abrasi telah mendekat ke Jalan Raya Sayung Demak mencapai 32 kilometer. Di Kota Semarang, abrasi juga mengikis daratan sejauh 1 km dari tepi pantai.
3 Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003
4 Dari data Kiara tahun 2008 yang di publikasikan oleh
7 Gambar 1. 2. Abrasi pada tambak di seputaran pantai kabupaten Jepara
Sumber : http://famuin.blogspot.co.id/2014/02/pantai-bulak-baru-tergerus-abrasi-jalan.html diakses pada 14 November 2015 pukul 14.27 WIB
Intrusi air laut sudah terjadi di daerah pesisir pantai. Salah satu penyebabnya karena tidak adanya ekosistem mangrove yang menjadi penahan intursi air laut. Intrusi air laut adalah meresapnya air laut ke daratan dan mencemarkan air tanah yang menjadi sumber air bersih. Sebagai contoh, Subang menjadi salah satu daerah yang terkena dampaknya seperti di kutip pada jabartoday.com, 14 November 2013. Intrusi air laut ini tidak hanya terjadi di sepanjang Pantura Subang. Namun, memasuki wilayah tengah Subang, seperti di Kecamatan Binong dan Kecamatan Tambak Dahan. Padahal, jarak dari dua kecamatan tersebut ke Laut Jawa mencapai puluhan kilometer. Penyebab utama intrusi adalah abrasi air laut yang sudah menghancurkan zona mangrove di sepanjang kawasan Pantura Subang mulai dari Ciasem hingga Pusakanagara.
Ekosistem mangrove merupakan penyerap karbon yang sangat baik, bahkan lebih baik diandingkan hutan di daratan pada umumnya. Hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi (Murdiyarso et al., 2015). Deforestasi mangrove di Indonesia mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setara tiap tahun (eqanually). Angka ini menyumbang 20% emisi penggunaan lahan di Indonesia (Murdiyarso et al., 2015) dengan estimasi emisi sebesar 700 juta metrik ton CO2 – eq (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2010).
1.2.4. Kebutuhan akan Pusat Konservasi Mangrove di Pesisir Utara Bekasi.
Abrasi mengancam area pesisir utara Bekasi. Wilayah-wilayah yang sudah tidak memiliki ekosistem mangrove menjadi rawan untuk ditinggali. Salah satu contohnya di Muara Gembong, abrasi telah memperkecil luas daratan dari kecamatan Muara Gembong. Dari hasil pemetaan satelit, luas daratan Muara Gembong berkurang sekitar 346,54–349,56
8 Ha dari tahun 2000 sampai 2012 (Dianlisa Ekaputri, 2013). Sudah ada 3 desa yang tenggelam akibat abrasi di Muara Gembong (savemugo, 2013).
Gambar 1. 3. Abrasi di pantai Muara Bendera, Muara Gembong, Bekasi Sumber : http://www.bekasiurbancity.com/pantai-bahagia-muaragembong-kabupaten-bekasi-terkena-abrasi/ diakses pada 14 November 2015 pukul 14.17 WIB.
Lutung jawa merupakan salah satu satwa endemik yang sudah mulai sulit ditemukan di sepanjang utara Bekasi. Perburuan liar satwa langka menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi satwa-satwa disana. Para pemburu yang datang mayoritas dari luar Muara Bendera. Para pemburu dengan mudahnya memburu karena tidak ada upaya pengawasan serta larangan yang jelas disana. Masyarakat sekitar belum secara aktif menjadi pelindung keberadaan satwa-satwa disana. Alasannya karena mereka belum sadar apa pentingnya keberadaan satwa-satwa tersebut. Terlebih lagi semenjak ada permukiman yang tumbuh di dekat ekosistem mangrove, satwa-satwa tersebut tidak jarang mengganggu warga untuk mencari makan5.
Berbagai kerusakan ekosistem diatas banyak disebabkan karena tidak adanya upaya yang jelas untuk melindungi sabuk mangrove di area pesisir. Masyarakat seolah-olah menganggap bahwa ekosistem mangrove bisa dengan bebas mereka alih fungsikan karena tidak adanya batasan. Bahkan tidak sedikit yang mengklaim kepemilikan dari lahan yang seharusnya menjadi area yang dilindungi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya tambak-tambak milik warga yang berada di tengah-tengah ekosistem mangrove.
5
9 Gambar 1. 4. Tambak-tambak milik warga Muara Bendera
Sumber : Dokumen pribadi
1.2.5. Keberadaan Kampung Nelayan Muara Bendera sebagai Zona Penyangga
Berkurangnya ekosistem mangrove di daerah pesisir tidak lepas dari adanya kehidupan kampung nelayan di sekitarnya. Para nelayan membangun rumah di sepanjang garis pantai karena dekat dengan sumber penghasilan mereka. Daerah pesisir bukan hanya dijadikan sebagai tempat tinggal para nelayan yang mencari ikan di laut, namun juga dijadikan sebagai area dibukanya tambak-tambak. Kondisi air payau yang memiliki salinitas air diantara air laut dan air tawar menjadi kondisi optimal beberapa komoditi pangan. Beberapa komoditi yang dikembangbiakkan adalah bandeng dan udang.
Gambar 1. 5. Foto satelit Muara Bendera yang menjadi titik akhir sungai Citarum Sumber : google earth
Kampung nelayan di Muara Bendera merupakan kampung nelayan yang berbatasan langsung dengan salah satu ekosistem mangrove yang ada di pesisir utara Bekasi. Ekosistem mangrove disana merupakan habitat asli Lutung Jawa yang merupakan satwa endemik. Muara Bendera juga merupakan titik akhir dari sungai Citarum. Perahu-perahu Nelayan banyak di temukan di sepanjang sungai Citarum. Letaknya yang berada diantara
ekosistem-10 ekosistem penting membuat keberadaan kampung nelayan Muara Bendera dianggap penting bagi keberlangsungan ekosistem tersebut.
Masyarakat di kampung nelayan Muara Bendera dan sekitarnya memiliki kegiatan rutin tahunan Nadran, yaitu upacara untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil melaut selama setahun. Kegiatan tersebut merupakan salah satu budaya yang tumbuh di sekitar daerah utara Bekasi.
11
1. 3.
Permasalahan
1.3.1. Permasalahan Umum
 Bagaimana merancang Eco Park Mangrove yang dapat mengakomodasi segala kegiatan yang menyangkut permasalahan dan solusi kerusakan Mangrove seperti kegiatan konservasi, rehabilitasi, dan restorasi sehingga kegiatan penyelamatan Mangrove dapat terpusat dan terkoordinasi dengan baik
 Bagaimana merancang sebuah fasilitas rekreasi alam yang atraktif dan menarik
1.3.2. Permasalahan Khusus
 Bagaimana bangunan dapat menjawab kebutuhan ruang untuk kegiatan pelestarian ekosistem mangrove
 Bagaimana merancang pola sirkulasi dan kegiatan wisata alam yang menarik dan atraktif
 Bagaimana merancang bangunan yang mampu beradaptasi dengan kondisi tapak
 Bagaimana hubungan antara ekosistem mangrove dan kampung nelayan Muara Bendera
12
1. 4.
Tujuan
1.4.1 Umum
Pembahasan mengenai fasilitas Eco Park Mangrove Muara Bendera bertujuan untuk memberikan fasilitas pelestarian ekosistem mangrove di Muara Bendera. Fasilitas ini juga menjadi tujuan wisata alam serta sebagai media informasi dan pembelajaran yang mendukung upaya pelestarian ekosistem mangrove di utara Bekasi.
1.4.2 Khusus
Fasiitas Eco Park Mangrove mampu mengakomodasi berbagai kegiatan wisata alam yang sejalan dengan kegiatan pelestarian ekosistem Mangrove. Fasilitas Eco Park juga bisa menjadi contoh arsitektur yang mampu beradaptasi dengan kondisi alam sekitar tapak.
1. 5.
Keaslian Penulisan
Tugas akhir dengan tema serupa, eco park mangrove, hanya ada satu ditemukan di perpustakaan Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada, yaitu,
Chairiyah, Riri. 2014. “Mangrove Action Center di Salleba Bontang”. Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah Mada.
13
1. 6.
Sistematika Penulisan
1.6.1. Bab I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan berisi tentang berbagai pengertian, latar belakang, permasalahan, dan tujuan yang menjadi dasar-dasar dalam menyusun tulisan ini. Pada bab ini juga dijelaskan sistematika penulisan, kerangka pemikiran penulis dalam menyusun tulisannya.
1.6.2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab Tinjauan Pustaka menjelaskan tentang dasar-dasar teori serta pendekatan yang digunakan untuk mendukung proses penyelesaian dari permasalahan-permasalahan yang dijadikan topik pembahasan pada penulisan. Secara umum berisi tentang penjelasan ekosistem mangrove dan habitat serta siklus hidupnya serta aktivitas di sebuah area konservasi dan eco park.
1.6.3. BAB III TINJAUAN LOKASI
Bab Tinjauan Lokasi merupakan deskripsi dari lokasi yang dijadikan sebagai tapak terpilih. Menjelaskan tentang profil, potensi, kekurangan, ancaman, dan keunggulan dari tapak terpilih. Dijelaskan juga alasan pemilihan tapak.
1.6.4. BAB IV PENDEKATAN KONSEP PERACANGAN
Bab Pendekatan Konsep Perancangan memaparkan kebutuhan ruang pada sebuah area eco park mangrove, hubungan antar ruang dan sirkulasi, serta pendekatan-pendekatan konsep mikro-makro yang dinilai sesuai untuk menjawab permasalahan yang diangkat.
1.6.5. BAB V KONSEP PERANCANGAN
Bab V Konsep Perancangan berisi tentang konsep yang dijadikan sebagai dasar pemikiran dalam penyelesaian masalah. Konsep makro akan menjawab permasalahan umum sedangkan konsep mikro akan menjawab permasalahan-permasalahan khusus.